Hari Jumat Agung, hari mengenangkan wafat Tuhan Yesus Kristus di kayu salib. Pada hari Jumat Agung, Gereja tidak merayakan Ekaristi. Mengapa ? Kita tahu bahwa Ekaristi merupakan sakramen Paskah Kristus, sakramen keselamatan. Artinya dalam Ekaristi Gereja mengenangkan/merayakan wafat dan kebangkitan Kristus yang menyelamatkan manusia dari dosa dan maut. Pada hal, pada hari Jumat Agung adalah hari dimana Gereja mengenangkan Wafat Kristus. Sedangkan kebangkitanNya akan dikenangkan/dirayakan dengan meriah pada hari Paskah raya. Pada hari Jumat Agung Gereja larut dalam suasana �kesedihan� karena wafat Kristus ini.
Namun demikian, tata perayaan Jumat Agung dan tata perayaan Ekaristi tidak jauh berbeda, keduanya mempunyai makna yang hampir sama. Mari kita lihat pola urutannya dengan membandingkan keterkaitannya dengan pola urutan Ekaristi.
Liturgi Jumat Agung :
Perarakan masuk� hening � di depan altar imam tiarap � umat berlutut : doa dalam keheningan
Doa kolekta (pembuka)
Liturgi Sabda � Kisah Sengsara Tuhan Yesus
Doa umat meriah
Perarakan Salib sambil membuka selubung salib � Penyembahan Salib
Bapa kami � komuni
Doa post-komuni
Berkat meriah
Perayaan Ekaristi :
Perarakan masuk- pernyataan tobat
Doa kolekta (pembuka)
Liturgi Sabda � Injil � homili
Doa umat
Perarakan dan persiapan persembahan � Doa syukur Agung
Bapa Kami � komuni
Doa post-komuni
Berkat dan pengutusan
Penjelasan ini memaknai poin nomor 5, karena pada bagian inilah yang merupakan hal berbeda antara liturgi Jumat Agung dengan Perayaan Ekaristi. Pada bagian ini memiliki makna yang hampir sama, sedang bagian lain memiliki makna yang sama.
Perarakan Salib yang diselubungi kain menuju panti imam, dan selama perarakan itu imam / pemimpin upacara menyerukan aklamasi tiga kali : �Lihatlah kayu salib, di sini tergantung Kristus, Penyelamat dunia�. Umat menjawab dengan aklamasi : �Mari kita bersembah sujud kepadaNya�, kain selubung salib dibuka sedikit demi sedikit.
Dalam Ekaristi bahan persembahan roti dan anggur dibawa ke meja Altar dan disiapkan. Pembukaan kain selubung salib memberi makna perubahan sebagaimana konsenkrasi roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus yang hadir secara substansial. Salib yang dalam perarakan memang bukan substasi Kristus, namun memberi simbolisasi nyata dan sempurna dari apa yang ditandakan : Salib menandakan sengsara Kristus, sebagaimana pengorbanan dan sengsara Kristus dihadirkan dalam tanda roti dan anggur menjadi Tubuh Dan Darah Kristus, tetapi dalam Ekaristi lebih menunjukkan substansi sengsara dan kebangkitan.
Dan akhirnya ketika kain selubung selesai dibuka, salib diangkat dan ditunjukkan, kita memandang salib tempat bergantung Yesus penyelamat dunia, tubuhNya berlumuran darah, �Inilah TubuhKu �. inilah darahKu� (seraya kita memeditasikan kembali kisah sengsara Kristus).
Inilah makna salib dalam upacara Jumat Agung, dengan analogi sederhana dalam Ekaristi. Lalu bagaimana cara dan sikap kita untuk memberi penghormatan (menyembah) salib ini? Analoginya dalam Ekaristi adalah saat anamnese. Imam menyerukan Mysterium fidei : Marilah menyatakan misteri iman kita. Umat menjawab dengan seruan mortem tuam� : wafat Kristus kita maklumkan� Dalam penghormatan salib, lagu yang dinyanyikan dalam tradisi Gereja adalah Crucem tuam� yang mengingatkan kita saat kita memberi penghormatan di setiap perhentian Jalan Salib : �Kami menyembah Dikau, ya Tuhan dan bersyukur kepadaMu! Sebab dengan salibMu yang suci Engkau telah menebus dunia�. Lagu Taiz� : Crucem Tuam bisa membawa kita untuk memeditasikan penghormatan (penyembahan) salib ini atau lagu Crux Fidelis seperti Puji Syukur no 509.
Bagaimana cara kita menghormati Salib Kristus? Apakah dengan mencium (mengecup) atau dengan cara tabur bunga? Menghormati dan menyembah salib Kristus, kita mengungkapkan iman kita dalam tanda penebusan dan penyelamatan; sebagaimana Gereja berdoa dan mempersembahkan kepada Bapa surgawi Tubuh dan Darah PuteraNya seraya memohon anugerah Roh Kudus dalam iman dan pengharapan (doa epiklesis).
Jadi penghormatan Salib mengungkapan iman, cinta dan pengharapan kita kepada Yesus Kristus; bukan sekedar kenangan bahwa Yesus sudah wafat di salib. Tindakan cinta dengan penuh iman dan pengharapan ini diungkapkan dengan cara mencium atau memberi kecupan pada salib Kristus, sebagaimana kecupan kasih sayang orang tua kepada anaknya atau kecupan cinta suami-istri.
Mencium Salib atau Tabur Bunga?
Dengan analogi ini (penghormatan salib dan Ekaristi), bagaimana sikap dan cara kita menghormati salib, sama dengan sikap hormat kita saat Doa syukur Agung dalam Ekaristi.
Apakah boleh dengan tabur bunga? Tidak ada cara baku yang dianjurkan Gereja. Gereja bahkan memberi keleluasan kepada masing-masing Gereja lokal sesuai dengan cara-cara penghormatannya (penyembahan) yang pantas dan layak, dengan tidak menghilangkan maknanya, yaitu ungkapan iman, kasih dan pengharapan. Memang dalam buku Misa hari Minggu dan Hari Raya (terbitan Kanisius) tentang upacara Jumat Agung, dalam rubrik upacara penghormatan salib disebutkan bahwa penghormatan salib dengan cara mencium/mengecup pada kaki salib atau dengan cara menabur bunga. Jadi dalam hal ini tergantung panitia perayaan Trihari Suci dan Paskah yang memutuskan cara apa yang terbaik dengan memperhatikan makna dari perayaan Jumat Agung dan penghormatan salib Tuhan kita, Yesus Kristus.
sumber: http://www.liturgiekaristi.wordpress.com
Monday, February 25, 2013
Sunday, February 24, 2013
Janur pada Minggu Palma?
Sebentar lagi, kita akan merayakan hari Minggu Palma. Menurut kebiasaan liturgis, pada hari ini disiapkan daun palma untuk diberkati dan digunakan oleh umat dalam perarakan menuju gereja untuk merayakan Ekaristi. Daun palma yang dipegang umat itu dapat dilambai-lambaikan sambil menyanyikan lagu-lagu yang mengenangkan sorak-sorai khalayak ramai menyambut kedatangan Yesus di atas seekor keledai hendak memasuki kota Yerusalem sebagai raja damai. Apakah daun palma adalah satu satunya yang dapat digunakan untuk ritus pemberkatan dan perarakan? Apakah bisa digunakan daun selain palma, misalnya janur, atau ranting-ranting pohon lain?
Sebenarnya dalam Kitab-Kitab Injil terdapat variasi cerita tentang Yesus dielu-elukan oleh para murid atau orang banyak ketika masuk kota Yerusalem. Variasi itu nampak antara lain dalam bahan yang digunakan orang banyak untuk mengelu-elukan Yesus. Coba kita perhatikan:
Mt 21:8 �Orang banyak yang sangat besar jumlahnya menghamparkan pakaiannya di jalan, ada pula yang memotong ranting-ranting dari pohon-pohon dan menyebarkannya di jalan�.
Mrk 11:8 �Banyak orang yang menghamparkan pakaiannya di jalan, ada pula yang menyebarkan ranting-ranting hijau yang mereka ambil dari ladang�.
Injil Matius dan Markus menceriterakan bahwa orang banyak itu menghamparkan pakaiannya di jalan. Tetapi Matius dan Markus tidak menceritakan bahwa orang banyak itu memegang daun palma. Yang menarik juga adalah bahwa ranting-ranting pohon itu disebarkan di jalan, bukan dipegang dan dilambaikan.
Luk 19:36 �Dan sementara Yesus mengendarai keledai itu mereka menghamparkan pakaiannya di jalan�. Lukas tidak menceriterakan bahwa para murid Yesus yang mengiringi-Nya menyebarkan ranting-ranting hijau dan memegang daun palma.
Satu-satunya Injil yang menyebut pemakaian daun palma adalah Yohanes 12:13 �Mereka (orang banyak) mengambil daun-daun palem, dan pergi menyongsong Dia sambil berseru: Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel!� Yohanes tidak menceritakan bahwa orang banyak itu menyebarkan ranting-ranting pohon atau menghamparkan pakaiannya di jalan.
Jadi nama Hari Minggu Palma dan tradisi upacara pemberkatan serta perarakan dengan daun palma sebenarnya berdasarkan cerita dari Injil Yohanes. Arti dari daun palma itu menjadi jelas dari konteks ceritanya, yaitu peristiwa Yesus dielu-elukan, disoraki, disalami sebagai raja, yang datang dalam nama Tuhan untuk membawa damai. Maka daun palma yang dilambai-lambaikan merupakan tanda pujian dan kemuliaan, kemenangan dan damai. Arti simbolis yang sama dari daun palma ini dapat kita temukan dalam Kitab Wahyu: �Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka. Dan dengan suara nyaring mereka berseru: Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba!� (Why 7:9-10).
Menurut catatan Egeria mengenai liturgi di Yerusalem sekitar abad ke-empat, sudah ada perarakan dengan ranting palma dan zaitun pada Hari Minggu Palma untuk mengenangkan peristiwa Yesus dielu-elukan ketika memasuki kota Yerusalem. Biasanya pada sore Hari Minggu itu umat berkumpul di bukit zaitun dan sekitar jam 5 sore di atas bukit itu mereka mendengarkan pemakluman Injil mengenai masuknya Yesus secara mulia ke kota Yerusalem. Setelah itu mereka berarak menuju pusat kota Yerusalem. Anak-anak juga turut serta dalam perarakan sambil membawa ranting palma dan zaitun. Kemudian cara perayaan seperti ini mulai dibuat juga di Spanyol (abad ke-lima), di Gallia (abad ke-tujuh) dan di Roma (abad ke-sebelas). Berdasarkan tradisi ini, dapatlah dimengerti mengapa sebaiknya daun palma dipakai meskipun bukanlah satu-satunya yang diberkati dan digunakan dalam perarakan. Dapat pula dipakai ranting zaitun atau ranting hijau lain (terutama kalau di wilayah bersangkutan tidak ada tumbuhan palma) dan boleh juga janur, bila ada kemiripan makna simbolisnya.
Khusus mengenai pemakaian janur, yang biasanya dibuat dari daun kelapa (sebangsa palma) menandakan pesta atau hari raya. Hiasan seperti ini digantungkan pada pintu (gerbang) dan dapat dipakai sebagai hiasan pada pagar sepanjang jalan menuju tempat pesta dan di tempat pesta itu sendiri. Dapat pula janur dipakai sebagai hiasan oleh para penari pembawa persembahan. Bahkan ada keranjang janur berupa wadah untuk bahan sesajen.
Nah, janur mana yang hendak dipakai pada perayaan Minggu Palma? Apakah digunakan oleh umat atau oleh penari? Ataukah dipakai lebih sebagai hiasan di jalan menuju tempat perayaan dan di dalam ruang ibadat itu sendiri? Sebagai hiasan di jalan mungkin serasi dengan makna penggunaan daun palma. Sebagi hiasan di jalan atau sarana yang dipegang oleh umat (dan dipakai oleh penari), janur dapat memperlihatkan kegembiraan dan sorak-sorai menyambut kedatangan Yesus sang Raja Damai ke tengah umat-Nya. Namun sebagai hiasan di dalam gereja perlu dipertimbangkan baik-baik, karena janur yang terbuat dari daun kelapa muda berwarna kuning terang (nur) dengan nuansa meriah dapat mengurangkan arti kenangan akan penderitaan Yesus yang dimaklumkan dalam Kisah Sengsara dan dirayakan dalam Ekaristi Minggu Palma. Rasanya jauh lebih cocok bila janur sebagai hiasan dalam gereja dipakai pada malam Paskah terutama sekeliling lilin Paskah sehingga memperkuat makna lilin Paskah sebagai Terang Kristus yang menghalau kegelapan dosa dan maut. Pada kesempatan istimewa ini janur menjadi simbol terang, kemuliaan, dan kemenangan.
P. Bernardus Boli Ujan, SVD
Dimuat dalam majalah LITURGI, Januari-Februari 2006.
http://katolisitas.org/10127/janur-pada-minggu-palma
Gambar : http://www.hidupkatolik.com/2012/03/30/minggu-palma
Sebenarnya dalam Kitab-Kitab Injil terdapat variasi cerita tentang Yesus dielu-elukan oleh para murid atau orang banyak ketika masuk kota Yerusalem. Variasi itu nampak antara lain dalam bahan yang digunakan orang banyak untuk mengelu-elukan Yesus. Coba kita perhatikan:
Mt 21:8 �Orang banyak yang sangat besar jumlahnya menghamparkan pakaiannya di jalan, ada pula yang memotong ranting-ranting dari pohon-pohon dan menyebarkannya di jalan�.
Mrk 11:8 �Banyak orang yang menghamparkan pakaiannya di jalan, ada pula yang menyebarkan ranting-ranting hijau yang mereka ambil dari ladang�.
Injil Matius dan Markus menceriterakan bahwa orang banyak itu menghamparkan pakaiannya di jalan. Tetapi Matius dan Markus tidak menceritakan bahwa orang banyak itu memegang daun palma. Yang menarik juga adalah bahwa ranting-ranting pohon itu disebarkan di jalan, bukan dipegang dan dilambaikan.
Luk 19:36 �Dan sementara Yesus mengendarai keledai itu mereka menghamparkan pakaiannya di jalan�. Lukas tidak menceriterakan bahwa para murid Yesus yang mengiringi-Nya menyebarkan ranting-ranting hijau dan memegang daun palma.
Satu-satunya Injil yang menyebut pemakaian daun palma adalah Yohanes 12:13 �Mereka (orang banyak) mengambil daun-daun palem, dan pergi menyongsong Dia sambil berseru: Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel!� Yohanes tidak menceritakan bahwa orang banyak itu menyebarkan ranting-ranting pohon atau menghamparkan pakaiannya di jalan.
Jadi nama Hari Minggu Palma dan tradisi upacara pemberkatan serta perarakan dengan daun palma sebenarnya berdasarkan cerita dari Injil Yohanes. Arti dari daun palma itu menjadi jelas dari konteks ceritanya, yaitu peristiwa Yesus dielu-elukan, disoraki, disalami sebagai raja, yang datang dalam nama Tuhan untuk membawa damai. Maka daun palma yang dilambai-lambaikan merupakan tanda pujian dan kemuliaan, kemenangan dan damai. Arti simbolis yang sama dari daun palma ini dapat kita temukan dalam Kitab Wahyu: �Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka. Dan dengan suara nyaring mereka berseru: Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba!� (Why 7:9-10).
Menurut catatan Egeria mengenai liturgi di Yerusalem sekitar abad ke-empat, sudah ada perarakan dengan ranting palma dan zaitun pada Hari Minggu Palma untuk mengenangkan peristiwa Yesus dielu-elukan ketika memasuki kota Yerusalem. Biasanya pada sore Hari Minggu itu umat berkumpul di bukit zaitun dan sekitar jam 5 sore di atas bukit itu mereka mendengarkan pemakluman Injil mengenai masuknya Yesus secara mulia ke kota Yerusalem. Setelah itu mereka berarak menuju pusat kota Yerusalem. Anak-anak juga turut serta dalam perarakan sambil membawa ranting palma dan zaitun. Kemudian cara perayaan seperti ini mulai dibuat juga di Spanyol (abad ke-lima), di Gallia (abad ke-tujuh) dan di Roma (abad ke-sebelas). Berdasarkan tradisi ini, dapatlah dimengerti mengapa sebaiknya daun palma dipakai meskipun bukanlah satu-satunya yang diberkati dan digunakan dalam perarakan. Dapat pula dipakai ranting zaitun atau ranting hijau lain (terutama kalau di wilayah bersangkutan tidak ada tumbuhan palma) dan boleh juga janur, bila ada kemiripan makna simbolisnya.
Khusus mengenai pemakaian janur, yang biasanya dibuat dari daun kelapa (sebangsa palma) menandakan pesta atau hari raya. Hiasan seperti ini digantungkan pada pintu (gerbang) dan dapat dipakai sebagai hiasan pada pagar sepanjang jalan menuju tempat pesta dan di tempat pesta itu sendiri. Dapat pula janur dipakai sebagai hiasan oleh para penari pembawa persembahan. Bahkan ada keranjang janur berupa wadah untuk bahan sesajen.
Nah, janur mana yang hendak dipakai pada perayaan Minggu Palma? Apakah digunakan oleh umat atau oleh penari? Ataukah dipakai lebih sebagai hiasan di jalan menuju tempat perayaan dan di dalam ruang ibadat itu sendiri? Sebagai hiasan di jalan mungkin serasi dengan makna penggunaan daun palma. Sebagi hiasan di jalan atau sarana yang dipegang oleh umat (dan dipakai oleh penari), janur dapat memperlihatkan kegembiraan dan sorak-sorai menyambut kedatangan Yesus sang Raja Damai ke tengah umat-Nya. Namun sebagai hiasan di dalam gereja perlu dipertimbangkan baik-baik, karena janur yang terbuat dari daun kelapa muda berwarna kuning terang (nur) dengan nuansa meriah dapat mengurangkan arti kenangan akan penderitaan Yesus yang dimaklumkan dalam Kisah Sengsara dan dirayakan dalam Ekaristi Minggu Palma. Rasanya jauh lebih cocok bila janur sebagai hiasan dalam gereja dipakai pada malam Paskah terutama sekeliling lilin Paskah sehingga memperkuat makna lilin Paskah sebagai Terang Kristus yang menghalau kegelapan dosa dan maut. Pada kesempatan istimewa ini janur menjadi simbol terang, kemuliaan, dan kemenangan.
P. Bernardus Boli Ujan, SVD
Dimuat dalam majalah LITURGI, Januari-Februari 2006.
http://katolisitas.org/10127/janur-pada-minggu-palma
Gambar : http://www.hidupkatolik.com/2012/03/30/minggu-palma
Sunday, February 17, 2013
Mengapa Disebut �Rabu Abu�?
Rabu Abu adalah hari pertama Masa Prapaska, yang menandai bahwa kita memasuki masa tobat 40 hari sebelum Paska. Angka �40? selalu mempunyai makna rohani sebagai lamanya persiapan. Misalnya, Musa berpuasa 40 hari lamanya sebelum menerima Sepuluh Perintah Allah (lih. Kel 34:28), demikian pula Nabi Elia (lih. 1 raj 19:8). Tuhan Yesus sendiri juga berpuasa selama 40 hari 40 malam di padang gurun sebelum memulai pewartaan-Nya (lih. Mat 4:2).
1. Mengapa hari Rabu?
Nah, Gereja Katolik menerapkan puasa ini selama 6 hari dalam seminggu (hari Minggu tidak dihitung, karena hari Minggu dianggap sebagai peringatan Kebangkitan Yesus), maka masa Puasa berlangsung selama 6 minggu ditambah 4 hari, sehingga genap 40 hari. Dengan demikian, hari pertama puasa jatuh pada hari Rabu. (Paskah terjadi hari Minggu, dikurangi 36 hari (6 minggu), lalu dikurangi lagi 4 hari, dihitung mundur, jatuh pada hari Rabu).
Jadi penentuan awal masa Prapaska pada hari Rabu disebabkan karena penghitungan 40 hari sebelum hari Minggu Paska, tanpa menghitung hari Minggu.
2. Mengapa Rabu �Abu�?
Abu adalah tanda pertobatan. Kitab Suci mengisahkan abu sebagai tanda pertobatan, misalnya pada pertobatan Niniwe (lih. Yun 3:6). Di atas semua itu, kita diingatkan bahwa kita ini diciptakan dari debu tanah (Lih. Kej 2:7), dan suatu saat nanti kita akan mati dan kembali menjadi debu. Olah karena itu, pada saat menerima abu di gereja, kita mendengar ucapan dari Romo, �Bertobatlah, dan percayalah kepada Injil� atau, �Kamu adalah debu dan akan kembali menjadi debu� (you are dust, and to dust you shall return).�
3. Tradisi Ambrosian
Namun demikian, ada tradisi Ambrosian yang diterapkan di beberapa keuskupan di Italia, yang menghitung Masa Prapaskah selama 6 minggu, termasuk hari Minggunya, di mana kemudian hari Jumat Agung dan Sabtu Sucinya tidak diadakan perayaan Ekaristi, demi merayakan dengan lebih khidmat Perayaan Paskah.
Sumber :
http://katolisitas.org/7997/mengapa-disebut-rabu-abu
1. Mengapa hari Rabu?
Nah, Gereja Katolik menerapkan puasa ini selama 6 hari dalam seminggu (hari Minggu tidak dihitung, karena hari Minggu dianggap sebagai peringatan Kebangkitan Yesus), maka masa Puasa berlangsung selama 6 minggu ditambah 4 hari, sehingga genap 40 hari. Dengan demikian, hari pertama puasa jatuh pada hari Rabu. (Paskah terjadi hari Minggu, dikurangi 36 hari (6 minggu), lalu dikurangi lagi 4 hari, dihitung mundur, jatuh pada hari Rabu).
Jadi penentuan awal masa Prapaska pada hari Rabu disebabkan karena penghitungan 40 hari sebelum hari Minggu Paska, tanpa menghitung hari Minggu.
2. Mengapa Rabu �Abu�?
Abu adalah tanda pertobatan. Kitab Suci mengisahkan abu sebagai tanda pertobatan, misalnya pada pertobatan Niniwe (lih. Yun 3:6). Di atas semua itu, kita diingatkan bahwa kita ini diciptakan dari debu tanah (Lih. Kej 2:7), dan suatu saat nanti kita akan mati dan kembali menjadi debu. Olah karena itu, pada saat menerima abu di gereja, kita mendengar ucapan dari Romo, �Bertobatlah, dan percayalah kepada Injil� atau, �Kamu adalah debu dan akan kembali menjadi debu� (you are dust, and to dust you shall return).�
3. Tradisi Ambrosian
Namun demikian, ada tradisi Ambrosian yang diterapkan di beberapa keuskupan di Italia, yang menghitung Masa Prapaskah selama 6 minggu, termasuk hari Minggunya, di mana kemudian hari Jumat Agung dan Sabtu Sucinya tidak diadakan perayaan Ekaristi, demi merayakan dengan lebih khidmat Perayaan Paskah.
Sumber :
http://katolisitas.org/7997/mengapa-disebut-rabu-abu
Sunday, February 10, 2013
Sejarah Jalan Salib
Ibadat Jalan Salib pada awal mulanya merupakan tradisi rohani yang hanya ada di Yerusalem dan daerah sekitarnya. Baru pada abad ke-12 mulai masuk ke dunia barat, dibawa oleh ksatria Perang Salib. Mereka menjelajah dan mengenal kota-kota suci yang telah dikuduskan oleh penderitaan dan kematian Yesus, lalu membawa tradisi ini kembali ke tanah air mereka.
Hampir semua Gereja didunia Barat, teristimewa pada masa Prapaskah, penderitaan dan wafat Yesus Kristus diperingati secara khusus. Orang kristen mengenang dan merenungkan kembali waktu itu dimana terpentas peritiwa sejarah yang paling berarti, yang membawa pembebasan kepada umat manusia sekaligus memberi suatu arah baru kepada kehidupan.
Para Paus mendorong perkembangan ibadat jalan salib ini dengan memberikan indulgensi. Dalam waktu singkat, ibadat ini berkembang pesat ke seluruh pelosok dunia, dan dapat dikatakan bahwa devosi dan ibadat ini menjadi kebiasaan umat beriman dan sangat digemari di seluruh dunia.
Untuk memperoleh indulgensi, orang harus menjalani jalan salib dari stasi ke stasi dan bagi suatu ibadat bersama akan diberikan indulgensi istimewa. Bagi para pasien dan orang sakit berat, cukup kalau mereka dalam sikap penuh hormat diberkati oleh seorang imam yang mendapatkan mandat dengan menggunakan sebuah Salib yang diberkati (Salib jalan salib). Indulgensi dapat diperoleh bagi diri sendiri atau diberikan/dilanjutkan kepada orang lain.
Sumber :
http://katolisitas-indonesia.blogspot.com/2012/07/sejarah-jalan-salib.html
Hampir semua Gereja didunia Barat, teristimewa pada masa Prapaskah, penderitaan dan wafat Yesus Kristus diperingati secara khusus. Orang kristen mengenang dan merenungkan kembali waktu itu dimana terpentas peritiwa sejarah yang paling berarti, yang membawa pembebasan kepada umat manusia sekaligus memberi suatu arah baru kepada kehidupan.
Para Paus mendorong perkembangan ibadat jalan salib ini dengan memberikan indulgensi. Dalam waktu singkat, ibadat ini berkembang pesat ke seluruh pelosok dunia, dan dapat dikatakan bahwa devosi dan ibadat ini menjadi kebiasaan umat beriman dan sangat digemari di seluruh dunia.
Untuk memperoleh indulgensi, orang harus menjalani jalan salib dari stasi ke stasi dan bagi suatu ibadat bersama akan diberikan indulgensi istimewa. Bagi para pasien dan orang sakit berat, cukup kalau mereka dalam sikap penuh hormat diberkati oleh seorang imam yang mendapatkan mandat dengan menggunakan sebuah Salib yang diberkati (Salib jalan salib). Indulgensi dapat diperoleh bagi diri sendiri atau diberikan/dilanjutkan kepada orang lain.
Sumber :
http://katolisitas-indonesia.blogspot.com/2012/07/sejarah-jalan-salib.html
Sunday, February 3, 2013
Mengenal Busana Liturgi Uskup
Yang dimaksud busana liturgi uskup dalam hal ini adalah busana yang dikenakan uskup saat upacara-upacara liturgi, termasuk di antaranya Misa, Ibadat Harian dan berbagai kesempatan memberikan sakramen dan sakramental.
Selain busana liturgi, uskup juga mempunyai busana resmi dan busana sehari-hari, yang dikenakan dalam acara-acara yang bukan upacara liturgi. Contohnya, saat menerima tamu, menghadiri berbagai rapat dan undangan, dan termasuk juga menghadiri wisuda universitas Katolik.
Pada prinsipnya busana liturgi uskup yang paling mendasar dan pertama adalah yang dalam Caeremoniale Episcoporum (CE-Tata Upacara Para Uskup) disebut sebagai Habitus Choralis, seperti yang dikenakan oleh Uskup Surabaya YM Vincentius Sutikno Wisaksono pada gambar di samping, yaitu: jubah ungu setakat mata kaki (1) dan sabuk sutera ungu (2); rochet dari linen atau bahan sejenis (3); mozeta ungu (4); salib pektoral, dengan tali anyaman warna hijau-emas (5) (bukan dengan rantai); pileola ungu (6), yang mungkin lebih dikenal dengan nama solideo atau zucchetto; bireta ungu (7); cincin (8); dan stocking/kaos kaki ungu (tidak terlihat).
Jubah ungu (1) adalah jubah liturgi uskup. Sama dengan jubah resminya yang berwarna hitam/putih, jubah ungu ini dilengkapi dengan aksen warna merah (bukan ungu) di bagian tepi, lubang kancing dan kancing. Yang beda, bagian lengan bawah jubah ungu ini, yang ditekuk ke atas sekitar 20-25 cm, dilapis dengan sutera warna merah.
Sabuk sutera ungu (2) uskup untuk keperluan liturgi dan non liturgi sama saja barangnya. Sabuk ini dikenakan di dada bagian bawah, bukan di pinggang.
Rochet (3) adalah busana khusus uskup yang mirip dengan superpli. Bedanya, bagian lengan rochet sempit dan superpli (seharusnya) lebih lebar. Biasanya, bagian bawah badan dan lengan rochet terbuat dari renda yang cukup lebar.
Mozeta ungu (4) adalah mantol kecil yang hanya boleh dipakai oleh uskup. Sebelum reformasi aturan busana di tahun 1969, mozeta bahkan hanya boleh dipakai uskup kala ia berada di dalam wilayah keuskupannya. Selain uskup, ada beberapa ordo dan kanon reguler, yang sejak ratusan tahun lalu oleh Paus diberikan hak mengenakan mozeta (dengan warna lain). Termasuk dalam kelompok ini di antaranya adalah para Fransiskan, Karmelit, Dominikan dan Kanon Reguler Salib Suci. Mozeta atau apapun namanya, yang bentuknya mirip dengannya, hendaknya tidak dikenakan oleh misdinar, seperti yang marak belakangan ini.
Salib pektoral pasangan jubah ungu harus digantung dengan tali anyaman warna hijau-emas (5). Untuk jubah resmi warna hitam/putih, salib pektoral digantung dengan rantai. Salib pektoral dengan tali hijau-emas ini dikenakan di atas mozeta. Dalam Misa, salib pektoral dengan tali hijau-emas ini dikenakan di atas alba dan di bawah kasula dan dalmatik pontifikal (bukan di atas kasula). (Bdk. CE 61)
Pileola atau solideo atau zucchetto ungu (6) adalah topi bundar dan kecil. Sesuai tradisi, pileola sebenarnya dikenakan oleh semua klerus. Pileola imam berwarna hitam, uskup ungu, kardinal merah dan Paus putih. (Catatan: Seturut tradisi, jubah imam berwarna hitam; meski begitu, putih selalu boleh digunakan imam, uskup dan kardinal di daerah tropis) Awalnya, pileola adalah pelindung kepala dari hawa dingin, untuk dikenakan oleh semua klerus yang sudah di-tonsura (dicukur gundul, seperti sering kita lihat pada gambar/patung St. Fransiskus Asisi atau St. Antonius Padua).
Bireta ungu (7) adalah topi segi empat yang dikenakan di atas pileola. Bireta uskup berwarna ungu dan bireta imam berwarna hitam, keduanya dilengkapi dengan pom yang sewarna. Bireta kardinal berwarna merah, terbuat dari sutera bermotif air, dan tidak dilengkapi dengan pom.
Cincin (8) senantiasa dikenakan uskup, sebagai simbol kesetiaannya pada dan ikatan sucinya dengan Gereja, pengantinnya. (Bdk. CE 1199)
Cappa Magna atau mantol kebesaran uskup warnanya ungu, seperti tampak pada gambar di samping. Cappa magna tradisional dalam foto di samping panjangnya 8 meter. Cappa magna modern panjangnya hanya 4.5 meter, baik untuk uskup maupun kardinal. Cappa magna boleh dikenakan uskup hanya di dalam wilayah keuskupannya dan untuk perayaan-perayaan yang paling agung. (Bdk. CE 1200)
Uskup mengenakan busana liturgi tersebut di atas saat ia bepergian secara resmi di depan publik ke atau dari gereja, saat ia hadir dalam suatu upacara liturgi tetapi tidak memimpinnya, dan dalam berbagai kesempatan lain yang dinyatakan dalam Caeremoniale Episcoporum. (Bdk. CE 1202)
Secara khusus, uskup diminta mengenakan busana liturgi di atas saat kunjungan pastoral (Bdk. CE 1179). Saat itu, uskup hendaknya disambut di pintu (gerbang) gereja oleh pastor paroki yang mengenakan cappa/pluviale dan membawa salib untuk diciumnya. Pastor paroki kemudian menyerahkan aspergil dan air suci, agar uskup dapat memberkati dirinya sendiri dan semua yang hadir menyambutnya. (Bdk. CE 1180)
Uskup agung mengenakan jubah liturgi yang persis sama dengan uskup. Kardinal pun juga, hanya saja warnanya merah dan khusus bahan suteranya menggunakan sutera bermotif air. Bahan sutera bermotif air ini hanya boleh dikenakan oleh kardinal dan utusan khusus Paus (misalnya Nuntius atau Duta Besar Vatikan). Sutera bermotif air untuk nuntius, yang adalah uskup agung, berwarna ungu.
Selain jubah ungu lengkap dengan asesorisnya tersebut di atas, pada dasarnya hanya ada dua macam busana liturgi yang dikenakan uskup. Keduanya sama juga dengan busana liturgi imam, yaitu Cappa/Pluviale dan Kasula/Planeta. Pluviale dikenakan saat prosesi, saat memberikan berbagai sakramen dan sakramentali, saat memimpin Ibadat Pagi (Laudes) dan Ibadat Sore (Vesper) dan saat Misa, bila ia tidak memimpinnya atau tidak berkonselebrasi. Untuk Ibadat Bacaan, Tengah Hari dan Penutup (Completorium), baik memimpin atau tidak, uskup dapat mengenakan habitus choralis jubah ungu di atas, lengkap dengan asesorisnya. Kasula dikenakan saat Misa.
Singkatnya, busana liturgi mendasar untuk uskup adalah Habitus Choralis di atas, dan untuk upacara liturgi yang lebih meriah, dikenakan Pluviale/Cappa, dan khusus untuk Misa, dikenakan Kasula/Planeta.
Para ahli busana Gereja mengatakan bahwa sebenarnya kasula adalah pluviale yang dijahit di bagian depannya. Keduanya sama-sama berasal dari bahan kain setengah lingkaran. Pluviale juga adalah busana yang umum bagi para biarawan-biarawati dan anggota koor, untuk upacara liturgi yang meriah, sesuai tradisi.
Foto di atas : Saat Perarakan Minggu Palma, Paus mengenakan pluviale dan didampingi dua kardinal diakon yang mengenakan dalmatik. Perhatikan cara kardinal diakon memegang pluviale Paus selama prosesi, sesuai tradisi.
Berikut adalah tambahan asesoris khusus untuk uskup yang mengenakan kasula, untuk dikenakan saat Misa Stasional di Katedral ataupun Misa Agung lainnya (Bdk. CE 56 & 62).
Dalmatik Pontifikal sebenarnya sama dengan dalmatik diakon biasa, hanya yang ini bisa berwarna putih polos saja atau bisa ditambah dengan hiasan garis-garis sederhana. Busana ini dipakai di bawah kasula.
Foto-foto di atas : Saat Pencucian Kaki pada Misa Kamis Putih, Paus melepas kasula, maka nampaklah dalmatik pontifikal yang dikenakannya di bawah kasula, plus juga apron putih yang diikatkan di pinggang, yang biasanya dikenakan saat uskup memberikan sakramen krisma.
Pallium adalah kalung putih yang dikenakan di atas kasula. Pallium adalah asesoris khusus untuk uskup agung metropolitan, yaitu uskup agung yang memimpin suatu keuskupan agung. (Catatan: Ada uskup agung yang tidak memimpin keuskupan agung, misalnya Nuntius atau Duta Besar Vatikan dan pejabat-pejabat Kuria Romawi di Vatikan) Pallium dianugerahkan langsung oleh Paus kepada semua metropolitan yang baru diangkat, sekali dalam setahun, pada Hari Raya Santo Petrus dan Paulus, (29 Jun) di Vatikan (lihat foto penganugerahan pallium di atas: Paus mengenakan pallium dan uskup agung metropolitan yang berlutut di depannya baru saja menerima pallium dari Paus. Seremoriarius di sebelah kiri, Mgr. Francesco Camaldo, sedang memegang pallium juga). Pallium hanya dikenakan oleh seorang metropolitan saat ia memimpin Misa di dalam wilayah keuskupan agungnya (termasuk dalam wilayah keuskupan sufragannya).
Saat tiba di gereja untuk upacara liturgi, uskup yang mengenakan busana liturgi jubah ungu di atas akan melepaskan cappa magna (bila dikenakan), salib pektoral, mozeta dan rochet, dan kemudian mengenakan amik, alba, singel, salib pektoral dengan tali anyaman warna hijau-emas dan stola. Di atas itu semua, uskup mengenakan pluviale, atau bila ia memimpin atau berkonselebrasi dalam Misa, uskup mengenakan dalmatik pontifikal (untuk Misa Agung) dan kasula serta pallium (untuk Misa Agung, khusus metropolitan).
Berikut adalah tambahan asesoris untuk uskup, saat mengenakan kasula atau pluviale, untuk upacara agung (Bdk. CE 56 & 62).
Mitra bagi seorang uskup kurang lebih sama makna dan kegunaannya dengan mahkota bagi seorang raja. Dalam tradisi Gereja Katolik, ada tiga macam mitra uskup, yaitu mitra preciosa, semi-preciosa dan mitra linen putih polos. Mitra preciosa adalah mitra yang indah dan berharga, seringkali memakai benang emas atau perak dan dilengkapi juga dengan batu permata. Mitra semi-preciosa adalah mitra yang selama ini kita lihat dipakai banyak uskup di Indonesia. Mitra putih polos dari bahan kain linen (atau kain sutera damask untuk kardinal) adalah mitra yang dipakai saat uskup berkonselebrasi, ataupun saat Misa Arwah. Satu catatan kecil, seturut tradisi, lambang uskup dapat digunakan dalam mitra, tetapi penempatannya biasanya di ujung bawah kedua pita besar di belakang dan bukan di bagian depan mitra (lihat foto di atas). Catatan: Pita berujung hitam dan bersalib merah yang ada di tengah adalah pallium, dilihat dari belakang.
Tongkat dipakai uskup hanya dalam wilayah keuskupannya. Uskup tamu yang memimpin suatu upacara agung, atas perkenan uskup diosesan setempat, dapat juga memakai tongkat. Saat beberapa uskup hadir dalam suatu upacara, hanya satu uskup pemimpin upacara yang memakai tongkat. (Bdk. CE 59)
Catatan: Artikel ini dimuat dalam Majalah Liturgi yang diterbitkan oleh Komisi Liturgi KWI, Vol 22 No 3 - Mei-Jun 2011.
Sumber :
http://tradisikatolik.blogspot.com/search/label/Piranti%20Liturgi
Selain busana liturgi, uskup juga mempunyai busana resmi dan busana sehari-hari, yang dikenakan dalam acara-acara yang bukan upacara liturgi. Contohnya, saat menerima tamu, menghadiri berbagai rapat dan undangan, dan termasuk juga menghadiri wisuda universitas Katolik.
Pada prinsipnya busana liturgi uskup yang paling mendasar dan pertama adalah yang dalam Caeremoniale Episcoporum (CE-Tata Upacara Para Uskup) disebut sebagai Habitus Choralis, seperti yang dikenakan oleh Uskup Surabaya YM Vincentius Sutikno Wisaksono pada gambar di samping, yaitu: jubah ungu setakat mata kaki (1) dan sabuk sutera ungu (2); rochet dari linen atau bahan sejenis (3); mozeta ungu (4); salib pektoral, dengan tali anyaman warna hijau-emas (5) (bukan dengan rantai); pileola ungu (6), yang mungkin lebih dikenal dengan nama solideo atau zucchetto; bireta ungu (7); cincin (8); dan stocking/kaos kaki ungu (tidak terlihat).
Jubah ungu (1) adalah jubah liturgi uskup. Sama dengan jubah resminya yang berwarna hitam/putih, jubah ungu ini dilengkapi dengan aksen warna merah (bukan ungu) di bagian tepi, lubang kancing dan kancing. Yang beda, bagian lengan bawah jubah ungu ini, yang ditekuk ke atas sekitar 20-25 cm, dilapis dengan sutera warna merah.
Sabuk sutera ungu (2) uskup untuk keperluan liturgi dan non liturgi sama saja barangnya. Sabuk ini dikenakan di dada bagian bawah, bukan di pinggang.
Rochet (3) adalah busana khusus uskup yang mirip dengan superpli. Bedanya, bagian lengan rochet sempit dan superpli (seharusnya) lebih lebar. Biasanya, bagian bawah badan dan lengan rochet terbuat dari renda yang cukup lebar.
Mozeta ungu (4) adalah mantol kecil yang hanya boleh dipakai oleh uskup. Sebelum reformasi aturan busana di tahun 1969, mozeta bahkan hanya boleh dipakai uskup kala ia berada di dalam wilayah keuskupannya. Selain uskup, ada beberapa ordo dan kanon reguler, yang sejak ratusan tahun lalu oleh Paus diberikan hak mengenakan mozeta (dengan warna lain). Termasuk dalam kelompok ini di antaranya adalah para Fransiskan, Karmelit, Dominikan dan Kanon Reguler Salib Suci. Mozeta atau apapun namanya, yang bentuknya mirip dengannya, hendaknya tidak dikenakan oleh misdinar, seperti yang marak belakangan ini.
Salib pektoral pasangan jubah ungu harus digantung dengan tali anyaman warna hijau-emas (5). Untuk jubah resmi warna hitam/putih, salib pektoral digantung dengan rantai. Salib pektoral dengan tali hijau-emas ini dikenakan di atas mozeta. Dalam Misa, salib pektoral dengan tali hijau-emas ini dikenakan di atas alba dan di bawah kasula dan dalmatik pontifikal (bukan di atas kasula). (Bdk. CE 61)
Pileola atau solideo atau zucchetto ungu (6) adalah topi bundar dan kecil. Sesuai tradisi, pileola sebenarnya dikenakan oleh semua klerus. Pileola imam berwarna hitam, uskup ungu, kardinal merah dan Paus putih. (Catatan: Seturut tradisi, jubah imam berwarna hitam; meski begitu, putih selalu boleh digunakan imam, uskup dan kardinal di daerah tropis) Awalnya, pileola adalah pelindung kepala dari hawa dingin, untuk dikenakan oleh semua klerus yang sudah di-tonsura (dicukur gundul, seperti sering kita lihat pada gambar/patung St. Fransiskus Asisi atau St. Antonius Padua).
Bireta ungu (7) adalah topi segi empat yang dikenakan di atas pileola. Bireta uskup berwarna ungu dan bireta imam berwarna hitam, keduanya dilengkapi dengan pom yang sewarna. Bireta kardinal berwarna merah, terbuat dari sutera bermotif air, dan tidak dilengkapi dengan pom.
Cincin (8) senantiasa dikenakan uskup, sebagai simbol kesetiaannya pada dan ikatan sucinya dengan Gereja, pengantinnya. (Bdk. CE 1199)
Cappa Magna atau mantol kebesaran uskup warnanya ungu, seperti tampak pada gambar di samping. Cappa magna tradisional dalam foto di samping panjangnya 8 meter. Cappa magna modern panjangnya hanya 4.5 meter, baik untuk uskup maupun kardinal. Cappa magna boleh dikenakan uskup hanya di dalam wilayah keuskupannya dan untuk perayaan-perayaan yang paling agung. (Bdk. CE 1200)
Uskup mengenakan busana liturgi tersebut di atas saat ia bepergian secara resmi di depan publik ke atau dari gereja, saat ia hadir dalam suatu upacara liturgi tetapi tidak memimpinnya, dan dalam berbagai kesempatan lain yang dinyatakan dalam Caeremoniale Episcoporum. (Bdk. CE 1202)
Secara khusus, uskup diminta mengenakan busana liturgi di atas saat kunjungan pastoral (Bdk. CE 1179). Saat itu, uskup hendaknya disambut di pintu (gerbang) gereja oleh pastor paroki yang mengenakan cappa/pluviale dan membawa salib untuk diciumnya. Pastor paroki kemudian menyerahkan aspergil dan air suci, agar uskup dapat memberkati dirinya sendiri dan semua yang hadir menyambutnya. (Bdk. CE 1180)
Uskup agung mengenakan jubah liturgi yang persis sama dengan uskup. Kardinal pun juga, hanya saja warnanya merah dan khusus bahan suteranya menggunakan sutera bermotif air. Bahan sutera bermotif air ini hanya boleh dikenakan oleh kardinal dan utusan khusus Paus (misalnya Nuntius atau Duta Besar Vatikan). Sutera bermotif air untuk nuntius, yang adalah uskup agung, berwarna ungu.
Selain jubah ungu lengkap dengan asesorisnya tersebut di atas, pada dasarnya hanya ada dua macam busana liturgi yang dikenakan uskup. Keduanya sama juga dengan busana liturgi imam, yaitu Cappa/Pluviale dan Kasula/Planeta. Pluviale dikenakan saat prosesi, saat memberikan berbagai sakramen dan sakramentali, saat memimpin Ibadat Pagi (Laudes) dan Ibadat Sore (Vesper) dan saat Misa, bila ia tidak memimpinnya atau tidak berkonselebrasi. Untuk Ibadat Bacaan, Tengah Hari dan Penutup (Completorium), baik memimpin atau tidak, uskup dapat mengenakan habitus choralis jubah ungu di atas, lengkap dengan asesorisnya. Kasula dikenakan saat Misa.
Singkatnya, busana liturgi mendasar untuk uskup adalah Habitus Choralis di atas, dan untuk upacara liturgi yang lebih meriah, dikenakan Pluviale/Cappa, dan khusus untuk Misa, dikenakan Kasula/Planeta.
Para ahli busana Gereja mengatakan bahwa sebenarnya kasula adalah pluviale yang dijahit di bagian depannya. Keduanya sama-sama berasal dari bahan kain setengah lingkaran. Pluviale juga adalah busana yang umum bagi para biarawan-biarawati dan anggota koor, untuk upacara liturgi yang meriah, sesuai tradisi.
Foto di atas : Saat Perarakan Minggu Palma, Paus mengenakan pluviale dan didampingi dua kardinal diakon yang mengenakan dalmatik. Perhatikan cara kardinal diakon memegang pluviale Paus selama prosesi, sesuai tradisi.
Berikut adalah tambahan asesoris khusus untuk uskup yang mengenakan kasula, untuk dikenakan saat Misa Stasional di Katedral ataupun Misa Agung lainnya (Bdk. CE 56 & 62).
Dalmatik Pontifikal sebenarnya sama dengan dalmatik diakon biasa, hanya yang ini bisa berwarna putih polos saja atau bisa ditambah dengan hiasan garis-garis sederhana. Busana ini dipakai di bawah kasula.
Foto-foto di atas : Saat Pencucian Kaki pada Misa Kamis Putih, Paus melepas kasula, maka nampaklah dalmatik pontifikal yang dikenakannya di bawah kasula, plus juga apron putih yang diikatkan di pinggang, yang biasanya dikenakan saat uskup memberikan sakramen krisma.
Pallium adalah kalung putih yang dikenakan di atas kasula. Pallium adalah asesoris khusus untuk uskup agung metropolitan, yaitu uskup agung yang memimpin suatu keuskupan agung. (Catatan: Ada uskup agung yang tidak memimpin keuskupan agung, misalnya Nuntius atau Duta Besar Vatikan dan pejabat-pejabat Kuria Romawi di Vatikan) Pallium dianugerahkan langsung oleh Paus kepada semua metropolitan yang baru diangkat, sekali dalam setahun, pada Hari Raya Santo Petrus dan Paulus, (29 Jun) di Vatikan (lihat foto penganugerahan pallium di atas: Paus mengenakan pallium dan uskup agung metropolitan yang berlutut di depannya baru saja menerima pallium dari Paus. Seremoriarius di sebelah kiri, Mgr. Francesco Camaldo, sedang memegang pallium juga). Pallium hanya dikenakan oleh seorang metropolitan saat ia memimpin Misa di dalam wilayah keuskupan agungnya (termasuk dalam wilayah keuskupan sufragannya).
Saat tiba di gereja untuk upacara liturgi, uskup yang mengenakan busana liturgi jubah ungu di atas akan melepaskan cappa magna (bila dikenakan), salib pektoral, mozeta dan rochet, dan kemudian mengenakan amik, alba, singel, salib pektoral dengan tali anyaman warna hijau-emas dan stola. Di atas itu semua, uskup mengenakan pluviale, atau bila ia memimpin atau berkonselebrasi dalam Misa, uskup mengenakan dalmatik pontifikal (untuk Misa Agung) dan kasula serta pallium (untuk Misa Agung, khusus metropolitan).
Berikut adalah tambahan asesoris untuk uskup, saat mengenakan kasula atau pluviale, untuk upacara agung (Bdk. CE 56 & 62).
Mitra bagi seorang uskup kurang lebih sama makna dan kegunaannya dengan mahkota bagi seorang raja. Dalam tradisi Gereja Katolik, ada tiga macam mitra uskup, yaitu mitra preciosa, semi-preciosa dan mitra linen putih polos. Mitra preciosa adalah mitra yang indah dan berharga, seringkali memakai benang emas atau perak dan dilengkapi juga dengan batu permata. Mitra semi-preciosa adalah mitra yang selama ini kita lihat dipakai banyak uskup di Indonesia. Mitra putih polos dari bahan kain linen (atau kain sutera damask untuk kardinal) adalah mitra yang dipakai saat uskup berkonselebrasi, ataupun saat Misa Arwah. Satu catatan kecil, seturut tradisi, lambang uskup dapat digunakan dalam mitra, tetapi penempatannya biasanya di ujung bawah kedua pita besar di belakang dan bukan di bagian depan mitra (lihat foto di atas). Catatan: Pita berujung hitam dan bersalib merah yang ada di tengah adalah pallium, dilihat dari belakang.
Tongkat dipakai uskup hanya dalam wilayah keuskupannya. Uskup tamu yang memimpin suatu upacara agung, atas perkenan uskup diosesan setempat, dapat juga memakai tongkat. Saat beberapa uskup hadir dalam suatu upacara, hanya satu uskup pemimpin upacara yang memakai tongkat. (Bdk. CE 59)
Catatan: Artikel ini dimuat dalam Majalah Liturgi yang diterbitkan oleh Komisi Liturgi KWI, Vol 22 No 3 - Mei-Jun 2011.
Sumber :
http://tradisikatolik.blogspot.com/search/label/Piranti%20Liturgi