Latest News

Showing posts with label Piranti Liturgi. Show all posts
Showing posts with label Piranti Liturgi. Show all posts

Tuesday, February 22, 2011

Altar Dalam Gereja Katolik

ASAL KATA �ALTAR�

Sebenarnya asal-usul kata �altar� kurang jelas, entah dari kata Latin �alta res� yang berarti �hal yang tinggi� atau �alta ara� yang berarti �altar yang tinggi�. Orang-orang Romawi kuno sudah membedakan dua macam altar:
1. �ara� merupakan altar kecil yang dapat dipindah-pindahkan, dipakai untuk kegiatan kultik orang biasa, untuk pengenangan orang mati, dsb;
2. �altare� merupakan altar yang lebih monumental, dibangun menjulang, khususnya untuk kegiatan kultik kaum kalangan atas. Umat Kristiani perdana meminjam istilah �altare� itu terutama untuk menunjuk pada meja Kurban Perjanjian Baru.

MAKNA DAN FUNGSI ALTAR

Di atas altar, Kurban Salib dihadirkan dalam rupa tanda-tanda sakramental. Altar adalah meja Tuhan; di sekelilingnya umat Allah berhimpun dan saling berbagi. Altar menjadi pusat kegiatan bersyukurnya umat. Altar, sebagai meja perjamuan kudus, seharusnya menjadi yang paling mulia dan paling indah. Hendaknya dirancang dan dibangun bagi keperluan kegiatan liturgis komunitas / umat. Altar adalah tanda Kristus; altar adalah simbol Kristus sendiri.

UMAT KRISTIANI JUGA MERUPAKAN ALTAR

Altar adalah simbol Kristus. Altar adalah juga Kristus sendiri. Itu memang makna simbolisasi liturgisnya. Namun dalam tataran spiritual ternyata altar juga menyimbolkan umat kristiani. Maksudnya, umat kristiani adalah altar-altar spiritual tempat kurban hidupnya dipersembahkan bagi Allah. St Ignatius dari Antiokhia, St Polikarpus, dan St Gregorius Agung pernah menyinggung gagasan ini. Orang kristiani yang memberikan dirinya sendiri, entah lewat doa maupun pengorbanan, menjadi batu-batu penjuru, di mana Yesus membangun altar Gereja-Nya. Dari altar mengalirlah spiritualitas jemaat dan setiap pribadi anggota Gereja.

SEBUTAN-SEBUTAN LAIN UNTUK ALTAR

Dalam buku liturgis tentang pemberkatan Gereja dan altar (Ordo Dedicationis Ecclesiae et Altaris, 1977) terdapat beberapa sebutan lain untuk altar, yakni: �meja sukacita�, �tempat persatuan dan perdamaian�, �sumber kesatuan dan persahabatan�, �pusat pujian dan syukur�. Sebutan-sebutan ini melengkapi makna utama sebuah altar sebagai meja kurban dan perjamuan.
ALTAR: MEJA KURBAN DAN MEJA PERJAMUAN

Altar sebagai Meja Kurban adalah bagi kurban salib yang diabadikan dalam misteri berabad-abad hingga kedatangan Kristus kembali. Altar sebagai Meja Perjamuan adalah bagi warga Gereja yang berkumpul untuk bersyukur dan berterimakasih kepada Allah dan menerima Tubuh dan Darah Kristus. Altar adalah Meja Tuhan!

ALTAR PERMANEN ATAU ALTAR GESER?

Suatu altar disebut altar permanen kalau dibangun melekat pada lantai sehinga tidak dapat dipindahkan; altar disebut altar geser kalau dapat dipindah-pindahkan. Sangat diharapkan agar dalam setiap gereja ada satu altar permanen, karena altar seperti ini secara jelas dan lestari menghadirkan Yesus Kristus, Sang Batu Hidup (1 Ptr 2:4; bdk Ef 2:20).

Tetapi, di tempat-tempat lain yang dimanfaatkan untuk perayaan liturgi, cukup dipasang altar geser. Seturut tradisi Gereja, dan sesuai pula dengan makna simbolis altar, daun meja untuk altar permanen harus terbuat dari batu, bahkan dari batu alam. Tetapi Konferensi Uskup dapat menetapkan bahwa boleh juga digunakan bahan lain, asal sungguh bermutu, kuat, dan indah. Sedangkan penyangga atau kaki altar dapat dibuat dari bahan apapun, asal kuat dan bermutu. Altar geser dapat dibuat dari bahan apapun asal, me nurut pandangan masyarakat setempat, bermutu, kuat, dan selaras untuk digunakan dalam liturgi.

Altar utama hendaknya dibangun terpisah dari dinding gereja, sehingga para pelayan dapat mengitarinya dengan mudah, dan imam, sedapat mungkin, memimpin perayaan Ekaristi dengan menghadap ke arah jemaat (Pedoman Umum Misale Romawi, No. 298-301).

LETAK ALTAR

Altar adalah titik pusat perhatian jemaat yang berkumpul. Namun, itu tidak berarti bahwa altar harus berada di titik pusat (aksis) bangunan gereja. Altar harus bisa dilihat oleh seluruh jemaat. Setiap kegiatan di sekitarnya harus terkomunikasikan dengan baik. Altar terletak di panti atau pelataran imam, yakni suatu area yang dikhususkan untuk pemimpin liturgi, dan membedakan dengan area jemaat.

Wilayah panti imam biasanya lebih tinggi daripada wilayah tempat jemaat berhimpun. Selain meja altar, di panti imam juga terdapat ambo (meja Sabda), kursi imam (juga kursi Uskup jika di gereja katedral), kredens, tabernakel, dsb.

RELIKUI

Relikui adalah peninggalan fisik dari orang-orang kudus atau martir yang wafat demi iman akan Kristus. Relikui bisa berupa bagian dari tubuh, pakaian, dsb. Kebiasaan memasang relikui pada altar sudah berlangsung sejak berabad-abad. Biasanya yang disimpan adalah relikui dari tubuh atau bahkan jenasah sang martir atau orang kudus. Kini menyimpan relikui tidak lagi diharuskan.

Relikui yang disimpan pada altar hendaknya tidak mengandung keraguan akan keasliannya. Maka, jika relikui itu kurang diyakini keotentikannya, lebih baik tidak disimpan di altar. Jika otentik, maka pemasangannya pun sebaiknya tidak �di atas altar� melainkan �di dalam atau di bawah altar� yang akan didedikasikan.

ARTI MENYIMPAN RELIKUI

Jangan disalahartikan. Kita tidak membangun altar bagi para kudus itu, melainkan bagi Allah yang Esa. Pengorbanan para kudus dan martir kita hormati dan kita kenangkan saat mendirikan altar itu. Maka, relikui itu diletakkan di bawah altar. Jangan pula sekali-kali meletakkan relikui, patung, atau gambar orang kudus atau martir di atas meja altar.

TATA CARA PENGUDUSAN ALTAR

Pada waktu pemberkatan gereja, biasanya altar juga dikuduskan. Garis besar tata caranya sebagai berikut:
� perecikan altar dengan air suci;
� doa Litani Para Kudus dan penempatan relikui martir atau santo-santa;
� doa pemberkatan;
� pengurapan altar dengan minyak krisma;
� pendupaan altar;
� pemakaian �kain putih� atau kain altar;
� penyalaan lilin untuk altar.

Dari tata cara ini tampak bahwa seolah altar adalah seorang pribadi yang menjalani ritus inisiasi, pertama kali masuk ke dalam / sebagai anggota Gereja. Setelah menerima �pembaptisan� dan �penguatan�, maka altar mengalami �ekaristi�.

SATU ALTAR DALAM SATU GEREJA

Hanya ada satu altar dalam satu gedung gereja, supaya jelaslah makna Kristus sebagai satu-satunya Sang Penyelamat dan hanya ada satu Ekaristi dalam Gereja. Satu altar melambangkan satu jemaat yang berkumpul dan bersyukur di sekitar Sang Penyelamat.

PENDUPAAN ALTAR

Pendupaan altar memang bukan keharusan. Namun hendaknya dilakukan dalam perayaan meriah dan pada hari Minggu. Imam selebran mendupai altar dengan mengitarinya pada saat Ritus Pembuka dan awal Liturgi Ekaristi. Pendupaan kepada Imam, petugas lain, dan jemaat bertujuan mengingatkan bahwa semuanya adalah altar spiritual yang terkait erat dengan altar utama, yaitu Kristus sendiri.

WARNA KAIN ALTAR

Kain (taplak) altar berwarna putih. Ini seperti halnya baptisan baru yang menerima pakaian putih, yang melambangkan kebangkitan, hidup baru. Simbol-simbol yang menghiasi taplak altar hendaknya mempunyai makna yang sejalan dengan hakikat altar. Segala macam ornamen hendaknya tidak malah mengganggu konsentrasi jemaat, atau mengalahkan keberadaan Tubuh dan Darah Kristus. Hiasan bunga hendaknya tidak berlebihan dan ditempatkan di sekitar altar, bukan di atasnya (PUMR, No. 305).

YANG BOLEH DILETAKKAN DI ATAS ALTAR

Di atas altar hendaknya ditempatkan hanya barang-barang yang diperlukan untuk perayaan Misa, yakni sebagai berikut:

1. dari awal perayaan sampai pemakluman Injil: Kitab Injil
2. dari persiapan persembahan sampai pembersihan bejana-bejana: piala dengan patena, sibori, kalau perlu; dan akhirnya korporale, purifikatorium, dan Misale.
Di samping itu, microphone yang diperlukan untuk memperkeras suara imam hendaknya diatur secara cermat (Pedoman Umum Misale Romawi, No 306).

Lilin seyogyanya ditaruh di atas atau di sekitar altar, sesuai dengan bentuk altar dan tata ruang panti imam (PUMR, No. 307). Juga di atas atau di dekat altar hendaknya dipajang sebuah salib dengan sosok Kristus tersalib (PUMR, No. 308).

Sumber: http://belajarliturgi.blogspot.com/2011/01/altar-dalam-gereja-katolik.html

Monday, January 3, 2011

Wiruk atau Pedupaan: Crik Crik (Stop!)

Misdinar pasti tahu yang namanya wiruk atau pedupaan yang dipegang Paus di foto di atas. Nama wiruk itu dari bahasa Belanda wierooksvat. Dalam bahasa Latin namanya turibulum, di bahasa Inggris jadi thurible atau censer. Yang nggak pernah jadi misdinar mungkin nggak tahu peranti itu namanya wiruk, tapi saya yakin semua pernah melihat pedupaan itu dipakai dalam misa. Di tulisan ini saya akan bahas beberaa poin penting dan beberapa kesalahan yang seringkali terjadi berkaitan dengan penggunaan wiruk dalam misa.

Kenapa sih harus pakai wangi-wangian dalam liturgi? Jawabnya, untuk menciptakan suasana atau atmosfir liturgis. Berikut ini penjelasan yang bagus sekali, saya kutip dari buku Rupa dan Citra karangan pakar liturgi C.H. Suryanugraha, OSC, "Suasana atau atmosfir liturgis diciptakan sedemikian rupa agar perayaan liturgi sungguh mengantar jemaat kepada pertemuan yang Ilahi. Penggunaan unsur-unsur 'cahaya, warna, dan aroma' dalam Perayaan Ekaristi tentunya perlu diberi perhatian khusus pula. Unsur-unsur itu tidak layak diabaikan jika kita peduli akan perlunya lebih mengaktifkan indera (setidaknya indera penglihatan/mata, penciuman/hidung, dan pendengaran/telinga) kita untuk terlibat dan dapat menangkap sisi-sisi keindahan dan kesakralan dalam Perayaan Ekaristi." Aturan liturgi dari Vatikan menyebut, "Pendupaan merupakan ungkapan hormat dan doa sebagaimana dijelaskan dalam Alkitab (bdk. Mzm 141:2; Why 8:3)." (PUMR 276 dan Caeremoniale Episcoporum-Tata Upacara Para Uskup CE 84)

Lalu, kapan kita pakai wangi-wangian dupa ini? Apa hanya untuk misa agung di hari-hari raya? Jawabnya tidak. PUMR 276 mengatakan bahwa dupa boleh digunakan dalam setiap bentuk misa. Misa biasa di hari Minggu pun boleh pakai dupa, kalau mau. Dalam misa, dupa digunakan waktu perarakan masuk, di awal misa untuk menghormati salib altar dan altar, waktu perarakan injil (saat imam atau diakon membawa injil dari altar ke mimbar, untuk dibacakan) dan waktu pembacaan injil. Berikutnya, ada pendupaan roti dan anggur yang disiapkan di altar, lalu pendupaan imam selebran dan konselebran plus semua petugas liturgi di panti imam, dan terakhir umat. Juga, dupa digunakan waktu hosti dan piala diperlihatkan kepada umat. Itu ringkasnya.

Mari kita bahas satu persatu. Waktu perarakan masuk dalam misa, fungsi dupa adalah untuk membuka dan menyucikan jalur yang dilalui arak-arakan plus sekalian menyucikan peserta arak-arakan yang jalan di belakangnya. Itu sebabnya pembawa wiruk jalannya di paling depan, bukannya di belakang pembawa salib. Nah, saya pernah melihat pembawa wiruk jalan di paling depan, mendupai salib sambil berjalan mundur. Yang ini kurang pas. Sekali lagi, yang disucikan adalah jalan yang dilalui plus seluruh peserta arak-arakan, bukan cuma salibnya yang diapit dua lilin. Oh ya, wiruk tidak digunakan waktu perarakan keluar dalam misa. Saat ini, pembawa wiruk tentunya jalan di belakang pembawa salib, bersama misdinar lainnya. Aneh juga kalau ia jalan di depan pembawa salib tapi nggak bawa apa-apa.

Berikutnya, cara membawa wiruk yang saya lihat di banyak tempat di Indonesia juga kurang tepat. Dalam perarakan atau saat berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain, pembawa wiruk memegang pangkal rantai dengan tangan kanan seperti foto di atas dan di sebelah kanan ini. Dalam perarakan, wiruk (yang sudah diisi dupa dan berasap tebal) diayunkan ke depan dan belakang, supaya asap dupa menyebar. Ayunan ini bisa sampai 30 derajat ke depan dan ke belakang. Di beberapa tempat di luar negeri saya bahkan melihat ayunan sampai 90 derajat seperti di foto sebelah kanan ini! Makanya, kalau jalan dalam prosesi jangan mepet-mepet dengan yang di depan. Selain kurang bagus, juga ada resiko kena ayunan wiruk. Pembawa wiruk yang menyucikan jalanan sebaiknya memang cuman satu aja, idealnya berjalan di tengah-tengah. Di Indonesia seringkali ia berpasangan dengan pembawa tempat dupa dan berjalan bersama-sama. Ini agak melemahkan fungsinya sebagai pembuka jalan. Kalau caranya membawa wiruk benar seperti foto di atas, ia tidak perlu didampingi pembawa tempat dupa. Ia bisa membawa tempat dupa sendiri dengan tangan kiri dan ditempelkan ke dada, sambil tangan kanan mengayunkan wiruknya.

Setelah arak-arakan sampai di panti imam, pembawa wiruk menghampiri selebran utama. Dupa ditambahkan lagi, lalu selebran utama mendupai salib altar dan altar. Nah, selama proses ini pembawa wiruk nggak perlu memegangi kasula selebran utama. Tradisinya bukan begitu. Seringkali ia malahan terlihat menarik-narik kasula dan mengganggu gerak selebran utama. Coba lihat foto Paus di sebelah ini, nggak ada yang memegangi kasulanya kan? Oh ya, satu kesalahan yang sering terjadi di awal misa ini, selebran tidak perlu didupai sehabis ia mendupai altar. Selebran hanya didupai waktu persembahan.

Tadi kita sudah betulkan cara memegang wiruk dalam prosesi. Sekarang kita betulkan cara mengayunkan wiruk. Yang benar bukan crik crik crik (tiga ayunan), tapi hanya crik crik (dua ayunan). Jangan keliru dengan banyaknya ya. Hal banyaknya memang bisa tiga kali atau dua kali. Tiga kali pendupaan masing-masing dua ayunan (tribus ductibus, three double-swings: crik crik, turunkan, crik crik, turunkan dan crik crik, turunkan) digunakan untuk: sakramen mahakudus, relikui salib suci dan patung Tuhan yang dipajang untuk dihormati secara publik; bahan persembahan; salib altar, Kitab Injil, lilin paskah, imam dan jemaat (PUMR 277) dan juga jenazah (CE 92). Dua kali pendupaan masing-masing dua ayunan (duobus ductibus, two double-swings, crik crik, turunkan, crik crik, turunkan) digunakan untuk relikui dan patung orang kudus yang dipajang untuk dihormati secara publik. Yang terakhir adalah serangkaian ayunan tunggal (singulis ictibus, series of single-swings) yang dipakai untuk mendupai altar.

Ikhwal pendupaan dan banyaknya ayunan ini diatur dalam PUMR 276-277 dan CE 84-98. Memang, dalam terjemahan bahasa Indonesia dan bahasa Inggrisnya, soal dua ayunan ini kurang disebut jelas. Hanya versi asli dalam bahasa Latin yang jelas menyebutkan bedanya tribus ductibus, duobus ductibus dan singulis ictibus. Pakar liturgi Uskup Peter Elliott menegaskan ini dalam bukunya Ceremonies of the Modern Roman Rite (Hal 78-81). Pakar rubrik yang lain J.B. O'Connell membahas hal ini juga dalam bukunya The Celebration of Mass (Hal 410-428). Kalau mau gampangnya, lihat aja siaran langsung misa paskah atau misa natal Paus dari Vatikan. Di situ nggak ada tiga ayunan, semuanya dua ayunan. Ada kawan saya imam yang becanda, nggak apa-apa lah tiga kali, supaya mantap. Saya nggak mau kalah, wah kalau gitu, sekalian aja imam kalau memberi berkat pakai tiga tanda salib seperti uskup. Supaya mantap, he3. Maaf, becanda. Liturgis memang susah diajak negosiasi.

Yang terakhir, di penghujung Misa Kamis Putih yang paling malam, selalu ada upacara pemindahan Sakramen Mahakudus. Saat prosesi pemindahan ini, (para) pembawa wiruk pun nggak perlu mendupai Sakramen Mahakudus dengan jalan mundur, nanti malahan jatuh atau nabrak. Di Vatikan nggak ada pendupaan dengan jalan mundur. Khusus untuk prosesi ini Missale Romanum memang menyebut bahwa pembawa wiruk jalannya di belakang pembawa salib dan lilin, persis di depan selebran yang membawa Sakramen Mahakudus dalam sibori (bukan monstrans) dengan mengenakan velum. Saya pikir ini agar asap dupa lebih dekat dan melingkupi sakramen mahakudus. Tetap bukan untuk mendupai Sakramen Mahakudus ya. Sesekali prosesi ini berhenti, nah saat itulah dilakukan pendupaan terhadap Sakramen Mahakudus, yang harus dilakukan sambil berlutut di hadapannya. Memang, Sakramen Mahakudus hanya didupai sambil berlutut (CE 94), oleh Paus sekalipun.

Sumber : http://tradisikatolik.blogspot.com/

Sunday, November 21, 2010

Bejana-Bejana Suci

oleh: Romo Francis J. Peffley
Bejana-bejana Suci adalah perangkat dan wadah yang dipergunakan dalam perayaan-perayaan liturgis. Dalam Ritus Latin bejana-bejana suci itu ialah piala, patena, sibori, piksis, monstrans - lunulla (jepitan untuk SMK) - custodia (rumah kaca SMK), yang bersentuhan langsung dengan Sakramen Mahakudus. Bejana-bejana lain yang dipergunakan dalam liturgi adalah ampul, lavabo, turibulum, navikula dan aspergil. Segala perangkat liturgis ini wajib diperlakukan dengan hormat.

PIALA, dalam bahasa Latin disebut �calix� yang berarti �cawan�, adalah yang tersuci di antara segala bejana. Piala adalah cawan yang menjadi wadah anggur untuk dikonsekrasikan, dan sesudah konsekrasi menjadi wadah Darah Mahasuci Kristus. Piala harus dibuat dari logam mulia. Piala melambangkan cawan yang dipergunakan Tuhan kita pada Perjamuan Malam Terakhir di mana Ia untuk pertama kalinya mempersembahkan Darah-Nya; piala melambangkan cawan Sengsara Kristus (�Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku,� Mrk 14:36); dan yang terakhir, piala melambangkan Hati Yesus, dari mana mengalirlah Darah-Nya demi penebusan kita.

PURIFIKATORIUM, berasal dari bahasa Latin �purificatorium�, adalah sehelai kain lenan putih berbentuk segi empat untuk membersihkan piala, sibori dan patena. Sesudah dipergunakan, purifikatorium dilipat tiga memanjang dan diletakkan di atas piala.

PATENA, berasal dari bahasa Latin �patena� yang berarti �piring�, adalah piring di mana hosti diletakkan. Patena, yang sekarang berbentuk bundar, datar, dan dirancang untuk roti pemimpin Perayaan Ekaristi, aslinya sungguh sebuah piring. Dengan munculnya roti-roti kecil yang dibuat khusus untuk umat yang biasanya disimpan dalam sibori, fungsi dari patena sebagai piring menghilang; maka bentuknya menjadi lebih kecil dan sejak abad kesebelas sudah dalam ukuran seperti sekarang. Menurut Pedoman Umum Misale Romawi (2000), untuk konsekrasi hosti, sebaiknya digunakan patena yang besar, di mana ditampung hosti, baik untuk imam dan diakon, maupun untuk para pelayan dan umat (No. 331). Patena, yang biasa diletakkan di atas piala, hendaknya dibuat serasi dengan pialanya, dari bahan yang sama dengan piala, yaitu dari emas atau setidak-tidaknya disepuh emas.

PALLA, berasal dari bahasa Latin �palla corporalis� yang berarti �kain untuk Tubuh Tuhan�, adalah kain lenan putih yang diperkeras, sehingga menjadi kaku seperti papan, bentuknya bujursangkar, dipergunakan untuk menutupi piala. Palla melambangkan batu makam yang digulingkan para prajurit Romawi untuk menutup pintu masuk ke makam Yesus.

KORPORALE, berasal dari bahasa Latin �corporale�, adalah sehelai kain lenan putih berbentuk bujursangkar dengan gambar salib kecil di tengahnya; seringkali pinggiran korporale dihiasi dengan renda. Korporale adalah yang terpenting dari antara kain-kain suci. Dalam perayaan Ekaristi, imam membentangkan korporale di atas altar sebagai alas untuk bejana-bejana suci roti dan anggur. Setelah selesai dipergunakan, korporale dilipat menjadi tiga memanjang, lalu dilipat menjadi tiga lagi dari samping dan ditempatkan di atas piala.

SIBORI, berasal dari bahasa Latin �cyborium� yang berarti �piala dari logam�, adalah bejana serupa piala, tetapi dengan tutup di atasnya. Sibori adalah wadah untuk roti-roti kecil yang akan dibagikan dalam Komuni kepada umat beriman. Sibori dibuat dari logam mulia, bagian dalamnya biasa dibuat dari emas atau disepuh emas.

PIKSIS, berasal dari bahasa Latin �pyx� yang berarti �kotak�, adalah sebuah wadah kecil berbentuk bundar dengan engsel penutup, serupa wadah jam kuno. Piksis biasanya dibuat dari emas. Piksis dipergunakan untuk menyimpan Sakramen Mahakudus, yang akan dihantarkan kepada mereka yang sakit, atau yang akan ditahtakan dalam kebaktian kepada Sakramen Mahakudus.

MONSTRANS, berasal dari bahasa Latin �monstrans, monstrare� yang berarti �mempertontonkan�, adalah bejana suci tempat Sakramen Mahakudus ditahtakan atau dibawa dalam prosesi.



AMPUL adalah dua bejana yang dibuat dari kaca atau logam, bentuknya seperti buyung kecil dengan tutup di atasnya. Ampul adalah bejana-bejana dari mana imam atau diakon menuangkan air dan anggur ke dalam piala. Selalu ada dua ampul di atas meja kredens dalam setiap Misa.

LAVABO, berasal dari bahasa Latin �lavare� yang berarti �membasuh�, adalah bejana berbentuk seperti buyung kecil, atau dapat juga berupa mangkuk, tempat menampung air bersih yang dipergunakan imam untuk membasuh tangan sesudah persiapan persembahan. Sebuah lap biasanya menyertai lavabo untuk dipergunakan mengeringkan tangan imam.

TURIBULUM (disebut juga Pedupaan), berasal dari bahasa Latin �thuris� yang berarti �dupa�, adalah bejana di mana dupa dibakar untuk pendupaan liturgis. Turibulum terdiri dari suatu badan dari logam dengan tutup terpisah yang menudungi suatu wadah untuk arang dan dupa; turibulum dibawa dan diayun-ayunkan dengan tiga rantai yang dipasang pada badannya, sementara rantai keempat digunakan untuk menggerak-gerakkan tutupnya. Pada turibulum dipasang bara api, lalu di atasnya ditaburkan serbuk dupa sehingga asap dupa membubung dan menyebarkan bau harum. Dupa adalah harum-haruman yang dibakar pada kesempatan-kesempatan istimewa, seperti pada Misa yang meriah dan Pujian kepada Sakramen Mahakudus.

NAVIKULA (disebut juga Wadah Dupa) adalah bejana tempat menyimpan serbuk dupa. Dupa adalah getah yang harum dan rempah-rempah yang diambil dari tanam-tanaman, biasanya dibakar dengan campuran tambahan guna menjadikan asapnya lebih tebal dan aromanya lebih harum. Asap dupa yang dibakar naik ke atas melambangkan naiknya doa-doa umat beriman kepada Tuhan. Ada pada kita catatan mengenai penggunaan dupa bahkan sejak awal kisah Perjanjian Lama. Secara simbolis dupa melambangkan semangat umat Kristiani yang berkobar-kobar, harum mewangi keutamaan-keutamaan dan naiknya doa-doa dan perbuatan-perbuatan baik kepada Tuhan.

ASPERGILUM, berasal dari bahasa Latin �aspergere� yang berarti �mereciki�, adalah sebatang tongkat pendek, di ujungnya terdapat sebuah bola logam yang berlubang-lubang, dipergunakan untuk merecikkan air suci pada orang atau benda dalam Asperges dan pemberkatan. Bejana Air Suci adalah wadah yang dipergunakan untuk menampung air suci; ke dalamnya aspergilum dicelupkan.

SACRAMENTARIUM atau Buku Misa adalah buku pegangan imam pada waktu memimpin perayaan Ekaristi, berisi doa-doa dan tata perayaan Ekaristi. LECTIONARIUM atau Buku Bacaan Misa adalah buku berisi bacaan-bacaan Misa dari Kitab Suci. EVANGELIARIUM adalah Buku Injil.

WADAH RELIKUI adalah bejana di mana relikui disegel dan disimpan. Sebagian besar relikui-relikui kecil disimpan dalam suatu wadah bundar dengan gagang dan kaki, serupa montrans kecil. Relikui tidak boleh dipertontonkan untuk penghormatan umat beriman terkecuali jika ditempatkan dalam wadah reliqui.

sumber : �Sacred Vessels� by Father Peffley; Father Peffley's Web Site; www.transporter.com/fatherpeffley

tambahan : �Kamus Liturgi Sederhana� oleh Ernest Maryanto; Penerbit Kanisius 2004

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: �diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Francis J. Peffley.�

Saturday, November 13, 2010

Pengenalan Seputar Gereja untuk Calon Misdinar

Sebagai calon anggota misdinar, khususnya misdinar paroki Santo Herkulanus, senantiasa diberikan pembekalan pengetahuan tentang liturgi dan segala sesuatu yang terkait dengan liturgi dan ekaristi. Tulisan ini menjadi bahan dasar pada pertemuan pertama pembekalan calon misdinar. Dalam tulisan ini memuat tentang pengetahuan dasar tentang seputar gereja.

1. Menara & Lonceng Gereja
Menara adalah tempat untuk menggantungkan lonceng gereja. Lonceng gereja digunakan untuk mengundang umat beribadat. Kebanyakan gereja di Indonesia sekarang hanya menempatkan lonceng gereja di dalam bangunan gereja. Lonceng gereja tidak dibunyikan pada hari Kamis Putih dan Jumat Agung sebagai tanda berkabung atas sengsara dan wafat Kristus.

2. Tabernakel
Tabernakel adalah Rumah Allah tempat menyimpan Sakramen Mahakudus. Tabernakel menjadi model �kemah� teragung di mana kelak kita akan tinggal bersama Allah untuk selamanya. Di gereja, Tabernakel adalah tempat menyimpan Tubuh Kristus. Kata Tabernakel berasal dari bahasa latin �tabernakulum� yang berarti �kemah� atau �tenda�. Tabernakulum Dei = Kemah Tuhan.

3. Lampu Tuhan / Lampu Suci
Lampu suci adalah lampu merah yang terus menyala di dekat tabernakel sebagai tanda bahwa dalam tabernakel disimpan Sakramen Mahakudus.

4. Panti Imam
Panti imam adalah tempat imam memimpin perayaan liturgi.

5. Sedilia
Sedilia adalah tempat duduk imam dan para pembantunya saat misa. Ada sedilia untuk imam dan ada sedilia untuk misdinar.

6. Kredens
Kredens adalah meja kecil di panti imam yang digunakan untuk menyimpan atau menaruh calix, piala, sibori, ampula, lavabo, dll.

7. Sakristi
Sakristi adalah ruangan tempat menyimpan alat-alat misa dan tempat persiapan misa bagi iman dan para pembantunya. Terletak di samping atau dibelakang panti imam.

8. Altar
Altar adalah meja kurban, yaitu tempat mempersembahkan Kurban Kristus. Asal katanya adalah antara �alta ara� = �altar yang tinggi� atau �alta ras� = �hal yang tinggi�.

9. Ambo (mimbar)
Ambo berasal dari bahasa Yunani �anabainein� yang berarti �naik, bergerak dari bawah ke atas�. Ambo digunakan sebagai tempat pembacaan Kitab Suci, homili, pendarasan mazmur dan doa umat.

10. Katedra
Katedra berasal dari bahasa latin dan yunani �cathedra� artinya �tahta�. Katedra merupakan tahta uskup yang hanya ada di gereja Katedral, katedra adalah tempat duduk uskup saat memimpin misa.

11. Confiteorium atau kamar pengakuan
Confiteorium adalah kamar atau ruang untuk menerima Sakramen Pengakuan Dosa. Kamar Pengakuan dibagi menjadi dua: ruangan untuk imam dan ruangan untuk orang yang hendak mengaku dosa.

12. Panti Umat
Panti umat adalah tempat bangku atau kursi untuk umat.

13. Pieta.
Pieta adalah ruang doa dimana terdapat patung pieta. Pieta berarti �Bunda Maria menggendong jenasah Yesus�.

14. Prie-Dieu / Tempat Berlutut
Kata "prie-dieu" berasal dari bahasa Perancis yang artinya "berdoa" dan "Tuhan". Prie-dieu adalah tempat berlutut di hadapan Tuhan, kita mengandalkan Dia untuk mengendalikan dan menguasai kita sepenuhnya. Berlutut adalah ungkapan rasa cinta dan hormat.

15. Apsis
Sayap gereja.

16. Pintu Bassilika.
Pintu besar gereja Katedral.

17. Baptisterium.
Tempat untuk dipakai sakramen pembaptisan.

Tuesday, September 14, 2010

Posisi Tabernakel

Pertanyaan:

Sdr Stef dan Inggrid,

Mengapa sesudah Konsili Vatikan II, posisi Tabernakel tempat Sakramen Maha kudus ditahtakan menjadi bergeser ke kanan altar dr posisi di tengah2 altar (dari gereja2 yang dibangun sesudah konsili Vatikan II yang saya bandingkan dengan gereja2 yang dibangun sebelum Konsili ) Sepertinya bagi saya pribadi saya lebih menyetujui kalau Tabernakel berada di tengah2 (pusat) gereja seperti gereja2 sebelum Konsili. Kalau di tengah bukankah fokus utama kita adalah Tabernakel dimana ada Sang Roti Hidup yaitu Kristus sendiri bertahta dalam tempat yang paling utama dalam gereja.
Mengapa sampai terjadi perubahan posisi? Apakah pergeseran ini karena alasan tekhnis?, atau alasan iman? atau alasan alkitab?. Mohon penjelasannya dan terima kasih.

Johanes

Jawaban:

Shalom Johanes,

Sebenarnya, tidak benar jika dikatakan bahwa setelah konsili Vatikan ke II maka posisi Tabernakel (tempat Sakramen Maha Kudus) digeser ke samping. Tidak semua gereja yang dibangun setelah Konsili Vatikan ke II mempunyai tipologi yang demikian. Setidak-tidaknya, saya melihat masih banyak gereja yang baru dibangun meletakkan tabernakelnya di tengah- tengah, dan di tempat yang mudah terlihat dari segala arah. Sebab demikianlah ketentuannya, dan saya rasa jika di gereja anda tidak demikian, silakan anda mengusulkannya kepada Dewan Paroki.

Ketentuan mengenai hal ini ada dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, sebagai berikut:

Kan. 938 � 2 Tabernakel, tempat Ekaristi mahakudus di simpan, hendaknya terletak pada suatu bagian gereja atau ruang doa yang mencolok, tampak, dihias pantas, layak untuk doa.

Kan. 938 � 3 Tabernakel tempat Ekaristi mahakudus disimpan secara terus- menerus, hendaknya bersifat tetap, terbuat dari bahan yang keras yang tak tembus pandang dan terkunci sedemikian sehingga sedapat mungkin terhindarkan dari bahaya profanasi.

Saya kurang tahu apakah di Indonesia sudah ditetapkan peraturan bangunan untuk gereja Katolik, namun kalau di Amerika, USCCB (Kongregasi para Uskup Amerika) sudah menetapkannya, dan berikut ini, saya sertakan linknya selengkapnya, silakan klik, dan ini adalah sedikit kutipannya:

� 72 � The general law of the Church provides norms concerning the tabernacle and the place for the reservation of the Eucharist that express the importance Christians place on the presence of the Blessed Sacrament. The Code of Canon Law directs that the Eucharist be reserved �in a part of the church that is prominent, conspicuous, beautifully decorated and suitable for prayer.�94 It directs that regularly there be �only one tabernacle� in the church.95 It should be worthy of the Blessed Sacrament�beautifully designed and in harmony with the overall decor of the rest of the church. To provide for the security of the Blessed Sacrament the tabernacle should be �solid,� �immovable,� �opaque,� and �locked.�96 The tabernacle may be situated on a fixed pillar or stand, or it may be attached to or embedded in one of the walls. A special oil lamp or a lamp with a wax candle burns continuously near the tabernacle as an indication of Christ�s presence.97

� 73 � The place of reservation should be a space that is dedicated to Christ present in the Eucharist and that is designed so that the attention of one praying there is drawn to the tabernacle that houses the presence of the Lord. Iconography can be chosen from the rich treasury of symbolism that is associated with the Eucharist.

Jadi dari ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat posisi Tabernakel disyaratkan adalah: harus menempati tempat utama, menyolok, dihias dengan indah, dan layak/ cocok untuk menghantar kepada suasana doa. Walaupun tidak dikatakan tempatnya harus di tengah- tengah, namun sangat wajar jika dipilih tempat yang di tengah- tengah, agar mudah/ dapat dilihat oleh umat dari berbagai sudut pandang umat. Saya pribadi juga berpendapat, seharusnya Tabernakel sedapat mungkin diletakkan di tengah- tengah, karena memang dengan demikian dapat dikatakan bahwa Tabernakel terletak di tempat yang �prominent�/ utama. Harap juga diketahui bahwa selain menempati tempat utama tersebut, Tabernakel juga harus dibuat dari material tertentu yang solid, tidak dapat digeser/ dipindah-pindah, tidak tembus pandang, dan dapat dikunci. Tabernakel juga disertai dengan lampu yang tetap menyala sebagai tanda kehadiran Yesus dalam Sakramen Maha Kudus.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org