Lagu Gregorian memang sedang naik daun. Banyak yang minta saran ke saya, bagaimana cara memasyarakatkan (kembali) lagu Gregorian. Jawaban saya mungkin sama sekali tidak diduga oleh si penanya, "Sediakan Puji Syukur di bangku-bangku gereja."
Sebagian dari kita mungkin belum sadar bahwa di Puji Syukur (PS) ada cukup banyak lagu Gregorian. Kalau saya tidak salah, setidaknya ada 32 lagu Gregorian dalam Bahasa Latin. Nah, kalau PS disediakan di bangku-bangku gereja, umat dapat diajak menyanyi lagu Gregorian yang paling dasar yang ada di dalamnya.
Untuk permulaan, kita bisa mulai dari Ordinarium (Tuhan Kasihanilah, Kemuliaan, Kudus dan Anak Domba Allah). Dalam PS ada empat macam ordinarium Gregorian, berdasarkan masa penggunaannya. Ada yang khusus untuk Masa Adven dan Prapaskah (339, dst.) dan Paskah (340, dst.). Ada Ordinarium De Angelis (342, dst.) yang dapat digunakan untuk masa selain Adven, Prapaskah dan Paskah. Yang terakhir, ada Ordinarium khusus untuk Misa Arwah (344, dst.). Mungkin kita sudah terbiasa menyanyikan Ordinarium Adven dan Prapaskah, atau bahkan De Angelis. Nah, kenapa tidak mencoba Ordinarium Paskah misalnya? Ordinarium ini dipakai mulai Hari Raya Paskah sampai dengan Pentakosta.
Lagi, yang sangat mendasar tentunya adalah Doa Bapa Kami. Yang paling umum adalah Pater Noster dengan nomor 402, yang selalu dinyanyikan di Vatikan. Selain itu ada juga versi Pater Noster yang lain (403), yang mungkin tidak sepopuler yang pertama. Berikutnya adalah Aku Percaya. Ada Credo III (374) yang sudah cukup akrab di telinga sebagian umat. Nah, kalau umat sudah bisa menyanyikan semua Ordinarium, Pater Noster dan Credo, kita sudah membuat kemajuan yang bagus sekali. Saya yakin Paus akan senang sekali mendengar umat Katolik Indonesia bisa menyanyi lagu-lagu pokok ini.
Kita masih bicara lagu Gregorian untuk Misa. Pada hari-hari Minggu atau Hari Raya tertentu, Ritus Tobat yang biasa (Tuhan Kasihanilah Kami) dapat digantikan dengan Ritus Pemercikan Air Suci. Ada lagu yang khusus untuk ritus ini, Asperges Me (233) untuk selain Masa Paskah, atau Vidi Aquam (234) untuk Masa Paskah.
Masih dalam Misa, pada Hari Minggu Paskah, kita menyanyikan suatu madah yang disebut Sekuensia setelah Alleluia (bukan sebelumnya, bdk. PUMR 64). Judulnya adalah Victimae Paschali Laudes (518). Sekuensia ini wajib sifatnya. Ada lagi satu Sekuensia wajib yang harus dinyanyikan, pada Hari Raya Pentakosta. Judul aslinya Veni Sancte Spiritus. Sayangnya di PS hanya ada versi Bahasa Indonesianya, Ya Roh Kudus Datanglah (569). Versi Latin aslinya dapat ditemukan dengan mudah di internet. Google saja Veni Sancte Spiritus, lalu nyanyikan dengan not yang tersedia di PS 569.
Berikutnya, saya yakin banyak sekali umat yang bisa menyanyikan lagu Mari Kita Memadahkan (501). Ini adalah "lagu wajib" untuk perarakan Sakramen Mahakudus. Versi Latinnya adalah Pange Lingua (502). Dapatlah dicoba untuk lain kali menyanyikan versi Latin ini, dengan not yang sama dengan Mari Kita Memadahkan tadi. Sekedar catatan, Bait 5-6 baru dinyanyikan saat Sakramen Mahakudus sampai di tempat pentakhtaan. Selama masih dalam perjalanan, Bait 1-4 lah yang dinyanyikan, bilamana perlu diulang terus menerus.
Lagi, saya juga yakin cukup banyak umat yang bisa menyanyikan Jika Ada Cinta Kasih (498). Versi Latinnya adalah Ubi Caritas Est Vera (499). Juga, Datanglah Ya Roh Pencipta (565). Versi Latinnya adalah Veni Creator Spiritus (566). Sama persis notnya. Seharusnya tidak sulit jika sekali-sekali versi Latinnya yang dinyanyikan. Umat pasti bisa mengikutinya, tentunya bila disediakan PS di bangku-bangku gereja. Ubi Caritas dinyanyikan saat perarakan persembahan pada Hari Kamis Putih. Selain itu, lagu ini juga bisa dijadikan lagu Komuni, sepanjang tahun. Veni Creator bisa dinyanyikan hampir pada setiap kesempatan di mana kita mengharapkan kedatangan Roh Kudus.
Tidak lengkap rasanya bila kita belum membahas lagu untuk Maria. Di PS ada banyak lagu Gregorian untuk Maria, masing-masing ada masa pemakaiannya yang sesuai. Ada Alma Redemptoris Mater (627; Adven-Pesta Yesus Dipersembahkan di Kenisah, 2 Februari), Ave Regina Caelorum (626; Pasca Pesta Yesus Dipersembahkan di Kenisah-Pekan Suci), Regina Caeli (624; Paskah-HR Tritunggal Mahakudus) dan Salve Regina (623; Pasca HR Tritunggal Mahakudus-Sebelum Adven). Keempat Antifon Maria ini sungguh cocok dinyanyikan bersama saat Doa Rosario.
Masih ada lagi yang lain, termasuk Te Deum (669), madah syukur yang dapat dinyanyikan setelah komuni, tepatnya usai Doa Sesudah Komuni (umat duduk kembali). Madah ini wajib dinyanyikan saat tahbisan uskup, imam dan diakon. Satu yang mungkin agak kurang populer adalah Popule Meus (506). Yang ini untuk penghormatan salib pada hari Jumat Agung.
Akhirnya, ada Requiem (708) yang adalah Lagu Pembuka untuk Misa Arwah, dan juga In Paradisum (709), dengan teks yang sangat indah, yang cocok untuk bagian akhir Misa Arwah.
Semoga uraian di atas cukup untuk meyakinkan Anda untuk mengusahakan penyediaan Puji Syukur di bangku-bangku gereja. Sekali lagi, Puji Syukur, bukan Kitab Suci. Sejauh yang saya tahu, di Roma tidak ada Kitab Suci di bangku umat. Dalam gereja Katolik, maksud saya.
Sebagai penutup, baiklah kalau saya mengutip Paus Benediktus XVI, �Akhirnya, dengan tetap menghargai aneka gaya dan beragam tradisi yang sangat berharga, saya mendambakan, sesuai dengan permintaan yang diajukan oleh para Bapa Sinode, agar nyanyian Gregorian benar-benar dihargai dan digunakan sebagai nyanyian yang sesuai untuk liturgi Romawi.� (Sacramentum Caritatis 42)
Catatan: Artikel ini dimuat dalam Majalah Liturgi yang diterbitkan oleh Komisi Liturgi KWI, Vol 21 No 5 - Sep-Okt 2010.
Showing posts with label Paduan Suara Gereja. Show all posts
Showing posts with label Paduan Suara Gereja. Show all posts
Wednesday, January 5, 2011
Sunday, September 26, 2010
Paduan Suara Malaikat
oleh: Romo William P. Saunders *
Dengan segala macam pembicaraan mengenai malaikat, beragam gambar dan kisah mengenainya, dan bahkan tayangan televisi yang menampilkan sosok malaikat, mengapakah kita tidak sering mendengarnya di gereja? Sebagian tayangan di atas menjadikan malaikat tampak bagaikan makhluk-makhluk halus khayalan. Mohon tanggapan.
~ seorang pembaca di Alexandria
Katekismus Gereja Katolik dengan jelas menegaskan, �bahwa ada makhluk rohani tanpa badan, yang oleh Kitab Suci biasanya dinamakan `malaikat', adalah satu kebenaran iman. Kesaksian Kitab Suci dan kesepakatan tradisi tentang itu bersifat sama jelas� (No. 328). Kita sungguh percaya akan malaikat; kita mendefinisikannya sebagai makhluk rohani murni dan wujud pribadi yang mempunyai akal budi dan kehendak bebas; mereka tidak dapat mati. Seperti dicatat dalam Kitab Suci, malaikat menampakkan diri kepada manusia dalam rupa manusia.
Sejak abad keempat, malaikat diklasifikasikan dalam sembilan paduan suara atau kelompok malaikat. Ketiga paduan suara yang pertama menatap dan bersembah sujud langsung di hadapan Tuhan. SERAFIM, yang artinya �yang bernyala-nyala,� memiliki �nyala� kasih yang paling berkobar kepada Tuhan dan memahami-Nya dengan pemahaman yang paling mendalam. (Menariknya, Lucifer, adalah salah satu dari serafim yang terang cemerlangnya berubah menjadi kegelapan). KERUBIM, yang artinya �kesempurnaan kebijaksanaan,� merenungkan penyelenggaraan ilahi dan rancangan Allah bagi makhluk ciptaannya. Terakhir, TAHTA, melambangkan keadilan ilahi dan kuasa pengadilan, merenungkan kuasa dan keadilan Allah.
Ketiga paduan suara berikutnya menunaikan rencana penyelanggaraan ilahi bagi alam semesta: PENGUASA, yang namanya menyiratkan otoritas, memimpin paduan suara malaikat yang lebih rendah. KEUTAMAAN, yang namanya membangkitkan kesan daya atau kekuatan, melaksanakan perintah-perintah PENGUASA dan memimpin kelompok-kelompok surgawi. Terakhir, KEKUATAN, menghadapi serta melawan kuasa-kuasa jahat yang menentang rancangan penyelanggaraan ilahi.
Ketiga paduan suara terakhir berhubungan langsung dengan masalah-masalah manusia. KERAJAAN melindungi kerajaan-kerajaan duniawi, seperti bangsa-bangsa atau kota-kota. MALAIKAT AGUNG menyampaikan pesan-pesan Allah yang paling penting kepada umat manusia, sementara setiap MALAIKAT mengemban tugas sebagai pelindung bagi masing-masing kita. Walau bukan merupakan dogma resmi, skema ini menjadi populer pada Abad Pertengahan melalui tulisan-tulisan St Thomas Aquinas, Dante, St Hildegard dari Bingen dan Yohanes Scotus Erigina.
Kita percaya bahwa Allah yang Mahakuasa menciptakan malaikat sebelum karya ciptaan lainnya. Sementara itu, sebagian malaikat, dengan dipimpin oleh Lucifer, berontak melawan Allah. Para malaikat ini, dengan kehendak bebasnya memilih dengan tak dapat dibatalkan kembali untuk menolak Allah dan hukum-hukum-Nya secara radikal. Sebab itu, mereka dicampakkan ke dalam neraka. Peristiwa ini disebut-sebut, walau sekilas, dalam beberapa ayat Perjanjian Baru. St Petrus menulis, �Allah tidak menyayangkan malaikat-malaikat yang berbuat dosa tetapi melemparkan mereka ke dalam neraka dan dengan demikian menyerahkannya ke dalam gua-gua yang gelap untuk menyimpan mereka sampai hari penghakiman� (2 Pet 2:4). Dalam surat St Yudas kita baca, �Dan bahwa Ia menahan malaikat-malaikat yang tidak taat pada batas-batas kekuasaan mereka, tetapi yang meninggalkan tempat kediaman mereka, dengan belenggu abadi di dalam dunia kekelaman sampai penghakiman pada hari besar, sama seperti Sodom dan Gomora dan kota-kota sekitarnya, yang dengan cara yang sama melakukan percabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan yang tak wajar, telah menanggung siksaan api kekal sebagai peringatan kepada semua orang� (Yud 6-7). Ketika Yesus berbicara mengenai Pengadilan Terakhir dan pentingnya melayani saudara-saudara yang paling hina, Ia berkata kepada mereka yang jahat, �Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang telah sedia untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya� (Mat 25:41). Patut kita ingat bahwa malaikat-malaikat yang jatuh ini - setan dan roh-roh jahat - diciptakan sebagai baik, namun dengan kehendak bebas mereka sendiri memilih untuk berdosa dan berpaling dari Allah.
Kunci untuk memahami malaikat ialah dengan melihat apa yang mereka lakukan. Pertama, malaikat memandang, memuji dan memuliakan Allah di hadirat ilahi-Nya. Yesus bersabda, �Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga� (Mat 18:10), suatu ayat yang juga mengindikasikan bahwa masing-masing kita mempunyai seorang malaikat pelindung. Kitab Wahyu menggambarkan bagaimana para malaikat mengelilingi tahta Allah dan memadahkan puji-pujian (bdk Why 5:11dst, 7:11dst). Pula, para malaikat bersukacita atas jiwa orang berdosa yang bertobat (Luk 15:10).
Kedua, malaikat berasal dari kata Ibrani �malach� yang berarti �utusan�; dalam bahasa Inggris, malaikat disebut `angel', berasal dari kata Yunani �angelos� yang juga berarti �utusan�. Malaikat merupakan sebutan yang menggambarkan peran mereka dalam interaksinya dengan dunia ini. St Agustinus menyatakan bahwa malaikat �melaksanakan firman-Nya dengan mendengarkan suara firman-Nya.� Sepanjang Kitab Suci, para malaikat berperan sebagai utusan Allah, baik itu menyampaikan pesan aktual mengenai rencana keselamatan Allah, melaksanakan keadilan, ataupun memberikan kekuatan serta penghiburan. Berikut adalah beberapa contoh dari peran mereka sebagai utusan dalam Perjanjian Lama: Setelah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa dan dihalau dari Eden, kerubim ditempatkan Tuhan untuk menjaga jalan masuk ke Taman Eden (Kej 3:24). Para malaikat melindungi Lot dan keluarganya di Sodom dan Gomora (Kej 19). Malaikat menghentikan Abraham sementara ia hendak mempersembahkan Ishak sebagai kurban (Kej 22). Seorang malaikat melindungi umat Allah dalam perjalanan menuju Tanah Terjanji (Kel 23:20). Dalam Perjanjian Baru: Seorang malaikat menampakkan diri kepada perwira Kornelius dan menghantarnya pada pertobatan (Kis 10:1dst); seorang malaikat membebaskan St Petrus dari penjara (Kis 12:1dst). Ibrani 1:14 menggambarkan peran malaikat dengan sangat jelas, �Bukankah mereka semua adalah roh-roh yang melayani, yang diutus untuk melayani mereka yang harus memperoleh keselamatan?�
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : �Straight Answers: Choirs of Angels� by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright �2004 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: �diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.
Dengan segala macam pembicaraan mengenai malaikat, beragam gambar dan kisah mengenainya, dan bahkan tayangan televisi yang menampilkan sosok malaikat, mengapakah kita tidak sering mendengarnya di gereja? Sebagian tayangan di atas menjadikan malaikat tampak bagaikan makhluk-makhluk halus khayalan. Mohon tanggapan.
~ seorang pembaca di Alexandria
Katekismus Gereja Katolik dengan jelas menegaskan, �bahwa ada makhluk rohani tanpa badan, yang oleh Kitab Suci biasanya dinamakan `malaikat', adalah satu kebenaran iman. Kesaksian Kitab Suci dan kesepakatan tradisi tentang itu bersifat sama jelas� (No. 328). Kita sungguh percaya akan malaikat; kita mendefinisikannya sebagai makhluk rohani murni dan wujud pribadi yang mempunyai akal budi dan kehendak bebas; mereka tidak dapat mati. Seperti dicatat dalam Kitab Suci, malaikat menampakkan diri kepada manusia dalam rupa manusia.
Sejak abad keempat, malaikat diklasifikasikan dalam sembilan paduan suara atau kelompok malaikat. Ketiga paduan suara yang pertama menatap dan bersembah sujud langsung di hadapan Tuhan. SERAFIM, yang artinya �yang bernyala-nyala,� memiliki �nyala� kasih yang paling berkobar kepada Tuhan dan memahami-Nya dengan pemahaman yang paling mendalam. (Menariknya, Lucifer, adalah salah satu dari serafim yang terang cemerlangnya berubah menjadi kegelapan). KERUBIM, yang artinya �kesempurnaan kebijaksanaan,� merenungkan penyelenggaraan ilahi dan rancangan Allah bagi makhluk ciptaannya. Terakhir, TAHTA, melambangkan keadilan ilahi dan kuasa pengadilan, merenungkan kuasa dan keadilan Allah.
Ketiga paduan suara berikutnya menunaikan rencana penyelanggaraan ilahi bagi alam semesta: PENGUASA, yang namanya menyiratkan otoritas, memimpin paduan suara malaikat yang lebih rendah. KEUTAMAAN, yang namanya membangkitkan kesan daya atau kekuatan, melaksanakan perintah-perintah PENGUASA dan memimpin kelompok-kelompok surgawi. Terakhir, KEKUATAN, menghadapi serta melawan kuasa-kuasa jahat yang menentang rancangan penyelanggaraan ilahi.
Ketiga paduan suara terakhir berhubungan langsung dengan masalah-masalah manusia. KERAJAAN melindungi kerajaan-kerajaan duniawi, seperti bangsa-bangsa atau kota-kota. MALAIKAT AGUNG menyampaikan pesan-pesan Allah yang paling penting kepada umat manusia, sementara setiap MALAIKAT mengemban tugas sebagai pelindung bagi masing-masing kita. Walau bukan merupakan dogma resmi, skema ini menjadi populer pada Abad Pertengahan melalui tulisan-tulisan St Thomas Aquinas, Dante, St Hildegard dari Bingen dan Yohanes Scotus Erigina.
Kita percaya bahwa Allah yang Mahakuasa menciptakan malaikat sebelum karya ciptaan lainnya. Sementara itu, sebagian malaikat, dengan dipimpin oleh Lucifer, berontak melawan Allah. Para malaikat ini, dengan kehendak bebasnya memilih dengan tak dapat dibatalkan kembali untuk menolak Allah dan hukum-hukum-Nya secara radikal. Sebab itu, mereka dicampakkan ke dalam neraka. Peristiwa ini disebut-sebut, walau sekilas, dalam beberapa ayat Perjanjian Baru. St Petrus menulis, �Allah tidak menyayangkan malaikat-malaikat yang berbuat dosa tetapi melemparkan mereka ke dalam neraka dan dengan demikian menyerahkannya ke dalam gua-gua yang gelap untuk menyimpan mereka sampai hari penghakiman� (2 Pet 2:4). Dalam surat St Yudas kita baca, �Dan bahwa Ia menahan malaikat-malaikat yang tidak taat pada batas-batas kekuasaan mereka, tetapi yang meninggalkan tempat kediaman mereka, dengan belenggu abadi di dalam dunia kekelaman sampai penghakiman pada hari besar, sama seperti Sodom dan Gomora dan kota-kota sekitarnya, yang dengan cara yang sama melakukan percabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan yang tak wajar, telah menanggung siksaan api kekal sebagai peringatan kepada semua orang� (Yud 6-7). Ketika Yesus berbicara mengenai Pengadilan Terakhir dan pentingnya melayani saudara-saudara yang paling hina, Ia berkata kepada mereka yang jahat, �Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang telah sedia untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya� (Mat 25:41). Patut kita ingat bahwa malaikat-malaikat yang jatuh ini - setan dan roh-roh jahat - diciptakan sebagai baik, namun dengan kehendak bebas mereka sendiri memilih untuk berdosa dan berpaling dari Allah.
Kunci untuk memahami malaikat ialah dengan melihat apa yang mereka lakukan. Pertama, malaikat memandang, memuji dan memuliakan Allah di hadirat ilahi-Nya. Yesus bersabda, �Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga� (Mat 18:10), suatu ayat yang juga mengindikasikan bahwa masing-masing kita mempunyai seorang malaikat pelindung. Kitab Wahyu menggambarkan bagaimana para malaikat mengelilingi tahta Allah dan memadahkan puji-pujian (bdk Why 5:11dst, 7:11dst). Pula, para malaikat bersukacita atas jiwa orang berdosa yang bertobat (Luk 15:10).
Kedua, malaikat berasal dari kata Ibrani �malach� yang berarti �utusan�; dalam bahasa Inggris, malaikat disebut `angel', berasal dari kata Yunani �angelos� yang juga berarti �utusan�. Malaikat merupakan sebutan yang menggambarkan peran mereka dalam interaksinya dengan dunia ini. St Agustinus menyatakan bahwa malaikat �melaksanakan firman-Nya dengan mendengarkan suara firman-Nya.� Sepanjang Kitab Suci, para malaikat berperan sebagai utusan Allah, baik itu menyampaikan pesan aktual mengenai rencana keselamatan Allah, melaksanakan keadilan, ataupun memberikan kekuatan serta penghiburan. Berikut adalah beberapa contoh dari peran mereka sebagai utusan dalam Perjanjian Lama: Setelah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa dan dihalau dari Eden, kerubim ditempatkan Tuhan untuk menjaga jalan masuk ke Taman Eden (Kej 3:24). Para malaikat melindungi Lot dan keluarganya di Sodom dan Gomora (Kej 19). Malaikat menghentikan Abraham sementara ia hendak mempersembahkan Ishak sebagai kurban (Kej 22). Seorang malaikat melindungi umat Allah dalam perjalanan menuju Tanah Terjanji (Kel 23:20). Dalam Perjanjian Baru: Seorang malaikat menampakkan diri kepada perwira Kornelius dan menghantarnya pada pertobatan (Kis 10:1dst); seorang malaikat membebaskan St Petrus dari penjara (Kis 12:1dst). Ibrani 1:14 menggambarkan peran malaikat dengan sangat jelas, �Bukankah mereka semua adalah roh-roh yang melayani, yang diutus untuk melayani mereka yang harus memperoleh keselamatan?�
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : �Straight Answers: Choirs of Angels� by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright �2004 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: �diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.
Friday, September 3, 2010
Mengenal Musik Liturgi
Pengantar
Berbicara tentang musik-liturgis, kita ingat akan nama-nama lain yang juga sering kita dengar seperti: musik-gereja, musik-rohani, musik-suci. Dalam rangka mengerti kekhasan musik liturgi baiklah lebih dahulu kita memahami arti dari istilah-istilah lain itu dan hubungannya dengan musik-liturgis.
Jenis Musik
�Musik-gereja� atau musica eccelsiastica adalah istilah yang digunakan oleh para pengikut Kristus atau Gereja ketika persekutuan beriman ini menyadari kekhasannya dalam mengekspresikan iman lewat musik terutama dalam ibadat atau liturgi. Istilah ini mengacu pada tatanan bunyi dengan melodi tertentu tanpa teks atau sesuai dengan bentuk teks yang mengungkapkan baik isi hati umat beriman maupun ajaran dan iman Gereja. Musik ini dapat dihasilkan dengan bantuan alat/instrumen atau/dan dengan suara penyanyi. Karena mengungkapkan iman yang diajarkan dan dihayati oleh umat beriman maka musik Gereja memiliki kekhasan dibandingkan dengan musik dari umat yang beragama lain meskipun dipengaruhi juga oleh musik agama lain misalnya dari musik orang Yahudi. Musik gereja pada umumnya adalah salah satu bentuk dari musik-religus atau musik-rohani.
Yang dimaksudkan dengan �musik-religius� (musica religiosa) atau �musik-rohani� adalah musik yang mengungkapkan atau mengandung tema-tema rohani. Musik atau lagu rohani ini dimiliki umat agama manapun. Bahkan ada tema musik-rohani yang umum diterima oleh umat manapun karena bersifat universal. Baik melodi maupun teksnya mengungkapkan pengalaman rohani yang diterima oleh orang beriman dari berbagai agama. Ketika suatu musik/lagu rohani mengungkapkan pengalaman khusus dari umat agama tertentu, maka ia menjadi musik/lagu yang khas misalnya lagu-rohani khas Yahudi atau khas Hindu dan Budha atau khas Kristen dan Islam. Musik-rohani itu jadi khas Kristiani bila mengungkapkan keyakinan iman akan Kristus Tuhan dan Penyelamat atau akan Tritunggal Mahakudus serta pokok iman lain yang diyakini orang Kristiani. Itulah yang kita namakan secara umum musik-gereja. Di dalam lingkup Gereja sendiri, musik-rohani dalam arti sempit berarti segala macam musik/lagu yang mengungkapkan pengalaman rohani khas Gereja tetapi tidak dimaksudkan untuk digunakan dalam perayaan-perayaan liturgis.
Ada juga istilah �musik-suci� (musica sacra) yang pernah dipakai oleh Gereja Katolik dalam arti segala macam musik-rohani atau musik-gereja yang digubah khusus untuk ibadat atau perayaan-perayaan liturgis. Kini istilah yang lebih populer adalah �musik-liturgis�. Karena itu sekedar untuk membedakan musik-suci dari musik-liturgis, menurut Gelineau (Voices and Instruments in Christian Worship: Principles, Laws, Applications, Collegeville: The Liturgical Press, 1964) musik-suci dalam arti tertentu mengacu pada semua macam musik yang inspirasinya atau maksud dan tujuan serta cara membawakannya mempunyai hubungan dengan iman Gereja. Lalu apa itu musik-liturgis dan ciri-cirinya?
Ciri-ciri Musik Liturgis
�Musik-liturgis� (khususnya melodi yg dihasilkan oleh alat-alat musik) dan �nyanyian-liturgis� (khususnya teks atau tindakan liturgis yang diberi melodi), dapat dilagukan dengan suara dan bunyi alat-alat musik sebagai pengiring. Baik teks maupun musik dengan melodinya yang secara khas mengekspresikan iman Gereja yang dirayakan dalam liturgi yaitu tentang apa yang dilakukan Allah (karya agung Allah yang menyelamatkan) dan tanggapan manusia beriman (syukur-pujian, sembah-sujud, dan permohonan).
Kita menggunakan istilah �musik-liturgis� dan bukan �musik dalam liturgi� karena dengan �musik-liturgis� mau digarisbawahi pandangan Gereja tentang musik sebagai bagian utuh dari perayaan liturgi dan bukan sebagai suatu unsur luar yang dicopot dan dimasukkan ke dalam perayaan liturgis seakan-akan suatu barang asing atau hal lain dari liturgi lalu diletakkan di tengah perayaan liturgi.
Sebagai bagian utuh dari liturgi, musik-liturgi itu merupakan doa dan bukan sekedar suatu ekspresi seni yang jadi bahan tontonan. Memang musik-liturgi itu mesti indah dan memenuhi persyaratan-persyaratan seni musik/nyanyian pada umumnya, namun lebih dari itu musik-liturgi mengungkapkan doa manusia beriman. Bahkan musik atau nyanyian-liturgis sebagai doa mempunyai nilai tinggi. Sebab musik-liturgi menggerakkan seluruh diri manusia yang menyanyi atau yang menggunakan alat-alat musik (budi, perasaan-hati, mata, telinga, suara, tangan atau kaki dll). Sekaligus demi harmoni dituntut kurban untuk meninggalkan diri sendiri dan menyesuaikan diri dengan orang lain, dengan tempat, dengan situasi, dengan maksud-tujuan musik/nyanyian liturgis yaitu demi Tuhan dan sesama. Ini memang cocok dengan hakekat dari liturgi sebagai perayaan bersama yang melibatkan banyak orang demi kepentingan umum (kemuliaan Tuhan dan keselamatan manusia, bukan hanya demi diri sendiri). Oleh karena itu Gereja mewarisi pandangan bahwa orang yang menyanyi dengan baik sebenarnya berdoa dua kali (si bene cantat bis orat). Sekali lagi, nilai yang tinggi itu tercapai kalau ada kurban dengan meninggalkan diri sendiri dan bersatu dengan yang lain dalam menyanyi atau bermusik demi kepentingan bersama.
Seni Musik Liturgis
Musik-liturgis sebagai karya seni (bukan tontonan atau pertunjukan) sebenarnya membantu kita semua sebagai peraya untuk mengarahkan seluruh diri kepada inti misteri yang dirayakan dalam liturgi yaitu kepada Tuhan sendiri sebagai sumber segala karya seni. Oleh karena itu cara-cara yang mengalihkan perhatian kita kepada hal lain atau kepada tokoh tertentu perlu diwaspadai. Bisa saja kita memilih seorang artis sebagai pemazmur atau penyanyi solo tetapi ketika ia menjalankan tugasnya tidak boleh ditonjolkan keartisannya, tetapi �fungsi liturgisnya�. Memberikan aplaus kepada si pemazmur atau solist karena suaranya yang bagus lebih merupakan bagian dari suatu acara panggung pertunjukan. Demikian juga pembawa homili yang memilih dan membawakan lagu yang sedang populer di tengah atau di akhir homili (karena ada kaitan dengan tema homili) yang langsung ditanggapi oleh umat dengan tepuk tangan meriah, perlu dipertimbangkan apakah hal seperti itu punya fungsi atau makna liturgis. Padahal ketika imam menyanyikan Prefasi atau Kisah Institusi dalam Doa Syukur Agung dengan suara yang bagus tidak diberi aplaus.
Pertimbangan yang sama dapat kita pakai untuk menilai kebiasaan koor menyanyikan semua lagu selama perayaan liturgis. Sebetulnya koor dengan dirigen yang bagus sungguh berfungsi liturgis kalau dapat membantu semua peraya yang lain untuk menyanyi bersama dengan lebih baik seperti atau mendekati cara koor menyanyi. Kalau dari awal sampai akhir semua nyanyian dibawakan hanya oleh koor, meskipun semuanya sangat mempesona, sebetulnya telah mengurangkan maknanya sebagai musik/nyanyian liturgis. Perlu ada suatu pembagian yang lebih seimbang dalam hal ini.
Proses Menjadi Musik Liturgis
Menerima musik-liturgis sebagai doa liturgis menuntut pula kesediaan setiap peraya atau kelompok peraya untuk menerima musik atau nyanyian yang sudah disepakati oleh Gereja untuk dipakai di dalam perayaan-perayaan liturgi. Musik/nyanyian yang ada di dalam buku-buku nyanyian yang diterbitkan dengan nihil obstat dan imprimatur pimpinan Gereja, dipandang sebagai musik-liturgis. Tentu melewati proses seleksi yang dibuat oleh orang-orang yang punya kemampuan dalam bidangnya hingga mendapat persetujuan dari pimpinan Gereja. Kesempatan terbuka bagi para komponis untuk mencipta lagu-lagu bagu yang lebih sesuai dengan rasa seni musik orang setempat, namun untuk dipakai sebagai musik/nyanyian liturgis perlu menempuh prosedur seleksi hingga mendapat pesetujuan resmi untuk dipakai dalam perayaan liturgi. Patut kita puji inisitip-inisitip untuk mencipta dan menemukan lagu-lagu baru yang lebih seusai dengan budaya setempat dan kebutuhan liturgis, misalanya dalam misa dengan �lagu-lagu alternatif�. Akan tetapi perlu kita waspadai kecenderungan menggunakan nyanyian-nyanyian baru itu tanpa peduli pada proses untuk �menjadi milik besama� dari Gereja, apalagi kalau yang jadi patokan utama adalah rasa suka, tertarik, tersentuh tanpa mengindahkan persyaratan liturgis.
Kadang terjadi bahwa kita memilih musik/nyanyian tertentu untuk perayaan liturgi karena sudah bosan dengan yang lama padahal yang baru itu belum tentu memenuhi persyaratan liturgis. Ini tantangan buat kita: merasa bosan dengan musik/nyanyian liturgis karena terus menerus menyanyikan yang sama (lama) atau merasa tidak tertarik, tidak suka, tidak tersentuh, tidak tergerak. Kita cendrung tersentuh dengan yang baru. Maka serta merta kita mencari dan membawakan musik/nyanyian baru dalam liturgi, tetapi tanpa pertimbangan atau seleksi. Dengan demikian dapat terjadi bahwa kita menggunakan musik/nyanyian yang sebenarnya tidak memenuhi persyaratan untuk perayaan liturgis.
Jadi bukan soal utama suka atau tidak suka, menarik atau tidak menarik, menyentuh atau tidak menyentuh, baru atau lama tetapi apakah telah menjadi �milik bersama� dari Gereja karena disepakati sebagai musik/nyanyian liturgis. Sebuah nyanyian atau musik diterima sebagai �milik bersama� bukan hanya karena telah dimasukkan ke dalam buku nyanyian resmi tetapi juga karena dilatih bersama, dinyanyikan bersama dan dipahami serta dihayati bersama maknanya dalam perayaan.
Musik-liturgis diterima atau diakui oleh Gereja sebagai miliknya, milik persekutuan demi kepentingan bersama (dikenal tradisi untuk tidak menulis si komponisnya dalam buku-buku resmi nyanyian-liturgis, tetapi nama mereka ditulis dalam catatan sejarah penyusunan buku). Perlu ada proses menjadikan musik-liturgis itu sebagai milik bersama. Dalam proses ini Gereja melihat betapa pelunya membuat latihan untuk menguasai dan menghayati musik/nyanyian bersama sebagai nyanyian dari hati, nayanyian yang mempengaruhi seluruh pribadi peraya. Jadi ada proses meninggalkan diri sendiri (rasa dan keinginan pribadi atu kelompok khusus) lalu menerima yang umum dan menjadikannya bagian atau milik pribadi demi kepentingan umum. Ini sebuah proses yang tidak gampang, karena yang menjadi tantangan adalah kecenderungan untuk mengutamakan rasa atau keinginan pribadi/kelompok khusus. Aspek personalnya lebih nampak dari pada aspek liturgis (yang umum). Kepentingan pribadi lebih menonjol dari pada kepentingan umum.
Untuk memenuhi persyaratan sebagai bagian utuh dari liturgi, musik-liturgi juga mesti berfungsi liturgis dalam arti baik teks maupun lagunya sesuai dengan unsur atau tindak liturgis dalam keseluruhan tata perayaan liturgis. Maka kita dapati nyanyian yang cocok untuk liturgi pembaptisan tetapi tidak sesuai untuk liturgi pernikahan. Nyanyian-liturgis untuk Ekaristi juga mesti sesuai dengan teks liturgi Ekaristi dan tindakan liturgis dalam unsur-unsur atau bagian-bagian tertentu dari liturgi Ekaristi. Sebuah lagu pembuka tentu tidak cocok untuk kesempatan seruan �kudus-kudus�, meskipun dari sudut kebenaran teks dan keindahan lagu tak ada cacat. Dalam hal ini tempat liturgis lagu pembuka itu tidak cocok atau nyanyian itu tidak mempunyai fungsi liturgis karena dinyanyikan pada saat �kudus kudus�.
Memilih Musik Liturgis
Perlu diketahui juga teks-teks liturgis mana saja yang dapat dinyanyikan (khususnya dalam liturgi Ekaristi). Ada teks-teks baku-tetap (antara lain Tuhan Kasihanilah Kami, Kemuliaan, Aku Percaya, Kudus-Kudus, Bapa Kami, Anak Domba Allah). Nyanyian ini disebutordinarium. Ada juga teks-teks yang dapat berubah atau bervarisi rumusannya sesuai dengan perayaan pada hari bersangkutan dan disebutproprium (Antifon Pembuka atau Lagu Pembuka untuk mengiringi perarakan masuk, Mazmur Tanggapan untuk menanggapi Sabda Allah yang telah dimaklumkan, Alleluia-Bait Pengantar Injil untuk menyiapkan diri mendengarkan pemakluman Injil, Antifon Komuni atau Lagu Komuni selama atau sesudah komuni, Nyanyian Persiapan Persembahan untuk mengiringi perarakan bahan-bahan persembahan dan Lagu Penutup untuk mengiringi perarakan kembali). Teks-teks ini sangat kaya dan berhubungan erat dengan tindakan liturgis, unsur-unsur liturgis, tema perayaan, masa liturgis serta bacaan-bacaan dalam perayaan liturgi. Suatu hal yang patut dipuji adalah kebiasan menyanyikan Mazmur Tanggapan dan Alleluia-Bait Pengantar Injil dengan teks yang bervariasi sesuai dengan hari atau pestanya. Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah lagu yang sesuai dengan teks-teks antifon (Pembuka dan Komuni) yang sebenarnya sangat kaya dan bervariasi serta biblis.
Dalam hubungan dengan teks-teks liturgi, terutama yang harus atau boleh dinyanyikan, diharapkan agar susunannya tepat serta mudah dan indah kalau dinyanyikan. Dalam hal ini lagu melayani teks dan bukan sebaliknya. Baiklah kita waspadai nyanyian-nyanyian yang mengorbankan ketepatan dan kebenaran iman demi mempertahankan suatu melodi. Misalnya lagu Bapa Kami Filipina, demi penyesuaian dengan melodinya diubahlah rumusan �jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga� menjadi �jadilah kehendak-Mu di bumi dan di surga�. Mengganti �seperti� dengan �dan� sebenarnya mengubah iman kita akan surga, bahwa di surga dan di bumi kehendak Tuhan tidak selalu terjadi. Padahal kita percaya bahwa kehendak Tuhan selalu terjadi di surga sedangkan di bumi tidak selalu terjadi karena ulah manusia yang suka melawan kehendak Tuhan, maka kita mohon agar kehendak Tuhan terjadi di bumi seperti di surga. Kalau prinsip �melodi melayani teks� diperhatikan, maka ketepatan dn kebenaran teks-teks liturgis juga dapat lebih dijamin.
Ditulis oleh: Romo Bernardus Boli Ujan SVD (Penulis adalah Sekretaris Eksekutif Komisi Liturgi KWI tahun 2002-2008)
Tulisan ini pernah dimuat sebagai artikel dalam Majalah Bulanan Kristiani INSPIRASI, Lentera Yang Membebaskan, No 24, Tahun II Agustus 2006, hlm 27-29.
Sumber: http://katolisitas.org/2010/08/06/musik-liturgi/
Berbicara tentang musik-liturgis, kita ingat akan nama-nama lain yang juga sering kita dengar seperti: musik-gereja, musik-rohani, musik-suci. Dalam rangka mengerti kekhasan musik liturgi baiklah lebih dahulu kita memahami arti dari istilah-istilah lain itu dan hubungannya dengan musik-liturgis.
Jenis Musik
�Musik-gereja� atau musica eccelsiastica adalah istilah yang digunakan oleh para pengikut Kristus atau Gereja ketika persekutuan beriman ini menyadari kekhasannya dalam mengekspresikan iman lewat musik terutama dalam ibadat atau liturgi. Istilah ini mengacu pada tatanan bunyi dengan melodi tertentu tanpa teks atau sesuai dengan bentuk teks yang mengungkapkan baik isi hati umat beriman maupun ajaran dan iman Gereja. Musik ini dapat dihasilkan dengan bantuan alat/instrumen atau/dan dengan suara penyanyi. Karena mengungkapkan iman yang diajarkan dan dihayati oleh umat beriman maka musik Gereja memiliki kekhasan dibandingkan dengan musik dari umat yang beragama lain meskipun dipengaruhi juga oleh musik agama lain misalnya dari musik orang Yahudi. Musik gereja pada umumnya adalah salah satu bentuk dari musik-religus atau musik-rohani.
Yang dimaksudkan dengan �musik-religius� (musica religiosa) atau �musik-rohani� adalah musik yang mengungkapkan atau mengandung tema-tema rohani. Musik atau lagu rohani ini dimiliki umat agama manapun. Bahkan ada tema musik-rohani yang umum diterima oleh umat manapun karena bersifat universal. Baik melodi maupun teksnya mengungkapkan pengalaman rohani yang diterima oleh orang beriman dari berbagai agama. Ketika suatu musik/lagu rohani mengungkapkan pengalaman khusus dari umat agama tertentu, maka ia menjadi musik/lagu yang khas misalnya lagu-rohani khas Yahudi atau khas Hindu dan Budha atau khas Kristen dan Islam. Musik-rohani itu jadi khas Kristiani bila mengungkapkan keyakinan iman akan Kristus Tuhan dan Penyelamat atau akan Tritunggal Mahakudus serta pokok iman lain yang diyakini orang Kristiani. Itulah yang kita namakan secara umum musik-gereja. Di dalam lingkup Gereja sendiri, musik-rohani dalam arti sempit berarti segala macam musik/lagu yang mengungkapkan pengalaman rohani khas Gereja tetapi tidak dimaksudkan untuk digunakan dalam perayaan-perayaan liturgis.
Ada juga istilah �musik-suci� (musica sacra) yang pernah dipakai oleh Gereja Katolik dalam arti segala macam musik-rohani atau musik-gereja yang digubah khusus untuk ibadat atau perayaan-perayaan liturgis. Kini istilah yang lebih populer adalah �musik-liturgis�. Karena itu sekedar untuk membedakan musik-suci dari musik-liturgis, menurut Gelineau (Voices and Instruments in Christian Worship: Principles, Laws, Applications, Collegeville: The Liturgical Press, 1964) musik-suci dalam arti tertentu mengacu pada semua macam musik yang inspirasinya atau maksud dan tujuan serta cara membawakannya mempunyai hubungan dengan iman Gereja. Lalu apa itu musik-liturgis dan ciri-cirinya?
Ciri-ciri Musik Liturgis
�Musik-liturgis� (khususnya melodi yg dihasilkan oleh alat-alat musik) dan �nyanyian-liturgis� (khususnya teks atau tindakan liturgis yang diberi melodi), dapat dilagukan dengan suara dan bunyi alat-alat musik sebagai pengiring. Baik teks maupun musik dengan melodinya yang secara khas mengekspresikan iman Gereja yang dirayakan dalam liturgi yaitu tentang apa yang dilakukan Allah (karya agung Allah yang menyelamatkan) dan tanggapan manusia beriman (syukur-pujian, sembah-sujud, dan permohonan).
Kita menggunakan istilah �musik-liturgis� dan bukan �musik dalam liturgi� karena dengan �musik-liturgis� mau digarisbawahi pandangan Gereja tentang musik sebagai bagian utuh dari perayaan liturgi dan bukan sebagai suatu unsur luar yang dicopot dan dimasukkan ke dalam perayaan liturgis seakan-akan suatu barang asing atau hal lain dari liturgi lalu diletakkan di tengah perayaan liturgi.
Sebagai bagian utuh dari liturgi, musik-liturgi itu merupakan doa dan bukan sekedar suatu ekspresi seni yang jadi bahan tontonan. Memang musik-liturgi itu mesti indah dan memenuhi persyaratan-persyaratan seni musik/nyanyian pada umumnya, namun lebih dari itu musik-liturgi mengungkapkan doa manusia beriman. Bahkan musik atau nyanyian-liturgis sebagai doa mempunyai nilai tinggi. Sebab musik-liturgi menggerakkan seluruh diri manusia yang menyanyi atau yang menggunakan alat-alat musik (budi, perasaan-hati, mata, telinga, suara, tangan atau kaki dll). Sekaligus demi harmoni dituntut kurban untuk meninggalkan diri sendiri dan menyesuaikan diri dengan orang lain, dengan tempat, dengan situasi, dengan maksud-tujuan musik/nyanyian liturgis yaitu demi Tuhan dan sesama. Ini memang cocok dengan hakekat dari liturgi sebagai perayaan bersama yang melibatkan banyak orang demi kepentingan umum (kemuliaan Tuhan dan keselamatan manusia, bukan hanya demi diri sendiri). Oleh karena itu Gereja mewarisi pandangan bahwa orang yang menyanyi dengan baik sebenarnya berdoa dua kali (si bene cantat bis orat). Sekali lagi, nilai yang tinggi itu tercapai kalau ada kurban dengan meninggalkan diri sendiri dan bersatu dengan yang lain dalam menyanyi atau bermusik demi kepentingan bersama.
Seni Musik Liturgis
Musik-liturgis sebagai karya seni (bukan tontonan atau pertunjukan) sebenarnya membantu kita semua sebagai peraya untuk mengarahkan seluruh diri kepada inti misteri yang dirayakan dalam liturgi yaitu kepada Tuhan sendiri sebagai sumber segala karya seni. Oleh karena itu cara-cara yang mengalihkan perhatian kita kepada hal lain atau kepada tokoh tertentu perlu diwaspadai. Bisa saja kita memilih seorang artis sebagai pemazmur atau penyanyi solo tetapi ketika ia menjalankan tugasnya tidak boleh ditonjolkan keartisannya, tetapi �fungsi liturgisnya�. Memberikan aplaus kepada si pemazmur atau solist karena suaranya yang bagus lebih merupakan bagian dari suatu acara panggung pertunjukan. Demikian juga pembawa homili yang memilih dan membawakan lagu yang sedang populer di tengah atau di akhir homili (karena ada kaitan dengan tema homili) yang langsung ditanggapi oleh umat dengan tepuk tangan meriah, perlu dipertimbangkan apakah hal seperti itu punya fungsi atau makna liturgis. Padahal ketika imam menyanyikan Prefasi atau Kisah Institusi dalam Doa Syukur Agung dengan suara yang bagus tidak diberi aplaus.
Pertimbangan yang sama dapat kita pakai untuk menilai kebiasaan koor menyanyikan semua lagu selama perayaan liturgis. Sebetulnya koor dengan dirigen yang bagus sungguh berfungsi liturgis kalau dapat membantu semua peraya yang lain untuk menyanyi bersama dengan lebih baik seperti atau mendekati cara koor menyanyi. Kalau dari awal sampai akhir semua nyanyian dibawakan hanya oleh koor, meskipun semuanya sangat mempesona, sebetulnya telah mengurangkan maknanya sebagai musik/nyanyian liturgis. Perlu ada suatu pembagian yang lebih seimbang dalam hal ini.
Proses Menjadi Musik Liturgis
Menerima musik-liturgis sebagai doa liturgis menuntut pula kesediaan setiap peraya atau kelompok peraya untuk menerima musik atau nyanyian yang sudah disepakati oleh Gereja untuk dipakai di dalam perayaan-perayaan liturgi. Musik/nyanyian yang ada di dalam buku-buku nyanyian yang diterbitkan dengan nihil obstat dan imprimatur pimpinan Gereja, dipandang sebagai musik-liturgis. Tentu melewati proses seleksi yang dibuat oleh orang-orang yang punya kemampuan dalam bidangnya hingga mendapat persetujuan dari pimpinan Gereja. Kesempatan terbuka bagi para komponis untuk mencipta lagu-lagu bagu yang lebih sesuai dengan rasa seni musik orang setempat, namun untuk dipakai sebagai musik/nyanyian liturgis perlu menempuh prosedur seleksi hingga mendapat pesetujuan resmi untuk dipakai dalam perayaan liturgi. Patut kita puji inisitip-inisitip untuk mencipta dan menemukan lagu-lagu baru yang lebih seusai dengan budaya setempat dan kebutuhan liturgis, misalanya dalam misa dengan �lagu-lagu alternatif�. Akan tetapi perlu kita waspadai kecenderungan menggunakan nyanyian-nyanyian baru itu tanpa peduli pada proses untuk �menjadi milik besama� dari Gereja, apalagi kalau yang jadi patokan utama adalah rasa suka, tertarik, tersentuh tanpa mengindahkan persyaratan liturgis.
Kadang terjadi bahwa kita memilih musik/nyanyian tertentu untuk perayaan liturgi karena sudah bosan dengan yang lama padahal yang baru itu belum tentu memenuhi persyaratan liturgis. Ini tantangan buat kita: merasa bosan dengan musik/nyanyian liturgis karena terus menerus menyanyikan yang sama (lama) atau merasa tidak tertarik, tidak suka, tidak tersentuh, tidak tergerak. Kita cendrung tersentuh dengan yang baru. Maka serta merta kita mencari dan membawakan musik/nyanyian baru dalam liturgi, tetapi tanpa pertimbangan atau seleksi. Dengan demikian dapat terjadi bahwa kita menggunakan musik/nyanyian yang sebenarnya tidak memenuhi persyaratan untuk perayaan liturgis.
Jadi bukan soal utama suka atau tidak suka, menarik atau tidak menarik, menyentuh atau tidak menyentuh, baru atau lama tetapi apakah telah menjadi �milik bersama� dari Gereja karena disepakati sebagai musik/nyanyian liturgis. Sebuah nyanyian atau musik diterima sebagai �milik bersama� bukan hanya karena telah dimasukkan ke dalam buku nyanyian resmi tetapi juga karena dilatih bersama, dinyanyikan bersama dan dipahami serta dihayati bersama maknanya dalam perayaan.
Musik-liturgis diterima atau diakui oleh Gereja sebagai miliknya, milik persekutuan demi kepentingan bersama (dikenal tradisi untuk tidak menulis si komponisnya dalam buku-buku resmi nyanyian-liturgis, tetapi nama mereka ditulis dalam catatan sejarah penyusunan buku). Perlu ada proses menjadikan musik-liturgis itu sebagai milik bersama. Dalam proses ini Gereja melihat betapa pelunya membuat latihan untuk menguasai dan menghayati musik/nyanyian bersama sebagai nyanyian dari hati, nayanyian yang mempengaruhi seluruh pribadi peraya. Jadi ada proses meninggalkan diri sendiri (rasa dan keinginan pribadi atu kelompok khusus) lalu menerima yang umum dan menjadikannya bagian atau milik pribadi demi kepentingan umum. Ini sebuah proses yang tidak gampang, karena yang menjadi tantangan adalah kecenderungan untuk mengutamakan rasa atau keinginan pribadi/kelompok khusus. Aspek personalnya lebih nampak dari pada aspek liturgis (yang umum). Kepentingan pribadi lebih menonjol dari pada kepentingan umum.
Untuk memenuhi persyaratan sebagai bagian utuh dari liturgi, musik-liturgi juga mesti berfungsi liturgis dalam arti baik teks maupun lagunya sesuai dengan unsur atau tindak liturgis dalam keseluruhan tata perayaan liturgis. Maka kita dapati nyanyian yang cocok untuk liturgi pembaptisan tetapi tidak sesuai untuk liturgi pernikahan. Nyanyian-liturgis untuk Ekaristi juga mesti sesuai dengan teks liturgi Ekaristi dan tindakan liturgis dalam unsur-unsur atau bagian-bagian tertentu dari liturgi Ekaristi. Sebuah lagu pembuka tentu tidak cocok untuk kesempatan seruan �kudus-kudus�, meskipun dari sudut kebenaran teks dan keindahan lagu tak ada cacat. Dalam hal ini tempat liturgis lagu pembuka itu tidak cocok atau nyanyian itu tidak mempunyai fungsi liturgis karena dinyanyikan pada saat �kudus kudus�.
Memilih Musik Liturgis
Perlu diketahui juga teks-teks liturgis mana saja yang dapat dinyanyikan (khususnya dalam liturgi Ekaristi). Ada teks-teks baku-tetap (antara lain Tuhan Kasihanilah Kami, Kemuliaan, Aku Percaya, Kudus-Kudus, Bapa Kami, Anak Domba Allah). Nyanyian ini disebutordinarium. Ada juga teks-teks yang dapat berubah atau bervarisi rumusannya sesuai dengan perayaan pada hari bersangkutan dan disebutproprium (Antifon Pembuka atau Lagu Pembuka untuk mengiringi perarakan masuk, Mazmur Tanggapan untuk menanggapi Sabda Allah yang telah dimaklumkan, Alleluia-Bait Pengantar Injil untuk menyiapkan diri mendengarkan pemakluman Injil, Antifon Komuni atau Lagu Komuni selama atau sesudah komuni, Nyanyian Persiapan Persembahan untuk mengiringi perarakan bahan-bahan persembahan dan Lagu Penutup untuk mengiringi perarakan kembali). Teks-teks ini sangat kaya dan berhubungan erat dengan tindakan liturgis, unsur-unsur liturgis, tema perayaan, masa liturgis serta bacaan-bacaan dalam perayaan liturgi. Suatu hal yang patut dipuji adalah kebiasan menyanyikan Mazmur Tanggapan dan Alleluia-Bait Pengantar Injil dengan teks yang bervariasi sesuai dengan hari atau pestanya. Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah lagu yang sesuai dengan teks-teks antifon (Pembuka dan Komuni) yang sebenarnya sangat kaya dan bervariasi serta biblis.
Dalam hubungan dengan teks-teks liturgi, terutama yang harus atau boleh dinyanyikan, diharapkan agar susunannya tepat serta mudah dan indah kalau dinyanyikan. Dalam hal ini lagu melayani teks dan bukan sebaliknya. Baiklah kita waspadai nyanyian-nyanyian yang mengorbankan ketepatan dan kebenaran iman demi mempertahankan suatu melodi. Misalnya lagu Bapa Kami Filipina, demi penyesuaian dengan melodinya diubahlah rumusan �jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga� menjadi �jadilah kehendak-Mu di bumi dan di surga�. Mengganti �seperti� dengan �dan� sebenarnya mengubah iman kita akan surga, bahwa di surga dan di bumi kehendak Tuhan tidak selalu terjadi. Padahal kita percaya bahwa kehendak Tuhan selalu terjadi di surga sedangkan di bumi tidak selalu terjadi karena ulah manusia yang suka melawan kehendak Tuhan, maka kita mohon agar kehendak Tuhan terjadi di bumi seperti di surga. Kalau prinsip �melodi melayani teks� diperhatikan, maka ketepatan dn kebenaran teks-teks liturgis juga dapat lebih dijamin.
Ditulis oleh: Romo Bernardus Boli Ujan SVD (Penulis adalah Sekretaris Eksekutif Komisi Liturgi KWI tahun 2002-2008)
Tulisan ini pernah dimuat sebagai artikel dalam Majalah Bulanan Kristiani INSPIRASI, Lentera Yang Membebaskan, No 24, Tahun II Agustus 2006, hlm 27-29.
Sumber: http://katolisitas.org/2010/08/06/musik-liturgi/