Berlutut
Bertekuk lutut berarti memperkecil diri dihadapan Allah. Orang yang sombong selalu mengangkat kepalanya dan menegakkan badannya, merasa lebih tinggi, lebih hebat daripada orang lain. Sebaliknya, orang rendah hati senantiasa menyadari bahwa dirinya amat kecil di hadapan Tuhan. Maka ia berlutut.
Tunduk Kepala
Menundukkan kepala dan membungkuk merupakan cara-cara menghormati seseorang. Membungkuk adalah tanda penghormatan yang lebih besar. Di altar kita tidak hanya menundukan kepala, tetapi sungguh membungkuk untuk merendahkan diri.
Berdiri
Pada permulaan Misa, bila imam bersama dengan misdinar datang ke altar, umat berdiri. Sikap berdiri itu merupakan tanda hormat kepada imam yang mewakili Kristus. Berdiri yang baik adalah berdiri tegak dengan kedua kaki dan tidak bersandar pada apapun.
Duduk
Duduk adalah sikap yang tenang. Duduk adalah sikap orang sedang memikirkan atau mendengarkan sesuatu. Misalnya duduk mendengarkan khotbah, sikap ini menolong kita agar mendengarkan dengan penuh perhatian dan merenungkan apa yang baru didengarnya.
Berjalan
Kita berjalan, kalau kita ingin menuju suatu tempat untuk melakukan sesuatu. Sama halnya di gereja. Tetapi di gereja tidak pernah tergesa-gesa. Untuk Tuhan kita selalu mempunyai waktu seluas-luasnya. Misdinar yang berjalan tergesa-gesa seperti orang gugup, tidak dapat menciptakan suasana tenang dan khidmat.
Mengatup tangan
Dari pagi hingga malam hari kita terus-terusan memakai tangan untuk segala macam keperluan. Tangan kita selalu sibuk. Tetapi bila kita mengatup tangan, kita menjadi tenang. Hentikan kesibukan. Kita dapat memusatkan pikiran, dengan menyadari bahwa Kristus bersama dengan kita. Kita berani menyerahkan jiwa dan raga kepadaNya, biarlah Dia yang menjaga dan memelihara kita.
Berdoa dengan tangan terentang
Dalam misa kita dapat melihat imam beberapa kali merentangkan tangan, yaitu bila mengucapkan doa. Berdoa dengan tangan terentang adalah suatu sikap doa yang sudah dipakai sejak abad-abad pertama. Dengan sikap itu kita menyatakan penyerahan kita kepada kehendak Bapa. Sikap itu mengingatkan kita kepada Yesus yang rela merentangkan tangannya di atas kayu salib. Maka selayaknya kita mengikuti sikap itu, ketika sedang menyanyikan / berdoa Bapa Kami.
Membuat Tanda Salib
Dengan membuat tanda salib kita mengenangkan pembaptisan kita �Demi nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus�, tanda salib merupakan tanda iman kita. Tanda itu kita gunakan untuk memulai dan mengakhiri doa yang kita panjatkan. Ada pula tanda salib kecil yang biasa kita lakukan dengan ibu jari tiga kali ketika Bacaan Injil.
Adapun kata-katanya adalah �InjilMu kuterima dengan budi, kuakui dengan mulutku dan kusimpan dalam hatiku�
Mengecup
Mengecup adalah tanda untuk menyatakan bahwa kita mencintai seseorang atau sesuatu. Ibadat Ekaristi dirayakan di altar, bahkan Tubuh dan Dara Kristus diletakan di altar. Maka pada awal dan akhir Misa, imam selalu mengecup altar. Itu sebagai tanda bahwa ia menyatakan rasa cinta dan hormatnya bagi altar sebagai tempat kehadiran Kristus.
Bersalaman
Orang bersalam-salaman dengan banyak cara. Dalam Misa, sebelum komuni, imam kadang-kadang mengajak umat untuk bersalaman (Salam Damai). Hal itu dilakukan dengan berjabat tangan. Kita mau hidup rukun dengan Tuhan, berarti kita mau hidup rukun dengan sesama kita.
Menepuk dada
Menepuk dada adalah tanda penyesalan. Kita lakukan ketika mengatakan �Saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa� dalam doa : saya mengaku. Juga pada mengakhiri doa Anak Domba Allah dengan kata �Kasihanilah kami� kita melakukannya dengan mengepal tangan kanan dan memukul ke dada.
Bersila
Bersila adalah sikap duduk dengan melipat dan menyilangkan kaki. Sikap doa khas Timur ini, yang tersebar di seluruh Asia Selatan dan Timur, dari India sampai ke Jepang, adalah amat baik untuk dipakai dalam perayaan liturgi juga. Pada saat-saat tertentu misdinar dapat memakai sikap ini.
Sembah
Sembah juga dikenal di banyaj negara Asia sebagai pernyataan hormat dan penyembahan. Alangkah baiknya bila kita pakai, untuk menyembah Sakramen Mahakudus.
Sumber http://misdinarkramat.wordpress.com/2011/01/29/sikap-sikap-liturgi/
Showing posts with label Tata Gerak dalam Liturgi. Show all posts
Showing posts with label Tata Gerak dalam Liturgi. Show all posts
Friday, October 5, 2012
Saturday, March 3, 2012
Makna Kekayaan Tata Gerak dan Sikap Tubuh Dalam Liturgi Ekaristi
Tata gerak atau sikap tubuh seluruh umat dan para pelayannya juga menjadi bagian terpenting dalam simbolisasi kebersamaan dan kesatuan Gereja yang sedang berdoa. Tata gerak dan sikap tubuh imam, diakon, para pelayan, dan jemaat tentu punya maksud. Sikap tubuh yang seragam menandakan kesatuan seluruh jemaat yang berhimpun untuk merayakan Liturgi Suci. Sebab sikap tubuh yang sama mencerminkan dan membangun sikap batin yang sama pula. Maka, jika dilakukan dengan baik:
(1) seluruh perayaan memancarkan keindahan dan sekaligus kesederhanaan yang anggun;
(2) makna aneka bagian perayaan dipahami secara tepat dan penuh; dan
(3) partisipasi seluruh jemaat ditingkatkan (PUMR 42).
�Berkumpul� dan maknanya
Berkat pembaptisan kita dijadikan satu keluarga dalam Gereja yang kudus. Orang kristiani adalah pribadi yang komuniter, selalu terpaut dalam kebersamaan. Kita tidak sendirian. Dalam nama Bapa dan Putra, kita juga dipersatukan oleh Roh Kudus. Itu tampak ketika kita berkumpul, khususnya dalam �tempat kudus�. Kita berkumpul sebagai orang-orang pilihan, yang terpanggil, yang dicintai Allah. Liturgi mengundang kita untuk menemukan kembali panggilan kita, yakni tumbuh dalam kesatuan, menjadi umat Allah, berkarya dengan dan bagi saudara-saudari dalam perayaan yang dinamis. Maka, berkumpul adalah bagian dari tata gerak kolektif. Agar pertemuan itu tidak kacau, tidak anarkis, tetap utuh, maka diperlukanlah keyakinan dan sikap yang sama. Di sinilah letak pentingnya suatu pedoman atau aturan bersama. Kita berkumpul untuk merayakan Ekaristi, suatu perayaan bersama yang bukan tanpa aturan. Selain itu, berkumpul juga menjadi tanda kehadiran Kristus sendiri: �Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka� (Mat 18:20).
Makna �berdiri�
Sikap tubuh kita mengungkapkan kegembiraan. Gembira atas kebersamaan dan persaudaraan di dalam Kristus. Berdiri menyatakan keyakinan dan perasaan yang utuh, jiwa yang siaga di hadapan Allah, siap bertemu dan berdialog dengan yang Ilahi. Kita berdiri karena kita berada di hadapan yang menentukan dan menguasai hidup kita, yang memberi kekuatan dan menjaga kita. Berdiri untuk menyatakan bahwa Dia adalah satu-satunya Allah Tuhan kita. Kita berdiri untuk menghormati Allah yang Mahatinggi itu (bdk. Kej 18:8). Jemaat yang berdiri menunjukkan rasa syukurnya dan keakrabannya dengan Allah. Umat yang berdiri juga mengungkapkan persaudaraan yang hidup, yang dipersatukan bagi dan oleh Allah. Maka sangatlah tepat bila kita berdiri khususnya pada saat menyatakan iman (syahadat) dan Doa Syukur Agung. Kita mengakui secara terbuka bahwa wafat dan kebangkitan Kristus (misteri Paskah) adalah dasar kehidupan kita. Inilah dasar kegembiraan kita. Kegembiraan Paskah mengantar perjalanan kita menuju Allah. Kita berdiri seolah bersama Kristus berada di dalam Yerusalem surgawi.
Saat dan Makna �duduk�
Umat hendaknya duduk (a) selama bacaan-bacaan sebelum Injil dan selama Mazmur Tanggapan; (b) selama Homili; [c] selama persiapan persembahan; [d] selama saat hening sesudah komuni. Khusus untuk yang berkaitan dengan Liturgi Sabda, sikap ini ada dasar biblisnya. Misalnya, saat Yesus mengajar, orang-orang mendengarkan Dia dengan duduk memperhatikan (Mat 5:1). Atau, saat Maria yang sedang duduk mendengarkan Yesus, sementara Marta sibuk melayani para tamunya. Yesus berkata: �Maria telah mengambil bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya� (Luk 10:39).
Maknanya sungguh luas. Sikap duduk bisa menggambarkan saat orang mengharapkan sesuatu; ia sedang mendengarkan atau mencerna suatu pesan. Keadaan batin tertentu juga bisa digambarkan dengan duduk. Orang seolah mendambakan untuk menemukan makna hidupnya yang sejati. Pada saat kita duduk, kita pun berharap agar Allah berbicara atau menyatakan diri-Nya kepada kita. Ini adalah saat epiklesis juga. Dengan duduk pun kita menyambut sabda-sabda Allah itu dengan hati terbuka. Kita berharap agar sabda Allah sungguh menyirami dan menyegarkan hati kita. Allah sendiri ingin agar kita dapat subur dan berbuah berkat sabda-Nya. Maka, duduk juga berarti kesediaan untuk saling mendengarkan, saling berbagi pengalaman, saling mempersatukan diri. Duduk menerbitkan rasa damai, aman, percaya, karena kita memang sedang bersatu dengan Allah. Ini menggambarkan dimensi eskatologis, saat istirahat nanti, setelah perjalanan panjang dan perjuangan hidup di dunia: �barangsiapa menang, ia akan Kududukkan bersama-sama dengan Aku di atas tahta-Ku, sebagaimana Aku pun telah menang dan duduk bersama-sama dengan bapaKu di atas tahtaNya (Why 3: 21). Setiap kali duduk, jiwa kita memasuki kedamaian yang membantu kita untuk menerima sabda Ilahi dan mencicipi komunikasi dengan Allah nanti.
Ada juga makna tersendiri untuk �berlutut lama�
Biasanya orang berlutut lama untuk berdoa secara pribadi. Ada banyak motivasi atau alasan mengapa orang itu berlutut. Berlutut bisa menandakan �kegagalan, kekalahan�. Kita pasrah dan mengakui kelemahan kita di hadapan Allah. Sikap tubuh ini menunjukkan semangat kerendahan diri yang menguasai hati dan jiwa kita. Di hadapan Allah, Sang Sumber Hidup, kita ini tidak ada apa-apanya. Saat itu pula, dengan sikap tubuh itu, kita mengungkapkan isi batin kita dan menyembah Allah. Kita juga ingin menyelaraskan diri dengan Kristus, Putra-Nya. Berlutut semacam ini juga mengungkapkan keyakinan kita bahwa Allah yang telah memulai itu akan juga menggenapi semua karya�Nya di dalam diri kita. Secara lebih dramatis lagi, bentuk kepasrahan diri ini diungkapkan dalam sikap tubuh �tiarap� atau �merebahkan diri� untuk mereka yang akan ditahbiskan atau oleh Imam pada awal Liturgi Pengenangan Sengsara Tuhan, Jumat Agung.
Kapan lagi harus �berlutut�?
Saat kita masuk ke gedung gereja, setelah membuat tanda salib dengan air suci, sebelum duduk, biasanya kita berlutut sejenak. Mengapa? Sebenarnya kita hendak menghormati tabernakel, terutama jika di dalamnya terdapat Sakramen Mahakudus. Jika tidak ada tabernakelnya (tempat Sakramen Mahakudus yang menjadi simbol kehadiran Kristus yang abadi), dapat diartikan kita menghormati gereja sebagai tempat yang kudus. Sikap ini memang belum termasuk tata gerak dalam Perayaan Ekaristi. Namun, pada prinsipnya setiap kita mendekati atau melewati tabernakel dengan Sakramen Mahakudus di dalamnya, kita diharapkan memberi penghormatan dengan cara berlutut; kecuali pada saat dalam perarakan. �Berlutut� diganti �menundukkan kepala� ntuk kesempatan tertentu, �berlutut� (juga �membungkuk�) bisa diganti dengan �menundukkan kepala�. Misalnya, ketika para pelayan Misa (putra altar, lektor, diakon) sedang membawa salib, lilin, dupa, atau Kitab Injil harus menghormati Sakramen Mahakudus atau altar. Menurut PUMR 275a, �menundukkan kepala� dilakukan juga ketika mengucapkari nama Tritunggal Mahakudus, nama Yesus, nama Santa Perawan Maria, dan nama para orang kudus yang diperingati dalam Misa yang bersangkutan.
Demikianlah ajakan Gereja untuk melibatkan seluruh gerak dan hidup kita dalam Liturgi Ekaristi. Mari kita maknai dengan lebih dalam lagi keterlibatan kita dalam Ekaristi. Sehingga peran serta dan campur tangan Allah selalu kita yakini dan imani dalam seluruh gerak dan hidup kita.
Sumber : http://parokiyakobus.wordpress.com/informasi-iman-katolik/makna-kekayaan-tata-gerak-dan-sikap-tubuh-dalam-liturgi-ekaristi/
(1) seluruh perayaan memancarkan keindahan dan sekaligus kesederhanaan yang anggun;
(2) makna aneka bagian perayaan dipahami secara tepat dan penuh; dan
(3) partisipasi seluruh jemaat ditingkatkan (PUMR 42).
�Berkumpul� dan maknanya
Berkat pembaptisan kita dijadikan satu keluarga dalam Gereja yang kudus. Orang kristiani adalah pribadi yang komuniter, selalu terpaut dalam kebersamaan. Kita tidak sendirian. Dalam nama Bapa dan Putra, kita juga dipersatukan oleh Roh Kudus. Itu tampak ketika kita berkumpul, khususnya dalam �tempat kudus�. Kita berkumpul sebagai orang-orang pilihan, yang terpanggil, yang dicintai Allah. Liturgi mengundang kita untuk menemukan kembali panggilan kita, yakni tumbuh dalam kesatuan, menjadi umat Allah, berkarya dengan dan bagi saudara-saudari dalam perayaan yang dinamis. Maka, berkumpul adalah bagian dari tata gerak kolektif. Agar pertemuan itu tidak kacau, tidak anarkis, tetap utuh, maka diperlukanlah keyakinan dan sikap yang sama. Di sinilah letak pentingnya suatu pedoman atau aturan bersama. Kita berkumpul untuk merayakan Ekaristi, suatu perayaan bersama yang bukan tanpa aturan. Selain itu, berkumpul juga menjadi tanda kehadiran Kristus sendiri: �Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka� (Mat 18:20).
Makna �berdiri�
Sikap tubuh kita mengungkapkan kegembiraan. Gembira atas kebersamaan dan persaudaraan di dalam Kristus. Berdiri menyatakan keyakinan dan perasaan yang utuh, jiwa yang siaga di hadapan Allah, siap bertemu dan berdialog dengan yang Ilahi. Kita berdiri karena kita berada di hadapan yang menentukan dan menguasai hidup kita, yang memberi kekuatan dan menjaga kita. Berdiri untuk menyatakan bahwa Dia adalah satu-satunya Allah Tuhan kita. Kita berdiri untuk menghormati Allah yang Mahatinggi itu (bdk. Kej 18:8). Jemaat yang berdiri menunjukkan rasa syukurnya dan keakrabannya dengan Allah. Umat yang berdiri juga mengungkapkan persaudaraan yang hidup, yang dipersatukan bagi dan oleh Allah. Maka sangatlah tepat bila kita berdiri khususnya pada saat menyatakan iman (syahadat) dan Doa Syukur Agung. Kita mengakui secara terbuka bahwa wafat dan kebangkitan Kristus (misteri Paskah) adalah dasar kehidupan kita. Inilah dasar kegembiraan kita. Kegembiraan Paskah mengantar perjalanan kita menuju Allah. Kita berdiri seolah bersama Kristus berada di dalam Yerusalem surgawi.
Saat dan Makna �duduk�
Umat hendaknya duduk (a) selama bacaan-bacaan sebelum Injil dan selama Mazmur Tanggapan; (b) selama Homili; [c] selama persiapan persembahan; [d] selama saat hening sesudah komuni. Khusus untuk yang berkaitan dengan Liturgi Sabda, sikap ini ada dasar biblisnya. Misalnya, saat Yesus mengajar, orang-orang mendengarkan Dia dengan duduk memperhatikan (Mat 5:1). Atau, saat Maria yang sedang duduk mendengarkan Yesus, sementara Marta sibuk melayani para tamunya. Yesus berkata: �Maria telah mengambil bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya� (Luk 10:39).
Maknanya sungguh luas. Sikap duduk bisa menggambarkan saat orang mengharapkan sesuatu; ia sedang mendengarkan atau mencerna suatu pesan. Keadaan batin tertentu juga bisa digambarkan dengan duduk. Orang seolah mendambakan untuk menemukan makna hidupnya yang sejati. Pada saat kita duduk, kita pun berharap agar Allah berbicara atau menyatakan diri-Nya kepada kita. Ini adalah saat epiklesis juga. Dengan duduk pun kita menyambut sabda-sabda Allah itu dengan hati terbuka. Kita berharap agar sabda Allah sungguh menyirami dan menyegarkan hati kita. Allah sendiri ingin agar kita dapat subur dan berbuah berkat sabda-Nya. Maka, duduk juga berarti kesediaan untuk saling mendengarkan, saling berbagi pengalaman, saling mempersatukan diri. Duduk menerbitkan rasa damai, aman, percaya, karena kita memang sedang bersatu dengan Allah. Ini menggambarkan dimensi eskatologis, saat istirahat nanti, setelah perjalanan panjang dan perjuangan hidup di dunia: �barangsiapa menang, ia akan Kududukkan bersama-sama dengan Aku di atas tahta-Ku, sebagaimana Aku pun telah menang dan duduk bersama-sama dengan bapaKu di atas tahtaNya (Why 3: 21). Setiap kali duduk, jiwa kita memasuki kedamaian yang membantu kita untuk menerima sabda Ilahi dan mencicipi komunikasi dengan Allah nanti.
Ada juga makna tersendiri untuk �berlutut lama�
Biasanya orang berlutut lama untuk berdoa secara pribadi. Ada banyak motivasi atau alasan mengapa orang itu berlutut. Berlutut bisa menandakan �kegagalan, kekalahan�. Kita pasrah dan mengakui kelemahan kita di hadapan Allah. Sikap tubuh ini menunjukkan semangat kerendahan diri yang menguasai hati dan jiwa kita. Di hadapan Allah, Sang Sumber Hidup, kita ini tidak ada apa-apanya. Saat itu pula, dengan sikap tubuh itu, kita mengungkapkan isi batin kita dan menyembah Allah. Kita juga ingin menyelaraskan diri dengan Kristus, Putra-Nya. Berlutut semacam ini juga mengungkapkan keyakinan kita bahwa Allah yang telah memulai itu akan juga menggenapi semua karya�Nya di dalam diri kita. Secara lebih dramatis lagi, bentuk kepasrahan diri ini diungkapkan dalam sikap tubuh �tiarap� atau �merebahkan diri� untuk mereka yang akan ditahbiskan atau oleh Imam pada awal Liturgi Pengenangan Sengsara Tuhan, Jumat Agung.
Kapan lagi harus �berlutut�?
Saat kita masuk ke gedung gereja, setelah membuat tanda salib dengan air suci, sebelum duduk, biasanya kita berlutut sejenak. Mengapa? Sebenarnya kita hendak menghormati tabernakel, terutama jika di dalamnya terdapat Sakramen Mahakudus. Jika tidak ada tabernakelnya (tempat Sakramen Mahakudus yang menjadi simbol kehadiran Kristus yang abadi), dapat diartikan kita menghormati gereja sebagai tempat yang kudus. Sikap ini memang belum termasuk tata gerak dalam Perayaan Ekaristi. Namun, pada prinsipnya setiap kita mendekati atau melewati tabernakel dengan Sakramen Mahakudus di dalamnya, kita diharapkan memberi penghormatan dengan cara berlutut; kecuali pada saat dalam perarakan. �Berlutut� diganti �menundukkan kepala� ntuk kesempatan tertentu, �berlutut� (juga �membungkuk�) bisa diganti dengan �menundukkan kepala�. Misalnya, ketika para pelayan Misa (putra altar, lektor, diakon) sedang membawa salib, lilin, dupa, atau Kitab Injil harus menghormati Sakramen Mahakudus atau altar. Menurut PUMR 275a, �menundukkan kepala� dilakukan juga ketika mengucapkari nama Tritunggal Mahakudus, nama Yesus, nama Santa Perawan Maria, dan nama para orang kudus yang diperingati dalam Misa yang bersangkutan.
Demikianlah ajakan Gereja untuk melibatkan seluruh gerak dan hidup kita dalam Liturgi Ekaristi. Mari kita maknai dengan lebih dalam lagi keterlibatan kita dalam Ekaristi. Sehingga peran serta dan campur tangan Allah selalu kita yakini dan imani dalam seluruh gerak dan hidup kita.
Sumber : http://parokiyakobus.wordpress.com/informasi-iman-katolik/makna-kekayaan-tata-gerak-dan-sikap-tubuh-dalam-liturgi-ekaristi/
Wednesday, June 9, 2010
Tata Gerak, Sikap Tubuh
Sebagai perayaan manusiawi, Perayaan Ekaristi juga memerlukan ekspresi diri manusiawi. Maka, tata gerak atau sikap tubuh seluruh jemaat dan para pelayannya juga menjadi bagian penting dalam simbolisasi kebersamaan dan kesatuan Gereja yang sedang berdoa.
Untuk Apa?
Tata gerak dan sikap tubuh imam, diakon, para pelayan, dan jemaat tentu punya maksud. Sikap tubuh yang seragam menandakan kesatuan seluruh jemaat yang berhimpun untuk merayakan Liturgi suci. Sebab sikap tubuh yang sama mencerminkan dan membangun sikap batin yang sama pula. Maka, jika dilakukan dengan baik:
(1) seluruh perayaan memancarkan keindahan dan sekaligus kesederhanaan yang anggun;
(2) makna aneka bagian perayaan dipahami secara tepat dan penuh; dan
(3) partisipasi seluruh jemaat ditingkatkan (PUMR 42).
Bolehkah Mengubah?
Sebenarnya tidak secara mutlak dilarang untuk mengubah tata gerak dan sikap tubuh. Tapi, pesan PUMR 42 sebaiknya diperhatikan dengan baik: �... ketentuan hukum liturgi dan tradisi Ritus Romawi serta kesejahteraan rohani umat Allah harus lebih diutamakan daripada selera pribadi dan pilihan yang serampangan.� Jadi, wewenang itu bukan diserahkan kepada �selera pribadi�, seenak pelayan atau jemaat dan tanpa pemikiran-pertimbangan yang cukup matang. Untuk itu, adanya penyerasian dengan keadaan jemaat perlu diputuskan oleh Konferensi Uskup, dengan sepengetahuan Takhta Apostolik, Roma (PUMR 390). Hal itu sudah gamblang disebut dalam PUMR 43 juga: �... sesuai dengan ketentuan hukum, Konferensi Uskup boleh menyerasikan tata gerak dan sikap tubuh dalam Tata Perayaan Ekaristi dengan ciri khas dan tradisi sehat bangsa setempat. Namun, hendaknya Konferensi Uskup menjamin bahwa penyerasian itu selaras dengan makna dan ciri khas bagian perayaan Ekaristi yang bersangkutan.�
Apakah Perlu Diubah?
Pertanyaan ini bisa dilontarkan ketika cita rasa budaya setempat (Gereja lokal) dirasa berbenturan dengan praktek liturgi yang disarankan Takhta Apostolik (Roma) dalam Pedoman Umum Misale Romawi. Maksudnya, jika jemaat merasa tidak cocok, kurang sreg, atau ada perbedaan makna, maka kiranya tata gerak dan sikap tubuh yang ada dalam buku pedoman bisa saja ditinjau kembali dan kemudian - jika dianggap perlu - diserasikan dengan cita rasa budaya jemaat setempat. Tentu saja perubahan itu tidak dilaksanakan secara gegabah atau serampangan. Maka, perlulah mengadakan semacam penelitian atau studi dialogis antara budaya setempat dengan pemahaman teologis dan liturgisnya.
Bagaimana Supaya Kompak?
Ada beberapa cara. Sebaiknya sudah ada dulu petunjuk tata gerak untuk umat. Mungkin dalam teks atau buku Misa (dalam rubrik) juga dicantumkan bagaimana tata geraknya. Jika umat sudah mengenal dan terbiasa mungkin tidak perlu dikuatirkan. PUMR 43 juga menyebutkan: �Demi keseragaman tata gerak dan sikap tubuh selama perayaan, umat hendaknya mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh diakon, pelayan awam, atau imam, selaras dengan petunjuk buku-buku liturgis.� Praktisnya:
[1] ada petugas yang �mengajak� umat untuk melakukan tata gerak tertentu selama perayaan berlangsung;
[2] umat dapat diberi petunjuk sebelum perayaan mulai, khususnya untuk tata gerak yang baru atau belum biasa dilakukan umat;
[3] jika ada buku Misa untuk umat, sebelum perayaan dimulai umat dipersilakan menyimak setiap petunjuk yang tertulis dalam buku tersebut, khususnya yang berkaitan dengan tata gerak, dan peran umat pada umumnya.
Berkumpul dan Maknanya
Berkat pembaptisan kita dijadikan satu keluarga dalam Gereja yang kudus. Orang Kristiani adalah pribadi yang komuniter, selalu terpaut dalam kebersamaan. Kita tidak sendirian. Dalam nama Bapa dan Putera, kita juga dipersatukan oleh Roh Kudus. Itu tampak ketika kita berkumpul, khususnya dalam �tempat kudus.� Kita berkumpul sebagai orang-orang pilihan, yang terpanggil, yang dicintai Allah. Liturgi mengundang kita untuk menemukan kembali panggilan kita, yakni tumbuh dalam kesatuan, menjadi umat Allah, berkarya dengan dan bagi saudara-saudari dalam perayaan yang dinamis. Maka, berkumpul adalah bagian dari tata gerak kolektif. Agar pertemuan itu tidak kacau, tidak anarkis, tetap utuh, maka diperlukanlah keyakinan dan sikap yang sama. Di sinilah letak pentingnya suatu pedoman atau aturan bersama. Kita berkumpul untuk merayakan Ekaristi, suatu perayaan bersama yang bukan tanpa aturan. Selain itu, berkumpul juga menjadi tanda kehadiran Kristus sendiri, �Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka� (Mat 18:20).
Makna Berdiri
Sikap tubuh ini mengungkapkan kegembiraan jemaat. Gembira atas kebersamaan dan persaudaraan di dalam Kristus. Berdiri menyatakan keyakinan dan perasaan yang utuh, jiwa yang siaga di hadapan Allah, siap bertemu dan berdialog dengan yang Ilahi. Kita berdiri karena kita berada di hadapan yang menentukan dan menguasai hidup kita, yang memberi kekuatan dan menjaga kita. Berdiri untuk menyatakan bahwa Dia adalah satu-satunya Allah Tuhan kita. Kita berdiri untuk menghorrnati Allah Yang Mahatinggi (bdk. Kej 18:8). Jemaat yang berdiri menunjukkan rasa syukurnya dan keakrabannya dengan Allah. Jemaat yang berdiri juga mengungkapkan persaudaraan yang hidup, yang dipersatukan bagi dan oleh Allah. Maka, sangatlah tepat bila kita berdiri khususnya pada saat menyatakan iman (Syahadat) dan Doa Syukur Agung. Kita mengakui secara terbuka bahwa wafat dan kebangkitan Kristus (Misteri Paskah) adalah dasar kehidupan kita. Inilah dasar kegembiraan kita. Kegembiraan Paskah mengantar perjalanan kita menuju Allah. Kita seolah berdiri bersama Yesus Kristus berada di Yerusalem surgawi. Kita berpartisipasi, terlibat penuh dalam kemenangan Paskah yang dibawakan oleh Kristus. Maka dari itu, di beberapa gereja ada juga yang memberlakukan �berdiri� selama Masa Paskah, tidak ada berlutut, bahkan juga duduk.
Kapan Berdiri?
PUMR 43 menunjukkan saat-saat jemaat berdiri, yakni:
[a] dari awal nyanyian pembuka, atau selama perarakan masuk menuju altar sampai dengan Doa Pembuka selesai;
[b] pada waktu melagukan Bait Pengantar Injil (dengan atau tanpa �alleluya�);
[c] pada waktu Injil dimaklumkan;
[d] selama Syahadat (Credo);
[e] selama Doa Umat;
[f] dari ajakan �Berdoalah, Saudara...� sebelum Doa Persiapan Persembahan hingga akhir Perayaan Ekaristi, kecuali pada saat-saat tertentu yang ditentukan tersendiri.
Untuk Imam Selebran saat-saat berdirinya hampir sama dengan jemaat. Ada beberapa perbedaan, misalnya, pada saat menyampaikan Homili, ia dapat berdiri atau duduk di kursi imam; pada saat Doa Syukur Agung ia harus tetap berdiri memimpin, sementara jemaat dapat berdiri atau berlutut.
Saat dan Makna Duduk
Masih kita kutip dari PUMR 43. Jemaat hendaknya duduk:
[a] selama bacaan-bacaan sebelum Injil dan selama Mazmur Tanggapan;
[b] selama Homili;
[c] selama persiapan persembahan;
[d] selama saat hening sesudah komuni.
Khusus untuk yang berkaitan dengan Liturgi Sabda, sikap ini ada dasar biblisnya. Misalnya, saat Yesus mengajar, orang-orang mendengarkan Dia dengan duduk memperhatikan (Mat 5:1). Atau, saat Maria yang sedang duduk mendengarkan Yesus, sementara Marta sibuk melayani para tamunya. Yesus berkata, �Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil daripadanya� (Lk 10:39).
Maknanya sesungguhnya luas. Sikap duduk bisa menggambarkan saat orang mengharapkan sesuatu; ia sedang mendengarkan atau mencerna suatu pesan. Keadaan batin tertentu juga bisa digambarkan dengan duduk. Orang seolah mendambakan untuk menemukan makna hidupnya yang sejati. Pada saat kita duduk kita pun berharap agar Allah berbicara atau menyatakan Diri-Nya kepada kita. Ini adalah saat epiklesis juga. Dengan duduk pun kita menyambut Sabda Allah dengan hati terbuka. Kita berharap agar Sabda Allah sungguh menyirami dan menyegarkan hati kita. Allah sendiri ingin agar kita dapat menjadi subur dan berbuah berkat sabda-Nya. Maka, duduk juga berarti kesediaan untuk saling mendengarkan, saling berbagi pengalaman, saling mempersatukan diri. Duduk menerbitkan rasa damai, aman, percaya, karena kita memang sedang bersatu dengan Allah. Ini menggambarkan dimensi eskatologis, saat istirahat nanti, setelah perjalanan panjang dan perjuangan hidup di dunia: �Barangsiapa menang, ia akan Ku-dudukkan bersama-sama dengan Aku di atas takhta-Ku, sebagaimana Aku pun telah menang dan duduk bersama-sama dengan Bapa-Ku di atas takhta-Nya� (Why 3:21). Setiap kali duduk, jiwa kita memasuki kedamaian yang membantu kita untuk menerima sabda ilahi dan mencicipi komunikasi dengan Allah nanti.
Duduk di Mana?
Pengertian �duduk� pada umumnya mengandaikan adanya kursi, bangku, atau tempat duduk apa pun. Maka kondisi tempat duduk sebaiknya juga mendukung maksud sikap duduk kita. Bisa duduk dengan enak, tidak gerah, tidak terusik apa pun, memang ideal, sehingga umat dapat mengikuti dan mengambil bagian dalam perayaan dengan baik.
Bagaimana Berlutut dan Maknanya
Cara wajar untuk berlutut adalah dilakukan dengan menekuk lutut kanan sampai menyentuh lantai. Ini adalah tanda sembah sujud (PUMR 274), untuk menghormati. Tentu saja hal itu bukan sekedar tindakan ritual. Ada makna yang mendalam. Berlutut mengungkapkan pengakuan iman kita akan Misteri Paskah, sekaligus menandakan kerinduan kita untuk hadir dalam misteri wafat dan kebangkitan Kristus, Tuhan kita. Gerak berlutut merupakan bentuk perendahan diri karena hadir di hadapan Tuhan. Seperti kata Paulus: �supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: `Yesus Kristus adalah Tuhan,' bagi kemuliaan Allah Bapa!� (Fil 2:10-11). Kita pun melakukannya untuk meniru kesengsaraan Kristus ketika disalib, supaya boleh mengalami anugerah kebangkitan-Nya. Sikap ini mengajar kita untuk hidup sehari-hari seperti yang dilakukan Kristus. Kita diantar untuk bersatu dalam persembahan diri dan korban-Nya yang suci.
Imam Berlutut Tiga Kali, Jemaat Hanya Satu Kali?
Dalam suatu Misa Imam mempunyai kesempatan berlutut tiga kali (PUMR 274), yakni pada waktu setelah mengangkat Tubuh / Darah Kristus (Doa Syukur Agung), dan sebelum menyambut Tubuh Darah Kristus (Ritus Komuni). Sementara PUMR 43 menegaskan: �Umat berlutut pada saat konsekrasi, kecuali kalau ada masalah kesehatan atau tempat ibadat tidak mengizinkan, entah karena banyaknya umat yang hadir, entah karena sebab-sebab lain. Mereka yang tidak berlutut pada saat konsekrasi hendaknya membungkuk khidmad pada saat imam berlutut sesudah konsekrasi. ...Kalau umat sudah terbiasa berlutut sejak sesudah Kudus sampai dengan akhir Doa Syukur Agung, kebiasaan ini seyogyanya dipertahankan.�
Jelas sekali bahwa hanya ada satu kesempatan untuk berlutut, yakni pada saat konsekrasi atau selama Doa Syukur. Sudah jamak terjadi bahwa di banyak gereja di Indonesia, jemaat berlutut beberapa kali. Misalnya, saat Ritus Tobat, Doa Pembuka, Doa Umat, Doa Persiapan Persembahan, Doa Syukur Agung, dsb. Mungkin itu karena pertimbangan budaya, atau sekedar salah kaprah, kebiasaan yang kurang tepat tapi seolah sudah dianggap benar.
Perlu ditambahkan, jemaat di sini berlututnya dengan cara menekuk ke dua lutut di atas lantai atau tempat lutut khusus. Jadi, memang ada dua macam cara berlutut. Berlutut sejenak (dengan satu lutut di lantai) atau berlutut lama (dengan dua lutut di lantai). Keduanya juga bisa dilakukan oleh baik Imam maupun jemaat, misalnya saat menyanyikan Litani Para Kudus.
Ada Juga Makna Tersendiri untuk Berlutut Lama
Biasanya orang berlutut lama untuk berdoa secara pribadi. Ada banyak motivasi atau alasan mengapa orang berlutut. Berlutut bisa menandakan kegagalan, kekalahan. Kita pasrah dan mengakui kelemahan kita di hadapan Allah. Sikap tubuh ini menunjukkan semangat kerendahan diri yang menguasai hati dan jiwa kita. Di hadapan Allah, Sang Sumber Hidup, kita tidak ada apa-apanya. Saat itu pula, dengan sikap tubuh berlutut kita mengungkapkan isi batin kita dan menyembah Allah. Kita juga ingin menyelaraskan diri dengan Kristus, PutraNya. Berlutut semacam ini juga mengungkapkan keyakinan kita bahwa Allah yang telah memulai itu akan juga menggenapi semua karya-Nya di dalam diri kita. Secara lebih dramatis lagi, bentuk kepasrahan diri ini diungkapkan dalam tata gerak �tiarap� atau �merebahkan diri� untuk mereka yang akan ditahbiskan.
Kapan Lagi Harus Berlutut?
Saat kita masuk ke gedung gereja, setelah membuat Tanda Salib dengan air suci, sebelum duduk, biasanya kita berlutut. Mengapa? Sebenarnya kita hendak menghormati Sakramen Mahakudus, terutama jika di dalamnya terdapat Sakramen Mahakudus. Jika tidak ada tabernakel (tempat Sakramen Mahakudus yang menjadi simbol kehadiran Kristus yang abadi), dapat diartikan kita menghormati gereja sebagai tempat yang kudus. Sikap ini memang belum termasuk tata gerak dalam Perayaan Ekaristi. Namun, pada prinsipnya setiap kita mendekati atau melewati Sakramen Mahakudus, kita diharapkan memberi penghormatan dengan cara berlutut; kecuali pada saat dalam perarakan.
Berlutut Diganti Menundukkan Kepala
Untuk kesempatan tertentu, berlutut (juga membungkuk) bisa diganti dengan menundukkan kepala. Misalnya, ketika para pelayan misa (putera altar, lektor, diakon) sedang membawa salib, lilin, dupa, atau Kitab Injil harus menghormati Sakramen Mahakudus atau altar. Menurut PUMR 275a �menundukkan kepala� dilakukan juga ketika mengucapkan nama Tritunggal Mahakudus, nama Yesus, nama Santa Perawan Maria, dan nama para orang kudus yang diperingati dalam Misa yang bersangkutan. Mengapa perlu diganti? Alasannya praktis saja dan mungkin juga estetis serta teologis. Pembawa benda-benda itu biasanya akan kerepotan jika harus berlutut sementara masih membawa sesuatu. Lagi pula, bisa tampak tidak indah dan kurang menarik jika salib yang mestinya tetap tegak ternyata jadi miring lantaran pemegangnya sedang berlutut atau membungkuk. Atau, lelehan lilinnya jatuh ke lantai atau ke tangan putera altar yang memegangnya karena dia harus berlutut. Khusus untuk benda-benda simbolis yang berkaitan dengan diri Kristus seperti Kitab Injil dan Salib, kita diminta tetap menunjukkan nilai kehormatannya. Maka, benda-benda simbol Kristus itu harus tetap tampak anggun, tidak tampil naik-turun, miring ke kiri-ke kanan, karena si pemegang harus berlutut dan berdiri segala.
Tanda Penghormatan Lain: Membungkuk
Masih ada satu lagi sikap tubuh lambang penghormatan kita. PUMR 275b menjelaskan: �Membungkukkan badan atau membungkuk khidmad dilakukan waktu [1] menghormati altar; [2] sebelum memaklumkan Injil, waktu mengucapkan doa Sucikanlah hati dan budiku, ya Allah yang mahakuasa....; [3] dalam syahadat, waktu mengucapkan kata-kata .. . Ia dikandung dari Roh Kudus... dan Ia menjadi manusia;[4] dalam persiapan persembahan, waktu mengucapkan doa Dengan rendah hati dan tulus; [5] dalam Kanon Romawi (DSA I) pada kata-kata Allah yang Mahakuasa, utuslah malaikat-Mu.... Membungkuk juga dilakukan oleh diakon waktu minta berkat kepada imam sebelum mewartakan Injil. Kecuali itu, imam juga membungkuk sedikit waktu mengucapkan kata-kata Tuhan pada saat konsekrasi: Terimalah....� Begitulah tata caranya.
Satu Lagi: Mencium
Masih ada satu lagi bentuk penghormatan. Ini sesuai dengan tradisi liturgi. Altar dan Kitab Injil dihormati oleh Imam dan Diakon dengan mencium atau mengecupnya. Akan tetapi, kalau mencium tidak sesuai dengan tradisi atau kekhasan daerah setempat, Konferensi Uskup berwenang menggantinya dengan cara penghormatan yang lain, dengan persetujuan Takhta Apostolik (PUMR 273). Misalnya, dengan cara menempelkan kepala atau kening pada benda-benda tersebut, atau meletakkan telapak tangan pada benda yang dihormati itu.
Beberapa Tata Gerak Imam Lainnya
Imam Selebran masih mempunyai beberapa tata gerak simbolis lainnya. Kita lihat secara singkat saja, dengan menyebut cara dan maknanya:
[1] merentangkan tangan, dilakukan ketika Imam membawakan doa-doa presidensiil. Tata gerak ini meniru Kristus yang terentang tangan-Nya di kayu salib, atau Musa yang sedang berdoa agar Allah melindungi bangsa Israel dari kejaran tentara Mesir;
[2] menumpangkan tangan di atas objek (bahan persembahan) atau subjek (orang, umat) sebagai lambang turunnya Roh Kudus (epiklesis), yang menghasilkan rahmat pengudusan (�...utuslah Roh Kudus-Mu...�);
[3] mengangkat bahan persembahan (roti / sibori dan anggur / piala) untuk dihunjukkan kepada Allah atau ditunjukkan kepada jemaat (dalam Doa Syukur Agung dan Ritus Komuni: �Inilah Tubuh-Ku / Darah-Ku�; �Inilah Anak Domba Allah�);
[4] membuka tangan dan mengatupkannya kembali sebagai tanda ajakan (�Marilah berdoa�) kepada jemaat. Tata gerak ini juga dilakukan oleh Diakon sebelum membawakan Injil (�Tuhan sertamu....�).
Jangan kaget kalau ternyata ada beberapa Imam yang tidak mempraktekkan ragam tata gerak di atas. Alasannya mungkin beraneka: karena tidak tahu, lupa, tidak mampu karena sakit, cuma malas, berpendirian lain, atau.... Sebaiknya tanyakan saja langsung kepada yang bersangkutan.
Perarakan Juga Bagian dari Tata Gerak
Sering kali terlupakan bahwa perarakan juga merupakan tata gerak. Dari istilah ini kita tentu langsung bisa membayangkan bahwa pelakunya lebih dari satu orang. Juga, ada beberapa perlengkapan pendukung perarakan. Maka, istilah tata gerak mencakup juga segala jenis perarakan, seperti:
[1] tindakan dan perarakan imam bersama diakon dan para pelayan menuju altar;
[2] perarakan diakon yang membawa Kitab Injil menuju mimbar sebelum pemakluman Injil;
[3] perarakan umat beriman yang mengantar bahan persembahan dan maju untuk menyambut komuni.
Perarakan menandakan suasana kemeriahan. Maka, hendaknya tata gerak ini dilaksanakan dengan anggun, sesuai dengan kaidah masing-masing, dan diiringi dengan nyanyian yang serasi (PUMR 44). Bahkan kalau dirasa perlu bisa juga dengan tarian atau ekspresi budaya lainnya.
Sumber: �Simbol-Simbol Sekitar Perayaan Ekaristi: Tata Gerak, Sikap Tubuh�; Pamflet Liturgi M3 Mengalami, Merawat, Menarikan Liturgi; diterbitkan oleh ILSKI (Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia); Jalan Nias 2, Bandung 40117; phone: 022 4207943 / 4217962 (ext 113)
dikutip dari http://www.indocell.net/yesaya/pustaka2/id311.htm
Untuk Apa?
Tata gerak dan sikap tubuh imam, diakon, para pelayan, dan jemaat tentu punya maksud. Sikap tubuh yang seragam menandakan kesatuan seluruh jemaat yang berhimpun untuk merayakan Liturgi suci. Sebab sikap tubuh yang sama mencerminkan dan membangun sikap batin yang sama pula. Maka, jika dilakukan dengan baik:
(1) seluruh perayaan memancarkan keindahan dan sekaligus kesederhanaan yang anggun;
(2) makna aneka bagian perayaan dipahami secara tepat dan penuh; dan
(3) partisipasi seluruh jemaat ditingkatkan (PUMR 42).
Bolehkah Mengubah?
Sebenarnya tidak secara mutlak dilarang untuk mengubah tata gerak dan sikap tubuh. Tapi, pesan PUMR 42 sebaiknya diperhatikan dengan baik: �... ketentuan hukum liturgi dan tradisi Ritus Romawi serta kesejahteraan rohani umat Allah harus lebih diutamakan daripada selera pribadi dan pilihan yang serampangan.� Jadi, wewenang itu bukan diserahkan kepada �selera pribadi�, seenak pelayan atau jemaat dan tanpa pemikiran-pertimbangan yang cukup matang. Untuk itu, adanya penyerasian dengan keadaan jemaat perlu diputuskan oleh Konferensi Uskup, dengan sepengetahuan Takhta Apostolik, Roma (PUMR 390). Hal itu sudah gamblang disebut dalam PUMR 43 juga: �... sesuai dengan ketentuan hukum, Konferensi Uskup boleh menyerasikan tata gerak dan sikap tubuh dalam Tata Perayaan Ekaristi dengan ciri khas dan tradisi sehat bangsa setempat. Namun, hendaknya Konferensi Uskup menjamin bahwa penyerasian itu selaras dengan makna dan ciri khas bagian perayaan Ekaristi yang bersangkutan.�
Apakah Perlu Diubah?
Pertanyaan ini bisa dilontarkan ketika cita rasa budaya setempat (Gereja lokal) dirasa berbenturan dengan praktek liturgi yang disarankan Takhta Apostolik (Roma) dalam Pedoman Umum Misale Romawi. Maksudnya, jika jemaat merasa tidak cocok, kurang sreg, atau ada perbedaan makna, maka kiranya tata gerak dan sikap tubuh yang ada dalam buku pedoman bisa saja ditinjau kembali dan kemudian - jika dianggap perlu - diserasikan dengan cita rasa budaya jemaat setempat. Tentu saja perubahan itu tidak dilaksanakan secara gegabah atau serampangan. Maka, perlulah mengadakan semacam penelitian atau studi dialogis antara budaya setempat dengan pemahaman teologis dan liturgisnya.
Bagaimana Supaya Kompak?
Ada beberapa cara. Sebaiknya sudah ada dulu petunjuk tata gerak untuk umat. Mungkin dalam teks atau buku Misa (dalam rubrik) juga dicantumkan bagaimana tata geraknya. Jika umat sudah mengenal dan terbiasa mungkin tidak perlu dikuatirkan. PUMR 43 juga menyebutkan: �Demi keseragaman tata gerak dan sikap tubuh selama perayaan, umat hendaknya mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh diakon, pelayan awam, atau imam, selaras dengan petunjuk buku-buku liturgis.� Praktisnya:
[1] ada petugas yang �mengajak� umat untuk melakukan tata gerak tertentu selama perayaan berlangsung;
[2] umat dapat diberi petunjuk sebelum perayaan mulai, khususnya untuk tata gerak yang baru atau belum biasa dilakukan umat;
[3] jika ada buku Misa untuk umat, sebelum perayaan dimulai umat dipersilakan menyimak setiap petunjuk yang tertulis dalam buku tersebut, khususnya yang berkaitan dengan tata gerak, dan peran umat pada umumnya.
Berkumpul dan Maknanya
Berkat pembaptisan kita dijadikan satu keluarga dalam Gereja yang kudus. Orang Kristiani adalah pribadi yang komuniter, selalu terpaut dalam kebersamaan. Kita tidak sendirian. Dalam nama Bapa dan Putera, kita juga dipersatukan oleh Roh Kudus. Itu tampak ketika kita berkumpul, khususnya dalam �tempat kudus.� Kita berkumpul sebagai orang-orang pilihan, yang terpanggil, yang dicintai Allah. Liturgi mengundang kita untuk menemukan kembali panggilan kita, yakni tumbuh dalam kesatuan, menjadi umat Allah, berkarya dengan dan bagi saudara-saudari dalam perayaan yang dinamis. Maka, berkumpul adalah bagian dari tata gerak kolektif. Agar pertemuan itu tidak kacau, tidak anarkis, tetap utuh, maka diperlukanlah keyakinan dan sikap yang sama. Di sinilah letak pentingnya suatu pedoman atau aturan bersama. Kita berkumpul untuk merayakan Ekaristi, suatu perayaan bersama yang bukan tanpa aturan. Selain itu, berkumpul juga menjadi tanda kehadiran Kristus sendiri, �Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka� (Mat 18:20).
Makna Berdiri
Sikap tubuh ini mengungkapkan kegembiraan jemaat. Gembira atas kebersamaan dan persaudaraan di dalam Kristus. Berdiri menyatakan keyakinan dan perasaan yang utuh, jiwa yang siaga di hadapan Allah, siap bertemu dan berdialog dengan yang Ilahi. Kita berdiri karena kita berada di hadapan yang menentukan dan menguasai hidup kita, yang memberi kekuatan dan menjaga kita. Berdiri untuk menyatakan bahwa Dia adalah satu-satunya Allah Tuhan kita. Kita berdiri untuk menghorrnati Allah Yang Mahatinggi (bdk. Kej 18:8). Jemaat yang berdiri menunjukkan rasa syukurnya dan keakrabannya dengan Allah. Jemaat yang berdiri juga mengungkapkan persaudaraan yang hidup, yang dipersatukan bagi dan oleh Allah. Maka, sangatlah tepat bila kita berdiri khususnya pada saat menyatakan iman (Syahadat) dan Doa Syukur Agung. Kita mengakui secara terbuka bahwa wafat dan kebangkitan Kristus (Misteri Paskah) adalah dasar kehidupan kita. Inilah dasar kegembiraan kita. Kegembiraan Paskah mengantar perjalanan kita menuju Allah. Kita seolah berdiri bersama Yesus Kristus berada di Yerusalem surgawi. Kita berpartisipasi, terlibat penuh dalam kemenangan Paskah yang dibawakan oleh Kristus. Maka dari itu, di beberapa gereja ada juga yang memberlakukan �berdiri� selama Masa Paskah, tidak ada berlutut, bahkan juga duduk.
Kapan Berdiri?
PUMR 43 menunjukkan saat-saat jemaat berdiri, yakni:
[a] dari awal nyanyian pembuka, atau selama perarakan masuk menuju altar sampai dengan Doa Pembuka selesai;
[b] pada waktu melagukan Bait Pengantar Injil (dengan atau tanpa �alleluya�);
[c] pada waktu Injil dimaklumkan;
[d] selama Syahadat (Credo);
[e] selama Doa Umat;
[f] dari ajakan �Berdoalah, Saudara...� sebelum Doa Persiapan Persembahan hingga akhir Perayaan Ekaristi, kecuali pada saat-saat tertentu yang ditentukan tersendiri.
Untuk Imam Selebran saat-saat berdirinya hampir sama dengan jemaat. Ada beberapa perbedaan, misalnya, pada saat menyampaikan Homili, ia dapat berdiri atau duduk di kursi imam; pada saat Doa Syukur Agung ia harus tetap berdiri memimpin, sementara jemaat dapat berdiri atau berlutut.
Saat dan Makna Duduk
Masih kita kutip dari PUMR 43. Jemaat hendaknya duduk:
[a] selama bacaan-bacaan sebelum Injil dan selama Mazmur Tanggapan;
[b] selama Homili;
[c] selama persiapan persembahan;
[d] selama saat hening sesudah komuni.
Khusus untuk yang berkaitan dengan Liturgi Sabda, sikap ini ada dasar biblisnya. Misalnya, saat Yesus mengajar, orang-orang mendengarkan Dia dengan duduk memperhatikan (Mat 5:1). Atau, saat Maria yang sedang duduk mendengarkan Yesus, sementara Marta sibuk melayani para tamunya. Yesus berkata, �Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil daripadanya� (Lk 10:39).
Maknanya sesungguhnya luas. Sikap duduk bisa menggambarkan saat orang mengharapkan sesuatu; ia sedang mendengarkan atau mencerna suatu pesan. Keadaan batin tertentu juga bisa digambarkan dengan duduk. Orang seolah mendambakan untuk menemukan makna hidupnya yang sejati. Pada saat kita duduk kita pun berharap agar Allah berbicara atau menyatakan Diri-Nya kepada kita. Ini adalah saat epiklesis juga. Dengan duduk pun kita menyambut Sabda Allah dengan hati terbuka. Kita berharap agar Sabda Allah sungguh menyirami dan menyegarkan hati kita. Allah sendiri ingin agar kita dapat menjadi subur dan berbuah berkat sabda-Nya. Maka, duduk juga berarti kesediaan untuk saling mendengarkan, saling berbagi pengalaman, saling mempersatukan diri. Duduk menerbitkan rasa damai, aman, percaya, karena kita memang sedang bersatu dengan Allah. Ini menggambarkan dimensi eskatologis, saat istirahat nanti, setelah perjalanan panjang dan perjuangan hidup di dunia: �Barangsiapa menang, ia akan Ku-dudukkan bersama-sama dengan Aku di atas takhta-Ku, sebagaimana Aku pun telah menang dan duduk bersama-sama dengan Bapa-Ku di atas takhta-Nya� (Why 3:21). Setiap kali duduk, jiwa kita memasuki kedamaian yang membantu kita untuk menerima sabda ilahi dan mencicipi komunikasi dengan Allah nanti.
Duduk di Mana?
Pengertian �duduk� pada umumnya mengandaikan adanya kursi, bangku, atau tempat duduk apa pun. Maka kondisi tempat duduk sebaiknya juga mendukung maksud sikap duduk kita. Bisa duduk dengan enak, tidak gerah, tidak terusik apa pun, memang ideal, sehingga umat dapat mengikuti dan mengambil bagian dalam perayaan dengan baik.
Bagaimana Berlutut dan Maknanya
Cara wajar untuk berlutut adalah dilakukan dengan menekuk lutut kanan sampai menyentuh lantai. Ini adalah tanda sembah sujud (PUMR 274), untuk menghormati. Tentu saja hal itu bukan sekedar tindakan ritual. Ada makna yang mendalam. Berlutut mengungkapkan pengakuan iman kita akan Misteri Paskah, sekaligus menandakan kerinduan kita untuk hadir dalam misteri wafat dan kebangkitan Kristus, Tuhan kita. Gerak berlutut merupakan bentuk perendahan diri karena hadir di hadapan Tuhan. Seperti kata Paulus: �supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: `Yesus Kristus adalah Tuhan,' bagi kemuliaan Allah Bapa!� (Fil 2:10-11). Kita pun melakukannya untuk meniru kesengsaraan Kristus ketika disalib, supaya boleh mengalami anugerah kebangkitan-Nya. Sikap ini mengajar kita untuk hidup sehari-hari seperti yang dilakukan Kristus. Kita diantar untuk bersatu dalam persembahan diri dan korban-Nya yang suci.
Imam Berlutut Tiga Kali, Jemaat Hanya Satu Kali?
Dalam suatu Misa Imam mempunyai kesempatan berlutut tiga kali (PUMR 274), yakni pada waktu setelah mengangkat Tubuh / Darah Kristus (Doa Syukur Agung), dan sebelum menyambut Tubuh Darah Kristus (Ritus Komuni). Sementara PUMR 43 menegaskan: �Umat berlutut pada saat konsekrasi, kecuali kalau ada masalah kesehatan atau tempat ibadat tidak mengizinkan, entah karena banyaknya umat yang hadir, entah karena sebab-sebab lain. Mereka yang tidak berlutut pada saat konsekrasi hendaknya membungkuk khidmad pada saat imam berlutut sesudah konsekrasi. ...Kalau umat sudah terbiasa berlutut sejak sesudah Kudus sampai dengan akhir Doa Syukur Agung, kebiasaan ini seyogyanya dipertahankan.�
Jelas sekali bahwa hanya ada satu kesempatan untuk berlutut, yakni pada saat konsekrasi atau selama Doa Syukur. Sudah jamak terjadi bahwa di banyak gereja di Indonesia, jemaat berlutut beberapa kali. Misalnya, saat Ritus Tobat, Doa Pembuka, Doa Umat, Doa Persiapan Persembahan, Doa Syukur Agung, dsb. Mungkin itu karena pertimbangan budaya, atau sekedar salah kaprah, kebiasaan yang kurang tepat tapi seolah sudah dianggap benar.
Perlu ditambahkan, jemaat di sini berlututnya dengan cara menekuk ke dua lutut di atas lantai atau tempat lutut khusus. Jadi, memang ada dua macam cara berlutut. Berlutut sejenak (dengan satu lutut di lantai) atau berlutut lama (dengan dua lutut di lantai). Keduanya juga bisa dilakukan oleh baik Imam maupun jemaat, misalnya saat menyanyikan Litani Para Kudus.
Ada Juga Makna Tersendiri untuk Berlutut Lama
Biasanya orang berlutut lama untuk berdoa secara pribadi. Ada banyak motivasi atau alasan mengapa orang berlutut. Berlutut bisa menandakan kegagalan, kekalahan. Kita pasrah dan mengakui kelemahan kita di hadapan Allah. Sikap tubuh ini menunjukkan semangat kerendahan diri yang menguasai hati dan jiwa kita. Di hadapan Allah, Sang Sumber Hidup, kita tidak ada apa-apanya. Saat itu pula, dengan sikap tubuh berlutut kita mengungkapkan isi batin kita dan menyembah Allah. Kita juga ingin menyelaraskan diri dengan Kristus, PutraNya. Berlutut semacam ini juga mengungkapkan keyakinan kita bahwa Allah yang telah memulai itu akan juga menggenapi semua karya-Nya di dalam diri kita. Secara lebih dramatis lagi, bentuk kepasrahan diri ini diungkapkan dalam tata gerak �tiarap� atau �merebahkan diri� untuk mereka yang akan ditahbiskan.
Kapan Lagi Harus Berlutut?
Saat kita masuk ke gedung gereja, setelah membuat Tanda Salib dengan air suci, sebelum duduk, biasanya kita berlutut. Mengapa? Sebenarnya kita hendak menghormati Sakramen Mahakudus, terutama jika di dalamnya terdapat Sakramen Mahakudus. Jika tidak ada tabernakel (tempat Sakramen Mahakudus yang menjadi simbol kehadiran Kristus yang abadi), dapat diartikan kita menghormati gereja sebagai tempat yang kudus. Sikap ini memang belum termasuk tata gerak dalam Perayaan Ekaristi. Namun, pada prinsipnya setiap kita mendekati atau melewati Sakramen Mahakudus, kita diharapkan memberi penghormatan dengan cara berlutut; kecuali pada saat dalam perarakan.
Berlutut Diganti Menundukkan Kepala
Untuk kesempatan tertentu, berlutut (juga membungkuk) bisa diganti dengan menundukkan kepala. Misalnya, ketika para pelayan misa (putera altar, lektor, diakon) sedang membawa salib, lilin, dupa, atau Kitab Injil harus menghormati Sakramen Mahakudus atau altar. Menurut PUMR 275a �menundukkan kepala� dilakukan juga ketika mengucapkan nama Tritunggal Mahakudus, nama Yesus, nama Santa Perawan Maria, dan nama para orang kudus yang diperingati dalam Misa yang bersangkutan. Mengapa perlu diganti? Alasannya praktis saja dan mungkin juga estetis serta teologis. Pembawa benda-benda itu biasanya akan kerepotan jika harus berlutut sementara masih membawa sesuatu. Lagi pula, bisa tampak tidak indah dan kurang menarik jika salib yang mestinya tetap tegak ternyata jadi miring lantaran pemegangnya sedang berlutut atau membungkuk. Atau, lelehan lilinnya jatuh ke lantai atau ke tangan putera altar yang memegangnya karena dia harus berlutut. Khusus untuk benda-benda simbolis yang berkaitan dengan diri Kristus seperti Kitab Injil dan Salib, kita diminta tetap menunjukkan nilai kehormatannya. Maka, benda-benda simbol Kristus itu harus tetap tampak anggun, tidak tampil naik-turun, miring ke kiri-ke kanan, karena si pemegang harus berlutut dan berdiri segala.
Tanda Penghormatan Lain: Membungkuk
Masih ada satu lagi sikap tubuh lambang penghormatan kita. PUMR 275b menjelaskan: �Membungkukkan badan atau membungkuk khidmad dilakukan waktu [1] menghormati altar; [2] sebelum memaklumkan Injil, waktu mengucapkan doa Sucikanlah hati dan budiku, ya Allah yang mahakuasa....; [3] dalam syahadat, waktu mengucapkan kata-kata .. . Ia dikandung dari Roh Kudus... dan Ia menjadi manusia;[4] dalam persiapan persembahan, waktu mengucapkan doa Dengan rendah hati dan tulus; [5] dalam Kanon Romawi (DSA I) pada kata-kata Allah yang Mahakuasa, utuslah malaikat-Mu.... Membungkuk juga dilakukan oleh diakon waktu minta berkat kepada imam sebelum mewartakan Injil. Kecuali itu, imam juga membungkuk sedikit waktu mengucapkan kata-kata Tuhan pada saat konsekrasi: Terimalah....� Begitulah tata caranya.
Satu Lagi: Mencium
Masih ada satu lagi bentuk penghormatan. Ini sesuai dengan tradisi liturgi. Altar dan Kitab Injil dihormati oleh Imam dan Diakon dengan mencium atau mengecupnya. Akan tetapi, kalau mencium tidak sesuai dengan tradisi atau kekhasan daerah setempat, Konferensi Uskup berwenang menggantinya dengan cara penghormatan yang lain, dengan persetujuan Takhta Apostolik (PUMR 273). Misalnya, dengan cara menempelkan kepala atau kening pada benda-benda tersebut, atau meletakkan telapak tangan pada benda yang dihormati itu.
Beberapa Tata Gerak Imam Lainnya
Imam Selebran masih mempunyai beberapa tata gerak simbolis lainnya. Kita lihat secara singkat saja, dengan menyebut cara dan maknanya:
[1] merentangkan tangan, dilakukan ketika Imam membawakan doa-doa presidensiil. Tata gerak ini meniru Kristus yang terentang tangan-Nya di kayu salib, atau Musa yang sedang berdoa agar Allah melindungi bangsa Israel dari kejaran tentara Mesir;
[2] menumpangkan tangan di atas objek (bahan persembahan) atau subjek (orang, umat) sebagai lambang turunnya Roh Kudus (epiklesis), yang menghasilkan rahmat pengudusan (�...utuslah Roh Kudus-Mu...�);
[3] mengangkat bahan persembahan (roti / sibori dan anggur / piala) untuk dihunjukkan kepada Allah atau ditunjukkan kepada jemaat (dalam Doa Syukur Agung dan Ritus Komuni: �Inilah Tubuh-Ku / Darah-Ku�; �Inilah Anak Domba Allah�);
[4] membuka tangan dan mengatupkannya kembali sebagai tanda ajakan (�Marilah berdoa�) kepada jemaat. Tata gerak ini juga dilakukan oleh Diakon sebelum membawakan Injil (�Tuhan sertamu....�).
Jangan kaget kalau ternyata ada beberapa Imam yang tidak mempraktekkan ragam tata gerak di atas. Alasannya mungkin beraneka: karena tidak tahu, lupa, tidak mampu karena sakit, cuma malas, berpendirian lain, atau.... Sebaiknya tanyakan saja langsung kepada yang bersangkutan.
Perarakan Juga Bagian dari Tata Gerak
Sering kali terlupakan bahwa perarakan juga merupakan tata gerak. Dari istilah ini kita tentu langsung bisa membayangkan bahwa pelakunya lebih dari satu orang. Juga, ada beberapa perlengkapan pendukung perarakan. Maka, istilah tata gerak mencakup juga segala jenis perarakan, seperti:
[1] tindakan dan perarakan imam bersama diakon dan para pelayan menuju altar;
[2] perarakan diakon yang membawa Kitab Injil menuju mimbar sebelum pemakluman Injil;
[3] perarakan umat beriman yang mengantar bahan persembahan dan maju untuk menyambut komuni.
Perarakan menandakan suasana kemeriahan. Maka, hendaknya tata gerak ini dilaksanakan dengan anggun, sesuai dengan kaidah masing-masing, dan diiringi dengan nyanyian yang serasi (PUMR 44). Bahkan kalau dirasa perlu bisa juga dengan tarian atau ekspresi budaya lainnya.
Sumber: �Simbol-Simbol Sekitar Perayaan Ekaristi: Tata Gerak, Sikap Tubuh�; Pamflet Liturgi M3 Mengalami, Merawat, Menarikan Liturgi; diterbitkan oleh ILSKI (Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia); Jalan Nias 2, Bandung 40117; phone: 022 4207943 / 4217962 (ext 113)
dikutip dari http://www.indocell.net/yesaya/pustaka2/id311.htm