Tujuan Perkawinan: Persatuan Penuh Cinta (Kasih) dan Pembiakan (Hidup)
Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu"." TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki." Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging (Kejadian 1:27-28, 2:18-24).
Anak-anak adalah Berkat
Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang (Mazmur 127:3-5).
Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Tetapi Yesus berkata: "Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga." Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan kemudian Ia berangkat dari situ (Matius 19:13-15).
Maka bangkitlah amarah Yakub terhadap Rahel dan ia berkata: "Akukah pengganti Allah, yang telah menghalangi engkau mengandung?" (Kejadian 30:2). (Lihat juga: Kejadian 4:1,25,5:29,17:16,29:32-35,30:1,6, Amsal 17:6, Mazmur 128).
Kontrasepsi adalah Dosa Terhadap Perkawinan
Lalu Boas mengambil Rut dan perempuan itu menjadi isterinya dan dihampirinyalah dia. Maka atas karunia TUHAN perempuan itu mengandung, lalu melahirkan seorang anak laki-laki (Rut 4:13).
Lalu berkatalah Yehuda kepada Onan: �Hampirilah isteri kakakmu itu, kawinlah dengan dia sebagai ganti kakakmu dan bangkitkanlah keturunan bagi kakakmu.� Tetapi Onan tahu, bahwa bukan ia yang empunya keturunannya nanti, sebab itu setiap kali ia menghampiri isteri kakaknya itu, ia membiarkan maninya terbuang, supaya ia jangan memberi keturunan kepada kakaknya. Tetapi yang dilakukannya itu adalah jahat di mata TUHAN, maka TUHAN membunuh dia juga (Kejadian 38:8-10). Catatan: Tuhan membunuh Onan karena kontrasepsi, bukan karena ia menolak membangkitkan keturunan bagi saudaranya, sebab hukuman untuk ini amat jauh dari maut seperti kita lihat dalam Ulangan 25:5-10.
Perkawinan yang Tak Terceraikan
Dan inilah yang kedua yang kamu lakukan: Kamu menutupi mezbah TUHAN dengan air mata, dengan tangisan dan rintihan, oleh karena Ia tidak lagi berpaling kepada persembahan dan tidak berkenan menerimanya dari tanganmu. Dan kamu bertanya: �Oleh karena apa?� Oleh sebab TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu. Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap isteri dari masa mudanya. Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel - juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat! (Maleakhi 2:13-16).
Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: �Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?� Tetapi jawab-Nya kepada mereka: �Apa perintah Musa kepada kamu?� Jawab mereka: �Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.� Lalu kata Yesus kepada mereka: �Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.� Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. Lalu kata-Nya kepada mereka: �Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah� (Markus 10:2-12).
Kepada orang-orang yang telah kawin aku - tidak, bukan aku, tetapi Tuhan - perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya (1 Korintus 7:10-11, lihat juga Korintus 7:39, Rom.7:1-3).
Kewajiban Perkawinan
Tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri. Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya. Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya. Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak (1 Korintus 7:2-5).
Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela. Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya. Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat. Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya (Efesus 5:22-33, lihat juga 1 Korintus 7:27-38, Kolose 3:18).
Isteri yang Baik adalah Karunia
Rumah dan harta adalah warisan nenek moyang, tetapi isteri yang berakal budi adalah karunia TUHAN (Amsal 19:14, 18:22).
Isteri yang cakap siapakah akan mendapatkannya? Ia lebih berharga dari pada permata. Hati suaminya percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan keuntungan. Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya� Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan TUHAN dipuji-puji (Amsal 31).
Suami Diberkati Melalui Isterinya
Diberkatilah kiranya sendangmu, bersukacitalah dengan isteri masa mudamu: rusa yang manis, kijang yang jelita; biarlah buah dadanya selalu memuaskan engkau, dan engkau senantiasa berahi karena cintanya (Amsal 5:15-19).
Nikmatilah hidup dengan isteri yang kau kasihi seumur hidupmu yang sia-sia, yang dikaruniakan TUHAN kepadamu di bawah matahari, karena itulah bahagianmu dalam hidup dan dalam usaha yang engkau lakukan dengan jerih payah di bawah matahari (Pengkhotbah 9:9, Ulangan 24:5, 1 Petrus 3:7).
Yang Beriman Menguduskan Pasangannya yang Tak Beriman
Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya (1 Korintus 7:14-16).
Percabulan (Seks Pra-nikah) adalah Dosa Terhadap Kemurnian dan Perkawinan
Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah (Ibrani 13:4, lihat juga Efesus 5:5, Galatia 5:16-24, Wahyu 22:14-15, 1 Korintus 6:15-20).
oleh: P. H.T. Burke
sumber : �A Scriptual Guide to Marriage� Written by Rev. H.T. Burke; Father Peffley's Web Site; www.transporter.com/fatherpeffley
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: �diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Francis J. Peffley.�
Showing posts with label Sakramen Perkawinan. Show all posts
Showing posts with label Sakramen Perkawinan. Show all posts
Friday, September 13, 2013
Wednesday, August 21, 2013
Memahami Sakramen Perkawinan secara �baru�
Saudara-Saudari terkasih,
Usaha memahami Sakramen Perkawinan secara �baru� ini saya gulirkan dalam beberapa tulisan. Mengapa �secara baru�, karena gagasan ini saya tuangkan dalam rangka memperdalam gagasan retret para imam Keuskupan Purwokerto (10-14 Nov 2008) di Purwokerto bersama Fr Fio Mascarenhas dari India, yang menekan pentingnya relasi umat beriman dengan Tritunggal Mahakudus. Saya menempatkan status diri dalam tulisan ini sebagai seorang imam dan sebagai seorang anak dalam keluargaku. Karena itu tulisan saya ini barangkali banyak bernuansa teologis daripada praksis. Justru karena kurang praksis, terbukalah kesempatan untuk Anda semua, untuk mengkritik tulisan ini atau memberi komentar apapun, juga yang �nakal� sekalipun dipersilakan.
Tulisan ini dibagi menjadi 2 bagian: (A) Suami isteri sebagai mitra kerja Allah dan (B) Peran suami isteri sebagai imam, nabi dan raja.
A. Suami isteri sebagai �mitra rekan kerja Allah�
Dalam Perayaan Sakramen Pernikahan, kita sering mendengarkan Sabda Tuhan yang diwartakan seperti ini, �Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan,sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mrk 10:6-9)
Sabda Tuhan yang menegaskan kebersatuan suami isteri itu dan sifat monogaminya, juga ditegaskan dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, kan. 1056:
�Ciri-ciri hakiki perkawinan ialah unitas (kesatuan=monogami) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.�
Sifat monogami dan sifat tak dapat diputuskan itu tentulah dimengerti oleh para calon suami isteri sebelum mereka mengucapkan kesepakatan janji nikah. Janji nikah yang diucapkan pria dan wanita yanga dibaptis, dan diucapkan di hadapan Allah dan Gereja, mereka berdua telah �saling menerimakan sakramen perkawinan�. Kesepakatan nikah pria dan wanita yang dibuat dengan tahu, sadar dan bebas dari segala paksaan apapun, adalah keputusan untuk �menjadi mitra Allah� dalam karya keselamatan-Nya.
Suami isteri menjadi �mitra Allah� dengan �hidup dalam persekutuan sebagai �Gereja keluarga�. �Apakah artinya �persekutuan� bagi suami isteri? Artinya, saat mengucapkan janji nikah di hadapan Allah dan Gereja, suami isteri saling �menukar� hidup dan pribadinya. Suami menyatakan �engkau isteriku, seluruh dirimu kugantikan dengan diriku. Demikian juga isteri bersedia �engkau suamiku, seluruh dirimu kugantikan dengan diriku�. Maka dengan pertukaran itu, suami dapat memandang dan memperlakukan isterinya, sebagai �dirinya sendiri� , sebaliknya begitu. Dengan kata lain, suami isteri saling mengarahkan jerih payahnya untuk hidup pasangannya, bukan hidup dirinya sendiri. Itulah �mengasihi sesama seperti dirinya sendiri� dalam keluarga. Kasih antar sesama itu dapat menjadi �tanda kasih yang hidup dari kesetiaan kasih Allah kepada manusia.
Allah Bapa tidak menyesal menciptakan manusia, meskipun Adam dan Hawa, akhirnya jatuh dalam dosa asal. Keturunan merekapun satu per satu, bergantian, turun temurun, dari generasi satu ke generasi yang lain, mewarisi dosa asal. Maka setelah melalui sejarah yang berliku-liku, Allah mengutus Putera-Nya yang tunggal, Yesus untuk hidup dan tinggal bersama manusia.
Kristus itulah yang melaksanakan tugas untuk menebus dosa manusia, dengan hidup dan wafat-Nya di kayu salib. Tugas itu dilaksanakan dengan sempurna oleh Kristus sehingga Allah tidak segan untuk meninggikan �Dia di atas segala nama�, dengan membangkitkan-Nya pada hari ketiga. Kebangkitan itu menganugerahkan kebebasan sebagai anak-anak Allah. Akan tetapi kebebasan itu tidak serta merta ditanggapi manusia untuk hidup di dalam Roh, mengasihi Allah dan sesama, malahan kerap kali kebebasan itu disalahgunakan untuk �bekerjasama dengan kuasa kegelapan dosa�, yakni hidup menurut daging. Karena itulah, Yesus mengutus Roh-Nya sendiri setelah 50 hari kebangkitan-Nya agar manusia mampu memenangkan pertempuran antara kehendak untuk hidup dalam Roh dan kecenderungan hidup dalam kegelapan dosa
Dengan lain kata, keputusan pria dan wanita untuk hidup menikah, adalah buah Roh Kudus, yakni menggunakan kebebasannya sebagai anak Allah untuk mewujudkan panggilan dasarnya sebagai citra dan anak-Nya untuk mencintai seperti Allah mencintai manusia. Panggilan dasar itu diwujudkan dalam hidup pernikahan. Maka sakramen pernikahan memperbaharui buah buah sakramen pembaptisan. Buah sakramen pembaptisan, tidak hanya mendapat anugerah kebebasan sebagai anak Allah, melainkan juga memberi daya kekuatan untuk menggulirkan kebebasan itu dalam tiga perannya: sebagai imam, nabi dan raja.
B. Tiga peran Suami Isteri dalam kemitraan dengan Allah
Suami isteri kristiani sebagai orang yang dibaptis telah dipercaya menjadi anak-Nya sekaligus ahli waris. Karena itu mereka dipanggil untuk menjadi imam, nabi dan raja
Sebagai imam, suami isteri dipanggil untuk membangun relasi yang intim dengan Allah. Relasi itu dibangun dengan �merayakan iman� dan �mewujudkan iman dalam tindakan kasih.� Tugas merayakan iman adalah kesediaan untuk berdoa: berbicara dengan Tuhan dalam berbagai macam kesempatan. Termasuk juga, yang harus dibuat, belajar minta Roh Kudus kepada Allah Bapa karena Roh Kudus tidak otomatis dianugerahkan kepada kita, melainkan Ia akan hadir dan terlibat dalam hidup kita.
�Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya (Luk 11, 13)�
Roh Kudus sudah hadir di tengah tengah kita, namun bagaimana kita mampu mengalami karya Roh itu kalau tidak membuka diri. Ibarat bagaikan orang yang mencari sinar matahari di pagi hari sampai siang, padahal dia terus menerus tinggal di gua dan tidak pernah mau keluar dari gua itu. Maka, penting dan mendesak, jangan ragu-ragu untuk meminta Roh Kudus kepada Bapa agar terlibat membantu memberikan pencerahan di saat banyak kesulitan.
Sikap hidup �yang melibatkan Roh� itu pasti akhirnya menantang suami isteri untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap fasilitas yang nampaknya dapat diandalkan. Dengan lain kata, melibatkan Roh dalam hidup bersama, berarti jerih payah apapun suami isteri dapat menjadi korban persembahan bagi Tuhan kalau dilaksanakan �demi kepentingan terwujudnya buah-buah Roh, � kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.� (Gal 5:22-23)
Sebaliknya jerih payah suami isteri, bahkan yang kelihatan luhur sekalipun tidak akan menjadi �kurban persembahan bagi Allah� kalau dilaksanakan demi �kepentingan sendiri� atau demi kepentingan �daging�. Karena hidup dalam daging, �percabulan, kecemaran, hawa nafsu,� penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya (Gal 5: 21)
Dengan kata lain peran sebagai imam menuntut peran sebagai �raja�, yang memiliki sikap �proaktif untuk melayani sesamanya�. Mereka tidak akan berbangga kalau menjadi pribadi yang suka disapa, atau jadi pribadi yang ditakuti pasangan hidup atau anaknya sendiri. Allah sendiri menganugerahkan Roh sebagai anak Allah bukan roh perbudakan yang membuat kita takut.�Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah.Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: �ya Abba, ya Bapa!� (Rm 8:14-15) Dengan keyakinan Santo Paulus ini, suami isteri dipanggil untuk menampilkan hidup sebagai anak Allah. Hidup sebagai anak Allah selalu terarah pada kepentingan Bapa, dan bukan kepentingan harga diri sendiri. Maka, suami isteri mesti belajar untuk dinilai dan dikritik oleh pasangannya. Kalau keliru, belajar cepat meminta maaf, tidak malahan membela diri dan berargumentasi bahwa dirinya benar. Kalaupun benar pendapatnya, lebih baik mengatakan, �Terima kasih atas kritikanmu! Iya, bisa jadi saya keliru, meski sekarang saya yakin pendapatku ini benar!� Keterbukaan seperti itulah, yang meningkatkan kualitas pribadi yang siap untuk diubah oleh Roh Kudus.
Dengan semangat itu, suami isteri dapat mewujudkan sakramen perkawinan: sebagai tanda kehadiran cinta Tuhan yang nyata, yakni,
(i) menjadi tanda cinta Allah Bapa Sang Pencipta dan pemelihara hidup melalui prokreasi, merawat dan mendidik anak sampai mandiri,
(ii) menjadi tanda kasih Yesus yang menebus dosa manusia dengan mengampuni satu sama lain, tidak menghakimi, namun belajar untuk mengubah kelemahan pasangan menjadi kesempatan untuk berefleksi dan
(iii) belajar untuk menjadi tanda kehadiran Roh Kudus yang menyertai kita sepanjang hidup, dengan belajar mendengarkan dan berkanjang bersama: tidak saling melempar kesalahan, tidak saling melempar tanggung jawab, melainkan belajar setia, yakni sehati seperasaan dalam suka dan duka.
Ketiga tindakan itu berwarna Trinitaris, maka ketiga tindakan itu tidak terpisahkan. Tidak cukup pasutri hanya prokreasi dan mendidik anak tanpa pengampunan dan solider antara suami isteri dan antar orang tua dan anak. Dengan cara hidup macam seperti suami isteri menjadi �tanda cinta yang hidup dari kesetiaan Allah kepada manusia�.
Akan tetapi bagaimana penghayatan itu sampai pada kenyataan kalau suami isteri kurang membuka diri kepada sabda Allah. Karena itu peran sebagai imam dan raja, mesti didukung dengan peran sebagai nabi, yang bersedia mendengarkan sabda Allah dan melaksanakan dalam hidup setiap hari. Sabda Tuhan itu adalah roh dan kehidupan. Maka suami isteri ditantang untuk hidup dari Sabda agar mereka memiliki �roh dan kehidupan� karena �Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.�(Yoh 6:63). itulah sebabnya Petrus pun setia mengikuti kemana Yesus pergi karena �Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal� (Yoh 6:68). Kata-kata Yesus itu sendiri meneguhkan kita semua, agar tidak lagi ragu-ragu untuk setia mendengarkan Sabda Tuhan agar kita mengenal siapa Kristus, dan terlebih agar kita memiliki roh dan hidup!! Maka suami isteri ditantang untuk sungguh berperan sebagai �nabi�: menjadi tanda kehadiran Allah yang bersabda bagi pasangannya, anak-anaknya dan saudara-saudarinya.
Dengan penghayatan begitulah, pasutri membawa hidupnya dalam persembaan di altar dalam ekaristi. Hidupnya dengan segala kerapuhan dan kelemahan dipersembahkan bersama kurban Kristus, agar saat komuni terjadilah �pertukaran ilahi�: Kristus hadir dalam diri suami isteri untuk menerima hati mereka dengan segala keletihan dan rasa lesu serta beban berat, dan menggantikannya dengan Tubuh dan Darah-Nya, agar setelah ekaristi, hidup mereka dalam keluarga sungguh menampilkan hidup Kristus yang setia pada Gereja-Nya. Karena itu Kristus yang setia pada Gereja-Nya membutuhkan suami isteri untuk bekerjasama, agar kesetiaan Kristus tampak bagi dunia. Di situlah tugas suami isteri, �menampakkan� kesetiaan kasih Kristus bagi dunia.
Dengan �menampakkan kesetiaan� itu dalam hidup bersama yang diwarnai kasih, suami isteri menjadi tanda �pertukaran ilahi� antara Kristus dengan manusia. Itulah �pertukaran� yang menjadi ciri khas �persekutuan suami isteri monogami dan tidak terceraikan�. Semoga makin banyak pasutri kristiani yang menjadi tanda kasih Allah yang hidup bagi dunia.
salam hangat untuk pasutri dan keluarga kristiani di manapun berada.
Blasius Slamet Lasmunadi Pr
Sumber :
http://mbahjustinus.wordpress.com/2009/09/22/memahami-sakramen-perkawinan-secara-baru/
Usaha memahami Sakramen Perkawinan secara �baru� ini saya gulirkan dalam beberapa tulisan. Mengapa �secara baru�, karena gagasan ini saya tuangkan dalam rangka memperdalam gagasan retret para imam Keuskupan Purwokerto (10-14 Nov 2008) di Purwokerto bersama Fr Fio Mascarenhas dari India, yang menekan pentingnya relasi umat beriman dengan Tritunggal Mahakudus. Saya menempatkan status diri dalam tulisan ini sebagai seorang imam dan sebagai seorang anak dalam keluargaku. Karena itu tulisan saya ini barangkali banyak bernuansa teologis daripada praksis. Justru karena kurang praksis, terbukalah kesempatan untuk Anda semua, untuk mengkritik tulisan ini atau memberi komentar apapun, juga yang �nakal� sekalipun dipersilakan.
Tulisan ini dibagi menjadi 2 bagian: (A) Suami isteri sebagai mitra kerja Allah dan (B) Peran suami isteri sebagai imam, nabi dan raja.
A. Suami isteri sebagai �mitra rekan kerja Allah�
Dalam Perayaan Sakramen Pernikahan, kita sering mendengarkan Sabda Tuhan yang diwartakan seperti ini, �Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan,sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mrk 10:6-9)
Sabda Tuhan yang menegaskan kebersatuan suami isteri itu dan sifat monogaminya, juga ditegaskan dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, kan. 1056:
�Ciri-ciri hakiki perkawinan ialah unitas (kesatuan=monogami) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.�
Sifat monogami dan sifat tak dapat diputuskan itu tentulah dimengerti oleh para calon suami isteri sebelum mereka mengucapkan kesepakatan janji nikah. Janji nikah yang diucapkan pria dan wanita yanga dibaptis, dan diucapkan di hadapan Allah dan Gereja, mereka berdua telah �saling menerimakan sakramen perkawinan�. Kesepakatan nikah pria dan wanita yang dibuat dengan tahu, sadar dan bebas dari segala paksaan apapun, adalah keputusan untuk �menjadi mitra Allah� dalam karya keselamatan-Nya.
Suami isteri menjadi �mitra Allah� dengan �hidup dalam persekutuan sebagai �Gereja keluarga�. �Apakah artinya �persekutuan� bagi suami isteri? Artinya, saat mengucapkan janji nikah di hadapan Allah dan Gereja, suami isteri saling �menukar� hidup dan pribadinya. Suami menyatakan �engkau isteriku, seluruh dirimu kugantikan dengan diriku. Demikian juga isteri bersedia �engkau suamiku, seluruh dirimu kugantikan dengan diriku�. Maka dengan pertukaran itu, suami dapat memandang dan memperlakukan isterinya, sebagai �dirinya sendiri� , sebaliknya begitu. Dengan kata lain, suami isteri saling mengarahkan jerih payahnya untuk hidup pasangannya, bukan hidup dirinya sendiri. Itulah �mengasihi sesama seperti dirinya sendiri� dalam keluarga. Kasih antar sesama itu dapat menjadi �tanda kasih yang hidup dari kesetiaan kasih Allah kepada manusia.
Allah Bapa tidak menyesal menciptakan manusia, meskipun Adam dan Hawa, akhirnya jatuh dalam dosa asal. Keturunan merekapun satu per satu, bergantian, turun temurun, dari generasi satu ke generasi yang lain, mewarisi dosa asal. Maka setelah melalui sejarah yang berliku-liku, Allah mengutus Putera-Nya yang tunggal, Yesus untuk hidup dan tinggal bersama manusia.
Kristus itulah yang melaksanakan tugas untuk menebus dosa manusia, dengan hidup dan wafat-Nya di kayu salib. Tugas itu dilaksanakan dengan sempurna oleh Kristus sehingga Allah tidak segan untuk meninggikan �Dia di atas segala nama�, dengan membangkitkan-Nya pada hari ketiga. Kebangkitan itu menganugerahkan kebebasan sebagai anak-anak Allah. Akan tetapi kebebasan itu tidak serta merta ditanggapi manusia untuk hidup di dalam Roh, mengasihi Allah dan sesama, malahan kerap kali kebebasan itu disalahgunakan untuk �bekerjasama dengan kuasa kegelapan dosa�, yakni hidup menurut daging. Karena itulah, Yesus mengutus Roh-Nya sendiri setelah 50 hari kebangkitan-Nya agar manusia mampu memenangkan pertempuran antara kehendak untuk hidup dalam Roh dan kecenderungan hidup dalam kegelapan dosa
Dengan lain kata, keputusan pria dan wanita untuk hidup menikah, adalah buah Roh Kudus, yakni menggunakan kebebasannya sebagai anak Allah untuk mewujudkan panggilan dasarnya sebagai citra dan anak-Nya untuk mencintai seperti Allah mencintai manusia. Panggilan dasar itu diwujudkan dalam hidup pernikahan. Maka sakramen pernikahan memperbaharui buah buah sakramen pembaptisan. Buah sakramen pembaptisan, tidak hanya mendapat anugerah kebebasan sebagai anak Allah, melainkan juga memberi daya kekuatan untuk menggulirkan kebebasan itu dalam tiga perannya: sebagai imam, nabi dan raja.
B. Tiga peran Suami Isteri dalam kemitraan dengan Allah
Suami isteri kristiani sebagai orang yang dibaptis telah dipercaya menjadi anak-Nya sekaligus ahli waris. Karena itu mereka dipanggil untuk menjadi imam, nabi dan raja
Sebagai imam, suami isteri dipanggil untuk membangun relasi yang intim dengan Allah. Relasi itu dibangun dengan �merayakan iman� dan �mewujudkan iman dalam tindakan kasih.� Tugas merayakan iman adalah kesediaan untuk berdoa: berbicara dengan Tuhan dalam berbagai macam kesempatan. Termasuk juga, yang harus dibuat, belajar minta Roh Kudus kepada Allah Bapa karena Roh Kudus tidak otomatis dianugerahkan kepada kita, melainkan Ia akan hadir dan terlibat dalam hidup kita.
�Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya (Luk 11, 13)�
Roh Kudus sudah hadir di tengah tengah kita, namun bagaimana kita mampu mengalami karya Roh itu kalau tidak membuka diri. Ibarat bagaikan orang yang mencari sinar matahari di pagi hari sampai siang, padahal dia terus menerus tinggal di gua dan tidak pernah mau keluar dari gua itu. Maka, penting dan mendesak, jangan ragu-ragu untuk meminta Roh Kudus kepada Bapa agar terlibat membantu memberikan pencerahan di saat banyak kesulitan.
Sikap hidup �yang melibatkan Roh� itu pasti akhirnya menantang suami isteri untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap fasilitas yang nampaknya dapat diandalkan. Dengan lain kata, melibatkan Roh dalam hidup bersama, berarti jerih payah apapun suami isteri dapat menjadi korban persembahan bagi Tuhan kalau dilaksanakan �demi kepentingan terwujudnya buah-buah Roh, � kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.� (Gal 5:22-23)
Sebaliknya jerih payah suami isteri, bahkan yang kelihatan luhur sekalipun tidak akan menjadi �kurban persembahan bagi Allah� kalau dilaksanakan demi �kepentingan sendiri� atau demi kepentingan �daging�. Karena hidup dalam daging, �percabulan, kecemaran, hawa nafsu,� penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya (Gal 5: 21)
Dengan kata lain peran sebagai imam menuntut peran sebagai �raja�, yang memiliki sikap �proaktif untuk melayani sesamanya�. Mereka tidak akan berbangga kalau menjadi pribadi yang suka disapa, atau jadi pribadi yang ditakuti pasangan hidup atau anaknya sendiri. Allah sendiri menganugerahkan Roh sebagai anak Allah bukan roh perbudakan yang membuat kita takut.�Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah.Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: �ya Abba, ya Bapa!� (Rm 8:14-15) Dengan keyakinan Santo Paulus ini, suami isteri dipanggil untuk menampilkan hidup sebagai anak Allah. Hidup sebagai anak Allah selalu terarah pada kepentingan Bapa, dan bukan kepentingan harga diri sendiri. Maka, suami isteri mesti belajar untuk dinilai dan dikritik oleh pasangannya. Kalau keliru, belajar cepat meminta maaf, tidak malahan membela diri dan berargumentasi bahwa dirinya benar. Kalaupun benar pendapatnya, lebih baik mengatakan, �Terima kasih atas kritikanmu! Iya, bisa jadi saya keliru, meski sekarang saya yakin pendapatku ini benar!� Keterbukaan seperti itulah, yang meningkatkan kualitas pribadi yang siap untuk diubah oleh Roh Kudus.
Dengan semangat itu, suami isteri dapat mewujudkan sakramen perkawinan: sebagai tanda kehadiran cinta Tuhan yang nyata, yakni,
(i) menjadi tanda cinta Allah Bapa Sang Pencipta dan pemelihara hidup melalui prokreasi, merawat dan mendidik anak sampai mandiri,
(ii) menjadi tanda kasih Yesus yang menebus dosa manusia dengan mengampuni satu sama lain, tidak menghakimi, namun belajar untuk mengubah kelemahan pasangan menjadi kesempatan untuk berefleksi dan
(iii) belajar untuk menjadi tanda kehadiran Roh Kudus yang menyertai kita sepanjang hidup, dengan belajar mendengarkan dan berkanjang bersama: tidak saling melempar kesalahan, tidak saling melempar tanggung jawab, melainkan belajar setia, yakni sehati seperasaan dalam suka dan duka.
Ketiga tindakan itu berwarna Trinitaris, maka ketiga tindakan itu tidak terpisahkan. Tidak cukup pasutri hanya prokreasi dan mendidik anak tanpa pengampunan dan solider antara suami isteri dan antar orang tua dan anak. Dengan cara hidup macam seperti suami isteri menjadi �tanda cinta yang hidup dari kesetiaan Allah kepada manusia�.
Akan tetapi bagaimana penghayatan itu sampai pada kenyataan kalau suami isteri kurang membuka diri kepada sabda Allah. Karena itu peran sebagai imam dan raja, mesti didukung dengan peran sebagai nabi, yang bersedia mendengarkan sabda Allah dan melaksanakan dalam hidup setiap hari. Sabda Tuhan itu adalah roh dan kehidupan. Maka suami isteri ditantang untuk hidup dari Sabda agar mereka memiliki �roh dan kehidupan� karena �Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.�(Yoh 6:63). itulah sebabnya Petrus pun setia mengikuti kemana Yesus pergi karena �Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal� (Yoh 6:68). Kata-kata Yesus itu sendiri meneguhkan kita semua, agar tidak lagi ragu-ragu untuk setia mendengarkan Sabda Tuhan agar kita mengenal siapa Kristus, dan terlebih agar kita memiliki roh dan hidup!! Maka suami isteri ditantang untuk sungguh berperan sebagai �nabi�: menjadi tanda kehadiran Allah yang bersabda bagi pasangannya, anak-anaknya dan saudara-saudarinya.
Dengan penghayatan begitulah, pasutri membawa hidupnya dalam persembaan di altar dalam ekaristi. Hidupnya dengan segala kerapuhan dan kelemahan dipersembahkan bersama kurban Kristus, agar saat komuni terjadilah �pertukaran ilahi�: Kristus hadir dalam diri suami isteri untuk menerima hati mereka dengan segala keletihan dan rasa lesu serta beban berat, dan menggantikannya dengan Tubuh dan Darah-Nya, agar setelah ekaristi, hidup mereka dalam keluarga sungguh menampilkan hidup Kristus yang setia pada Gereja-Nya. Karena itu Kristus yang setia pada Gereja-Nya membutuhkan suami isteri untuk bekerjasama, agar kesetiaan Kristus tampak bagi dunia. Di situlah tugas suami isteri, �menampakkan� kesetiaan kasih Kristus bagi dunia.
Dengan �menampakkan kesetiaan� itu dalam hidup bersama yang diwarnai kasih, suami isteri menjadi tanda �pertukaran ilahi� antara Kristus dengan manusia. Itulah �pertukaran� yang menjadi ciri khas �persekutuan suami isteri monogami dan tidak terceraikan�. Semoga makin banyak pasutri kristiani yang menjadi tanda kasih Allah yang hidup bagi dunia.
salam hangat untuk pasutri dan keluarga kristiani di manapun berada.
Blasius Slamet Lasmunadi Pr
Sumber :
http://mbahjustinus.wordpress.com/2009/09/22/memahami-sakramen-perkawinan-secara-baru/
Monday, August 19, 2013
Indah dan Dalamnya Makna Sakramen Perkawinan Katolik
Pendahuluan
Teman kuliah sekelas saya ada yang lulusan sekolah pendeta, sebelum menjadi seorang Katolik. Ketika saya bertanya apa yang membuatnya menjadi Katolik, dia menjawab, ��. many things, but I should say, first and foremost, is the Church teaching regarding Marriage� (Banyak hal, namun yang terutama, adalah ajaran Gereja tentang Perkawinan). Ia adalah satu dari banyak orang -termasuk di antaranya adalah Kimberly dan Scott Hahn- yang melihat kebenaran ajaran Gereja Katolik melalui pengajaran hal Perkawinan.
Ini adalah sesuatu yang layak kita renungkan, karena sebagai orang Katolik, kita mungkin pernah mendengar ada orang mempertanyakan, mengapa Gereja Katolik menentang perceraian, aborsi dan kontrasepsi, mengapa Gereja umumnya tidak dapat memberikan sakramen Perkawinan (lagi) kepada wanita dan pria yang sudah pernah menerima sakramen Perkawinan sebelumnya, atau singkatnya, mengapa disiplin mengenai perkawinan begitu �keras� di dalam Gereja Katolik. Agar kita dapat memahaminya, mari bersama kita melihat bagaimana Tuhan menghendaki Perkawinan sebagai persatuan antara suami dan istri, dan sebagai tanda perjanjian ilahi bahwa Ia menyertai umat-Nya.
Sakramen Perkawinan menurut Kitab Suci
Dari awal penciptaan dunia, Allah menciptakan manusia pertama, laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa), menurut citra Allah (Kej 1:26-27). Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam agar laki-laki itu mendapatkan teman �penolong� yang sepadan dengannya (Kej 2:20), sehingga mereka akhirnya dapat bersatu menjadi satu �daging� (Kej 2:24). Jadi persatuan laki-laki dan perempuan telah direncanakan oleh Allah sejak awal mula, sesuai dengan perintahnya kepada mereka, �Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu�.� (Kej 1:28).
Walaupun dalam Perjanjian Lama perkawinan monogami (satu suami dan satu istri) tidak selalu diterapkan karena kelemahan manusia, kita dapat melihat bahwa perkawinan monogami adalah yang dimaksudkan Allah bagi manusia sejak semula. Hal ini ditegaskan kembali oleh pengajaran Yesus, yaitu: �Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga menjadi satu daging (Mat 19:5), dan bahwa laki-laki dan perempuan yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (lih. Mat 19:5-6, Mrk 10:7-9). Yesus menegaskan surat cerai pada jaman Perjanjian Lama itu diizinkan oleh nabi Musa karena ketegaran hati umat Israel, namun tidak demikian yang menjadi rencana Allah pada awalnya (Mat 19:8).
Jadi, perkawinan antara pria dan wanita berkaitan dengan penciptaan manusia menurut citra Allah. Allah adalah Kasih (1 Yoh 4:8,16), dan karena kasih yang sempurna tidak pernah ditujukan pada diri sendiri melainkan pada pribadi yang lain, maka kita mengenal Allah yang tidak terisolasi sendiri, melainkan Allah Esa yang merupakan komunitas Tiga Pribadi, Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus (Trinitas). Kasih yang timbal balik, setia, dan total tanpa batas antara Allah Bapa dengan Yesus Sang Putera �menghasilkan� Roh Kudus. Walaupun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa hubungan antara Allah Bapa dan Putera itu seperti hubungan suami dengan istri. Kasih di dalam diri Trinitas merupakan misteri yang dalamnya tak terselami, namun misteri ini direncanakan Allah untuk digambarkan dalam hubungan suami dan istri, agar dunia dapat sedikit menyelami misteri kasih-Nya. Maksudnya adalah, manusia diciptakan sesuai gambaran Allah sendiri untuk dapat menggambarkan kasih Allah itu.
Kasih Allah, yang terlihat jelas dalam diri Trinitas, adalah kasih yang bebas (tak ada paksaan), setia, menyeluruh/ total, dan menghasilkan buah. Lihatlah Yesus, yang mengasihi Bapa dengan kasih tak terbatas, atas kehendak bebas-Nya menjelma menjadi manusia, wafat di salib untuk melaksanakan rencana Bapa menyelamatkan manusia. Allah Bapa mengasihi Yesus dengan menyertaiNya dan memuliakan-Nya; dan setelah Yesus naik ke surga, Allah Bapa dan Yesus mengutus Roh KudusNya. Kasih inilah yang direncanakan Allah untuk digambarkan oleh kasih manusia, secara khusus di dalam perkawinan antara laki-laki dan perempuan.
Perkawinan juga direncanakan Allah sebagai gambaran akan hubungan kasih-Nya dengan umat-Nya. Pada Perjanjian Lama, kita dapat membaca bagaimana Allah menjadikan Yerusalem (bangsa Israel) sebagai istri-Nya (Yeh 16:3-14; Yes 54:6-dst; 62:4-dst; Yer 2:2; Hos 2:19; Kid 1-dst) untuk menggambarkan kesetiaanNya kepada umat manusia.
Pada Perjanjian Baru, Yesus sendiri menyempurnakan nilai perkawinan ini dengan mengangkatnya menjadi gambaran akan hubungan kasih-Nya kepada Gereja-Nya (Ef 5:32). Ia sendiri mengasihi Gereja-Nya dengan menyerahkan nyawa-Nya baginya untuk menguduskannya (Ef 5:25). Maka para suami dipanggil untuk mengasihi, berkorban dan menguduskan istrinya, sesuai dengan teladan yang diberikan oleh Yesus kepada Gereja-Nya; dan para istri dipanggil untuk menaati suaminya yang disebut sebagai �kepala istri� (Ef 5:23), seperti Gereja sebagai anggota Tubuh Kristus dipanggil untuk taat kepada Kristus, Sang Kepala.
Kesatuan antara Kristus dan Gereja-Nya ini menjadi inti dari setiap sakramen karena sakramen pada dasarnya membawa manusia ke dalam persatuan yang mendalam dengan Allah. Puncak persatuan kita dengan Allah di dunia ini dicapai melalui Ekaristi, saat kita menyambut Kristus sendiri, bersatu denganNya menjadi �satu daging�. Pemahaman arti Perkawinan dan kesatuan antara Allah dan manusia ini menjadi sangat penting, karena dengan demikian kita dapat semakin menghayati iman kita.
Melihat keagungan makna perkawinan ini tidaklah berarti bahwa semua orang dipanggil untuk hidup menikah. Kehidupan selibat demi Kerajaan Allah bahkan merupakan kesempurnaan perwujudan gambaran kasih Allah yang bebas, setia, total dan menghasilkan banyak buah (lih Mat 19:12,29). Oleh kehendak bebasnya, mereka menunjukkan kesetiaan dan pengorbanan mereka yang total kepada Allah, sehingga dihasilkanlah banyak buah, yaitu semakin bertambahnya anak-anak angkat Allah yang tergabung di dalam Gereja melalui Pembaptisan, dan tumbuh berkembangnya mereka melalui sakramen-sakramen dan pengajaran Gereja.
Akhirnya, akhir jaman-pun digambarkan sebagai �perjamuan kawin Anak Domba� (Why 19:7-9). Artinya, tujuan akhir hidup manusia adalah persatuan dengan Tuhan. Misteri persatuan ini disingkapkan sedemikian oleh Sakramen Perkawinan, yang membawa dua akibat: pertama, agar kita semakin mengagumi kasih Allah dan memperoleh gambaran akan kasih Allah Tritunggal, dan kedua, agar kita mengambil bagian dalam perwujudan kasih Allah itu, seturut dengan panggilan hidup kita masing-masing.
Makna Sakramen Perkawinan
Melihat dasar Alkitabiah ini maka sakramen Perkawinan dapat diartikan sebagai persatuan antara pria dan wanita yang terikat hukum untuk hidup bersama seumur hidup.[1] Katekismus Gereja Katolik menegaskan persatuan seumur hidup antara pria dan wanita yang telah dibaptis ini, sifatnya terarah pada kesejahteraan suami-istri, pada kelahiran dan pendidikan anak.[2] Hal ini berkaitan dengan gambaran kasih Allah yang bebas (tanpa paksaan), setia, menyeluruh dan �berbuah�.
Hubungan kasih ini menjadikan pria dan wanita menjadi �karunia� satu bagi yang lainnya, yang secara mendalam diwujudkan di dalam hubungan suami-istri. Jadi, jika dalam Pembaptisan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan air, atau Penguatan dengan pengurapan minyak, namun di dalam Perkawinan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan pasangan itu sendiri. Inilah artinya sakramen perkawinan: suami adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi istrinya, dan istri adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi suaminya. Tuhan menghendaki perkawinan yang sedemikian sejak masa penciptaan, dengan memberikan rasa ketertarikan antara pria dan wanita, yang harus diwujudkan di dalam kesetiaan yang terpisahkan seumur hidup; untuk menggambarkan kesetiaan kasih Allah yang tak terpisahkan dengan manusia, seperti ditunjukkan dengan sempurna oleh Kristus dan Gereja-Nya sebagai mempelai-Nya. Karena itu harusnya setiap hari suami selalu merenungkan: �Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada istriku?� demikian juga, istri merenungkan, �Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada suamiku?�
Sakramen Perkawinan juga mengangkat hubungan kasih antara suami dengan istri, untuk mengambil bagian di dalam salah satu perbuatan Tuhan yang ajaib, yaitu penciptaan manusia. Dengan demikian, persatuan suami dengan istri menjadi tanda akan kehadiran Allah sendiri, jika di dalam persatuan itu mereka bekerjasama dengan Tuhan untuk mendatangkan kehidupan bagi manusia yang baru, yang tubuh dan jiwanya diciptakan atas kehendak Allah. Dalam hal ini penciptaan manusia berbeda dengan hewan dan tumbuhan, karena hanya manusia yang diciptakan Tuhan seturut kehendakNya dengan mengaruniakan jiwa yang kekal (�immortal�). Sedangkan hewan dan tumbuhan tidak mempunyai jiwa. Jadi peran serta manusia dalam penciptaan manusia baru adalah merupakan partisipasi yang sangat luhur, karena dapat mendatangkan jiwa manusia yang baru, yang diinginkan oleh Allah.
Kemudian, setelah kelahiran anak, sang suami dan istri menjalankan peran sebagai orang tua, untuk memelihara dan mendidik anak mereka. Dengan demikian mereka menjadi gambaran terbatas dari kasih Tuhan yang tak terbatas: dalam hal pemeliharaan/ pengasuhan (God�s maternity) dan pendidikan/ pengaturan (God�s paternity) terhadap manusia. Di sini kita lihat betapa Allah menciptakan manusia sungguh-sungguh sesuai dengan citra-Nya. Selain diciptakan sebagai mahluk spiritual yang berkehendak bebas, dan karena itu merupakan mahluk tertinggi dibandingkan dengan hewan dan tumbuhan, selanjutnya, manusia dikehendaki Allah untuk ikut ambil bagian di dalam pekerjaan tangan-Nya, yaitu: penciptaan, pemeliharaan dan pengaturan manusia yang lain.
Setiap kali kita merenungkan dalamnya arti Perkawinan sebagai gambaran kasih Allah sendiri, kita perlu bersyukur dan tertunduk kagum. Begitu dalamnya kasih Allah pada kita manusia, betapa tak terukurnya rencanaNya bagi kita. Melalui Perkawinan kita dibawa untuk memahami misteri kasih-Nya, dan mengambil bagian di dalam misteri itu. Di dalam Perkawinan kita belajar dari Kristus, untuk memberikan diri kita (self-giving) kepada orang lain, yaitu kepada pasangan kita dan anak-anak yang dipercayakan kepada kita. Dengan demikian, kita menemukan arti hidup kita, dan tak dapat dipungkiri, inilah yang disebut �kebahagiaan�.
Syarat Perkawinan Katolik yang sah
Sebelum mencapai kebahagiaan perkawinan, perlulah kita ketahui beberapa syarat untuk menjadikan Perkawinan sebagai perjanjian yang sah, baru kemudian kita melihat apa yang menjadi ciri-cirinya.
Syarat pertama Perkawinan Katolik yang sah adalah perjanjian Perkawinan yang diikat oleh seorang pria dan wanita yang telah dibaptis, dan kesepakatan ini dibuat dengan bebas dan sukarela, dalam arti tidak ada paksaan, dan tidak dihalangi oleh hukum kodrat atau Gereja.[3] Kesepakatan kedua mempelai ini merupakan syarat mutlak untuk perjanjian Perkawinan; sebab jika kesepakatan ini tidak ada, maka tidak ada perkawinan.[4] Kesepakatan di sini berarti tindakan manusiawi untuk saling menyerahkan diri dan menerima pasangan, dan kesepakatan ini harus bebas dari paksaan atau rasa takut yang hebat yang datang dari luar.[5] Jika kebebasan ini tidak ada, maka perkawinan dikatakan tidak sah.
Syarat kedua adalah kesepakatan ini diajukan dan diterima oleh imam atau diakon yang bertugas atas nama Gereja untuk memimpin upacara Perkawinan dan untuk memberi berkat Gereja. Oleh karena kesatuan mempelai dengan Gereja ini, maka sakramen Perkawinan diadakan di dalam liturgi resmi Gereja, dan setelah diresmikan pasangan tersebut masuk ke dalam status Gereja, yang terikat dengan hak dan kewajiban suami istri dan terhadap anak-anak di dalam Gereja. Juga dalam peresmian Perkawinan, kehadiran para saksi adalah mutlak perlu.[6]
Syarat ketiga adalah, mengingat pentingnya kesepakatan yang bebas dan bertanggung jawab, maka perjanjian Perawinan ini harus didahului oleh persiapan menjelang Perkawinan.[7] Persiapan ini mencakup pengajaran tentang martabat kasih suami-istri, tentang peran masing-masing dan pelaksanaannya.
Beberapa syarat penting di atas, terutama syarat pertama, mendasari pihak Gereja menentukan suatu sah atau tidaknya perkawinan. Lebih lanjut tentang sah atau tidaknya perkawinan, pembatalan perkawinan (�annulment�) dan mengenai perkawinan campur (antara pasangan yang berbeda agama) akan dibahas pada artikel yang terpisah.
Ciri-ciri Perkawinan Katolik
Sebagai penggambaran persatuan ilahi antara Kristus dengan Gereja-Nya, Perkawinan Katolik mempunyai tiga ciri yang khas, yaitu (1) ikatan yang terus berlangsung seumur hidup, (2) ikatan monogami, yaitu satu suami, dan satu istri, dan (3) ikatan yang tidak terceraikan.[8] Sifat terakhir inilah yang menjadi ciri utama perkawinan Katolik. Di dalam ikatan Perkawinan ini, suami dan istri yang telah dibaptis menyatakan kesepakatan mereka, untuk saling memberi dan saling menerima, dan Allah sendiri memeteraikan kesepakatan ini. Perjanjian suami istri ini digabungkan dengan perjanjian Allah dengan manusia, dan karena itu cinta kasih suami istri diangkat ke dalam cinta kasih Ilahi.[9] Atas dasar inilah, maka Perkawinan Katolik yang sudah diresmikan dan dilaksanakan tidak dapat diceraikan. Ikatan perkawinan yang diperoleh dari keputusan bebas suami istri, dan telah dilaksanakan, tidak dapat ditarik kembali. Gereja tidak berkuasa untuk mengubah penetapan kebijaksanaan Allah ini.[10]
Karena janji penyertaan Allah ini, dari ikatan perkawinan tercurahlah juga berkat-berkat Tuhan yang juga menjadi persyaratan perkawinan, yaitu berkat untuk menjadikan perkawinan tak terceraikan, berkat kesetiaan untuk saling memberikan diri seutuhnya, dan berkat keterbukaan terhadap kesuburan akan kelahiran keturunan.[11] Kristus-lah sumber rahmat dan berkat ini. Yesus sendiri, melalui sakramen Perkawinan, menyambut pasangan suami istri. Ia tinggal bersama-sama mereka untuk memberi kekuatan di saat-saat yang sulit, untuk memanggul salib, bangun setelah jatuh, saling mengasihi dan mengampuni.
Maka, apa yang dianggap mustahil oleh dunia, yaitu setia seumur hidup kepada seorang manusia, menjadi mungkin di dalam Perkawinan yang mengikutsertakan Allah sebagai pemersatu. Ini merupakan kesaksian Kabar Gembira yang terpenting akan kasih Allah yang tetap kepada manusia, dan bahwa para suami dan istri mengambil bagian di dalam kasih ini. Betapa kita sendiri menyaksikan bahwa mereka yang mengandalkan Tuhan dalam perjuangan untuk saling setia di tengah kesulitan dan cobaan, sungguh menerima penyertaan dan pertolonganNya pada waktunya. Hanya kita patut bertanya, sudahkah kita mengandalkan Dia?
Sakramen Perkawinan menurut para Bapa Gereja
Ajaran para Bapa Gereja mendasari pengajaran Gereja tentang Perkawinan. Sejak jaman Kristen awal, Perkawinan merupakan gambaran dari kasih Kristus kepada GerejaNya, sehingga ia bersifat seumur hidup, monogami, dan tak terceraikan.
1. St. Ignatius dari Antiokhia (35-110), dalam suratnya kepada St. Polycarpus, mengajarkan kesetiaan antara suami istri, dan bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti Tuhan Yesus mengasihi Gereja-Nya.[12] Perkawinan sebagai lambang persatuan antara Kristus dan Gereja ditekankan kembali oleh St. Leo Agung (440-461).
2. Tertullian (155-222) mengajarkan bahwa perkawinan yang diberkati Tuhan dapat menjadi perkawinan yang berhasil, meskipun menghadapi kesulitan dan tantangan, sebab perkawinan tersebut telah menerima dukungan rahmat ilahi.[13] �Bagaimana saya mau melukiskan kebahagiaan Perkawinan, yang dipersatukan oleh Gereja, dikukuhkan dengan persembahan, dimeteraikan dengan berkat, diwartakan oleh para malaikat dan disahkan oleh Bapa?�.� Pasangan itu mempunyai satu harapan, satu cara hidup, satu pengabdian. Mereka yang adalah anak-anak dari satu Bapa, dan satu Tuhan. Mereka tak terpisahkan dalam jiwa dan raga, sebab mereka menjadi satu daging dan satu roh.[14] Karena persatuan ini, maka seseorang tidak dapat menikah lagi selagi pasangan terdahulu masih hidup, sebab jika demikian ia berzinah.
3. St. Clemens dari Alexandria (150-216), mengajarkan maksud ajaran Yesus pada ayat Mat 5:32, 19:9, �Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah�� Zinah di sini artinya adalah perkawinan antara mereka yang sudah pernah menikah namun bercerai, padahal pasangannya yang terdahulu itu belum meninggal.[15] (Jadi, dalam hal ini, Yesus mengakui perkawinan yang pertama sebagai yang sah, dan perkawinan kedua itulah yang harusnya diceraikan agar pihak yang pernah menikah secara sah dapat kembali kepada pasangan terdahulu).
4. The Shepherd of Hermas (karya umat Kristen abad ke-2 yang dipandang sejajar dalam Tradisi Suci), mengajarkan jika seorang suami mendapati istrinya berzinah, dan istrinya itu tidak bertobat, maka sang suami dapat berpisah dengan istrinya, namun suami itu tidak boleh menikah lagi. Jika ia menikah lagi, maka ia sendiri berzinah.
5. Athenagoras (133-190) dan St. Theophilus dari Antiokia(169-183), keduanya mengajarkan monogami, bahwa seseorang harus menikah hanya sekali, karena ini yang dikehendaki Allah yang pada awalnya telah menciptakan seorang pria dan seorang wanita, dan yang menciptakan persatuan daging dengan daging untuk membentuk bangsa umat manusia.[16]
6. Origen (185-254) mengajarkan bahwa Tuhanlah yang mempersatukan sehingga suami dan istri bukan lagi dua melainkan �satu daging�. Pada mereka yang telah dipersatukan Allah terdapat �karunia�, sehingga Perkawinan menurut Sabda Tuhan adalah �karunia�, sama seperti kehidupan selibat adalah karunia.[17]
7. St. Yohanes Krisostomus (347-407), menjelaskan bahwa di dalam ayat, �Apa yang telah dipersatukan Tuhan, janganlah diceraikan manusia� (Mat 19:6), artinya adalah bahwa seorang suami haruslah tinggal dengan istrinya selamanya, dan jangan meninggalkan atau memutuskan dia.[18]
8. St. Agustinus (354-430), berkat Perkawinan adalah: keturunan, kesetiaan, ikatan sakramen. Ikatan sakramen ini sifatnya tetap selamanya, yang tidak dapat dihilangkan oleh perceraian atau zinah, maka harus dijaga oleh suami dan istri dengan sikap bahu-membahu dan dengan kemurnian.[19]
Kesimpulan
Sejak awal mula Allah menghendaki persatuan antara pria dan wanita, yang diwujudkan secara mendalam di dalam Perkawinan. Perkawinan ini dimaksudkan Allah untuk menggambarkan kasih-Nya, yaitu kasih dalam kehidupan-Nya sendiri sebagai Allah Tritunggal, dan kasih-Nya kepada manusia yang tak pernah berubah. Keluhuran Perkawinan juga dinyatakan oleh Kristus, yang mengangkat nilai Perkawinan dengan menjadikannya gambaran akan kasih-Nya kepada Gereja-Nya. Karena itu Perkawinan Katolik bersifat tetap seumur hidup, setia, monogami, dan terbuka terhadap kelahiran baru. Dengan memiliki ciri-ciri yang demikian, Perkawinan merupakan �sakramen�, yaitu tanda kehadiran Allah di dunia, sebab sesungguhnya Allah menggabungkan kasih suami istri dengan kasihNya sendiri kepada umat manusia. Jadi tepat jika dikatakan bahwa sakramen Perkawinan melibatkan tiga pihak, yaitu, suami, istri dan di atas segalanya, Kristus sendiri. �Marriage takes three to make a go� and when Christ is at the center, it will prevail until the end, and even now on earth, receive a foretaste of the wedding feast of the Lamb!�
[1] Lihat The Roman Catechism (Catechism of Trent), Part 2, The Sacrament, Matrimony, The Definition of Matrimony.
[2] Lihat Katekismus Gereja Katolik, 1601.
[3] Lihat KGK 1625. Hukum kodrat atau ketetapan Gereja yang dapat menghalangi perkawinan misalnya adalah perkawinan antar saudara kandung, perkawinan anak-anak dibawah umur, ataupun perkawinan yang melibatkan satu atau keduanya masih terikat perkawinan yang sah dengan pasangan terdahulu.
[4] Lihat KGK 1626
[5] Lihat KGK 1628
[6] Lihat KGK 1631
[7] Lihat KGK 1632
[8] Lihat Catechism of Trent, Ibid., Marriage is Indissoluble by Divine Law, Unity of Marriage and Three Blessings of Marriage. Lihat juga KGK 1638, 1605, 1614, 1615, 1640, 1641, 1643, 1644, 1659
[9] Lihat KGK 1639
[10] Lihat KGK 1640
[11] Lihat Ibid., Three Blessings of Marriage. Lihat juga KGK 1641, 1642, 1644, 1646, 1648.
[12] Lihat St. Ignatius of Antioch, Letter to St. Polycarp, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, The Teaching of the Church Fathers, (Ignatius Press, San Francisco, 2002, reprint 1966), p. 438
[13] Lihat Tertullian, To His Wife, Bk 2:7, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 438
[14] Lihat Tertullian, ux 2,9, seperti dikutip KGK 1642.
[15] Lihat St. Clement of Alexandria, Christ the Educator, Bk. 2, Chap.23, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, Ibid., p.442.
[16] Lihat Athenagoras, A Plea for Christian, Ch. 33, St Theohilus of Antioch, To Autolycus, Bk 3:15, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, Ibid., p.445.
[17] Lihat Origen, Commentary on Mathew, Bk 14, Chap 16, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 439.
[18] Lihat St. John Chrysostom, Homilies on St. Matthew, 62:1, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 439.
[19] Lihat St. Augustine, On Marriage and Concupiscence, Bk 1, Ch. II, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 438
Sumber :
http://katolisitas.org/257/indah-dan-dalamnya-makna-sakramen-perkawinan-katolik
Teman kuliah sekelas saya ada yang lulusan sekolah pendeta, sebelum menjadi seorang Katolik. Ketika saya bertanya apa yang membuatnya menjadi Katolik, dia menjawab, ��. many things, but I should say, first and foremost, is the Church teaching regarding Marriage� (Banyak hal, namun yang terutama, adalah ajaran Gereja tentang Perkawinan). Ia adalah satu dari banyak orang -termasuk di antaranya adalah Kimberly dan Scott Hahn- yang melihat kebenaran ajaran Gereja Katolik melalui pengajaran hal Perkawinan.
Ini adalah sesuatu yang layak kita renungkan, karena sebagai orang Katolik, kita mungkin pernah mendengar ada orang mempertanyakan, mengapa Gereja Katolik menentang perceraian, aborsi dan kontrasepsi, mengapa Gereja umumnya tidak dapat memberikan sakramen Perkawinan (lagi) kepada wanita dan pria yang sudah pernah menerima sakramen Perkawinan sebelumnya, atau singkatnya, mengapa disiplin mengenai perkawinan begitu �keras� di dalam Gereja Katolik. Agar kita dapat memahaminya, mari bersama kita melihat bagaimana Tuhan menghendaki Perkawinan sebagai persatuan antara suami dan istri, dan sebagai tanda perjanjian ilahi bahwa Ia menyertai umat-Nya.
Sakramen Perkawinan menurut Kitab Suci
Dari awal penciptaan dunia, Allah menciptakan manusia pertama, laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa), menurut citra Allah (Kej 1:26-27). Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam agar laki-laki itu mendapatkan teman �penolong� yang sepadan dengannya (Kej 2:20), sehingga mereka akhirnya dapat bersatu menjadi satu �daging� (Kej 2:24). Jadi persatuan laki-laki dan perempuan telah direncanakan oleh Allah sejak awal mula, sesuai dengan perintahnya kepada mereka, �Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu�.� (Kej 1:28).
Walaupun dalam Perjanjian Lama perkawinan monogami (satu suami dan satu istri) tidak selalu diterapkan karena kelemahan manusia, kita dapat melihat bahwa perkawinan monogami adalah yang dimaksudkan Allah bagi manusia sejak semula. Hal ini ditegaskan kembali oleh pengajaran Yesus, yaitu: �Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga menjadi satu daging (Mat 19:5), dan bahwa laki-laki dan perempuan yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (lih. Mat 19:5-6, Mrk 10:7-9). Yesus menegaskan surat cerai pada jaman Perjanjian Lama itu diizinkan oleh nabi Musa karena ketegaran hati umat Israel, namun tidak demikian yang menjadi rencana Allah pada awalnya (Mat 19:8).
Jadi, perkawinan antara pria dan wanita berkaitan dengan penciptaan manusia menurut citra Allah. Allah adalah Kasih (1 Yoh 4:8,16), dan karena kasih yang sempurna tidak pernah ditujukan pada diri sendiri melainkan pada pribadi yang lain, maka kita mengenal Allah yang tidak terisolasi sendiri, melainkan Allah Esa yang merupakan komunitas Tiga Pribadi, Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus (Trinitas). Kasih yang timbal balik, setia, dan total tanpa batas antara Allah Bapa dengan Yesus Sang Putera �menghasilkan� Roh Kudus. Walaupun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa hubungan antara Allah Bapa dan Putera itu seperti hubungan suami dengan istri. Kasih di dalam diri Trinitas merupakan misteri yang dalamnya tak terselami, namun misteri ini direncanakan Allah untuk digambarkan dalam hubungan suami dan istri, agar dunia dapat sedikit menyelami misteri kasih-Nya. Maksudnya adalah, manusia diciptakan sesuai gambaran Allah sendiri untuk dapat menggambarkan kasih Allah itu.
Kasih Allah, yang terlihat jelas dalam diri Trinitas, adalah kasih yang bebas (tak ada paksaan), setia, menyeluruh/ total, dan menghasilkan buah. Lihatlah Yesus, yang mengasihi Bapa dengan kasih tak terbatas, atas kehendak bebas-Nya menjelma menjadi manusia, wafat di salib untuk melaksanakan rencana Bapa menyelamatkan manusia. Allah Bapa mengasihi Yesus dengan menyertaiNya dan memuliakan-Nya; dan setelah Yesus naik ke surga, Allah Bapa dan Yesus mengutus Roh KudusNya. Kasih inilah yang direncanakan Allah untuk digambarkan oleh kasih manusia, secara khusus di dalam perkawinan antara laki-laki dan perempuan.
Perkawinan juga direncanakan Allah sebagai gambaran akan hubungan kasih-Nya dengan umat-Nya. Pada Perjanjian Lama, kita dapat membaca bagaimana Allah menjadikan Yerusalem (bangsa Israel) sebagai istri-Nya (Yeh 16:3-14; Yes 54:6-dst; 62:4-dst; Yer 2:2; Hos 2:19; Kid 1-dst) untuk menggambarkan kesetiaanNya kepada umat manusia.
Pada Perjanjian Baru, Yesus sendiri menyempurnakan nilai perkawinan ini dengan mengangkatnya menjadi gambaran akan hubungan kasih-Nya kepada Gereja-Nya (Ef 5:32). Ia sendiri mengasihi Gereja-Nya dengan menyerahkan nyawa-Nya baginya untuk menguduskannya (Ef 5:25). Maka para suami dipanggil untuk mengasihi, berkorban dan menguduskan istrinya, sesuai dengan teladan yang diberikan oleh Yesus kepada Gereja-Nya; dan para istri dipanggil untuk menaati suaminya yang disebut sebagai �kepala istri� (Ef 5:23), seperti Gereja sebagai anggota Tubuh Kristus dipanggil untuk taat kepada Kristus, Sang Kepala.
Kesatuan antara Kristus dan Gereja-Nya ini menjadi inti dari setiap sakramen karena sakramen pada dasarnya membawa manusia ke dalam persatuan yang mendalam dengan Allah. Puncak persatuan kita dengan Allah di dunia ini dicapai melalui Ekaristi, saat kita menyambut Kristus sendiri, bersatu denganNya menjadi �satu daging�. Pemahaman arti Perkawinan dan kesatuan antara Allah dan manusia ini menjadi sangat penting, karena dengan demikian kita dapat semakin menghayati iman kita.
Melihat keagungan makna perkawinan ini tidaklah berarti bahwa semua orang dipanggil untuk hidup menikah. Kehidupan selibat demi Kerajaan Allah bahkan merupakan kesempurnaan perwujudan gambaran kasih Allah yang bebas, setia, total dan menghasilkan banyak buah (lih Mat 19:12,29). Oleh kehendak bebasnya, mereka menunjukkan kesetiaan dan pengorbanan mereka yang total kepada Allah, sehingga dihasilkanlah banyak buah, yaitu semakin bertambahnya anak-anak angkat Allah yang tergabung di dalam Gereja melalui Pembaptisan, dan tumbuh berkembangnya mereka melalui sakramen-sakramen dan pengajaran Gereja.
Akhirnya, akhir jaman-pun digambarkan sebagai �perjamuan kawin Anak Domba� (Why 19:7-9). Artinya, tujuan akhir hidup manusia adalah persatuan dengan Tuhan. Misteri persatuan ini disingkapkan sedemikian oleh Sakramen Perkawinan, yang membawa dua akibat: pertama, agar kita semakin mengagumi kasih Allah dan memperoleh gambaran akan kasih Allah Tritunggal, dan kedua, agar kita mengambil bagian dalam perwujudan kasih Allah itu, seturut dengan panggilan hidup kita masing-masing.
Makna Sakramen Perkawinan
Melihat dasar Alkitabiah ini maka sakramen Perkawinan dapat diartikan sebagai persatuan antara pria dan wanita yang terikat hukum untuk hidup bersama seumur hidup.[1] Katekismus Gereja Katolik menegaskan persatuan seumur hidup antara pria dan wanita yang telah dibaptis ini, sifatnya terarah pada kesejahteraan suami-istri, pada kelahiran dan pendidikan anak.[2] Hal ini berkaitan dengan gambaran kasih Allah yang bebas (tanpa paksaan), setia, menyeluruh dan �berbuah�.
Hubungan kasih ini menjadikan pria dan wanita menjadi �karunia� satu bagi yang lainnya, yang secara mendalam diwujudkan di dalam hubungan suami-istri. Jadi, jika dalam Pembaptisan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan air, atau Penguatan dengan pengurapan minyak, namun di dalam Perkawinan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan pasangan itu sendiri. Inilah artinya sakramen perkawinan: suami adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi istrinya, dan istri adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi suaminya. Tuhan menghendaki perkawinan yang sedemikian sejak masa penciptaan, dengan memberikan rasa ketertarikan antara pria dan wanita, yang harus diwujudkan di dalam kesetiaan yang terpisahkan seumur hidup; untuk menggambarkan kesetiaan kasih Allah yang tak terpisahkan dengan manusia, seperti ditunjukkan dengan sempurna oleh Kristus dan Gereja-Nya sebagai mempelai-Nya. Karena itu harusnya setiap hari suami selalu merenungkan: �Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada istriku?� demikian juga, istri merenungkan, �Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada suamiku?�
Sakramen Perkawinan juga mengangkat hubungan kasih antara suami dengan istri, untuk mengambil bagian di dalam salah satu perbuatan Tuhan yang ajaib, yaitu penciptaan manusia. Dengan demikian, persatuan suami dengan istri menjadi tanda akan kehadiran Allah sendiri, jika di dalam persatuan itu mereka bekerjasama dengan Tuhan untuk mendatangkan kehidupan bagi manusia yang baru, yang tubuh dan jiwanya diciptakan atas kehendak Allah. Dalam hal ini penciptaan manusia berbeda dengan hewan dan tumbuhan, karena hanya manusia yang diciptakan Tuhan seturut kehendakNya dengan mengaruniakan jiwa yang kekal (�immortal�). Sedangkan hewan dan tumbuhan tidak mempunyai jiwa. Jadi peran serta manusia dalam penciptaan manusia baru adalah merupakan partisipasi yang sangat luhur, karena dapat mendatangkan jiwa manusia yang baru, yang diinginkan oleh Allah.
Kemudian, setelah kelahiran anak, sang suami dan istri menjalankan peran sebagai orang tua, untuk memelihara dan mendidik anak mereka. Dengan demikian mereka menjadi gambaran terbatas dari kasih Tuhan yang tak terbatas: dalam hal pemeliharaan/ pengasuhan (God�s maternity) dan pendidikan/ pengaturan (God�s paternity) terhadap manusia. Di sini kita lihat betapa Allah menciptakan manusia sungguh-sungguh sesuai dengan citra-Nya. Selain diciptakan sebagai mahluk spiritual yang berkehendak bebas, dan karena itu merupakan mahluk tertinggi dibandingkan dengan hewan dan tumbuhan, selanjutnya, manusia dikehendaki Allah untuk ikut ambil bagian di dalam pekerjaan tangan-Nya, yaitu: penciptaan, pemeliharaan dan pengaturan manusia yang lain.
Setiap kali kita merenungkan dalamnya arti Perkawinan sebagai gambaran kasih Allah sendiri, kita perlu bersyukur dan tertunduk kagum. Begitu dalamnya kasih Allah pada kita manusia, betapa tak terukurnya rencanaNya bagi kita. Melalui Perkawinan kita dibawa untuk memahami misteri kasih-Nya, dan mengambil bagian di dalam misteri itu. Di dalam Perkawinan kita belajar dari Kristus, untuk memberikan diri kita (self-giving) kepada orang lain, yaitu kepada pasangan kita dan anak-anak yang dipercayakan kepada kita. Dengan demikian, kita menemukan arti hidup kita, dan tak dapat dipungkiri, inilah yang disebut �kebahagiaan�.
Syarat Perkawinan Katolik yang sah
Sebelum mencapai kebahagiaan perkawinan, perlulah kita ketahui beberapa syarat untuk menjadikan Perkawinan sebagai perjanjian yang sah, baru kemudian kita melihat apa yang menjadi ciri-cirinya.
Syarat pertama Perkawinan Katolik yang sah adalah perjanjian Perkawinan yang diikat oleh seorang pria dan wanita yang telah dibaptis, dan kesepakatan ini dibuat dengan bebas dan sukarela, dalam arti tidak ada paksaan, dan tidak dihalangi oleh hukum kodrat atau Gereja.[3] Kesepakatan kedua mempelai ini merupakan syarat mutlak untuk perjanjian Perkawinan; sebab jika kesepakatan ini tidak ada, maka tidak ada perkawinan.[4] Kesepakatan di sini berarti tindakan manusiawi untuk saling menyerahkan diri dan menerima pasangan, dan kesepakatan ini harus bebas dari paksaan atau rasa takut yang hebat yang datang dari luar.[5] Jika kebebasan ini tidak ada, maka perkawinan dikatakan tidak sah.
Syarat kedua adalah kesepakatan ini diajukan dan diterima oleh imam atau diakon yang bertugas atas nama Gereja untuk memimpin upacara Perkawinan dan untuk memberi berkat Gereja. Oleh karena kesatuan mempelai dengan Gereja ini, maka sakramen Perkawinan diadakan di dalam liturgi resmi Gereja, dan setelah diresmikan pasangan tersebut masuk ke dalam status Gereja, yang terikat dengan hak dan kewajiban suami istri dan terhadap anak-anak di dalam Gereja. Juga dalam peresmian Perkawinan, kehadiran para saksi adalah mutlak perlu.[6]
Syarat ketiga adalah, mengingat pentingnya kesepakatan yang bebas dan bertanggung jawab, maka perjanjian Perawinan ini harus didahului oleh persiapan menjelang Perkawinan.[7] Persiapan ini mencakup pengajaran tentang martabat kasih suami-istri, tentang peran masing-masing dan pelaksanaannya.
Beberapa syarat penting di atas, terutama syarat pertama, mendasari pihak Gereja menentukan suatu sah atau tidaknya perkawinan. Lebih lanjut tentang sah atau tidaknya perkawinan, pembatalan perkawinan (�annulment�) dan mengenai perkawinan campur (antara pasangan yang berbeda agama) akan dibahas pada artikel yang terpisah.
Ciri-ciri Perkawinan Katolik
Sebagai penggambaran persatuan ilahi antara Kristus dengan Gereja-Nya, Perkawinan Katolik mempunyai tiga ciri yang khas, yaitu (1) ikatan yang terus berlangsung seumur hidup, (2) ikatan monogami, yaitu satu suami, dan satu istri, dan (3) ikatan yang tidak terceraikan.[8] Sifat terakhir inilah yang menjadi ciri utama perkawinan Katolik. Di dalam ikatan Perkawinan ini, suami dan istri yang telah dibaptis menyatakan kesepakatan mereka, untuk saling memberi dan saling menerima, dan Allah sendiri memeteraikan kesepakatan ini. Perjanjian suami istri ini digabungkan dengan perjanjian Allah dengan manusia, dan karena itu cinta kasih suami istri diangkat ke dalam cinta kasih Ilahi.[9] Atas dasar inilah, maka Perkawinan Katolik yang sudah diresmikan dan dilaksanakan tidak dapat diceraikan. Ikatan perkawinan yang diperoleh dari keputusan bebas suami istri, dan telah dilaksanakan, tidak dapat ditarik kembali. Gereja tidak berkuasa untuk mengubah penetapan kebijaksanaan Allah ini.[10]
Karena janji penyertaan Allah ini, dari ikatan perkawinan tercurahlah juga berkat-berkat Tuhan yang juga menjadi persyaratan perkawinan, yaitu berkat untuk menjadikan perkawinan tak terceraikan, berkat kesetiaan untuk saling memberikan diri seutuhnya, dan berkat keterbukaan terhadap kesuburan akan kelahiran keturunan.[11] Kristus-lah sumber rahmat dan berkat ini. Yesus sendiri, melalui sakramen Perkawinan, menyambut pasangan suami istri. Ia tinggal bersama-sama mereka untuk memberi kekuatan di saat-saat yang sulit, untuk memanggul salib, bangun setelah jatuh, saling mengasihi dan mengampuni.
Maka, apa yang dianggap mustahil oleh dunia, yaitu setia seumur hidup kepada seorang manusia, menjadi mungkin di dalam Perkawinan yang mengikutsertakan Allah sebagai pemersatu. Ini merupakan kesaksian Kabar Gembira yang terpenting akan kasih Allah yang tetap kepada manusia, dan bahwa para suami dan istri mengambil bagian di dalam kasih ini. Betapa kita sendiri menyaksikan bahwa mereka yang mengandalkan Tuhan dalam perjuangan untuk saling setia di tengah kesulitan dan cobaan, sungguh menerima penyertaan dan pertolonganNya pada waktunya. Hanya kita patut bertanya, sudahkah kita mengandalkan Dia?
Sakramen Perkawinan menurut para Bapa Gereja
Ajaran para Bapa Gereja mendasari pengajaran Gereja tentang Perkawinan. Sejak jaman Kristen awal, Perkawinan merupakan gambaran dari kasih Kristus kepada GerejaNya, sehingga ia bersifat seumur hidup, monogami, dan tak terceraikan.
1. St. Ignatius dari Antiokhia (35-110), dalam suratnya kepada St. Polycarpus, mengajarkan kesetiaan antara suami istri, dan bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti Tuhan Yesus mengasihi Gereja-Nya.[12] Perkawinan sebagai lambang persatuan antara Kristus dan Gereja ditekankan kembali oleh St. Leo Agung (440-461).
2. Tertullian (155-222) mengajarkan bahwa perkawinan yang diberkati Tuhan dapat menjadi perkawinan yang berhasil, meskipun menghadapi kesulitan dan tantangan, sebab perkawinan tersebut telah menerima dukungan rahmat ilahi.[13] �Bagaimana saya mau melukiskan kebahagiaan Perkawinan, yang dipersatukan oleh Gereja, dikukuhkan dengan persembahan, dimeteraikan dengan berkat, diwartakan oleh para malaikat dan disahkan oleh Bapa?�.� Pasangan itu mempunyai satu harapan, satu cara hidup, satu pengabdian. Mereka yang adalah anak-anak dari satu Bapa, dan satu Tuhan. Mereka tak terpisahkan dalam jiwa dan raga, sebab mereka menjadi satu daging dan satu roh.[14] Karena persatuan ini, maka seseorang tidak dapat menikah lagi selagi pasangan terdahulu masih hidup, sebab jika demikian ia berzinah.
3. St. Clemens dari Alexandria (150-216), mengajarkan maksud ajaran Yesus pada ayat Mat 5:32, 19:9, �Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah�� Zinah di sini artinya adalah perkawinan antara mereka yang sudah pernah menikah namun bercerai, padahal pasangannya yang terdahulu itu belum meninggal.[15] (Jadi, dalam hal ini, Yesus mengakui perkawinan yang pertama sebagai yang sah, dan perkawinan kedua itulah yang harusnya diceraikan agar pihak yang pernah menikah secara sah dapat kembali kepada pasangan terdahulu).
4. The Shepherd of Hermas (karya umat Kristen abad ke-2 yang dipandang sejajar dalam Tradisi Suci), mengajarkan jika seorang suami mendapati istrinya berzinah, dan istrinya itu tidak bertobat, maka sang suami dapat berpisah dengan istrinya, namun suami itu tidak boleh menikah lagi. Jika ia menikah lagi, maka ia sendiri berzinah.
5. Athenagoras (133-190) dan St. Theophilus dari Antiokia(169-183), keduanya mengajarkan monogami, bahwa seseorang harus menikah hanya sekali, karena ini yang dikehendaki Allah yang pada awalnya telah menciptakan seorang pria dan seorang wanita, dan yang menciptakan persatuan daging dengan daging untuk membentuk bangsa umat manusia.[16]
6. Origen (185-254) mengajarkan bahwa Tuhanlah yang mempersatukan sehingga suami dan istri bukan lagi dua melainkan �satu daging�. Pada mereka yang telah dipersatukan Allah terdapat �karunia�, sehingga Perkawinan menurut Sabda Tuhan adalah �karunia�, sama seperti kehidupan selibat adalah karunia.[17]
7. St. Yohanes Krisostomus (347-407), menjelaskan bahwa di dalam ayat, �Apa yang telah dipersatukan Tuhan, janganlah diceraikan manusia� (Mat 19:6), artinya adalah bahwa seorang suami haruslah tinggal dengan istrinya selamanya, dan jangan meninggalkan atau memutuskan dia.[18]
8. St. Agustinus (354-430), berkat Perkawinan adalah: keturunan, kesetiaan, ikatan sakramen. Ikatan sakramen ini sifatnya tetap selamanya, yang tidak dapat dihilangkan oleh perceraian atau zinah, maka harus dijaga oleh suami dan istri dengan sikap bahu-membahu dan dengan kemurnian.[19]
Kesimpulan
Sejak awal mula Allah menghendaki persatuan antara pria dan wanita, yang diwujudkan secara mendalam di dalam Perkawinan. Perkawinan ini dimaksudkan Allah untuk menggambarkan kasih-Nya, yaitu kasih dalam kehidupan-Nya sendiri sebagai Allah Tritunggal, dan kasih-Nya kepada manusia yang tak pernah berubah. Keluhuran Perkawinan juga dinyatakan oleh Kristus, yang mengangkat nilai Perkawinan dengan menjadikannya gambaran akan kasih-Nya kepada Gereja-Nya. Karena itu Perkawinan Katolik bersifat tetap seumur hidup, setia, monogami, dan terbuka terhadap kelahiran baru. Dengan memiliki ciri-ciri yang demikian, Perkawinan merupakan �sakramen�, yaitu tanda kehadiran Allah di dunia, sebab sesungguhnya Allah menggabungkan kasih suami istri dengan kasihNya sendiri kepada umat manusia. Jadi tepat jika dikatakan bahwa sakramen Perkawinan melibatkan tiga pihak, yaitu, suami, istri dan di atas segalanya, Kristus sendiri. �Marriage takes three to make a go� and when Christ is at the center, it will prevail until the end, and even now on earth, receive a foretaste of the wedding feast of the Lamb!�
[1] Lihat The Roman Catechism (Catechism of Trent), Part 2, The Sacrament, Matrimony, The Definition of Matrimony.
[2] Lihat Katekismus Gereja Katolik, 1601.
[3] Lihat KGK 1625. Hukum kodrat atau ketetapan Gereja yang dapat menghalangi perkawinan misalnya adalah perkawinan antar saudara kandung, perkawinan anak-anak dibawah umur, ataupun perkawinan yang melibatkan satu atau keduanya masih terikat perkawinan yang sah dengan pasangan terdahulu.
[4] Lihat KGK 1626
[5] Lihat KGK 1628
[6] Lihat KGK 1631
[7] Lihat KGK 1632
[8] Lihat Catechism of Trent, Ibid., Marriage is Indissoluble by Divine Law, Unity of Marriage and Three Blessings of Marriage. Lihat juga KGK 1638, 1605, 1614, 1615, 1640, 1641, 1643, 1644, 1659
[9] Lihat KGK 1639
[10] Lihat KGK 1640
[11] Lihat Ibid., Three Blessings of Marriage. Lihat juga KGK 1641, 1642, 1644, 1646, 1648.
[12] Lihat St. Ignatius of Antioch, Letter to St. Polycarp, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, The Teaching of the Church Fathers, (Ignatius Press, San Francisco, 2002, reprint 1966), p. 438
[13] Lihat Tertullian, To His Wife, Bk 2:7, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 438
[14] Lihat Tertullian, ux 2,9, seperti dikutip KGK 1642.
[15] Lihat St. Clement of Alexandria, Christ the Educator, Bk. 2, Chap.23, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, Ibid., p.442.
[16] Lihat Athenagoras, A Plea for Christian, Ch. 33, St Theohilus of Antioch, To Autolycus, Bk 3:15, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, Ibid., p.445.
[17] Lihat Origen, Commentary on Mathew, Bk 14, Chap 16, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 439.
[18] Lihat St. John Chrysostom, Homilies on St. Matthew, 62:1, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 439.
[19] Lihat St. Augustine, On Marriage and Concupiscence, Bk 1, Ch. II, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 438
Sumber :
http://katolisitas.org/257/indah-dan-dalamnya-makna-sakramen-perkawinan-katolik
Friday, August 16, 2013
Sakramen Perkawinan Menurut Gereja Katolik
Gereja Katolik mengenal Sakramen Perkawinan atau Pernikahan sebagai salah satu dari ketujuh Sakramen. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan adalah suatu hal yang luhur. Dengan adanya sakramen pernikahan secara lahiriah ada tanda yang menyatakan bahwa Allah hadir dalam kehidupan perkawinan dan Allah menjadi saksi cinta kasih sang suami dan istri (bdk Mal 2:14). Perkawinan dijadikan sakramen karena kitab suci sendiri mengisyaratkan seperti menjunjung tinggi perkawinan. Bahkan Paulus menegaskan supaya suami-istri saling mencintai seperti Kristus mencintai umatNya (jemaat atau Gereja-Nya - Lih Ef 5:21-33).
Kitab Kejadian memberikan gambaran bahwa Allah sungguh memberkati perkawinan (bdk Kej 1:28). Campur tangan Allah itulah yang menjadi dasar yang kuat untuk menjadikan perkawinan sebagai sakramen.
Menurut Gereja Katolik perkawinan itu bersifat kekal atau tidak terceraikan dan ini sesuai dengan KS (bdk Markus 10:1-12, Roma 7:2-3 dan Lukas 16:18). Pada kutipan KS yang lain ada seolah-olah semacam celah untuk melakukan perceraian seperti Matius 19:1-12, terutama pada ayat 9: "Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah." Tetapi sebenarnya menurut para ahli kata di atas merupakan sisipan dari penulis injil. Mengapa?? Karena injil Matius ditujukan untuk pembaca Yahudi. Kita tahu bahwa hukum Taurat itu mengijinkan perceraian sehingga akhirnya penulis injil menyisipkan kata "Kecuali karena zinah" agar tidak menimbulkan kesan bahwa Yesus mengubah hukum taurat, karena Yesus dalam injil Matius mengatakan "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi." (Mat 5:17-18) Jadi maksud Yesus tetap bahwa perkawinan itu tetap tak terceraikan. Hal itu dapat disimpulkan jika kita membaca ayat 9 pada Matius 19 dengan kesatuan dengan keseluruhan konteks perkawinan dalam KS.
Ada yang mengatakan bahwa selain Mat 19:1-12, 1 Kor 7:10-11 juga mengisyaratkan akan bolehnya perceraian (lihat pada ayat 11).
Tetapi jelas sekali dalam perikop ini bahwa kalau memang harus berpisah (= Paulus menyebutnya bercerai ) istri yang menceraikan suaminya tidak diperkenankan menikah lagi dan sebisa mungkin kembali rujuk dengan suaminya. Nah dalam hal ini sudah jelas bahwa Paulus mengatakan perceraian itu tidak diijinkan. Dalam Efesus 5:22-32 kita dapat menyimpulkan bahwa perceraian itu tidak dimungkinkan. Mengapa? Karena pada perikop itu dijelaskan bahwa hubungan Yesus dengan Jemaat adalah sebagai Kepala dan Tubuh yang sudah pasti tidak dapat diceraikan. Nah kalau Paulus juga menyamakan hubungan itu dengan hubungan suami dan istri berarti secara otomatis hubungan antara suami dan istri tidak dapat diceraikan, karena hubungan Yesus dengan jemaat tidak dapat diceraikan. Dalam Perjanjian Lama ditegaskan bahwa Allah sendiri membenci perceraian (Mal 2:16).
Dalam istilah Gereja ada istilah Annulments yang dalam hukum gereja berarti sejak awal mula tidak ditemukan perkawinan yang sah (perkawinan yang menjadi batal karena tidak memenuhi hukum Gereja atau sebab musabab yang sesuai hukum Gereja). dalam hal ini mereka yang mengalami mungkin dapat menikah kembali di Gereja. Dalam Gereja Katolik jika pasangan yang menikah salah satunya ada yang meninggal maka pasangan yang satunya dapat pula kembali menikah di gereja.
Sumber :
http://www.imankatolik.or.id/sakramenperkawinan.html
Kitab Kejadian memberikan gambaran bahwa Allah sungguh memberkati perkawinan (bdk Kej 1:28). Campur tangan Allah itulah yang menjadi dasar yang kuat untuk menjadikan perkawinan sebagai sakramen.
Menurut Gereja Katolik perkawinan itu bersifat kekal atau tidak terceraikan dan ini sesuai dengan KS (bdk Markus 10:1-12, Roma 7:2-3 dan Lukas 16:18). Pada kutipan KS yang lain ada seolah-olah semacam celah untuk melakukan perceraian seperti Matius 19:1-12, terutama pada ayat 9: "Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah." Tetapi sebenarnya menurut para ahli kata di atas merupakan sisipan dari penulis injil. Mengapa?? Karena injil Matius ditujukan untuk pembaca Yahudi. Kita tahu bahwa hukum Taurat itu mengijinkan perceraian sehingga akhirnya penulis injil menyisipkan kata "Kecuali karena zinah" agar tidak menimbulkan kesan bahwa Yesus mengubah hukum taurat, karena Yesus dalam injil Matius mengatakan "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi." (Mat 5:17-18) Jadi maksud Yesus tetap bahwa perkawinan itu tetap tak terceraikan. Hal itu dapat disimpulkan jika kita membaca ayat 9 pada Matius 19 dengan kesatuan dengan keseluruhan konteks perkawinan dalam KS.
Ada yang mengatakan bahwa selain Mat 19:1-12, 1 Kor 7:10-11 juga mengisyaratkan akan bolehnya perceraian (lihat pada ayat 11).
Tetapi jelas sekali dalam perikop ini bahwa kalau memang harus berpisah (= Paulus menyebutnya bercerai ) istri yang menceraikan suaminya tidak diperkenankan menikah lagi dan sebisa mungkin kembali rujuk dengan suaminya. Nah dalam hal ini sudah jelas bahwa Paulus mengatakan perceraian itu tidak diijinkan. Dalam Efesus 5:22-32 kita dapat menyimpulkan bahwa perceraian itu tidak dimungkinkan. Mengapa? Karena pada perikop itu dijelaskan bahwa hubungan Yesus dengan Jemaat adalah sebagai Kepala dan Tubuh yang sudah pasti tidak dapat diceraikan. Nah kalau Paulus juga menyamakan hubungan itu dengan hubungan suami dan istri berarti secara otomatis hubungan antara suami dan istri tidak dapat diceraikan, karena hubungan Yesus dengan jemaat tidak dapat diceraikan. Dalam Perjanjian Lama ditegaskan bahwa Allah sendiri membenci perceraian (Mal 2:16).
Dalam istilah Gereja ada istilah Annulments yang dalam hukum gereja berarti sejak awal mula tidak ditemukan perkawinan yang sah (perkawinan yang menjadi batal karena tidak memenuhi hukum Gereja atau sebab musabab yang sesuai hukum Gereja). dalam hal ini mereka yang mengalami mungkin dapat menikah kembali di Gereja. Dalam Gereja Katolik jika pasangan yang menikah salah satunya ada yang meninggal maka pasangan yang satunya dapat pula kembali menikah di gereja.
Sumber :
http://www.imankatolik.or.id/sakramenperkawinan.html