Umum:
Bapak/Ibu/Saudara/i yg terkasih dalam Yesus Kristus, bulan Mei adalah Bulan Liturgi Nasional (disingkat BULINAS). Tahun 2013 ini, selama bulan Mei, setiap kali misa mingguan, 10-15 menit sebelumnya, akan diadakan katekese liturgi, khususnya tentang Tata Perayaan Ekaristi, sehingga seluruh umat dapat mengikuti perayaan Ekaristi dengan sadar, aktif dan berpartisipasi sesuai dengan fungsi dan peranannya.
Bulan Mei terdiri dari 4 minggu. Ada 4 topik yang akan dibahas, yakni: Pembukaan, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi dan Penutupan.
Khusus:
Pada minggu keempat ini, topik katekese tentang PENUTUPAN EKARISTI akan membahas Doa Komuni sebagai doa penutupan sampai Berkat dan Perutusan.
1. Sesudah menyambut Komuni Kudus, yakni Tubuh Kristus dalam rupa roti, kita disarankan tetap berada dalam suasana doa dan tetap menjaga keheningan. Sementara itu Imam/diakon dibantu oleh putra Altar membersihkan/merapikan meja Altar. Kemudian bisa dilakukan Berkat Anak, tetap dengan suasana hening, kontemplati dan berdoa. Bisa juga dinyanyikan nyanyian Madah Syukur. Kemudian Imam bisa mengajak Umat melambungkan Madah Syukur, atau langsung mendoakan Doa Komuni/Penutup yang dijawab umat dengan �Amin�.
2. Ketika pengumuman dibacakan oleh petugas, Umat mendengarkannya dengan khidmat sambil DUDUK. Setelah itu, Imam menyimpulkan thema perayaan, dan mengucapkan terimakasih kepada semua petugas dan umat yang telah berpartisipasi dalam perayaan Ekaristi. Bisa juga Imam mengajak umat berdoa bersama seuai intensi gereja (misalnya Doa Tahun Iman). Kemudian Imam mengajak umat untuk BERDIRI menerima berkat perutusan dari Allah.
3. Umat menerima berkat sambil BERDIRI, dan menjawab tugas perutusan dari Imam �Marilah pergi, kita diutus!�, yang dijawab umat secara aklamasi dan mantab �Amin�. Rombongan Imam menghormati Altar terlebih dulu sebelum meninggalkannya. Kemudian paduan suara dan Umat mengiringi rombongan Imam masuk ke dalam Sakristi.
4. Sesudah umat berdoa pribadi, Umat bisa langsung melaksanakan tugas perutusannya dengan menyapa umat yang lain, dengan tetap menjaga suasana HENING di dalam gereja. Umat bisa meninggalkan gedung gereja tanpa harus mengambil air suci lagi, karena kita sudah disucikan dengan komuni dan berkat Tuhan. Umat bisa langsung bercengkerama dengan sesama umat yang lain, dan tidak perlu tergesa-gesa pulang. Kesempatan ini bisa dipergunakan untuk sharing pengalaman dan tukar pikiran mengenai tugas perutusan kita masing-masing. Dalam suasana persaudaraan ini, akan tercipta gereja sebagai paguyuban umat beriman, persekutuan orang yang beriman pada Yesus Kristus junjungan kita.
5. Di luar/ di depan gereja suasana boleh menjadi ramai, namun di dalam gereja tetap dijaga suasana HENING, untuk memberi kesempatan kepada umat yang ingin berdoa pribadi atau berdevosi secara individu maupun berkelompok. Tissue, kertas dan sampah sebaiknya tidak ditinggalkan di dalam gereja, melainkan dibawa keluar dan dibuang pada tempatnya.
6. Dengan mengikuti perayaan Ekaristi, kita memperoleh nasehat dan pengarahan tentang cara hidup sesuai Injil, dan memperoleh kekuatan dan semangat untuk hidup dalam persatuan dengan Roh Kristus sendiri. Betapa mulianya makna Ekaristi bagi hidup kita sebagai pengikut Kristus, maka benarlah bila dikatakan bahwa �Liturgi adalah puncak dan sumber kehidupan Gereja� (SC.10). Marilah kita mengikuti perayaan Ekaristi dengan sadar, aktif dan berpartisipasi seutuhnya sesuai peran kita masing-masing.
7. Para petugas tidak lupa membereskan perlengkapannya masing-masing, termasuk penghitung kolekte dengan teliti, demi kepentingan perkembangan gereja. Sesudah sharing dengan sesama umat dan merencanakan kegiatan kebersamaan selanjutnya, barulah umat bisa meninggalkan gereja dengan tenang, melanjutkan kegembiraan di hari Tuhan.
Sumber :
Bahan Katekese Liturgi di Paroki St. Herkulanus Depok.
Showing posts with label Katekese Liturgi. Show all posts
Showing posts with label Katekese Liturgi. Show all posts
Sunday, June 9, 2013
Sunday, June 2, 2013
Katekese Liturgi Minggu Ketiga Bulan Mei Dengan Topik LITURGI EKARISTI
Umum:
Bapak/Ibu/Saudara/i yg terkasih dalam Yesus Kristus, bulan Mei adalah Bulan Liturgi Nasional (disingkat BULINAS). Tahun 2013 ini, selama bulan Mei, setiap kali misa mingguan, 10-15 menit sebelumnya, akan diadakan katekese liturgi, khususnya tentang Tata Perayaan Ekaristi, sehingga seluruh umat dapat mengikuti perayaan Ekaristi dengan sadar, aktif dan berpartisipasi sesuai dengan fungsi dan peranannya.
Bulan Mei terdiri dari 4 minggu. Ada 4 topik yang akan dibahas, yakni: Pembukaan, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi dan Penutupan.
Khusus:
Pada minggu ketiga ini, topik katekese tentang LITURGI EKARISTI akan membahas persiapan Persembahan sampai pelaksanaan Komuni.
1. Umat mempersiapkan Persembahan dengan mengedarkan kantong kolekte, sementara petugas menyiapkan bahan-bahan persembahan yakni roti dan anggur. Setelah terkumpul, bahan-bahan persembahan dan kolekte itu diarak menuju Altar. Bahan-bahan persembahan diterima Imam untuk dipersembahkan di Altar, sedangkan kolekte diterima Imam/Misdinar untuk ditempatkan di panti Imam. Paduan suara dan Umat bisa mengiringi pengumpulan kolekte dan perarakan persembahan ini dengan Nyanyian Persiapan Persembahan.
2. Umat BERDIRI ketika Imam mengajak untuk mendoakan bahan-bahan persembahan itu �Berdoalah Saudara-Saudari, supaya persembahanku dan persembahanmu berkenan pada Allah��. Ajakan ini dilanjutkan dengan Doa Persembahan oleh Imam, yang dijawab Umat dengan �Amin�.
3. Masih dalam sikap BERDIRI, Imam mengajak Umat untuk mengarahkan hati pada PREFASI, yakni pembukaan Doa Syukur Agung. Prefasi ditutup dengan seruan meriah �Kudus-Kudus� atau �Sanctus�. Sesudah itu segenap petugas dan Umat dalam sikap BERLUTUT mengikuti Doa Syukur Agung yang dipimpin Imam. Pada saat kalimat INSTITUSI �Terimalah dan Makanlah, Inilah TubuhKu yang diserahkan bagimu�, Imam memperlihatkan Hosti Suci dengan mengangkatNya (=elevatio), Umat memandangNya (boleh dengan kedua tangan menyembah, tetapi tetap memandangNya). Ketika Imam meletakkan Hosti Suci dan berlutut menyembahNya, Umat menundukkan kepala dengan hormat dan khidmat. Begitu pula ketika Imam memperlihatkan Piala Anggur dengan mengangkatNya (=elevatio), Umat memandangNya (boleh dengan kedua tangan menyembah, tetapi tetap memandangNya). Ketika Imam meletakkan Piala Anggur dan berlutut menyembahNya, Umat menundukkan kepala dengan hormat dan khidmat.
4. Anamnese dalam TPE-2005 terdapat enam alternatif (hal.52-55). Imam bersama Paduan suara dan Umat dianjurkan untuk pernah melatih semuanya; dan memanfaatkannya sesuai situasi. Seluruh alternatif Anamnese yang dinyanyikan itu tidak ada yang ditutup dengan �amin� (lihat Anamnese-1, TPE-1979).
5. Umat tetap BERLUTUT sampai dengan doxologi (biasanya dinyanyikan) yang diakhiri bersama-sama oleh umat dengan jawaban/nyanyian mantab �Amin�. Sesudah itu Imam mengajak umat mendoakan atau menyanyikan Bapa Kami, sambil BERDIRI. Umat berdoa dengan sikap kedua tangan terkatup (menyatu dan terarah menuju Allah yang mahatinggi), atau kedua tangan terbuka selebar dada (memasrahkan diri dan bersedia menerima kehendakNya).
6. Doa Damai didoakan Imam sendirian, Umat menjawab dengan �Amin�. Salam Damai dilakukan dengan orang-orang terdekat di posisinya. Anak Domba Allah dinyanyikan sambil BERLUTUT, untuk mengiringi pemecahan roti dan persiapan Komuni. �Berbahagialah kita yang diundang ke perjamuanNya�. Umat menjawab �Ya Tuhan, saya tidak pantas�� Sekali lagi Imam menunjukkan Tubuh (dan Darah) Kristus yang akan dibagikan kepada Umat sambil berkata �Tubuh (dan Darah) Kristus�. Umat memandang Tubuh (dan Darah) Kristus itu, dan menjawab �Amin� dengan mantab.
7. Umat yang layak menyambut Komuni adalah Umat yang telah dipermandikan secara Katolik, telah menerima Komuni Pertama, dan tidak sedang terhalang secara Kanonik (atau tidak sedang berdosa berat). Umat yang menyambut komuni mengantri sesuai arahan petugas tata tertib. Selama perarakan mengantri komuni, tangan Umat terkatup dan pandangan ke depan. Sampai di depan Imam/Prodiakon, tangan Umat disodorkan ke depan, ditengadahkan, tangan kiri di atas tangan kanan; sebagai tanda kesiapan menerima komuni. Imam/Prodiakon akan menunjukkan hosti suci dengan mengucapkan �Tubuh Kristus�. Umat diwajibkan menjawab �Amin� dengan mantab, sebagai tanda menyetujui keyakinan iman ini. Setelah menerima hosti, Umat bergeser sedikit (ke kiri/kanan sesuai jalurnya), untuk memberi kesempatan umat berikutnya maju, kemudian ia mengambil hosti dengan tangan kanan, dan memakannya dengan hormat. Sesudah itu ia berjalan kembali ke bangkunya dengan tangan terkatup dan tetap khidmat, tidak berlenggang atau berjalan santai; sebab ia sudah bersatu dengan Tuhan.
8. Selama perarakan komuni, umat menjaga suasana HENING dan KHIDMAT. Paduan suara dan umat yang tidak menyambut komuni bisa menyanyikan lagu-lagu meditatif, untuk membantu umat menghayati kesatuannya dengan Yesus Kristus sendiri. Umat tidak menonton pertunjukan Paduan suara, sehingga tidak perlu berteriak atau bertepuk tangan menanggapi lagu-lagu yang sedang dinyanyikan. Suasana komuni tetap dijaga hening dan khidmat.
Sumber:
Bahan Katekese Liturgi di Paroki St. Herkulanus Depok.
Bapak/Ibu/Saudara/i yg terkasih dalam Yesus Kristus, bulan Mei adalah Bulan Liturgi Nasional (disingkat BULINAS). Tahun 2013 ini, selama bulan Mei, setiap kali misa mingguan, 10-15 menit sebelumnya, akan diadakan katekese liturgi, khususnya tentang Tata Perayaan Ekaristi, sehingga seluruh umat dapat mengikuti perayaan Ekaristi dengan sadar, aktif dan berpartisipasi sesuai dengan fungsi dan peranannya.
Bulan Mei terdiri dari 4 minggu. Ada 4 topik yang akan dibahas, yakni: Pembukaan, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi dan Penutupan.
Khusus:
Pada minggu ketiga ini, topik katekese tentang LITURGI EKARISTI akan membahas persiapan Persembahan sampai pelaksanaan Komuni.
1. Umat mempersiapkan Persembahan dengan mengedarkan kantong kolekte, sementara petugas menyiapkan bahan-bahan persembahan yakni roti dan anggur. Setelah terkumpul, bahan-bahan persembahan dan kolekte itu diarak menuju Altar. Bahan-bahan persembahan diterima Imam untuk dipersembahkan di Altar, sedangkan kolekte diterima Imam/Misdinar untuk ditempatkan di panti Imam. Paduan suara dan Umat bisa mengiringi pengumpulan kolekte dan perarakan persembahan ini dengan Nyanyian Persiapan Persembahan.
2. Umat BERDIRI ketika Imam mengajak untuk mendoakan bahan-bahan persembahan itu �Berdoalah Saudara-Saudari, supaya persembahanku dan persembahanmu berkenan pada Allah��. Ajakan ini dilanjutkan dengan Doa Persembahan oleh Imam, yang dijawab Umat dengan �Amin�.
3. Masih dalam sikap BERDIRI, Imam mengajak Umat untuk mengarahkan hati pada PREFASI, yakni pembukaan Doa Syukur Agung. Prefasi ditutup dengan seruan meriah �Kudus-Kudus� atau �Sanctus�. Sesudah itu segenap petugas dan Umat dalam sikap BERLUTUT mengikuti Doa Syukur Agung yang dipimpin Imam. Pada saat kalimat INSTITUSI �Terimalah dan Makanlah, Inilah TubuhKu yang diserahkan bagimu�, Imam memperlihatkan Hosti Suci dengan mengangkatNya (=elevatio), Umat memandangNya (boleh dengan kedua tangan menyembah, tetapi tetap memandangNya). Ketika Imam meletakkan Hosti Suci dan berlutut menyembahNya, Umat menundukkan kepala dengan hormat dan khidmat. Begitu pula ketika Imam memperlihatkan Piala Anggur dengan mengangkatNya (=elevatio), Umat memandangNya (boleh dengan kedua tangan menyembah, tetapi tetap memandangNya). Ketika Imam meletakkan Piala Anggur dan berlutut menyembahNya, Umat menundukkan kepala dengan hormat dan khidmat.
4. Anamnese dalam TPE-2005 terdapat enam alternatif (hal.52-55). Imam bersama Paduan suara dan Umat dianjurkan untuk pernah melatih semuanya; dan memanfaatkannya sesuai situasi. Seluruh alternatif Anamnese yang dinyanyikan itu tidak ada yang ditutup dengan �amin� (lihat Anamnese-1, TPE-1979).
5. Umat tetap BERLUTUT sampai dengan doxologi (biasanya dinyanyikan) yang diakhiri bersama-sama oleh umat dengan jawaban/nyanyian mantab �Amin�. Sesudah itu Imam mengajak umat mendoakan atau menyanyikan Bapa Kami, sambil BERDIRI. Umat berdoa dengan sikap kedua tangan terkatup (menyatu dan terarah menuju Allah yang mahatinggi), atau kedua tangan terbuka selebar dada (memasrahkan diri dan bersedia menerima kehendakNya).
6. Doa Damai didoakan Imam sendirian, Umat menjawab dengan �Amin�. Salam Damai dilakukan dengan orang-orang terdekat di posisinya. Anak Domba Allah dinyanyikan sambil BERLUTUT, untuk mengiringi pemecahan roti dan persiapan Komuni. �Berbahagialah kita yang diundang ke perjamuanNya�. Umat menjawab �Ya Tuhan, saya tidak pantas�� Sekali lagi Imam menunjukkan Tubuh (dan Darah) Kristus yang akan dibagikan kepada Umat sambil berkata �Tubuh (dan Darah) Kristus�. Umat memandang Tubuh (dan Darah) Kristus itu, dan menjawab �Amin� dengan mantab.
7. Umat yang layak menyambut Komuni adalah Umat yang telah dipermandikan secara Katolik, telah menerima Komuni Pertama, dan tidak sedang terhalang secara Kanonik (atau tidak sedang berdosa berat). Umat yang menyambut komuni mengantri sesuai arahan petugas tata tertib. Selama perarakan mengantri komuni, tangan Umat terkatup dan pandangan ke depan. Sampai di depan Imam/Prodiakon, tangan Umat disodorkan ke depan, ditengadahkan, tangan kiri di atas tangan kanan; sebagai tanda kesiapan menerima komuni. Imam/Prodiakon akan menunjukkan hosti suci dengan mengucapkan �Tubuh Kristus�. Umat diwajibkan menjawab �Amin� dengan mantab, sebagai tanda menyetujui keyakinan iman ini. Setelah menerima hosti, Umat bergeser sedikit (ke kiri/kanan sesuai jalurnya), untuk memberi kesempatan umat berikutnya maju, kemudian ia mengambil hosti dengan tangan kanan, dan memakannya dengan hormat. Sesudah itu ia berjalan kembali ke bangkunya dengan tangan terkatup dan tetap khidmat, tidak berlenggang atau berjalan santai; sebab ia sudah bersatu dengan Tuhan.
8. Selama perarakan komuni, umat menjaga suasana HENING dan KHIDMAT. Paduan suara dan umat yang tidak menyambut komuni bisa menyanyikan lagu-lagu meditatif, untuk membantu umat menghayati kesatuannya dengan Yesus Kristus sendiri. Umat tidak menonton pertunjukan Paduan suara, sehingga tidak perlu berteriak atau bertepuk tangan menanggapi lagu-lagu yang sedang dinyanyikan. Suasana komuni tetap dijaga hening dan khidmat.
Sumber:
Bahan Katekese Liturgi di Paroki St. Herkulanus Depok.
Saturday, May 25, 2013
Katekese Liturgi Minggu Kedua Bulan Mei Dengan Topik LITURGI SABDA
Umum:
Bapak/Ibu/Saudara/i yg terkasih dalam Yesus Kristus, bulan Mei adalah Bulan Liturgi Nasional (disingkat BULINAS). Tahun 2013 ini, selama bulan Mei, setiap kali misa mingguan, 10-15 menit sebelumnya, akan diadakan katekese liturgi, khususnya tentang Tata Perayaan Ekaristi, sehingga seluruh umat dapat mengikuti perayaan Ekaristi dengan sadar, aktif dan berpartisipasi sesuai dengan fungsi dan peranannya.
Bulan Mei terdiri dari 4 minggu. Ada 4 topik yang akan dibahas, yakni: Pembukaan, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi dan Penutupan.
Khusus:
Pada minggu kedua ini, topik katekese tentang LITURGI SABDA akan membahas Bacaan-Bacaan dalam perayaan Ekaristi sampai dengan Doa Umat sebagai tanggapannya.
� Perlu dimengerti bahwa menurut Konstitusi Liturgi artikel 7, Kristus hadir dalam perayaan Ekaristi melalui 4 cara, yakni:
1. Hadir dalam diri Umat yang berkumpul (Mat 18:20: dimana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, disitulah Aku berada di antara mereka).
2. Hadir dalam diri pribadi Imam yang memimpin Misa atau perayaan sakramental (in persona Christi).
3. Hadir dalam rupa Ekaristi (roti dan anggur adalah tubuh dan darahNya).
4. Hadir dalam SabdaNya, sebab Ia sendiri bersabda ketika Kitab Suci dibacakan dalam gereja.
� Maka sikap yang tepat ketika Kitab Suci dibacakan adalah: DUDUK mendengarkan dengan khidmat. Kita bersikap seperti Maria yang duduk dengan tekun mendengarkan perkataan Yesus (Luk 10:39), bukan seperti Marta yang sibuk sendiri. Umat dianjurkan membaca Kitab Suci sebelum atau sesudah Misa, pada saat doa pribadi; sehingga pada saat Lektor/Imam membacakan Kitab Suci, kita menyimak dengan khidmat, tidak asyik membaca sendiri atau membolak-balik teks Kitab Suci.
� Pada saat Mazmur Tanggapan dinyanyikan, itu adalah ungkapan umat yang menanggapi Sabda Tuhan dalam bacaan pertama. Bait-baitnya dinyanyikan oleh solis dengan artikulasi dan ekspresi yang jelas, kemudian disambung dengan refrein yang dinyanyikan umat bersama-sama.
� Halleluia atau bait pengantar Injil adalah ungkapan kebersamaan umat yang menyiapkan diri menerima sabda Tuhan dalam Injil, yang akan dibacakan oleh Imam. Maka umat menyanyikannya sambil BERDIRI, sebagai sikap hormat yang tertinggi menyambut Kristus dalam pembacaan Injil. �Halleluia� artinya marilah kita memuji (hallelu) Allah (ya/yahwe), pada masa Adven & Puasa tidak diucapkan, karena untuk menciptakan suasana prihatin, sampai memuncak pada kemeriahan perayaan Natal atau Paskah.
� Injil (buku Evangeliarium) dibacakan secara istimewa oleh Imam/Diakon dengan menunjukkannya kepada umat. �Inilah Injil Yesus Kristus karangan...�, dijawab oleh umat �Dimuliakanlah Tuhan� dengan mantab. Kemudian umat membuat tanda salib kecil di dahi, di mulut dan di dada; sambil berdoa �SabdaMu kumasukkan ke dalam pikiranku, kuwartakan dengan mulutku, dan kuresapkan dalam hatiku�. Di akhir pembacaan Injil, imam/Diakon mengangkat Evangeliarium dan meneriakkan �Demikianlah Injil Tuhan�. Umat menjawab �Terpujilah Kristus�. Aklamasi sesudah Injil ini ada beberapa alternatif, bisa dipakai kapan saja.
� Homili adalah penjelasan ketiga bacaan yang sudah dibacakan, untuk memahami karya penyelamatan Allah yang terjadi sejak jaman perjanjian lama sampai perjanjian baru dan terpenuhi dalam diri Yesus Kristus. Homili juga dimaksudkan untuk membantu umat menghayati sabda Allah dan menemukan kaitan penyelamatan Allah yang terjadi sampai saat ini. Oleh karena itu sikap yang tepat selama Homili adalah DUDUK mendengarkan dengan khidmat dan mencoba menerapkannya dalam hidup sehari-hari. Umat tidak dibenarkan untuk mengobrol, sibuk sendiri, main game/SMS, atau bahkan tertidur. Selama homili ini diyakini bahwa Imam bertindak �in persona Christi�, di balik Imam ada Kristus sendiri.
� Sesudah merenungkan Homili, umat BERDIRI untuk mengungkapkan iman kepercayaannya kepada Allah Tritunggal dan Gereja katolik universal, dengan rumus Syahadat Singkat (Para Rasul) atau Syahadat Panjang (Nicea-Konstantinopel). Pada saat diucapkan rumusan �dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh perawan Maria�, seluruh umat MEMBUNGKUK (Sikap hormat ini sebagai tanda keyakinan iman, bahwa Yesus itu benar-benar Allah yang Kudus, yang lahir ke dunia melalui rahim bunda Maria yang tetap perawan). Khusus pada misa Hari Raya Natal, rumusan ini diucapkan sambil BERLUTUT, untuk lebih menunjukkan keyakinan iman terhadap Yesus yang lahir di malam Natal itu.
� Doa Umat dilambungkan oleh petugas dan dijawab secara aklamasi oleh seluruh umat. Sikap selama doa umat ini adalah BERDIRI, untuk menunjukkan seruan kebersamaan seluruh Umat kepada Allah Bapa, penyelenggara kehidupan dan penguasa alam semesta. Pada hari besar, Doa Umat bisa dinyanyikan dan Umat menjawabnya dengan nyanyian pula �Marilah kita mohon�, dijawab �Kabulkanlah doa kami ya Tuhan�. Bila ada rumusan jawaban yang berbeda, akan dilatihkan terlebih dulu sebelum menyebutkan doa umat. Cara menyanyikan doa Umat ini ada berbagai alternatif, terdapat dalam buku TPE-2005 hal.37-41. Paduan suara dan Umat dianjurkan melatih semuanya. Doa Umat dilanjutkan dengan doa spontan dalam hati, dan ditutup kembali oleh Imam.
Sumber:
Bahan Katekese Liturgi di Paroki St. Herkulanus Depok.
Bapak/Ibu/Saudara/i yg terkasih dalam Yesus Kristus, bulan Mei adalah Bulan Liturgi Nasional (disingkat BULINAS). Tahun 2013 ini, selama bulan Mei, setiap kali misa mingguan, 10-15 menit sebelumnya, akan diadakan katekese liturgi, khususnya tentang Tata Perayaan Ekaristi, sehingga seluruh umat dapat mengikuti perayaan Ekaristi dengan sadar, aktif dan berpartisipasi sesuai dengan fungsi dan peranannya.
Bulan Mei terdiri dari 4 minggu. Ada 4 topik yang akan dibahas, yakni: Pembukaan, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi dan Penutupan.
Khusus:
Pada minggu kedua ini, topik katekese tentang LITURGI SABDA akan membahas Bacaan-Bacaan dalam perayaan Ekaristi sampai dengan Doa Umat sebagai tanggapannya.
� Perlu dimengerti bahwa menurut Konstitusi Liturgi artikel 7, Kristus hadir dalam perayaan Ekaristi melalui 4 cara, yakni:
1. Hadir dalam diri Umat yang berkumpul (Mat 18:20: dimana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, disitulah Aku berada di antara mereka).
2. Hadir dalam diri pribadi Imam yang memimpin Misa atau perayaan sakramental (in persona Christi).
3. Hadir dalam rupa Ekaristi (roti dan anggur adalah tubuh dan darahNya).
4. Hadir dalam SabdaNya, sebab Ia sendiri bersabda ketika Kitab Suci dibacakan dalam gereja.
� Maka sikap yang tepat ketika Kitab Suci dibacakan adalah: DUDUK mendengarkan dengan khidmat. Kita bersikap seperti Maria yang duduk dengan tekun mendengarkan perkataan Yesus (Luk 10:39), bukan seperti Marta yang sibuk sendiri. Umat dianjurkan membaca Kitab Suci sebelum atau sesudah Misa, pada saat doa pribadi; sehingga pada saat Lektor/Imam membacakan Kitab Suci, kita menyimak dengan khidmat, tidak asyik membaca sendiri atau membolak-balik teks Kitab Suci.
� Pada saat Mazmur Tanggapan dinyanyikan, itu adalah ungkapan umat yang menanggapi Sabda Tuhan dalam bacaan pertama. Bait-baitnya dinyanyikan oleh solis dengan artikulasi dan ekspresi yang jelas, kemudian disambung dengan refrein yang dinyanyikan umat bersama-sama.
� Halleluia atau bait pengantar Injil adalah ungkapan kebersamaan umat yang menyiapkan diri menerima sabda Tuhan dalam Injil, yang akan dibacakan oleh Imam. Maka umat menyanyikannya sambil BERDIRI, sebagai sikap hormat yang tertinggi menyambut Kristus dalam pembacaan Injil. �Halleluia� artinya marilah kita memuji (hallelu) Allah (ya/yahwe), pada masa Adven & Puasa tidak diucapkan, karena untuk menciptakan suasana prihatin, sampai memuncak pada kemeriahan perayaan Natal atau Paskah.
� Injil (buku Evangeliarium) dibacakan secara istimewa oleh Imam/Diakon dengan menunjukkannya kepada umat. �Inilah Injil Yesus Kristus karangan...�, dijawab oleh umat �Dimuliakanlah Tuhan� dengan mantab. Kemudian umat membuat tanda salib kecil di dahi, di mulut dan di dada; sambil berdoa �SabdaMu kumasukkan ke dalam pikiranku, kuwartakan dengan mulutku, dan kuresapkan dalam hatiku�. Di akhir pembacaan Injil, imam/Diakon mengangkat Evangeliarium dan meneriakkan �Demikianlah Injil Tuhan�. Umat menjawab �Terpujilah Kristus�. Aklamasi sesudah Injil ini ada beberapa alternatif, bisa dipakai kapan saja.
� Homili adalah penjelasan ketiga bacaan yang sudah dibacakan, untuk memahami karya penyelamatan Allah yang terjadi sejak jaman perjanjian lama sampai perjanjian baru dan terpenuhi dalam diri Yesus Kristus. Homili juga dimaksudkan untuk membantu umat menghayati sabda Allah dan menemukan kaitan penyelamatan Allah yang terjadi sampai saat ini. Oleh karena itu sikap yang tepat selama Homili adalah DUDUK mendengarkan dengan khidmat dan mencoba menerapkannya dalam hidup sehari-hari. Umat tidak dibenarkan untuk mengobrol, sibuk sendiri, main game/SMS, atau bahkan tertidur. Selama homili ini diyakini bahwa Imam bertindak �in persona Christi�, di balik Imam ada Kristus sendiri.
� Sesudah merenungkan Homili, umat BERDIRI untuk mengungkapkan iman kepercayaannya kepada Allah Tritunggal dan Gereja katolik universal, dengan rumus Syahadat Singkat (Para Rasul) atau Syahadat Panjang (Nicea-Konstantinopel). Pada saat diucapkan rumusan �dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh perawan Maria�, seluruh umat MEMBUNGKUK (Sikap hormat ini sebagai tanda keyakinan iman, bahwa Yesus itu benar-benar Allah yang Kudus, yang lahir ke dunia melalui rahim bunda Maria yang tetap perawan). Khusus pada misa Hari Raya Natal, rumusan ini diucapkan sambil BERLUTUT, untuk lebih menunjukkan keyakinan iman terhadap Yesus yang lahir di malam Natal itu.
� Doa Umat dilambungkan oleh petugas dan dijawab secara aklamasi oleh seluruh umat. Sikap selama doa umat ini adalah BERDIRI, untuk menunjukkan seruan kebersamaan seluruh Umat kepada Allah Bapa, penyelenggara kehidupan dan penguasa alam semesta. Pada hari besar, Doa Umat bisa dinyanyikan dan Umat menjawabnya dengan nyanyian pula �Marilah kita mohon�, dijawab �Kabulkanlah doa kami ya Tuhan�. Bila ada rumusan jawaban yang berbeda, akan dilatihkan terlebih dulu sebelum menyebutkan doa umat. Cara menyanyikan doa Umat ini ada berbagai alternatif, terdapat dalam buku TPE-2005 hal.37-41. Paduan suara dan Umat dianjurkan melatih semuanya. Doa Umat dilanjutkan dengan doa spontan dalam hati, dan ditutup kembali oleh Imam.
Sumber:
Bahan Katekese Liturgi di Paroki St. Herkulanus Depok.
Sunday, May 12, 2013
Katekese Liturgi Minggu Pertama Bulan Mei Dengan Topik PEMBUKAAN EKARISTI
Umum:
Bapak/Ibu/Saudara/i yg terkasih dalam Yesus Kristus, bulan Mei adalah Bulan Liturgi Nasional (disingkat BULINAS). Tahun 2013 ini, selama bulan Mei, setiap kali misa mingguan, 10-15 menit sebelumnya, akan diadakan katekese liturgi, khususnya tentang Tata Perayaan Ekaristi, sehingga seluruh umat dapat mengikuti perayaan Ekaristi dengan sadar, aktif dan berpartisipasi sesuai dengan fungsi dan peranannya.
Bulan Mei terdiri dari 4 minggu. Ada 4 topik yang akan dibahas, yakni: Pembukaan, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi dan Penutupan.
Khusus:
Pada minggu pertama ini, topik katekese tentang PEMBUKAAN akan membahas persiapan mengikuti perayaan Ekaristi sampai dengan Doa Pembukaan.
1. Perayaan Ekaristi adalah puncak hidup kita sebagai umat kristiani, dimana kita dipertemukan dengan Allah Bapa yang mahakuasa, mahatinggi, pencipta langit dan bumi, serta pemelihara alam semesta. Kita bersama dengan Yesus Kristus mempersembahkan kurban yang suci murni, demi keselamatan umat manusia. Maka persiapan yang cukup harus kita lakukan, agar kita layak mengikuti perayaan yang suci ini. Kita dianjurkan membersihkan diri, lahir dan batin, jasmani dan rohani. Kita dianjurkan untuk berpuasa (minimal sejam sebelum misa), berpantang, atau mengaku dosa sebelum Misa. Kita dianjurkan untuk mengenakan pakaian rapi, bersih, resmi, sopan, sebagaimana layaknya kita kenakan dalam perjamuan bersama, untuk menghormati siapa saja yang hadir di situ, terutama Tuhan Yesus dan Allah Bapa yang maha-agung. Kita dianjurkan mengenakan sepatu, baju ber-krah, panjang rok di bawah lutut; dan tidak dianjurkan mengenakan sandal jepit, kaos oblong, baju tanpa lengan, �you can see�, atau pakaian santai (bdk.Kel 3:2 Musa melepas sandalnya di hadapan Yahwe). Dasarnya: aspek kepantasan dan kebersamaan; berfokus pada Kristus dan tidak mempertontonkan diri.
2. Kita masuk ke dalam gedung gereja berarti memasuki rumah Tuhan yang suci. Ada �batas suci� meski tidak tertulis. Di kanan-kiri pintu ada air suci, kita bisa mengambilnya dengan tangan kanan, dan kita buat tanda salib, sebagai tanda bahwa kita memasukkan diri ke dalam persekutuan ilahi Bapa-Putera-Roh Kudus; kita masuk dalam kesucian, persis seperti waktu kita dibaptis dengan air suci. Dengan demikian kita masuki suasana surgawi, tenang, hening, damai, dan kita tinggalkan suasana duniawi yang ramai. Maka suasana di dalam gereja kita jaga tetap HENING. Alat komunikasi seperti Handphone sebaiknya di-silent-kan. Makanan & minuman sebaiknya ditinggal di luar gereja. Anak-anak sebaiknya dijaga orangtuanya supaya tidak lari-lari dan berteriak.
3. Kita menuju bangku yang kosong, dengan terlebih dulu menghormati Altar sebagai tempat yang suci, dimana Yesus mempersembahkan diriNya kepada Allah Bapa; atau menghormati Tabernakel, dimana Yesus bertahta dalam sakramen Mahakudus. Penghormatan bisa dengan MEMBUNGKUK, atau BERLUTUT dengan satu kaki menyentuh lantai. Membungkukkan badan artinya menghormat dan siap melaksanakan tugas dari Allah. Berlutut artinya menghormat dan mengakui kerendahan kita di hadapanNya. Selanjutnya di bangku kita bisa berdoa secara pribadi, atau membaca Kitab Suci, sambil menunggu dimulainya perayaan Ekaristi. Dalam posisi duduk, kita tidak mengobrol atau berisik, tidak main game/SMS yang tidak perlu, karena kita bertatap muka dengan Tuhan.
4. Perayaan Ekaristi dimulai dengan perarakan rombongan Imam memasuki gereja. Paduan suara kelompok koor dan Umat sambil BERDIRI, menyambut kehadiran Allah yang diwujudkan dengan kehadiran pribadi Imam (=in persona Christi); juga dengan kitab suci Evangeliarium yang dibawa tinggi-tinggi oleh Diakon dalam perarakan. Lagu perarakan pembukaan ini memasukkan kita ke dalam suasana surgawi (pada Hari Raya, misdinar membawa pedupaan bernyala yang menyebarkan asap ke dalam gereja).
5. Rombongan Imam sesudah menghormati Altar, bisa dengan membungkukkan badan atau berlutut satu kaki, kemudian menuju bangku atau posisi masing-masing sesuai dengan fungsinya.
6. Imam membuka perayaan dengan Tanda Salib meriah/dinyanyikan, dan Salam, serta mengantarkan thema perayaan. Umat membuat tanda salib dengan mantab: di dahi, di perut/pusar, di pundak kiri dan pundak kanan, sambil menjawab mantab �Amin�, artinya menyetujui, meyakini. Umat menyimak pengantar thema dengan penuh perhatian.
7. Agar layak mengikuti perayaan Ekaristi, Imam memimpin Umat untuk mengadakan penelitian diri, mengakukan kesalahan, bisa dengan menyanyikan lagu Tuhan Kasihanilah Kami. Sikap Umat BERLUTUT, sebagai sikap ketidakpantasan di hadapan Tuhan. Mengakui kesalahan bisa dengan menepuk-nepuk dada, sebagai ungkapan kerendahan di hadapan Allah. Kemudian Imam mengajak Umat, untuk bersama-sama melambungkan madah pujian Gloria dengan mantab. Sesudah Gloria, Imam melanjutkannya dengan Doa Pembukaan yang dijawab umat dengan �Amin�. Sesudah itu Imam dan Umat DUDUK untuk mendengarkan Sabda Tuhan dengan hormat dan khidmat. Duduk artinya siap sedia menyimak bacaan demi bacaan, sebab dalam pembacaan Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, Kristus hadir di dalamnya. Kita bertatap muka dengan Tuhan.
Sumber:
Bahan Katekese Liturgi di Paroki St. Herkulanus Depok.
Bapak/Ibu/Saudara/i yg terkasih dalam Yesus Kristus, bulan Mei adalah Bulan Liturgi Nasional (disingkat BULINAS). Tahun 2013 ini, selama bulan Mei, setiap kali misa mingguan, 10-15 menit sebelumnya, akan diadakan katekese liturgi, khususnya tentang Tata Perayaan Ekaristi, sehingga seluruh umat dapat mengikuti perayaan Ekaristi dengan sadar, aktif dan berpartisipasi sesuai dengan fungsi dan peranannya.
Bulan Mei terdiri dari 4 minggu. Ada 4 topik yang akan dibahas, yakni: Pembukaan, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi dan Penutupan.
Khusus:
Pada minggu pertama ini, topik katekese tentang PEMBUKAAN akan membahas persiapan mengikuti perayaan Ekaristi sampai dengan Doa Pembukaan.
1. Perayaan Ekaristi adalah puncak hidup kita sebagai umat kristiani, dimana kita dipertemukan dengan Allah Bapa yang mahakuasa, mahatinggi, pencipta langit dan bumi, serta pemelihara alam semesta. Kita bersama dengan Yesus Kristus mempersembahkan kurban yang suci murni, demi keselamatan umat manusia. Maka persiapan yang cukup harus kita lakukan, agar kita layak mengikuti perayaan yang suci ini. Kita dianjurkan membersihkan diri, lahir dan batin, jasmani dan rohani. Kita dianjurkan untuk berpuasa (minimal sejam sebelum misa), berpantang, atau mengaku dosa sebelum Misa. Kita dianjurkan untuk mengenakan pakaian rapi, bersih, resmi, sopan, sebagaimana layaknya kita kenakan dalam perjamuan bersama, untuk menghormati siapa saja yang hadir di situ, terutama Tuhan Yesus dan Allah Bapa yang maha-agung. Kita dianjurkan mengenakan sepatu, baju ber-krah, panjang rok di bawah lutut; dan tidak dianjurkan mengenakan sandal jepit, kaos oblong, baju tanpa lengan, �you can see�, atau pakaian santai (bdk.Kel 3:2 Musa melepas sandalnya di hadapan Yahwe). Dasarnya: aspek kepantasan dan kebersamaan; berfokus pada Kristus dan tidak mempertontonkan diri.
2. Kita masuk ke dalam gedung gereja berarti memasuki rumah Tuhan yang suci. Ada �batas suci� meski tidak tertulis. Di kanan-kiri pintu ada air suci, kita bisa mengambilnya dengan tangan kanan, dan kita buat tanda salib, sebagai tanda bahwa kita memasukkan diri ke dalam persekutuan ilahi Bapa-Putera-Roh Kudus; kita masuk dalam kesucian, persis seperti waktu kita dibaptis dengan air suci. Dengan demikian kita masuki suasana surgawi, tenang, hening, damai, dan kita tinggalkan suasana duniawi yang ramai. Maka suasana di dalam gereja kita jaga tetap HENING. Alat komunikasi seperti Handphone sebaiknya di-silent-kan. Makanan & minuman sebaiknya ditinggal di luar gereja. Anak-anak sebaiknya dijaga orangtuanya supaya tidak lari-lari dan berteriak.
3. Kita menuju bangku yang kosong, dengan terlebih dulu menghormati Altar sebagai tempat yang suci, dimana Yesus mempersembahkan diriNya kepada Allah Bapa; atau menghormati Tabernakel, dimana Yesus bertahta dalam sakramen Mahakudus. Penghormatan bisa dengan MEMBUNGKUK, atau BERLUTUT dengan satu kaki menyentuh lantai. Membungkukkan badan artinya menghormat dan siap melaksanakan tugas dari Allah. Berlutut artinya menghormat dan mengakui kerendahan kita di hadapanNya. Selanjutnya di bangku kita bisa berdoa secara pribadi, atau membaca Kitab Suci, sambil menunggu dimulainya perayaan Ekaristi. Dalam posisi duduk, kita tidak mengobrol atau berisik, tidak main game/SMS yang tidak perlu, karena kita bertatap muka dengan Tuhan.
4. Perayaan Ekaristi dimulai dengan perarakan rombongan Imam memasuki gereja. Paduan suara kelompok koor dan Umat sambil BERDIRI, menyambut kehadiran Allah yang diwujudkan dengan kehadiran pribadi Imam (=in persona Christi); juga dengan kitab suci Evangeliarium yang dibawa tinggi-tinggi oleh Diakon dalam perarakan. Lagu perarakan pembukaan ini memasukkan kita ke dalam suasana surgawi (pada Hari Raya, misdinar membawa pedupaan bernyala yang menyebarkan asap ke dalam gereja).
5. Rombongan Imam sesudah menghormati Altar, bisa dengan membungkukkan badan atau berlutut satu kaki, kemudian menuju bangku atau posisi masing-masing sesuai dengan fungsinya.
6. Imam membuka perayaan dengan Tanda Salib meriah/dinyanyikan, dan Salam, serta mengantarkan thema perayaan. Umat membuat tanda salib dengan mantab: di dahi, di perut/pusar, di pundak kiri dan pundak kanan, sambil menjawab mantab �Amin�, artinya menyetujui, meyakini. Umat menyimak pengantar thema dengan penuh perhatian.
7. Agar layak mengikuti perayaan Ekaristi, Imam memimpin Umat untuk mengadakan penelitian diri, mengakukan kesalahan, bisa dengan menyanyikan lagu Tuhan Kasihanilah Kami. Sikap Umat BERLUTUT, sebagai sikap ketidakpantasan di hadapan Tuhan. Mengakui kesalahan bisa dengan menepuk-nepuk dada, sebagai ungkapan kerendahan di hadapan Allah. Kemudian Imam mengajak Umat, untuk bersama-sama melambungkan madah pujian Gloria dengan mantab. Sesudah Gloria, Imam melanjutkannya dengan Doa Pembukaan yang dijawab umat dengan �Amin�. Sesudah itu Imam dan Umat DUDUK untuk mendengarkan Sabda Tuhan dengan hormat dan khidmat. Duduk artinya siap sedia menyimak bacaan demi bacaan, sebab dalam pembacaan Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, Kristus hadir di dalamnya. Kita bertatap muka dengan Tuhan.
Sumber:
Bahan Katekese Liturgi di Paroki St. Herkulanus Depok.
Saturday, November 26, 2011
Mazmur Tanggapan
Bacaan-bacaan Alkitab dan Mazmur tanggapan merupakan unsur pokok dalam liturgi sabda (PUMR 55). Sesuai dengan namanya, Mazmur tanggapan dimaksudkan untuk memperdalam renungan atas sabda Allah dan sekaligus menanggapi sabda Allah yang baru saja kita dengarkan dalam bacaan pertama. Mazmur tanggapan memiliki makna liturgis serta pastoral yang penting karena menopang permenungan atas sabda Allah. Karena itu, Mazmur tanggapan tidak boleh diganti dengan teks lain atau nyanyian lain yang bukan dari Alkitab (PUMR 57).
Tradisi menyanyikan Mazmur atau Kidung setelah mendengarkan bacaan dari Kitab Suci, sebenarnya sudah dilakukan sejak jaman dahulu oleh orang-orang Yahudi. Tradisi ini kemudian diikuti oleh Gereja di mana mana dalam tradisi Gereja Latin. Biasanya, setelah pembacaan Kitab Suci, seseorang akan menyanyikan Mazmur atau Kidung dengan berdiri di anak tangga (dekat panti Imam) yang dalam bahasa latin dinamakan Gradus.
Sejalan dengan perkembangannya, Mazmur dan Kidung ini kemudian dihimpun dalam dua buah buku yang diterbitkan oleh Gereja dengan nama Graduale Romanum dan Graduale Simplex di mana nama buku (Graduale) diambil dari kata Gradus tersebut di atas. Sejak abad XX Mazmur tanggapan wajib dinyanyikan dalam Ekaristi. Nyanyian Mazmur tanggapan dapat dinyanyikan di mimbar sabda atau di tempat lain yang dianggap layak (PUMR 61).
Makna utama yang terkandung dalam Mazmur tanggapan adalah :
� Sebagai jawaban atau tanggapan jemaat atas sabda Allah yang baru saja diwartakan atau dibacakan.
� Mazmur tanggapan bermakna menjawab dengan pujian atas karya-karya Illahi dari Allah yang terus berlangsung sejak dunia ini diciptakan-Nya hingga sekarang ini
� Mazmur tanggapan merupakan pewartaan kabar gembira tentang karya keselamatan Allah, di mana karya keselamatan ini memuncak pada diri Yesus Kristus Putra Nya yang tunggal.
PEDOMAN MEMBAWAKAN MAZMUR TANGGAPAN
Sejak dikeluarkannya Pedoman Umum Missale Romawi (PUMR) 2002 dan diterbitkannya Tata Perayaan Ekaristi (TPE) di Indonesia pada tahun 2005, hal tentang membawakan Mazmur Tanggapan ini dijelaskan secara lebih rinci lagi.
� Sesuai dengan PUMR no 61, Mazmur tanggapan sebaiknya dibawakan dengan cara dinyanyikan, sekurang-kurangnya pada bagian ulangan (antifon) sesuai dengan hakikat dari Mazmur sendiri yang merupakan sebuah nyanyian
� Mazmur tanggapan dinyanyikan dengan tenang dan mengalir, selaras dengan sifat lagunya yang lebih bersifat kontemplatif dan meditatif
� Mazmur Tanggapan dibawakan secara khusus oleh pemazmur dan sebaiknya dibedakan dengan solis yang lebih berfungsi sebagai petugas dalam kelompok paduan suara.
� Seandainya petugas pemazmur tidak ada, maka Solis dari kelompok paduan suara dapat mengambil alih tugas ini; dan seandainya pemazmur dan solis dari paduan suara tidak ada, maka Lektor dapat mengambil alihnya.
Makna dan Maksud
Mazmur Tanggapan merupakan unsur pokok dalam liturgi sabda, dan mempunyai makna liturgis serta pastoral yang penting karena menopang permenungan atas sabda Allah. Maksud mazmur tanggapan adalah menanggapi sabda Tuhan! Dan tanggapan ini bukan dengan sembarang kata, tetapi dengan kata-kata Alkitab, yang telah dipilih secara saksama oleh para ahli liturgi.
Struktur
Mazmur Tanggapan terdiri dari ulangan dan ayat atau bait Mazmur.
1. Ulangan dimaksudkan sebagai kunci penafsiran atau sebagai amanat inti dari bacaan yang baru saja didengar.
2. Ulangan memungkinkan umat ambil bagian secara aktif dalam permohonan, pujian, renungan, dll. sebagai tanggapan terhadap sabda Allah.
3. Ayat/bait-bait bermaksud memperdalam amanat pewartaan.
4. Dialog antara ayat - ulangan, antara pemazmur - umat, antara pewarta dan penerima sabda, menggambarkan dialog antara Allah dan umat-Nya.
Tata Pelaksanaan
Mazmur tanggapan muncul dari suasana hening, tanpa keributan atau pun pengumuman. Itulah sebabnya ulangan sebaiknya dihafal, sehingga umat tidak harus membaca. Cara membawakan mazmur tanggapan adalah sbb:
1. Pemazmur melagukan [ayat-ayat] mazmur dari mimbar atau tempat lain yang cocok.
2. Sesudah intro dari organis, pemazmur melagukan ulangan, kemudian umat menirukan pemazmur: melagukan ulangan.
3. Kemudian pemazmur melagukan ayat-ayat, dan sesudah setiap ayat, umat melagukan ulangan.
4. Hendaklah dihindari kebiasaan buruk: umat ikut bersenandung pada saat pemazmur melagukan ayat-ayat mazmur. Tugas umat waktu pemazmur melagukan ayat adalah meresapkan syair ayat mazmur sehingga dapat menanggapi secara mantap waktu melagukan ulangan.
Peran Pemazmur
Pemazmur memainkan peranan kunci dalam membawakan mazmur tanggapan. Maka ia harus sungguh memahami fungsi mazmur tanggapan dan menguasai teknik-teknik membawakannya, a.l:
1. Ulangan: Pemazmur harus mampu mengangkat ulangan dengan mantap dan meyakinkan, sesuai dengan jiwa teks, sehingga umat pun dapat serempak mengulanginya.
2. Ayat-ayat: Ayat-ayat mazmur mengungkapkan inti tanggapan kita terhadap sabda Allah. Maka harus dibawakan dengan tepat.
Suasana dan penjiwaan
Jiwa dan suasana Mazmur tanggapan sangat bervariasi: gembira, pujian, syukur, gagah, agung / megah, susah, merana merintih, tenang (doa, renungan), dll. Semua ini harus mendapat perhatian dari pemazmur, agar ia dapat membawakan ayat-ayat mazmur tanggapan dengan suasana dan penjiwaan yang tepat.
Tempat
Tempat pemazmur membawakan ayat-ayat mazmur ialah mimbar atau tempat lain yang cocok. Umat mendengarkan sambil duduk. Sedapat mungkin umat berpartisipasi dengan menyanyikan ulangan, kecuali kalau yang dinyanyikan itu hanya mazmur saja tanpa ulangan.
Marilah kita siapkan hati dan pikiran kita untuk merenungkan Sabda Tuhan dengan menanggapi dan menyanyikan Mazmur tanggapan dengan sepenuh hati.
Semoga Tuhan memberkati kita semua.
Oleh : Ign. Djoko Irianto
*) Penulis, Prodiakon Paroki St. Herkulanus.
Tradisi menyanyikan Mazmur atau Kidung setelah mendengarkan bacaan dari Kitab Suci, sebenarnya sudah dilakukan sejak jaman dahulu oleh orang-orang Yahudi. Tradisi ini kemudian diikuti oleh Gereja di mana mana dalam tradisi Gereja Latin. Biasanya, setelah pembacaan Kitab Suci, seseorang akan menyanyikan Mazmur atau Kidung dengan berdiri di anak tangga (dekat panti Imam) yang dalam bahasa latin dinamakan Gradus.
Sejalan dengan perkembangannya, Mazmur dan Kidung ini kemudian dihimpun dalam dua buah buku yang diterbitkan oleh Gereja dengan nama Graduale Romanum dan Graduale Simplex di mana nama buku (Graduale) diambil dari kata Gradus tersebut di atas. Sejak abad XX Mazmur tanggapan wajib dinyanyikan dalam Ekaristi. Nyanyian Mazmur tanggapan dapat dinyanyikan di mimbar sabda atau di tempat lain yang dianggap layak (PUMR 61).
Makna utama yang terkandung dalam Mazmur tanggapan adalah :
� Sebagai jawaban atau tanggapan jemaat atas sabda Allah yang baru saja diwartakan atau dibacakan.
� Mazmur tanggapan bermakna menjawab dengan pujian atas karya-karya Illahi dari Allah yang terus berlangsung sejak dunia ini diciptakan-Nya hingga sekarang ini
� Mazmur tanggapan merupakan pewartaan kabar gembira tentang karya keselamatan Allah, di mana karya keselamatan ini memuncak pada diri Yesus Kristus Putra Nya yang tunggal.
PEDOMAN MEMBAWAKAN MAZMUR TANGGAPAN
Sejak dikeluarkannya Pedoman Umum Missale Romawi (PUMR) 2002 dan diterbitkannya Tata Perayaan Ekaristi (TPE) di Indonesia pada tahun 2005, hal tentang membawakan Mazmur Tanggapan ini dijelaskan secara lebih rinci lagi.
� Sesuai dengan PUMR no 61, Mazmur tanggapan sebaiknya dibawakan dengan cara dinyanyikan, sekurang-kurangnya pada bagian ulangan (antifon) sesuai dengan hakikat dari Mazmur sendiri yang merupakan sebuah nyanyian
� Mazmur tanggapan dinyanyikan dengan tenang dan mengalir, selaras dengan sifat lagunya yang lebih bersifat kontemplatif dan meditatif
� Mazmur Tanggapan dibawakan secara khusus oleh pemazmur dan sebaiknya dibedakan dengan solis yang lebih berfungsi sebagai petugas dalam kelompok paduan suara.
� Seandainya petugas pemazmur tidak ada, maka Solis dari kelompok paduan suara dapat mengambil alih tugas ini; dan seandainya pemazmur dan solis dari paduan suara tidak ada, maka Lektor dapat mengambil alihnya.
Makna dan Maksud
Mazmur Tanggapan merupakan unsur pokok dalam liturgi sabda, dan mempunyai makna liturgis serta pastoral yang penting karena menopang permenungan atas sabda Allah. Maksud mazmur tanggapan adalah menanggapi sabda Tuhan! Dan tanggapan ini bukan dengan sembarang kata, tetapi dengan kata-kata Alkitab, yang telah dipilih secara saksama oleh para ahli liturgi.
Struktur
Mazmur Tanggapan terdiri dari ulangan dan ayat atau bait Mazmur.
1. Ulangan dimaksudkan sebagai kunci penafsiran atau sebagai amanat inti dari bacaan yang baru saja didengar.
2. Ulangan memungkinkan umat ambil bagian secara aktif dalam permohonan, pujian, renungan, dll. sebagai tanggapan terhadap sabda Allah.
3. Ayat/bait-bait bermaksud memperdalam amanat pewartaan.
4. Dialog antara ayat - ulangan, antara pemazmur - umat, antara pewarta dan penerima sabda, menggambarkan dialog antara Allah dan umat-Nya.
Tata Pelaksanaan
Mazmur tanggapan muncul dari suasana hening, tanpa keributan atau pun pengumuman. Itulah sebabnya ulangan sebaiknya dihafal, sehingga umat tidak harus membaca. Cara membawakan mazmur tanggapan adalah sbb:
1. Pemazmur melagukan [ayat-ayat] mazmur dari mimbar atau tempat lain yang cocok.
2. Sesudah intro dari organis, pemazmur melagukan ulangan, kemudian umat menirukan pemazmur: melagukan ulangan.
3. Kemudian pemazmur melagukan ayat-ayat, dan sesudah setiap ayat, umat melagukan ulangan.
4. Hendaklah dihindari kebiasaan buruk: umat ikut bersenandung pada saat pemazmur melagukan ayat-ayat mazmur. Tugas umat waktu pemazmur melagukan ayat adalah meresapkan syair ayat mazmur sehingga dapat menanggapi secara mantap waktu melagukan ulangan.
Peran Pemazmur
Pemazmur memainkan peranan kunci dalam membawakan mazmur tanggapan. Maka ia harus sungguh memahami fungsi mazmur tanggapan dan menguasai teknik-teknik membawakannya, a.l:
1. Ulangan: Pemazmur harus mampu mengangkat ulangan dengan mantap dan meyakinkan, sesuai dengan jiwa teks, sehingga umat pun dapat serempak mengulanginya.
2. Ayat-ayat: Ayat-ayat mazmur mengungkapkan inti tanggapan kita terhadap sabda Allah. Maka harus dibawakan dengan tepat.
Suasana dan penjiwaan
Jiwa dan suasana Mazmur tanggapan sangat bervariasi: gembira, pujian, syukur, gagah, agung / megah, susah, merana merintih, tenang (doa, renungan), dll. Semua ini harus mendapat perhatian dari pemazmur, agar ia dapat membawakan ayat-ayat mazmur tanggapan dengan suasana dan penjiwaan yang tepat.
Tempat
Tempat pemazmur membawakan ayat-ayat mazmur ialah mimbar atau tempat lain yang cocok. Umat mendengarkan sambil duduk. Sedapat mungkin umat berpartisipasi dengan menyanyikan ulangan, kecuali kalau yang dinyanyikan itu hanya mazmur saja tanpa ulangan.
Marilah kita siapkan hati dan pikiran kita untuk merenungkan Sabda Tuhan dengan menanggapi dan menyanyikan Mazmur tanggapan dengan sepenuh hati.
Semoga Tuhan memberkati kita semua.
Oleh : Ign. Djoko Irianto
*) Penulis, Prodiakon Paroki St. Herkulanus.
Monday, November 21, 2011
Bacaan Alkitab dalam Liturgi Sabda
Setelah Ritus Pembuka, Perayaan Ekaristi masuk ke dalam Liturgi Sabda. Pada bagian Liturgi Sabda ini umat diajak untuk mendengarkan Sabda Tuhan dan menanggapinya. Bagian ini merupakan dialog perjumpaan antara Allah yang bersabda dan umat yang menanggapinya. Karena apabila Alkitab dibacakan dalam gereja, Allah sendiri bersabda kepada umat-Nya, dan Kristus sendiri mewartakan kabar gembira, sebab Ia hadir dalam sabda itu (PUMR 29).
Pada masa Gereja Perdana, pemilihan dan jumlah bacaan dari Kitab Suci (Alkitab) bervariasi untuk setiap liturgi. Kemudian berkembang pola di mana satu bacaan dari salah satu epistula atau surat para rasul akan dibacakan sebelum bacaan Injil. Kitab para nabi dari Perjanjian Lama juga diberi prioritas untuk disampaikan kepada umat. Lebih lanjut, Gereja menetapkan bahwa hanya kitab-kitab para Nabi atau para Rasul yang dibacakan kepada umat beriman dalam Perayaan Ekaristi (Misa).
Sejak tahun 1969 ditetapkan bahwa dalam Misa Hari Minggu digunakan struktur bacaan sbb.: Bacaan Pertama - Mazmur Tanggapan - Bacaan Kedua - Bacaan Injil. Bacaan Injil dibagi ke dalam siklus 3 tahunan menurut kalender liturgi pada tahun tersebut (tahun A � Injil Matius, tahun B � Injil Markus, tahun C � Injil Lukas, sementara Injil Yohanes disebar dalam tiga tahun tersebut). Sementara, untuk Hari Raya walaupun berstruktur sama namun hanya ada satu rangkaian bacaan yang digunakan setiap tahunnya.
Untuk Pesta, Peringatan dan Hari Biasa tanpa pesta digunakan struktur bacaan sbb.: Bacaan Pertama - Mazmur Tanggapan - Bacaan Injil. Dalam Pesta digunakan bacaan-bacaan khusus sementara untuk Peringatan dan hari biasa bacaan mengikuti siklus dua tahunan. Dalam siklus dua tahunan ini bacaan Injilnya sama dan yang berbeda ialah bacaan pertama dan pilihan mazmurnya.
Setiap pembacaan Kitab Suci harus selalu diakhiri dengan kata-kata �Demikianlah Sabda Tuhan�. Kata-kata ini merupakan pernyataan resmi bahwa yang dibacakan tadi adalah sabda Allah sendiri sebab Allah hadir ketika Kitab Suci dibacakan. Dan umat menjawab �Syukur kepada Allah�.
Aklamasi �Syukur kepada Allah� (Deo gratias) dipergunakan oleh umat sejak abad keempat sebagai jawaban atas pernyatan �demikianlah sabda Tuhan�. Umat menjawab: �syukur kepada Allah�, untuk menyatakan kepercayaannya bahwa apa yang baru disampaikan benar-benar sabda Tuhan. Umat tidak berhenti pada jawaban singkat itu, bahkan menanggapi sabda itu dengan mazmur tanggapan yang tidak lain adalah suatu madah untuk memuji Tuhan dengan kata-kata yang diilhami oleh Roh Kudus. Jika kita memahaminya dan mengulang refreinnya benar-benar, maka kita akan memberikan tanggapan / jawaban secara tepat atas sabda Tuhan (bdk. DV 25).
Bacaan Pertama diambil dari Perjanjian Lama, kecuali pada masa Paskah dimana seluruhnya diambil dari Kisah Para Rasul. Dalam bacaan pertama kita diajak untuk mengingat kembali sejarah perjanjian kita. Sementara Bacaan Kedua selalu diambil dari Perjanjian Baru non-Injil. Bacaan Pertama umumnya selalu memiliki kaitan tematis yang langsung dengan Bacaan Injil, tujuannya memberi latar belakang sehingga menambah pengertian / pemahaman sejarah keselamatan Allah dari perjanjian lama dan berpuncak pada Yesus yang diwartakan dalam Injil. Sementara Bacaan Kedua umumnya bersifat kontinuitas dan tidak selalu memiliki kaitan tematis yang langsung baik dengan Bacaan Pertama maupun Injil.
Pada saat membaca, lektor hanya memaklumkan: Bacaan dari kitab ......... tanpa menyebutkan bab, ayat, tanpa membacakan kalimat dengan huruf miring, dan tanpa menyebutkan Bacaan I atau II. Alasan teologisnya adalah demi spontanitas kehadiran pribadi Allah yang mau berbicara.
Dalam perayaan, doa-doa dan nyanyian-nyanyian harus bersifat spontan, yang keluar dari hati. Karena itu, nyanyian-nyanyian hendaknya bersifat sederhana namun sublim, yang mudah diingat oleh umat. "Sebab, hanya kalau dapat dihayati secara pribadi, liturgi adalah doa umat beriman. Kalau doa liturgis tidak dapat masuk ke dalam hati, maka dengan sendirinya akan menjadi upacara. Hanya kalau hati orang terlibat, liturgi dapat menjadi perayaan." (Tom Jacobs, Teologi Doa, 2004 : 81).
Seluruh bagian Liturgi Sabda hendaknya dilangsungkan di mimbar (PUMR 58). Mimbar adalah �pusat perhatian umat selama Liturgi Sabda�. Bacaan Pertama, Mazmur Tanggapan, Bacaan Kedua, Injil, Homili, Syahadat, Doa Umat, disampaikan dari mimbar.
Sabda Allah (bacaan pertama dan kedua) sebaiknya dimaklumkan dari Lectionarium. Karena dalam Lectionarium itu, perikop yang dimaklumkan, sudah ditempatkan konteksnya dan jika ada ayat yang dilewati, juga sudah didrop; sehingga memudahkan pemakluman.
Menurut tradisi, pembacaan itu bukanlah tugas pemimpin perayaan, melainkan tugas pelayan yang terkait. Oleh karena itu, bacaan-bacaan hendaknya dibawakan oleh lektor, sedangkan Injil dimaklumkan oleh diakon atau imam lain yang tidak memimpin perayaan. Akan tetapi, kalau tidak ada diakon atau imam lain, maka Injil dimaklumkan oleh imam selebran sendiri. (PUMR 59). Hal tersebut dimaksudkan bahwa pemimpin perayaan/pastor yang biasanya memberi homili bukan hanya seorang pewarta Sabda Allah; tapi juga seorang pendengar sabda pula. Sebagai pendengar sabda, pemimpin perayaan ikut mendengarkan pewartaan bacaan pertama dan kedua, serta Injil apabila dibacakan oleh diakon tertahbis.
Dengan mendengarkan bacaan Kitab Suci dalam Perayaan Ekaristi, umat mengaktualisasikan teks Alkitab secara paling sempurna. Perayaan Ekaristi menempatkan pewartaan di tengah-tengah komunitas umat beriman, yang berkumpul di sekitar Yesus untuk mendekatkan diri pada Allah. Oleh karena itu kita perlu membedakan pembacaan Kitab Suci dalam liturgi dengan membaca Kitab Suci untuk Studi Ilmiah atau renungan.
Bagaimanapun "Mendengarkan bukan sekedar tindakan reseptif, yang hanya menerima saja, melainkan juga tindakan aktif. Sebab bila kita mendengarkan, kita sebenarnya sedang membuka diri, untuk menerima dengan sadar, sapaan dari luar diri kita. Dengan sadar pula mau mengambil bagian dalam peristiwa yang didengarkan itu. Demikianlah dalam liturgi, tindakan mendengarkan ini begitu dominan. Kita mendengarkan Sabda Tuhan, homili, doa, nyanyian, musik, dan sebagainya" (E. Martasudjita, Memahami Simbol-simbol Dalam Liturgi, 1998:15).
Semoga Tuhan memberkati kita semua.
Oleh : Ign. Djoko Irianto
Penulis, Prodiakon Paroki St. Herkulanus
Pada masa Gereja Perdana, pemilihan dan jumlah bacaan dari Kitab Suci (Alkitab) bervariasi untuk setiap liturgi. Kemudian berkembang pola di mana satu bacaan dari salah satu epistula atau surat para rasul akan dibacakan sebelum bacaan Injil. Kitab para nabi dari Perjanjian Lama juga diberi prioritas untuk disampaikan kepada umat. Lebih lanjut, Gereja menetapkan bahwa hanya kitab-kitab para Nabi atau para Rasul yang dibacakan kepada umat beriman dalam Perayaan Ekaristi (Misa).
Sejak tahun 1969 ditetapkan bahwa dalam Misa Hari Minggu digunakan struktur bacaan sbb.: Bacaan Pertama - Mazmur Tanggapan - Bacaan Kedua - Bacaan Injil. Bacaan Injil dibagi ke dalam siklus 3 tahunan menurut kalender liturgi pada tahun tersebut (tahun A � Injil Matius, tahun B � Injil Markus, tahun C � Injil Lukas, sementara Injil Yohanes disebar dalam tiga tahun tersebut). Sementara, untuk Hari Raya walaupun berstruktur sama namun hanya ada satu rangkaian bacaan yang digunakan setiap tahunnya.
Untuk Pesta, Peringatan dan Hari Biasa tanpa pesta digunakan struktur bacaan sbb.: Bacaan Pertama - Mazmur Tanggapan - Bacaan Injil. Dalam Pesta digunakan bacaan-bacaan khusus sementara untuk Peringatan dan hari biasa bacaan mengikuti siklus dua tahunan. Dalam siklus dua tahunan ini bacaan Injilnya sama dan yang berbeda ialah bacaan pertama dan pilihan mazmurnya.
Setiap pembacaan Kitab Suci harus selalu diakhiri dengan kata-kata �Demikianlah Sabda Tuhan�. Kata-kata ini merupakan pernyataan resmi bahwa yang dibacakan tadi adalah sabda Allah sendiri sebab Allah hadir ketika Kitab Suci dibacakan. Dan umat menjawab �Syukur kepada Allah�.
Aklamasi �Syukur kepada Allah� (Deo gratias) dipergunakan oleh umat sejak abad keempat sebagai jawaban atas pernyatan �demikianlah sabda Tuhan�. Umat menjawab: �syukur kepada Allah�, untuk menyatakan kepercayaannya bahwa apa yang baru disampaikan benar-benar sabda Tuhan. Umat tidak berhenti pada jawaban singkat itu, bahkan menanggapi sabda itu dengan mazmur tanggapan yang tidak lain adalah suatu madah untuk memuji Tuhan dengan kata-kata yang diilhami oleh Roh Kudus. Jika kita memahaminya dan mengulang refreinnya benar-benar, maka kita akan memberikan tanggapan / jawaban secara tepat atas sabda Tuhan (bdk. DV 25).
Bacaan Pertama diambil dari Perjanjian Lama, kecuali pada masa Paskah dimana seluruhnya diambil dari Kisah Para Rasul. Dalam bacaan pertama kita diajak untuk mengingat kembali sejarah perjanjian kita. Sementara Bacaan Kedua selalu diambil dari Perjanjian Baru non-Injil. Bacaan Pertama umumnya selalu memiliki kaitan tematis yang langsung dengan Bacaan Injil, tujuannya memberi latar belakang sehingga menambah pengertian / pemahaman sejarah keselamatan Allah dari perjanjian lama dan berpuncak pada Yesus yang diwartakan dalam Injil. Sementara Bacaan Kedua umumnya bersifat kontinuitas dan tidak selalu memiliki kaitan tematis yang langsung baik dengan Bacaan Pertama maupun Injil.
Pada saat membaca, lektor hanya memaklumkan: Bacaan dari kitab ......... tanpa menyebutkan bab, ayat, tanpa membacakan kalimat dengan huruf miring, dan tanpa menyebutkan Bacaan I atau II. Alasan teologisnya adalah demi spontanitas kehadiran pribadi Allah yang mau berbicara.
Dalam perayaan, doa-doa dan nyanyian-nyanyian harus bersifat spontan, yang keluar dari hati. Karena itu, nyanyian-nyanyian hendaknya bersifat sederhana namun sublim, yang mudah diingat oleh umat. "Sebab, hanya kalau dapat dihayati secara pribadi, liturgi adalah doa umat beriman. Kalau doa liturgis tidak dapat masuk ke dalam hati, maka dengan sendirinya akan menjadi upacara. Hanya kalau hati orang terlibat, liturgi dapat menjadi perayaan." (Tom Jacobs, Teologi Doa, 2004 : 81).
Seluruh bagian Liturgi Sabda hendaknya dilangsungkan di mimbar (PUMR 58). Mimbar adalah �pusat perhatian umat selama Liturgi Sabda�. Bacaan Pertama, Mazmur Tanggapan, Bacaan Kedua, Injil, Homili, Syahadat, Doa Umat, disampaikan dari mimbar.
Sabda Allah (bacaan pertama dan kedua) sebaiknya dimaklumkan dari Lectionarium. Karena dalam Lectionarium itu, perikop yang dimaklumkan, sudah ditempatkan konteksnya dan jika ada ayat yang dilewati, juga sudah didrop; sehingga memudahkan pemakluman.
Menurut tradisi, pembacaan itu bukanlah tugas pemimpin perayaan, melainkan tugas pelayan yang terkait. Oleh karena itu, bacaan-bacaan hendaknya dibawakan oleh lektor, sedangkan Injil dimaklumkan oleh diakon atau imam lain yang tidak memimpin perayaan. Akan tetapi, kalau tidak ada diakon atau imam lain, maka Injil dimaklumkan oleh imam selebran sendiri. (PUMR 59). Hal tersebut dimaksudkan bahwa pemimpin perayaan/pastor yang biasanya memberi homili bukan hanya seorang pewarta Sabda Allah; tapi juga seorang pendengar sabda pula. Sebagai pendengar sabda, pemimpin perayaan ikut mendengarkan pewartaan bacaan pertama dan kedua, serta Injil apabila dibacakan oleh diakon tertahbis.
Dengan mendengarkan bacaan Kitab Suci dalam Perayaan Ekaristi, umat mengaktualisasikan teks Alkitab secara paling sempurna. Perayaan Ekaristi menempatkan pewartaan di tengah-tengah komunitas umat beriman, yang berkumpul di sekitar Yesus untuk mendekatkan diri pada Allah. Oleh karena itu kita perlu membedakan pembacaan Kitab Suci dalam liturgi dengan membaca Kitab Suci untuk Studi Ilmiah atau renungan.
Bagaimanapun "Mendengarkan bukan sekedar tindakan reseptif, yang hanya menerima saja, melainkan juga tindakan aktif. Sebab bila kita mendengarkan, kita sebenarnya sedang membuka diri, untuk menerima dengan sadar, sapaan dari luar diri kita. Dengan sadar pula mau mengambil bagian dalam peristiwa yang didengarkan itu. Demikianlah dalam liturgi, tindakan mendengarkan ini begitu dominan. Kita mendengarkan Sabda Tuhan, homili, doa, nyanyian, musik, dan sebagainya" (E. Martasudjita, Memahami Simbol-simbol Dalam Liturgi, 1998:15).
Semoga Tuhan memberkati kita semua.
Oleh : Ign. Djoko Irianto
Penulis, Prodiakon Paroki St. Herkulanus
Sunday, November 6, 2011
Liturgi Sabda dalam Perayaan Ekaristi
Secara umum perayaan ekaristi dibagi menjadi 4 bagian, yaitu ritus pembuka, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi dan ritus penutup. Ritus pembuka bertujuan untuk mempersatukan umat dan mempersiapkan umat untuk menyadari kehadiran Allah, agar dapat mendengarkan sabda Allah dan dapat merayakan Ekaristi dengan pantas. Pewartaan dan pembacaan Sabda Allah merupakan unsur yang sangat penting dalam Liturgi Sabda. Umat wajib mendengarkan dengan penuh hormat. Bila Alkitab (Kitab Suci) dibacakan dalam gereja, Allah sendirilah yang bersabda kepada umat-Nya, dan Kristus mewartakan kabar baik, sebab Ia hadir dalam sabda itu. (PUMR 29).
Liturgi sangat erat hubungannya dengan Kitab Suci. Bahkan hampir tidak ada liturgi tanpa Kitab suci. Dalam perjalanan Gereja baik sejarah Gereja maupun sejarah liturgi, sekurang-kurangnya tak biasa ada liturgi tanpa Kitab Suci. Dikatakan sekurang-kurangnya, karena ada perayaan liturgi dulu tanpa Kitab Suci seperti perayaan tobat. Secara konkrit, liturgi menimba spiritualitas dari Kitab Suci, sebaliknya liturgi merupakan muara Kitab Suci karena liturgi dibentuk oleh sabda Allah.
Santo Hieronimus (347-420), seorang rahib dan pujangga Gereja menegaskan, �Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus.� Penegasan ini dikutip lagi oleh Konsili Vatikan II, dalam Konstitusi Dei Verbum No 25. Selanjutnya, Hieronimus mengingatkan bahwa tempat yang paling tepat untuk membaca dan mendengarkan Sabda Allah adalah liturgi. Maka, belum cukup hanya merenungkan sendiri Kitab Suci. Tafsiran ilmiah terhadap Kitab Suci pun hanya bersifat membantu. Karena bagi Hieronimus, penafsiran Kitab Suci yang otentik selalu harus sesuai dengan iman Gereja Katolik.
Kita harus membaca Kitab Suci dalam komunio dengan Gereja yang hidup. Kalau Kitab Suci dibacakan dalam Gereja, terutama dalam Perayaan Ekaristi, maka Allah sendiri berbicara kepada umat-Nya dan Kristus hadir dalam Sabda-Nya (PUMR 29 dan SC 7).
Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi merupakan dua bagian pokok dalam perayaan ekaristi (PUMR 28), keduanya berhubungan erat. Dalam Liturgi Sabda dipaparkan karya keselamatan Allah yang disyukuri dalam Liturgi Ekaristi. Mengenai hubungan antara Sabda dan Ekaristi, PUMR 28 menulis: �Perayaan Ekaristi boleh dikatakan terdiri atas dua bagian: Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Keduanya berhubungan begitu erat satu sama lain, sehingga merupakan satu tindak ibadat.� Sebab dalam Perayaan Ekaristi itu sabda Allah dihidangkan untuk menjadi pengajaran bagi orang-orang beriman dan Tubuh Kristus dihidangkan untuk menjadi santapan bagi mereka.
Dalam liturgi sabda, Gereja merayakan misteri kehadiran Tuhan melalui sabda, dalam sikap dan semangat doa. Umat beriman berdoa dengan seluruh kemanusiaannya. Umat mengambil sikap duduk untuk mendengar dengan penuh hikmat. Duduk di sini tentunya tetap dalam sikap doa.
Pelaksanaan Liturgi Sabda dalam Perayaan Ekaristi
Kerangka � Kerangka dasar Liturgi Sabda selengkapnya adalah: Bacaan 1 � Mazmur Tanggapan � Bacaan 2 � Bait Pengantar Injil � Aklamasi Sebelum Injil � Injil � Aklamasi Sesudah Injil � Homili � Syahadat � Doa Umat.
Bacaan-bacaan Alkitab dan mazmur tanggapannya merupakan bagian pokok dari Liturgi Sabda. Dalam bacaan-bacaan ini, Allah sendiri bersabda kepada umat-Nya (PUMR 29). Di situ Allah menyingkapkan misteri penebusan dan keselamatan serta memberikan makanan rohani. Lewat sabda-Nya, Kristus sendiri hadir di tengah-tengah umat beriman.
Dalam Perayaan Ekaristi, bacaan-bacaan Alkitab tidak boleh dihilangkan atau dikurangi, apalagi diganti dengan bacaan lain yang bukan dari Alkitab; begitu juga nyanyian (mazmur) yang diambil dari Alkitab. PUMR 57 menegaskan : �Tidak diizinkan mengganti bacaan dan mazmur tanggapan, yang berisi sabda Allah, dengan teks-teks lain yang bukan dari Alkitab.� Sebab lewat Sabda Allah yang diwariskan secara tertulis itulah "Allah masih terus berbicara kepada umat-Nya."
Cara Pelaksanaan � Liturgi Sabda haruslah dilaksanakan sedemikian rupa sehingga mendorong umat untuk merenung. Oleh karena itu, setiap bentuk ketergesa-gesaan yang dapat mengganggu permenungan harus sungguh dihindari.
Pembacaan Alkitab dalam perayaan Ekaristi bukanlah sekedar penyampaian kisah informatif tentang Allah dan cara-cara Dia berurusan dengan manusia di masa lalu. Pembacaan Alkitab dalam perayaan Ekaristi adalah suatu peristiwa yang sedang terjadi, sebuah campur tangan Allah secara nyata dalam masalah dan keprihatinan jemaat yang tengah berkumpul. Jadi, pada saat Alkitab dibacakan Allah sungguh hadir dan berkarya nyata, sama seperti dulu, semasa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Pada saat Alkitab dibacakan, Allah menyelamatkan umat yang sedang berhimpun, menyembuhkan, membangun, menasihati, menegur ... dll sesuai dengan firman yang diwartakan.
Dalam liturgi sabda kita tidak hanya mendengar bahwa Allah dulu menebus umat Israel, tetapi mengalami bahwa Ia kini menebus kita pada saat dan tempat kita sedang beribadat. Oleh karena itu pembacaan sabda Tuhan merupakan unsur yang sangat penting dalam liturgi. Umat wajib mendengarkannya dengan penuh perhatian supaya mereka sungguh terlibat dalam peristiwa yang sedang terjadi.
Unsur Dasar � Unsur dasar Liturgi Sabda adalah pewartaan dan pendengaran, mewartakan dan mendengarkan, pewarta dan pendengar. Maka, Gereja menekankan pentingnya membacakan dan mendengarkan sebagai ritual dasar Liturgi Sabda. Pembacaan adalah tugas lektor, diakon, dan imam. Mendengarkan adalah tugas jemaat. PUMR 29 menegaskan, �Umat wajib mendengarkan dengan penuh hormat.� Berhubung dengan ini, perlu kita tinjau kembali penggunaan lembaran misa. Membaca bersama-sama dengan lektor bukanlah mendengarkan. Fungsi dan peran mendengar agak tergeser. Kiranya kita akan memetik jauh lebih banyak buah, kalau kita berkonsentrasi pada mendengarkan sambil menyimak kata demi kata.
Tata Gerak � Tata gerak yang lazim waktu mendengarkan adalah duduk (tegak); tangan dengan telapak tengadah tertumpang pada paha, sikap ini merupakan simbol penerimaan sabda Tuhan. Cara kita duduk menunjukkan sikap kita terhadap sabda Allah.
Semoga Tuhan memberkati kita semua.
*) Penulis, Prodiakon Paroki St. Herkulanus
Catatan:
PUMR = Pedoman Umum Misale Romawi
SC = Sacrosanctum Concilium
DV = Dei Verbum
Liturgi sangat erat hubungannya dengan Kitab Suci. Bahkan hampir tidak ada liturgi tanpa Kitab suci. Dalam perjalanan Gereja baik sejarah Gereja maupun sejarah liturgi, sekurang-kurangnya tak biasa ada liturgi tanpa Kitab Suci. Dikatakan sekurang-kurangnya, karena ada perayaan liturgi dulu tanpa Kitab Suci seperti perayaan tobat. Secara konkrit, liturgi menimba spiritualitas dari Kitab Suci, sebaliknya liturgi merupakan muara Kitab Suci karena liturgi dibentuk oleh sabda Allah.
Santo Hieronimus (347-420), seorang rahib dan pujangga Gereja menegaskan, �Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus.� Penegasan ini dikutip lagi oleh Konsili Vatikan II, dalam Konstitusi Dei Verbum No 25. Selanjutnya, Hieronimus mengingatkan bahwa tempat yang paling tepat untuk membaca dan mendengarkan Sabda Allah adalah liturgi. Maka, belum cukup hanya merenungkan sendiri Kitab Suci. Tafsiran ilmiah terhadap Kitab Suci pun hanya bersifat membantu. Karena bagi Hieronimus, penafsiran Kitab Suci yang otentik selalu harus sesuai dengan iman Gereja Katolik.
Kita harus membaca Kitab Suci dalam komunio dengan Gereja yang hidup. Kalau Kitab Suci dibacakan dalam Gereja, terutama dalam Perayaan Ekaristi, maka Allah sendiri berbicara kepada umat-Nya dan Kristus hadir dalam Sabda-Nya (PUMR 29 dan SC 7).
Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi merupakan dua bagian pokok dalam perayaan ekaristi (PUMR 28), keduanya berhubungan erat. Dalam Liturgi Sabda dipaparkan karya keselamatan Allah yang disyukuri dalam Liturgi Ekaristi. Mengenai hubungan antara Sabda dan Ekaristi, PUMR 28 menulis: �Perayaan Ekaristi boleh dikatakan terdiri atas dua bagian: Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Keduanya berhubungan begitu erat satu sama lain, sehingga merupakan satu tindak ibadat.� Sebab dalam Perayaan Ekaristi itu sabda Allah dihidangkan untuk menjadi pengajaran bagi orang-orang beriman dan Tubuh Kristus dihidangkan untuk menjadi santapan bagi mereka.
Dalam liturgi sabda, Gereja merayakan misteri kehadiran Tuhan melalui sabda, dalam sikap dan semangat doa. Umat beriman berdoa dengan seluruh kemanusiaannya. Umat mengambil sikap duduk untuk mendengar dengan penuh hikmat. Duduk di sini tentunya tetap dalam sikap doa.
Pelaksanaan Liturgi Sabda dalam Perayaan Ekaristi
Kerangka � Kerangka dasar Liturgi Sabda selengkapnya adalah: Bacaan 1 � Mazmur Tanggapan � Bacaan 2 � Bait Pengantar Injil � Aklamasi Sebelum Injil � Injil � Aklamasi Sesudah Injil � Homili � Syahadat � Doa Umat.
Bacaan-bacaan Alkitab dan mazmur tanggapannya merupakan bagian pokok dari Liturgi Sabda. Dalam bacaan-bacaan ini, Allah sendiri bersabda kepada umat-Nya (PUMR 29). Di situ Allah menyingkapkan misteri penebusan dan keselamatan serta memberikan makanan rohani. Lewat sabda-Nya, Kristus sendiri hadir di tengah-tengah umat beriman.
Dalam Perayaan Ekaristi, bacaan-bacaan Alkitab tidak boleh dihilangkan atau dikurangi, apalagi diganti dengan bacaan lain yang bukan dari Alkitab; begitu juga nyanyian (mazmur) yang diambil dari Alkitab. PUMR 57 menegaskan : �Tidak diizinkan mengganti bacaan dan mazmur tanggapan, yang berisi sabda Allah, dengan teks-teks lain yang bukan dari Alkitab.� Sebab lewat Sabda Allah yang diwariskan secara tertulis itulah "Allah masih terus berbicara kepada umat-Nya."
Cara Pelaksanaan � Liturgi Sabda haruslah dilaksanakan sedemikian rupa sehingga mendorong umat untuk merenung. Oleh karena itu, setiap bentuk ketergesa-gesaan yang dapat mengganggu permenungan harus sungguh dihindari.
Pembacaan Alkitab dalam perayaan Ekaristi bukanlah sekedar penyampaian kisah informatif tentang Allah dan cara-cara Dia berurusan dengan manusia di masa lalu. Pembacaan Alkitab dalam perayaan Ekaristi adalah suatu peristiwa yang sedang terjadi, sebuah campur tangan Allah secara nyata dalam masalah dan keprihatinan jemaat yang tengah berkumpul. Jadi, pada saat Alkitab dibacakan Allah sungguh hadir dan berkarya nyata, sama seperti dulu, semasa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Pada saat Alkitab dibacakan, Allah menyelamatkan umat yang sedang berhimpun, menyembuhkan, membangun, menasihati, menegur ... dll sesuai dengan firman yang diwartakan.
Dalam liturgi sabda kita tidak hanya mendengar bahwa Allah dulu menebus umat Israel, tetapi mengalami bahwa Ia kini menebus kita pada saat dan tempat kita sedang beribadat. Oleh karena itu pembacaan sabda Tuhan merupakan unsur yang sangat penting dalam liturgi. Umat wajib mendengarkannya dengan penuh perhatian supaya mereka sungguh terlibat dalam peristiwa yang sedang terjadi.
Unsur Dasar � Unsur dasar Liturgi Sabda adalah pewartaan dan pendengaran, mewartakan dan mendengarkan, pewarta dan pendengar. Maka, Gereja menekankan pentingnya membacakan dan mendengarkan sebagai ritual dasar Liturgi Sabda. Pembacaan adalah tugas lektor, diakon, dan imam. Mendengarkan adalah tugas jemaat. PUMR 29 menegaskan, �Umat wajib mendengarkan dengan penuh hormat.� Berhubung dengan ini, perlu kita tinjau kembali penggunaan lembaran misa. Membaca bersama-sama dengan lektor bukanlah mendengarkan. Fungsi dan peran mendengar agak tergeser. Kiranya kita akan memetik jauh lebih banyak buah, kalau kita berkonsentrasi pada mendengarkan sambil menyimak kata demi kata.
Tata Gerak � Tata gerak yang lazim waktu mendengarkan adalah duduk (tegak); tangan dengan telapak tengadah tertumpang pada paha, sikap ini merupakan simbol penerimaan sabda Tuhan. Cara kita duduk menunjukkan sikap kita terhadap sabda Allah.
Semoga Tuhan memberkati kita semua.
*) Penulis, Prodiakon Paroki St. Herkulanus
Catatan:
PUMR = Pedoman Umum Misale Romawi
SC = Sacrosanctum Concilium
DV = Dei Verbum
Sunday, September 25, 2011
Doa Pembuka
Seluruh rangkaian ritus pembuka dalam Perayaan Ekaristi akan ditutup dengan doa pembuka. Doa pembuka ini biasa disebut oratio collecta atau doa kolekta dan bersifat presidensial. Dengan sebutan doa kolekta, dimaksudkan bahwa doa ini bersifat mengumpulkan dan meringkaskan ujud-ujud doa dari umat beriman. Yang mengumpulkan dan meringkaskan doa-doa umat beriman adalah imam yang memimpin Ekaristi. Kata oratio dalam bahasa latin berasal dari kata orare yang bukan hanya berarti berdoa tetapi juga berbicara, mengajar, dan mewartakan. Dengan demikian, doa yang termasuk oratio ini juga merupakan bentuk pewartaan yang harus disampaikan oleh seorang pemimpin perayaan atau pemimpin ibadat. Disebut doa presidensial karena doa pembuka ini adalah doa resmi yang dibawakan oleh pemimpin ibadat atas nama seluruh umat. Dalam doa pembuka ini, umat tidak diikutsertakan untuk mengucapkannya. Umat hanya menjawab �amin� setelah imam mengakhiri doanya.
PUMR 54 menyatakan: �Imam mengajak umat untuk berdoa. Lalu semua yang hadir bersama dengan imam hening sejenak untuk menyadari kehadiran Tuhan, dan dalam hati mengungkapkan doanya masing-masing. Kemudian, imam membawakan doa pembuka yang lazim disebut collecta, yang mengungkapkan inti Perayaan liturgi hari yang bersangkutan.� Dalam PUMR 54 tersebut jelas bahwa ada waktu hening yang cukup yang diberikan kepada umat beriman. Waktu hening tersebut, selain untuk menyadari kehadiran Tuhan, juga untuk mengungkapkan doa pribadi yang menjadi ujud mereka masing-masing dalam hati. Pada saat hening itulah umat ambil bagian dalam doa pembuka ini. Selanjutnya, imam merumuskan doa yang berisi misteri iman yang dirayakan dalam perayaan Ekaristi dalam bentuk doa permohonan.
Menurut tradisi tua Gereja, doa-doa selalu diarahkan kepada Allah Bapa. Demikian pula doa pembuka ini diarahkan kepada Allah Bapa atau Allah Tritunggal. PUMR 54 juga menyatakan : �Selaras dengan tradisi tua Gereja, doa pembuka diarahkan kepada Allah Bapa, dengan pengantaraan Putra, dalam Roh Kudus�. Dengan demikian, doa-doa Gereja termasuk doa pembuka ini sejak dulu berciri trinitaris karena selalu ditutup dengan rumusan panjang yang trinitaris. Oleh sebab itu, setiap doa pembuka memiliki rumusan penutup yang menyebut kepengantaraan Yesus Kristus yang hidup dan berkuasa bersama Bapa dan Roh Kudus.
Sebagai doa presidensial, peran dan partisipasi umat dalam doa pembuka selain memadukan hati dalam doa ini, seperti pada saat hening dan saat imam menyampaikan doanya dengan suara lantang, mereka perlu menjadikan doa pembuka ini sebagai doa mereka sendiri dengan aklamasi: �Amin� (PUMR 54). Dengan jawaban �Amin� itu, umat menyetujui dan menjadikan doa yang disampaikan imam atau pemimpin ibadat itu sebagai doa mereka sendiri. Dalam perayaan Ekaristi, ada beberapa doa presidensial yaitu: Doa Syukur Agung (DSA), doa pembuka, doa persiapan persembahan dan doa sesudah komuni. Selain doa pembuka, doa persiapan persembahan dan doa sesudah komuni juga disebut sebagai oratio yaitu suatu pewartaan yang harus disampaikan oleh seorang pemimpin ibadat.
Doa pembuka dalam perayaan Ekaristi
Doa pembuka merupakan akhir dan sekaligus puncak bagian pembukaan Perayaan Ekaristi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam doa pembuka:
Struktur - Doa Pembuka mempunyai struktur baku: ajakan - hening - permohonan - penutup yang terdiri dari doksologi dan - aklamasi. Doa pembuka ditujukan kepada Bapa dengan perantaraan Putra dalam persekutuan Roh Kudus, dan diakhiri dengan penutup trinitaris atau penutup panjang: �Dengan pengantaraan Yesus Kristus, Putra-Mu, Tuhan kami, yang bersama dengan Dikau dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa. Amin.�
Pelaksanaan - Imam mengajak umat �Marilah kita berdoa.� Lalu semua hening sejenak untuk menyadari kehadiran Tuhan dan mengungkapkan doa pribadi. Lalu imam mengucapkan inti doa yang menyatakan isi perayaan pada hari yang bersangkutan. Permohonan selalu ditutup dengan doksologi, dan akhirnya jemaat menyetujui doa itu dengan aklamasi �Amin.�
Doa Pembuka adalah doa presidensial, artinya doa pemimpin. Maka, hanya pemimpin seorang diri yang membawakan doa ini atas nama seluruh umat dan semua yang hadir, dan melalui dia Kristus sendiri memimpin himpunan umat.
Ada beberapa alternatif rumusan penutup yang trinitaris dalam doa pembuka. (PUMR 54)
� Kalau doa diarahkan kepada Bapa:
Dengan pengantaraan Yesus Kristus Putra-Mu, Tuhan kami, yang bersama dengan Dikau, dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa.
� Kalau doa diarahkan kepada Bapa, tetapi pada akhir doa disebut juga Putra:
Sebab Dialah Tuhan, pengantara kami, yang bersama dengan Dikau, dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa.
� Kalau doa diarahkan kepada Putra:
Sebab Engkaulah Tuhan, pengantara kami, yang bersama dengan Bapa, dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa.
Tata gerak - Umat berdiri dengan �sikap doa�, khidmat. Sangat kurang pas kalau selama doa pembuka ini umat berdiri santai, tangan dilipat di dada atau di belakang, atau tangan bertumpu pada bangku / kursi.
Semoga Tuhan memberkati kita semua.
*) Penulis, Prodiakon Paroki St. Herkulanus
PUMR 54 menyatakan: �Imam mengajak umat untuk berdoa. Lalu semua yang hadir bersama dengan imam hening sejenak untuk menyadari kehadiran Tuhan, dan dalam hati mengungkapkan doanya masing-masing. Kemudian, imam membawakan doa pembuka yang lazim disebut collecta, yang mengungkapkan inti Perayaan liturgi hari yang bersangkutan.� Dalam PUMR 54 tersebut jelas bahwa ada waktu hening yang cukup yang diberikan kepada umat beriman. Waktu hening tersebut, selain untuk menyadari kehadiran Tuhan, juga untuk mengungkapkan doa pribadi yang menjadi ujud mereka masing-masing dalam hati. Pada saat hening itulah umat ambil bagian dalam doa pembuka ini. Selanjutnya, imam merumuskan doa yang berisi misteri iman yang dirayakan dalam perayaan Ekaristi dalam bentuk doa permohonan.
Menurut tradisi tua Gereja, doa-doa selalu diarahkan kepada Allah Bapa. Demikian pula doa pembuka ini diarahkan kepada Allah Bapa atau Allah Tritunggal. PUMR 54 juga menyatakan : �Selaras dengan tradisi tua Gereja, doa pembuka diarahkan kepada Allah Bapa, dengan pengantaraan Putra, dalam Roh Kudus�. Dengan demikian, doa-doa Gereja termasuk doa pembuka ini sejak dulu berciri trinitaris karena selalu ditutup dengan rumusan panjang yang trinitaris. Oleh sebab itu, setiap doa pembuka memiliki rumusan penutup yang menyebut kepengantaraan Yesus Kristus yang hidup dan berkuasa bersama Bapa dan Roh Kudus.
Sebagai doa presidensial, peran dan partisipasi umat dalam doa pembuka selain memadukan hati dalam doa ini, seperti pada saat hening dan saat imam menyampaikan doanya dengan suara lantang, mereka perlu menjadikan doa pembuka ini sebagai doa mereka sendiri dengan aklamasi: �Amin� (PUMR 54). Dengan jawaban �Amin� itu, umat menyetujui dan menjadikan doa yang disampaikan imam atau pemimpin ibadat itu sebagai doa mereka sendiri. Dalam perayaan Ekaristi, ada beberapa doa presidensial yaitu: Doa Syukur Agung (DSA), doa pembuka, doa persiapan persembahan dan doa sesudah komuni. Selain doa pembuka, doa persiapan persembahan dan doa sesudah komuni juga disebut sebagai oratio yaitu suatu pewartaan yang harus disampaikan oleh seorang pemimpin ibadat.
Doa pembuka dalam perayaan Ekaristi
Doa pembuka merupakan akhir dan sekaligus puncak bagian pembukaan Perayaan Ekaristi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam doa pembuka:
Struktur - Doa Pembuka mempunyai struktur baku: ajakan - hening - permohonan - penutup yang terdiri dari doksologi dan - aklamasi. Doa pembuka ditujukan kepada Bapa dengan perantaraan Putra dalam persekutuan Roh Kudus, dan diakhiri dengan penutup trinitaris atau penutup panjang: �Dengan pengantaraan Yesus Kristus, Putra-Mu, Tuhan kami, yang bersama dengan Dikau dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa. Amin.�
Pelaksanaan - Imam mengajak umat �Marilah kita berdoa.� Lalu semua hening sejenak untuk menyadari kehadiran Tuhan dan mengungkapkan doa pribadi. Lalu imam mengucapkan inti doa yang menyatakan isi perayaan pada hari yang bersangkutan. Permohonan selalu ditutup dengan doksologi, dan akhirnya jemaat menyetujui doa itu dengan aklamasi �Amin.�
Doa Pembuka adalah doa presidensial, artinya doa pemimpin. Maka, hanya pemimpin seorang diri yang membawakan doa ini atas nama seluruh umat dan semua yang hadir, dan melalui dia Kristus sendiri memimpin himpunan umat.
Ada beberapa alternatif rumusan penutup yang trinitaris dalam doa pembuka. (PUMR 54)
� Kalau doa diarahkan kepada Bapa:
Dengan pengantaraan Yesus Kristus Putra-Mu, Tuhan kami, yang bersama dengan Dikau, dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa.
� Kalau doa diarahkan kepada Bapa, tetapi pada akhir doa disebut juga Putra:
Sebab Dialah Tuhan, pengantara kami, yang bersama dengan Dikau, dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa.
� Kalau doa diarahkan kepada Putra:
Sebab Engkaulah Tuhan, pengantara kami, yang bersama dengan Bapa, dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa.
Tata gerak - Umat berdiri dengan �sikap doa�, khidmat. Sangat kurang pas kalau selama doa pembuka ini umat berdiri santai, tangan dilipat di dada atau di belakang, atau tangan bertumpu pada bangku / kursi.
Semoga Tuhan memberkati kita semua.
*) Penulis, Prodiakon Paroki St. Herkulanus
Monday, September 19, 2011
Madah Kemuliaan
Rangkaian pernyataan tobat dan seruan Tuhan kasihanilah kami akan diakhiri dengan absolusi, yaitu doa permohonan pengampunan. Rumusan absolusi dalam TPE 2005, yaitu: �Semoga Allah yang mahakuasa mengasihani kita, mengampuni dosa kita, dan mengantar kita ke hidup yang kekal�. Sesudah absolusi, seturut petunjuk penanggalan liturgi, dilanjutkan dengan menyanyikan atau melafalkan �Madah Kemuliaan�.
Madah Kemuliaan atau madah Gloria merupakan �madah yang sangat dihormati dari zaman Kristen kuno� (PUMR 53). Di Gereja Timur, madah Gloria ini lazim digunakan dalam Ibadat Harian, terutama dalam Ibadat Pagi pada abad IV-V. Di Gereja Katolik Roma, madah Gloria semula dimasukkan dalam Misa pertama Hari Raya Natal pada abad V. Paus Symmachus (498-514) memperluas penggunaan madah Gloria itu juga pada Misa hari Minggu dan pesta para martir, tetapi hanya untuk Misa yang dipimpin oleh Uskup. Namun, sejak abad VIII, Gloria boleh dinyanyikan pada setiap Misa yang dipimpin oleh imam. Teks Gloria sebagaimana kita kenal sekarang berasal dari zaman sesudah Paus Gregorius Agung (590-604), yakni sejak pembaruan liturgi oleh Karolus Agung.
Madah Gloria atau madah Kemuliaan berisi madah yang memuji dan memuliakan Allah Bapa dan Yesus Kristus Putra-Nya bersama Roh Kudus. Bagian pertama madah ini berisi seruan pujian dan pemuliaan yang ditujukan kepada Allah Bapa di surga. Rumusan yang digunakan mengutip nyanyian pujian para Malaikat di surga: �Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya� (Luk 2:14). Terhadap teks nyanyian para malaikat tersebut, Gereja menambah 5 buah seruan pujian dan pemuliaan Allah Bapa, yakni: �kami memuji Dikau, kami meluhurkan Dikau, kami menyembah Dikau, kami memuliakan Dikau, dan kami bersyukur kepada-Mu�. Pujian yang diulang-ulang dan ditekankan ini bermaksud untuk sungguh-sungguh mengagungkan Allah Bapa.
Seruan pujian kedua ditujukan kepada Tuhan Yesus Kristus, Putra yang tunggal. Bagi umat kristiani, yang menjadi Raja itu hanyalah Kristus dan yang harus disembah itu hanyalah Tuhan Yesus. Kristus dipuji dan dimuliakan sebab karya penebusan-Nya. Itulah sebabnya Dia disebut Anak Domba Allah (Yoh 1:19,36). Tentang peran Kristus yang telah menebus umat manusia itu, disampaikan tiga seruan dalam bentuk anak kalimat: �Engkau yang menghapus dosa dunia, kasihanilah kami; Engkau yang menghapus dosan dunia, kabulkanlah doa kami; Engkau yang duduk di sisi Bapa, kasihanilah kami�. Dari pengakuan iman dan pujian kepada Kristus Penebus itu, disampaikan tiga pujian kepada pribadi Yesus Kristus: �Engkaulah kudus, Engkaulah Tuhan, Engkaulah mahatinggi�. Akhirnya, madah Kemuliaan ditutup dengan menyebut �bersama Roh Kudus�, sehingga Trinitaris dari madah Kemuliaan menjadi tampak dan jelas. Pujian kepada Bapa dan Putra bagaimanapun juga selalu bersama dan bersatu dengan Roh Kudus.
Madah Kemuliaan (Gloria) dalam Perayaan Ekaristi
Inti Madah Kemuliaan adalah memuji Allah Bapa dan Anakdomba Allah, serta memohon belaskasihan Tuhan. Madah ini dilagukan oleh jemaat (Gereja) yang berhimpun atas dorongan Roh Kudus. Menurut PUMR 53, teks madah Kemuliaan ini tidak boleh diganti dengan teks lain. Maka teks-teks saduran hendaknya tidak dipakai.
Madah Kemuliaan pada dasarnya adalah madah seluruh umat beriman. Dalam PUMR 53 dinyatakan: �Kemuliaan dibuka oleh imam atau, lebih cocok, oleh solis atau oleh koor, kemudian dilanjutkan oleh seluruh umat bersama-sama atau oleh umat dan paduan suara bersahut-sahutan, atau hanya oleh koor. Kalau tidak dilagukan, madah kemuliaan oleh seluruh umat bersama-sama atau oleh dua kelompok umat secara bersahut-sahutan.� Dari ketentuan dalam PUMR 53 tersebut, madah kemuliaan tidak harus dibuka oleh imam. Alasannya, karena madah Kemuliaan ini bagian umat.
Teks lengkap Madah Kemuliaan adalah sebagai berikut:
Kemuliaan kepada Allah di surga, - dan damai di bumi kepada orang - yang berkenan pada-Nya. - Kami memuji Dikau. - Kami meluhurkan Dikau. - Kami menyembah Dikau. - Kami memuliakan Dikau. - Kami bersyukur kepada-Mu, - karena kemuliaan-Mu yang besar. - Ya Tuhan Allah, raja surgawi, - Allah Bapa yang mahakuasa. - Ya Tuhan Yesus Kristus, Putra yang tunggal. - Ya Tuhan Allah, Anak Domba Allah, Putra Bapa. - Engkau yang menghapus dosa dunia, kasihanilah kami. - Engkau yang menghapus dosa dunia, kabulkanlah doa kami. - Engkau yang duduk di sisi Bapa, kasihanilah kami. - Karena hanya Engkaulah kudus. - Hanya Engkaulah Tuhan. - Hanya Engkaulah mahatinggi, ya Yesus Kristus, - bersama dengan Roh Kudus, dalam kemuliaan Allah Bapa. - Amin.
Madah Kemuliaan diucapkan atau dilagukan untuk memberi warna pesta kepada perayaan ibadat yang dilaksanakan. Karena itu, madah Kemuliaan biasanya diucapkan atau dilagukan pada hari-hari pesta: Minggu (kecuali Adven dan Prapaskah), hari raya dan pesta serta pada perayaan-perayaan yang setingkat. Pada pesta-pesta ini, madah Kemuliaan dibawakan langsung sesudah seruan Tuhan Kasihanilah Kami atau sesudah pernyataan tobat cara 3. Melagukan madah Kemuliaan hendaknya umat berdiri, sikap berdiri menunjukkan penghormatan kepada Allah yang datang dan hadir di tengah-tengah umat. Marilah kita siapkan hati kita untuk memuji dan memuliakan Allah.
Semoga Tuhan memberkati kita semua.
*) Penulis, Prodiakon Paroki St. Herkulanus
Madah Kemuliaan atau madah Gloria merupakan �madah yang sangat dihormati dari zaman Kristen kuno� (PUMR 53). Di Gereja Timur, madah Gloria ini lazim digunakan dalam Ibadat Harian, terutama dalam Ibadat Pagi pada abad IV-V. Di Gereja Katolik Roma, madah Gloria semula dimasukkan dalam Misa pertama Hari Raya Natal pada abad V. Paus Symmachus (498-514) memperluas penggunaan madah Gloria itu juga pada Misa hari Minggu dan pesta para martir, tetapi hanya untuk Misa yang dipimpin oleh Uskup. Namun, sejak abad VIII, Gloria boleh dinyanyikan pada setiap Misa yang dipimpin oleh imam. Teks Gloria sebagaimana kita kenal sekarang berasal dari zaman sesudah Paus Gregorius Agung (590-604), yakni sejak pembaruan liturgi oleh Karolus Agung.
Madah Gloria atau madah Kemuliaan berisi madah yang memuji dan memuliakan Allah Bapa dan Yesus Kristus Putra-Nya bersama Roh Kudus. Bagian pertama madah ini berisi seruan pujian dan pemuliaan yang ditujukan kepada Allah Bapa di surga. Rumusan yang digunakan mengutip nyanyian pujian para Malaikat di surga: �Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya� (Luk 2:14). Terhadap teks nyanyian para malaikat tersebut, Gereja menambah 5 buah seruan pujian dan pemuliaan Allah Bapa, yakni: �kami memuji Dikau, kami meluhurkan Dikau, kami menyembah Dikau, kami memuliakan Dikau, dan kami bersyukur kepada-Mu�. Pujian yang diulang-ulang dan ditekankan ini bermaksud untuk sungguh-sungguh mengagungkan Allah Bapa.
Seruan pujian kedua ditujukan kepada Tuhan Yesus Kristus, Putra yang tunggal. Bagi umat kristiani, yang menjadi Raja itu hanyalah Kristus dan yang harus disembah itu hanyalah Tuhan Yesus. Kristus dipuji dan dimuliakan sebab karya penebusan-Nya. Itulah sebabnya Dia disebut Anak Domba Allah (Yoh 1:19,36). Tentang peran Kristus yang telah menebus umat manusia itu, disampaikan tiga seruan dalam bentuk anak kalimat: �Engkau yang menghapus dosa dunia, kasihanilah kami; Engkau yang menghapus dosan dunia, kabulkanlah doa kami; Engkau yang duduk di sisi Bapa, kasihanilah kami�. Dari pengakuan iman dan pujian kepada Kristus Penebus itu, disampaikan tiga pujian kepada pribadi Yesus Kristus: �Engkaulah kudus, Engkaulah Tuhan, Engkaulah mahatinggi�. Akhirnya, madah Kemuliaan ditutup dengan menyebut �bersama Roh Kudus�, sehingga Trinitaris dari madah Kemuliaan menjadi tampak dan jelas. Pujian kepada Bapa dan Putra bagaimanapun juga selalu bersama dan bersatu dengan Roh Kudus.
Madah Kemuliaan (Gloria) dalam Perayaan Ekaristi
Inti Madah Kemuliaan adalah memuji Allah Bapa dan Anakdomba Allah, serta memohon belaskasihan Tuhan. Madah ini dilagukan oleh jemaat (Gereja) yang berhimpun atas dorongan Roh Kudus. Menurut PUMR 53, teks madah Kemuliaan ini tidak boleh diganti dengan teks lain. Maka teks-teks saduran hendaknya tidak dipakai.
Madah Kemuliaan pada dasarnya adalah madah seluruh umat beriman. Dalam PUMR 53 dinyatakan: �Kemuliaan dibuka oleh imam atau, lebih cocok, oleh solis atau oleh koor, kemudian dilanjutkan oleh seluruh umat bersama-sama atau oleh umat dan paduan suara bersahut-sahutan, atau hanya oleh koor. Kalau tidak dilagukan, madah kemuliaan oleh seluruh umat bersama-sama atau oleh dua kelompok umat secara bersahut-sahutan.� Dari ketentuan dalam PUMR 53 tersebut, madah kemuliaan tidak harus dibuka oleh imam. Alasannya, karena madah Kemuliaan ini bagian umat.
Teks lengkap Madah Kemuliaan adalah sebagai berikut:
Kemuliaan kepada Allah di surga, - dan damai di bumi kepada orang - yang berkenan pada-Nya. - Kami memuji Dikau. - Kami meluhurkan Dikau. - Kami menyembah Dikau. - Kami memuliakan Dikau. - Kami bersyukur kepada-Mu, - karena kemuliaan-Mu yang besar. - Ya Tuhan Allah, raja surgawi, - Allah Bapa yang mahakuasa. - Ya Tuhan Yesus Kristus, Putra yang tunggal. - Ya Tuhan Allah, Anak Domba Allah, Putra Bapa. - Engkau yang menghapus dosa dunia, kasihanilah kami. - Engkau yang menghapus dosa dunia, kabulkanlah doa kami. - Engkau yang duduk di sisi Bapa, kasihanilah kami. - Karena hanya Engkaulah kudus. - Hanya Engkaulah Tuhan. - Hanya Engkaulah mahatinggi, ya Yesus Kristus, - bersama dengan Roh Kudus, dalam kemuliaan Allah Bapa. - Amin.
Madah Kemuliaan diucapkan atau dilagukan untuk memberi warna pesta kepada perayaan ibadat yang dilaksanakan. Karena itu, madah Kemuliaan biasanya diucapkan atau dilagukan pada hari-hari pesta: Minggu (kecuali Adven dan Prapaskah), hari raya dan pesta serta pada perayaan-perayaan yang setingkat. Pada pesta-pesta ini, madah Kemuliaan dibawakan langsung sesudah seruan Tuhan Kasihanilah Kami atau sesudah pernyataan tobat cara 3. Melagukan madah Kemuliaan hendaknya umat berdiri, sikap berdiri menunjukkan penghormatan kepada Allah yang datang dan hadir di tengah-tengah umat. Marilah kita siapkan hati kita untuk memuji dan memuliakan Allah.
Semoga Tuhan memberkati kita semua.
*) Penulis, Prodiakon Paroki St. Herkulanus
Monday, August 15, 2011
Kyrie Eleison
Dalam TPE 2005, terdapat 4 alternatif cara menyatakan tobat, dua di antaranya dilanjutkan dengan seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami. Istilah Kyrie diambil dari kata-kata Yunani Kyrie eleison, yang diterjemahkan: Tuhan kasihanilah. Seruan Tuhan (Kyrie) pertama-tama adalah seruan untuk menyampaikan penghormatan kepada Yesus Kristus yang kita sebut Tuhan. Seruan kasihanilah (eleison) merupakan seruan untuk memohon belas kasih ilahi. Seruan itu pula yang disampaikan oleh dua orang buta dalam Injil Mateus (Mat 9:27 dan Mat 20:30), atau seruan Bartimeus (Mrk 10:47) atau seruan perempuan Kanaan (Mat 15:22).
Dari segi bentuk, seruan Kyrie eleison ini merupakan suatu litani. Bentuk litani selalu terdiri atas suatu pernyataan atau permohonan yang disampaikan oleh seorang pemimpin umat, dan dijawab oleh umat dengan seruan yang selalu sama secara berulang. Sebenarnya, seruan Kyrie eleison sudah dikenal sejak jaman dahulu ketika orang-orang pada waktu itu menghormati dewa atau raja/kaisar mereka. Litani Kyrie eleison ini mula-mula digunakan di Timur dan biasanya digunakan untuk menjawab berbagai doa permohonan.
Paus Gelasius I (492-496), telah memasukkan litani Kyrie eleison ini ke dalam liturgi Katolik Romawi untuk menggantikan doa-doa permohonan pada akhir liturgi sabda. Pada masa pembaruan liturgi oleh Paus Gregorius Agung (590-604), litani Kyrie eleison ini dipersingkat menjadi tiga kali tiga pengulangan dengan memberi variasi Christe eleison pada bagian tengahnya. Dalam Missale Romanum 1970, Kyrie eleison ditempatkan pada permulaan Misa dan dipersingkat menjadi dua kali tiga seperti yang kita praktekkan dalam TPE sekarang ini. Meskipun begitu, seruan Kyrie eleison ini boleh diulang-ulang lebih banyak (PUMR 52).
Seruan Kyrie elesion dalam perayaan Ekaristi
Dalam TPE 2005, seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami selalu digunakan menyusul pernyataan tobat cara 1 dan 2. Jika memakai pernyataan tobat cara 3 dan 4, seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami tidak usah digunakan. Seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami biasanya dilagukan/dinyanyikan oleh seluruh umat, yakni �silih-berganti antara umat dan paduan suara atau solis� (PUMR 52). Seruan Tuhan Kasihanilah kami pada pernyataan tobat cara 3 merupakan jawaban umat atas pernyataan iman dan penghormatan kepada Kristus yang disampaikan oleh imam. Jika pernyataan tobat diganti atau diisi dengan percikan air suci, seperti pada pernyataan tobat cara 4, maka seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami juga tidak usah digunakan.
Ada beberapa alternatif nyanyian untuk seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami yang disesuaikan dengan keperluan atau intensi misa. Dalam buku doa dan nyanyian gerejawi �Puji Syukur� tersedia beberapa pilihan nyanyian Kyrie eleison mulai dari nomor 339 sampai dengan 363. Pemimpin koor atau pemimpin ibadat dapat memilih yang sesuai.
Ada dua unsur dalam seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami yaitu unsur pujian dan penghormatan kepada Tuhan Yesus Kristus dan unsur permohonan belas kasih Allah. Meski ada unsur permohonan, tidak mengubah struktur pujian dalam seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami ini. Nyanyian Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami hendaknya dinyanyikan dalam suasana syukur dan penuh hormat karena kita memuji Tuhan. Kita patut bergembira dan bersyukur karena kita telah diundang ke perjamuan-Nya. �Berbahagialah kita yang diundang ke perjamuan-Nya!�
Semoga Tuhan memberkati kita semua.
Oleh : Ign. Djoko Irianto
Prodiakon Paroki St. Herkulanus
Dari segi bentuk, seruan Kyrie eleison ini merupakan suatu litani. Bentuk litani selalu terdiri atas suatu pernyataan atau permohonan yang disampaikan oleh seorang pemimpin umat, dan dijawab oleh umat dengan seruan yang selalu sama secara berulang. Sebenarnya, seruan Kyrie eleison sudah dikenal sejak jaman dahulu ketika orang-orang pada waktu itu menghormati dewa atau raja/kaisar mereka. Litani Kyrie eleison ini mula-mula digunakan di Timur dan biasanya digunakan untuk menjawab berbagai doa permohonan.
Paus Gelasius I (492-496), telah memasukkan litani Kyrie eleison ini ke dalam liturgi Katolik Romawi untuk menggantikan doa-doa permohonan pada akhir liturgi sabda. Pada masa pembaruan liturgi oleh Paus Gregorius Agung (590-604), litani Kyrie eleison ini dipersingkat menjadi tiga kali tiga pengulangan dengan memberi variasi Christe eleison pada bagian tengahnya. Dalam Missale Romanum 1970, Kyrie eleison ditempatkan pada permulaan Misa dan dipersingkat menjadi dua kali tiga seperti yang kita praktekkan dalam TPE sekarang ini. Meskipun begitu, seruan Kyrie eleison ini boleh diulang-ulang lebih banyak (PUMR 52).
Seruan Kyrie elesion dalam perayaan Ekaristi
Dalam TPE 2005, seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami selalu digunakan menyusul pernyataan tobat cara 1 dan 2. Jika memakai pernyataan tobat cara 3 dan 4, seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami tidak usah digunakan. Seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami biasanya dilagukan/dinyanyikan oleh seluruh umat, yakni �silih-berganti antara umat dan paduan suara atau solis� (PUMR 52). Seruan Tuhan Kasihanilah kami pada pernyataan tobat cara 3 merupakan jawaban umat atas pernyataan iman dan penghormatan kepada Kristus yang disampaikan oleh imam. Jika pernyataan tobat diganti atau diisi dengan percikan air suci, seperti pada pernyataan tobat cara 4, maka seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami juga tidak usah digunakan.
Ada beberapa alternatif nyanyian untuk seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami yang disesuaikan dengan keperluan atau intensi misa. Dalam buku doa dan nyanyian gerejawi �Puji Syukur� tersedia beberapa pilihan nyanyian Kyrie eleison mulai dari nomor 339 sampai dengan 363. Pemimpin koor atau pemimpin ibadat dapat memilih yang sesuai.
Ada dua unsur dalam seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami yaitu unsur pujian dan penghormatan kepada Tuhan Yesus Kristus dan unsur permohonan belas kasih Allah. Meski ada unsur permohonan, tidak mengubah struktur pujian dalam seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami ini. Nyanyian Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami hendaknya dinyanyikan dalam suasana syukur dan penuh hormat karena kita memuji Tuhan. Kita patut bergembira dan bersyukur karena kita telah diundang ke perjamuan-Nya. �Berbahagialah kita yang diundang ke perjamuan-Nya!�
Semoga Tuhan memberkati kita semua.
Oleh : Ign. Djoko Irianto
Prodiakon Paroki St. Herkulanus
Sunday, August 7, 2011
Tobat, Penyesalan atas Dosa dan Kesalahan
Pada awal perayaan Ekaristi, imam menyampaikan salam dengan mengucapkan: �Tuhan sertamu�. Dengan salam itu, imam menyampaikan kepada umat bahwa Tuhan sungguh hadir di tengah-tengah kita dalam perayaan Ekaristi. Karena itu kita perlu mempersiapkan hati dan pikiran kita untuk menyambut kehadiran Tuhan, salah satunya dengan menyatakan tobat. Pernyataan tobat merupakan bentuk penyesalan atas dosa dan kesalahan kepada Tuhan dan sesama.
Dalam Perjanjian Lama, pertobatan merupakan karunia Allah. Allah menganugerahkan hati yang murni dan baru sehingga orang mau bertobat (Mzm 51:12). Tradisi para nabi menekankan aspek penting dari pertobatan yaitu pertobatan hati dan sikap hidup.
Dalam Perjanjian Baru, hidup, karya, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus merupakan peristiwa perdamaian. Yesus Kristus adalah sakramen pengampunan dari Allah. Dalam nama Yesus, warta tentang pertobatan dan pengampunan dosa disampaikan kepada segala bangsa mulai dari Yerusalem (Luk 24:47). Oleh karena itu dalam Perjanjian Baru, Injil mencatat bahwa sikap tobat menjadi bagian integral dari seluruh pewartaan Yesus mengenai kerajaan Allah. �Bertobatlah, percayalah pada Injil karena Kerajaan Allah sudah dekat� Mat 4:12-17, Mrk 1:14-15.
Tobat juga merupakan perwujudan dari iman. Dari Kis 26:20 tampak bahwa seluruh proses pertobatan tidak hanya berarti meninggalkan hidup lama, tetapi juga memulai hidup yang baru. Dengan demikian pengampunan ini berdimensi ganda yakni vertikal, pulihnya relasi Allah-manusia, dan horisontal, pulihnya relasi manusia-manusia. Gereja menjadi mediasi pengampunan karena Yesus menganugerahkan kuasa mengampuni atas warga Gereja yang berdosa (Mat. 18:15-17).
Tobat dalam Perayaan Ekaristi
Pernyataan tobat dalam perayaan Ekaristi meliputi pemeriksaan batin dan pengakuan dosa secara umum sebelum masuk dalam perayaan Ekaristi. Pernyataan tobat ini jangan disamaartikan dengan Sakramen Tobat, yang tetap amat diperlukan bagi pengampunan dosa berat.
Dalam perayaan Ekaristi ada 4 cara pernyataan tobat menurut TPE 2005.
Cara 1. Imam mengajak umat menyesali dan mengakui dosa. Menanggapi ajakan tersebut, umat hening sejenak. Kemudian, seluruh umat mengakui dosanya disertai sikap tobat dengan mengucapkan :
Saya mengaku - kepada Allah yang mahakuasa - dan kepada Saudara sekalian, - bahwa saya telah berdosa - dengan pikiran dan perkataan, - dengan perbuatan dan kelalaian. (Pada bagian ini diucapkan sambil menebah dada.) Saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa. Oleh sebab itu saya mohon - kepada Santa Perawan Maria, - kepada para malaikat dan orang kudus - dan kepada Saudara sekalian, - supaya mendoakan saya kepada Allah, Tuhan kita.
Sesudah pernyataan tobat, imam memohonkan pengampunan. Perlu dicamkan bahwa pengampunan di sini berbeda dengan absolusi yang diberikan imam dalam Sakramen Tobat. Tobat Cara 1 disusul Tuhan, kasihanilah kami.
Cara 2. Umat menyatakan tobat dengan mendaras mazmur tobat, yaitu ayat yang diambil dari Mazmur (Mzm 32, Mzm 51, Mzm 103). Tobat Cara 2 disusul Tuhan, kasihanilah kami.
Cara 3. (tobat yang dipadukan dengan Tuhan Kasihanilah Kami). Tobat cara 3 ini menggunakan pola litani Kyrie. Imam mengucapkan pernyataan iman mengenai Kristus, lalu disambung dengan seruan �Tuhan/Kristus kasihanilah kami�, dan dijawab umat �Tuhan/Kristus kasihanilah kami�. Kyrie bukanlah pernyataan atau seruan penyesalan dan pertobatan, tapi suatu pernyataan yang bersifat penghormatan dan permohonan kepada Kristus. Ayat-ayat tobat cara 3 ini pada dasarnya merupakan seruan pujian kepada Tuhan Yesus dan memohon belaskasih-Nya. Contoh : �Tuhan Yesus Kristus, Engkau diutus menyembuhkan orang yang remuk redam hatinya. Tuhan kasihanilah kami�.
Pada tobat cara 3, tidak lagi diucapkan/dilagukan Tuhan Kasihanilah Kami secara tersendiri, karena sudah tercakup dalam pernyataan tobat ini. Maka, perlu ada komunikasi dan koordinasi yang baik antara koor/dirigen dan imam, supaya tidak terjadi pengulangan yang tidak perlu, misalnya: sesudah tobat cara 3 koor masih melagukan Tuhan, Kasihanilah Kami tersendiri.
Cara 4. Pada hari Minggu, khususnya selama Masa Paskah, pernyataan tobat dapat diganti dengan pemberkatan dan percikan air suci untuk mengenang pembaptisan. Acara percikan diiringi nyanyian Asperges me (Percikilah aku) sesuai Mzm 51:9 atau nyanyian lain yang sesuai atau Vidi aquam (Aku melihat air).
Pengenangan baptisan dengan percikan air dapat dipakai untuk mengganti tobat di awal misa, karena baptis merupakan peristiwa pertobatan dasar kita dan pernyataan iman kita akan Tuhan Yesus Kristus. Tobat cara 4 ini cocok untuk hari Minggu atau hari raya, terutama masa Paskah. Nyanyian Asperges me untuk masa biasa; sedangkan Vidi Aquam untuk masa Paskah.
Keempat cara tobat ini diakhiri dengan absolusi, yang merupakan doa permohonan pengampunan: �Semoga Allah yang mahakuasa mengasihani kita, mengampuni dosa kita, dan mengantar kita ke hidup yang kekal�. Absolusi ini tidak memiliki kuasa pengampunan seperti absolusi dalam Sakramen Tobat (PUMR 51).
Pernyataan tobat dimaksudkan untuk mempersiapkan diri menyambut komuni dengan menyadari keberdosaan dan memohon pengampunan, tetapi secara teologis tidak mengembalikan persekutuan yang terputus akibat dosa berat.
Keterputusan persatuan ini, hanya efektif diperbaiki dalam Sakramen Tobat. Karena itu orang yang menyadari dirinya dalam dosa berat, tidak dapat menerima komuni sebelum menerima Sakramen Tobat. Dosa berat menghancurkan hubungan dengan Allah dan memutus kita dari persatuan dengan Tubuh Kristus (Gereja). Itu sebabnya ada Sakramen Tobat yang tujuannya membawa pengampunan Allah, dan menerima kembali umat ke dalam persekutuan dengan Gereja.
Pada Sakramen tobat memerlukan dua unsur yang harus dipenuhi. Pertama, manusia melakukan penyesalan, pengakuan, dan penitensi. Kedua, Allah oleh pelayanan Gereja, memberikan absolusi yang melepaskan dosa, dan dengan demikian diterima kembali dalam persekutuan Gereja. Unsur-unsur ini tidak dipenuhi seluruhnya dalam pernyataan tobat ketika awal misa, karena dari sisi umat hanya mengungkapkan penyesalan, dan bukan pengakuan, tidak ada pula penitensi.
Gereja senantiasa menganjurkan penerimaan Sakramen Tobat sebelum mengikuti perayaan Ekaristi, sehingga dapat menyambut Sakramen Mahakudus yang demikian suci dengan tubuh dan jiwa yang suci pula.
Semoga Tuhan memberkati kita semua.
*) Penulis, Prodiakon Paroki St. Herkulanus
Dalam Perjanjian Lama, pertobatan merupakan karunia Allah. Allah menganugerahkan hati yang murni dan baru sehingga orang mau bertobat (Mzm 51:12). Tradisi para nabi menekankan aspek penting dari pertobatan yaitu pertobatan hati dan sikap hidup.
Dalam Perjanjian Baru, hidup, karya, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus merupakan peristiwa perdamaian. Yesus Kristus adalah sakramen pengampunan dari Allah. Dalam nama Yesus, warta tentang pertobatan dan pengampunan dosa disampaikan kepada segala bangsa mulai dari Yerusalem (Luk 24:47). Oleh karena itu dalam Perjanjian Baru, Injil mencatat bahwa sikap tobat menjadi bagian integral dari seluruh pewartaan Yesus mengenai kerajaan Allah. �Bertobatlah, percayalah pada Injil karena Kerajaan Allah sudah dekat� Mat 4:12-17, Mrk 1:14-15.
Tobat juga merupakan perwujudan dari iman. Dari Kis 26:20 tampak bahwa seluruh proses pertobatan tidak hanya berarti meninggalkan hidup lama, tetapi juga memulai hidup yang baru. Dengan demikian pengampunan ini berdimensi ganda yakni vertikal, pulihnya relasi Allah-manusia, dan horisontal, pulihnya relasi manusia-manusia. Gereja menjadi mediasi pengampunan karena Yesus menganugerahkan kuasa mengampuni atas warga Gereja yang berdosa (Mat. 18:15-17).
Tobat dalam Perayaan Ekaristi
Pernyataan tobat dalam perayaan Ekaristi meliputi pemeriksaan batin dan pengakuan dosa secara umum sebelum masuk dalam perayaan Ekaristi. Pernyataan tobat ini jangan disamaartikan dengan Sakramen Tobat, yang tetap amat diperlukan bagi pengampunan dosa berat.
Dalam perayaan Ekaristi ada 4 cara pernyataan tobat menurut TPE 2005.
Cara 1. Imam mengajak umat menyesali dan mengakui dosa. Menanggapi ajakan tersebut, umat hening sejenak. Kemudian, seluruh umat mengakui dosanya disertai sikap tobat dengan mengucapkan :
Saya mengaku - kepada Allah yang mahakuasa - dan kepada Saudara sekalian, - bahwa saya telah berdosa - dengan pikiran dan perkataan, - dengan perbuatan dan kelalaian. (Pada bagian ini diucapkan sambil menebah dada.) Saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa. Oleh sebab itu saya mohon - kepada Santa Perawan Maria, - kepada para malaikat dan orang kudus - dan kepada Saudara sekalian, - supaya mendoakan saya kepada Allah, Tuhan kita.
Sesudah pernyataan tobat, imam memohonkan pengampunan. Perlu dicamkan bahwa pengampunan di sini berbeda dengan absolusi yang diberikan imam dalam Sakramen Tobat. Tobat Cara 1 disusul Tuhan, kasihanilah kami.
Cara 2. Umat menyatakan tobat dengan mendaras mazmur tobat, yaitu ayat yang diambil dari Mazmur (Mzm 32, Mzm 51, Mzm 103). Tobat Cara 2 disusul Tuhan, kasihanilah kami.
Cara 3. (tobat yang dipadukan dengan Tuhan Kasihanilah Kami). Tobat cara 3 ini menggunakan pola litani Kyrie. Imam mengucapkan pernyataan iman mengenai Kristus, lalu disambung dengan seruan �Tuhan/Kristus kasihanilah kami�, dan dijawab umat �Tuhan/Kristus kasihanilah kami�. Kyrie bukanlah pernyataan atau seruan penyesalan dan pertobatan, tapi suatu pernyataan yang bersifat penghormatan dan permohonan kepada Kristus. Ayat-ayat tobat cara 3 ini pada dasarnya merupakan seruan pujian kepada Tuhan Yesus dan memohon belaskasih-Nya. Contoh : �Tuhan Yesus Kristus, Engkau diutus menyembuhkan orang yang remuk redam hatinya. Tuhan kasihanilah kami�.
Pada tobat cara 3, tidak lagi diucapkan/dilagukan Tuhan Kasihanilah Kami secara tersendiri, karena sudah tercakup dalam pernyataan tobat ini. Maka, perlu ada komunikasi dan koordinasi yang baik antara koor/dirigen dan imam, supaya tidak terjadi pengulangan yang tidak perlu, misalnya: sesudah tobat cara 3 koor masih melagukan Tuhan, Kasihanilah Kami tersendiri.
Cara 4. Pada hari Minggu, khususnya selama Masa Paskah, pernyataan tobat dapat diganti dengan pemberkatan dan percikan air suci untuk mengenang pembaptisan. Acara percikan diiringi nyanyian Asperges me (Percikilah aku) sesuai Mzm 51:9 atau nyanyian lain yang sesuai atau Vidi aquam (Aku melihat air).
Pengenangan baptisan dengan percikan air dapat dipakai untuk mengganti tobat di awal misa, karena baptis merupakan peristiwa pertobatan dasar kita dan pernyataan iman kita akan Tuhan Yesus Kristus. Tobat cara 4 ini cocok untuk hari Minggu atau hari raya, terutama masa Paskah. Nyanyian Asperges me untuk masa biasa; sedangkan Vidi Aquam untuk masa Paskah.
Keempat cara tobat ini diakhiri dengan absolusi, yang merupakan doa permohonan pengampunan: �Semoga Allah yang mahakuasa mengasihani kita, mengampuni dosa kita, dan mengantar kita ke hidup yang kekal�. Absolusi ini tidak memiliki kuasa pengampunan seperti absolusi dalam Sakramen Tobat (PUMR 51).
Pernyataan tobat dimaksudkan untuk mempersiapkan diri menyambut komuni dengan menyadari keberdosaan dan memohon pengampunan, tetapi secara teologis tidak mengembalikan persekutuan yang terputus akibat dosa berat.
Keterputusan persatuan ini, hanya efektif diperbaiki dalam Sakramen Tobat. Karena itu orang yang menyadari dirinya dalam dosa berat, tidak dapat menerima komuni sebelum menerima Sakramen Tobat. Dosa berat menghancurkan hubungan dengan Allah dan memutus kita dari persatuan dengan Tubuh Kristus (Gereja). Itu sebabnya ada Sakramen Tobat yang tujuannya membawa pengampunan Allah, dan menerima kembali umat ke dalam persekutuan dengan Gereja.
Pada Sakramen tobat memerlukan dua unsur yang harus dipenuhi. Pertama, manusia melakukan penyesalan, pengakuan, dan penitensi. Kedua, Allah oleh pelayanan Gereja, memberikan absolusi yang melepaskan dosa, dan dengan demikian diterima kembali dalam persekutuan Gereja. Unsur-unsur ini tidak dipenuhi seluruhnya dalam pernyataan tobat ketika awal misa, karena dari sisi umat hanya mengungkapkan penyesalan, dan bukan pengakuan, tidak ada pula penitensi.
Gereja senantiasa menganjurkan penerimaan Sakramen Tobat sebelum mengikuti perayaan Ekaristi, sehingga dapat menyambut Sakramen Mahakudus yang demikian suci dengan tubuh dan jiwa yang suci pula.
Semoga Tuhan memberkati kita semua.
*) Penulis, Prodiakon Paroki St. Herkulanus
Saturday, July 30, 2011
Makna Salam Dalam Liturgi
Untuk mengawali Misa Kudus, sesudah membuat tanda salib, sambil membuka tangan, imam menyampaikan salam kepada umat beriman dengan mengucapkan: �Tuhan sertamu�. Umat menjawab: �Dan sertamu juga�. Atau dengan ucapan salam yang lain seperti yang tertera dalam buku Tata Perayaan Ekaristi (TPE).
Tradisi saling memberi salam ini sudah ada sejak jaman Perjanjian Lama, seperti tertulis dalam kitab 2 Raja-raja 4:29, �Jangan berhenti untuk memberi salam kepada siapa pun yang kau jumpai di jalan. Kalau orang memberi salam kepadamu, jangan buang waktu untuk membalas salamnya.� Memberi dan menerima salam merupakan ungkapan bahwa kedua belah pihak memiliki relasi yang dekat.
Dalam tradisi gereja, praktek penyampaian salam pemimpin kepada umat juga sudah berlangsung sejak abad V, yaitu seperti yang dilaksanakan oleh Santo Agustinus yang memberi salam sebelum pembacaan Injil.
Ungkapan Salam dalam Perayaan Ekaristi
Ungkapan salam dalam perayaan Ekaristi bersumber dari Alkitab. Ungkapan salam yang klasik dan bersifat biblis yang banyak digunakan dalam perayaan Ekaristi terdapat dalam kitab Ruth 2:4. Tidak lama kemudian Boas datang dari Betlehem dan memberi salam kepada para penuai. �Semoga TUHAN menyertai kalian�, katanya. Para penuai menjawab, �Semoga TUHAN memberkati Bapak." (Ruth 2:4).
Rumusan kata-kata untuk salam dalam Ritus Romawi adalah: Dominus Vobiscum, dan umat menjawab: Et cum spiritu tuo. Dalam TPE 2005 kata-kata salam tersebut diterjemahkan dalam dua alternatif, yaitu: Tuhan sertamu � Dan sertamu juga, dan Tuhan bersamamu � Dan bersama rohmu. Kedua terjemahan tersebut telah mendapat pengesahan dari para Uskup KWI dan pengakuan Tahta Suci. Bahkan TPE 2005 memberikan tujuh alternatif salam sesuai dengan keperluan. Alternatif salam nomor 6 digunakan khusus untuk Misa Arwah, sedangkan alternatif salam nomor 7 khusus diperuntukkan bagi Uskup.
Dalam Misa Kudus, ada empat kali imam menyampaikan salam ini kepada umat untuk membangun kesadaran umat bahwa Tuhan sungguh hadir di tengah-tengah kita. Salam yang pertama disampaikan imam dalam ritus pembuka sesudah membuat �Tanda Salib�, kedua sebelum pembacaan Injil, ketiga sebelum Doa Syukur Agung, dan keempat sebelum berkat penutup.
Makna Salam dalam Perayan Ekaristi
Dengan kata-kata salam ini, imam menyatakan bahwa Tuhan sungguh hadir di tengah umat yang siap beribadat. Dan dengan jawabannya, umat menyatakan bahwa Tuhan yang sama sungguh hadir dalam diri imam. Jadi pada saat melaksanakan dialog salam ini imam dan umat sedang menyadari bahwa Tuhan benar-benar hadir di tengah kita. Selain itu, salam dari imam dan jawaban dari pihak umat memperlihatkan misteri Gereja yang sedang berkumpul (PUMR 50).
Salam dalam Perayaan Ekaristi yang bersumber dari Alkitab atau salam alkitabiah ini tidak sama dengan �salam sekular� seperti ; selamat pagi, selamat sore, bapak-bapak dan ibu-ibu, dll. �Salam sekular� semata ungkapan relasi yang hangat antara dua pihak. Salam alkitabiah dalam Perayaan Ekaristi ini merupakan puncak kesadaran dan pernyataan iman umat akan kehadiran Allah. Kesadaran ini dibangun melalui suasana dan alur ibadat mulai dari perarakan, nyanyian pembukaan, tanda salib, yang pada tahap ini menanjak pada kesadaran dan pernyataan iman akan kehadiran Allah.
Cara imam memberikan salam dan cara umat menanggapi salam menjadi hal yang sangat penting. Salam pada hakikatnya harus komunikatif: harus benar-benar ada komunikasi antara pemberi salam (imam) dan penerima salam (umat). Dari pihak imam, komunikasi diungkapkan lewat: pandangan mata, mimik, dan tata gerak tangan. Semua ini benar-benar menopang kata-kata salam yang diungkapkan secara mantap. Umat harus menjawab salam dari imam ini dengan mantap pula, karena dengan jawaban itu umat sedang menyatakan imannya akan kehadiran Tuhan. Komunikasi dan kemantapan salam harus terungkap baik ketika salam itu dilagukan maupun dilafalkan. Maka umat mesti menghafal lagu untuk salam.
Kata salam oleh imam kepada umat bukanlah sekadar bersifat manusiawi � sosial seperti budaya sapa-menyapa, dan bukan basa-basi, melainkan suatu pewartaan karya keselamatan Allah melalui Kristus. Umat menjawab salam dari imam dengan jawaban Dan bersama rohmu atau Dan sertamu juga (dalam bahasa Inggris: And also with you). Sebagaimana salam dari imam bukan suatu salam basa-basi, demikian pula jawaban umat bukan pula basa-basi sekadar menanggapi sapaan imam. Jawaban umat merupakan tanggapan kepada pelayan Perayaan Ekaristi yang adalah �hamba Kristus yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah� (1 Kor 4:1). Dengan demikian, salam dalam Perayaan Ekaristi bukan sekadar salam yang bersifat sosial manusiawi, melainkan bersifat teologis, yaitu merayakan misteri kehadiran Tuhan yang menyelamatkan di tengah umat-Nya.
Setelah imam menyampaikan salam kepada umat, imam, atau diakon, atau pelayan lain dapat memberikan pengantar sangat singkat kepada umat tentang Misa yang akan dirayakan (PUMR 50). Pada bagian pengantar ini, disampaikan penjelasan singkat mengenai tema atau isi misteri iman yang dirayakan dalam Perayaan Ekaristi saat itu. Adapun yang boleh menyampaikan kata pengantar ialah imam yang memimpin Misa, atau imam lain atau diakon atau pelayan yang lain.
Marilah kita siapkan pikiran dan hati kita untuk menyambut salam dari imam dengan mantap, karena Tuhan sungguh hadir di tengah-tengah kita dalam Perayaan Ekaristi. Semoga Tuhan memberkati kita semua.
Oleh : Ign. Djoko Irianto
*) Penulis, Prodiakon Paroki St. Herkulanus
Tradisi saling memberi salam ini sudah ada sejak jaman Perjanjian Lama, seperti tertulis dalam kitab 2 Raja-raja 4:29, �Jangan berhenti untuk memberi salam kepada siapa pun yang kau jumpai di jalan. Kalau orang memberi salam kepadamu, jangan buang waktu untuk membalas salamnya.� Memberi dan menerima salam merupakan ungkapan bahwa kedua belah pihak memiliki relasi yang dekat.
Dalam tradisi gereja, praktek penyampaian salam pemimpin kepada umat juga sudah berlangsung sejak abad V, yaitu seperti yang dilaksanakan oleh Santo Agustinus yang memberi salam sebelum pembacaan Injil.
Ungkapan Salam dalam Perayaan Ekaristi
Ungkapan salam dalam perayaan Ekaristi bersumber dari Alkitab. Ungkapan salam yang klasik dan bersifat biblis yang banyak digunakan dalam perayaan Ekaristi terdapat dalam kitab Ruth 2:4. Tidak lama kemudian Boas datang dari Betlehem dan memberi salam kepada para penuai. �Semoga TUHAN menyertai kalian�, katanya. Para penuai menjawab, �Semoga TUHAN memberkati Bapak." (Ruth 2:4).
Rumusan kata-kata untuk salam dalam Ritus Romawi adalah: Dominus Vobiscum, dan umat menjawab: Et cum spiritu tuo. Dalam TPE 2005 kata-kata salam tersebut diterjemahkan dalam dua alternatif, yaitu: Tuhan sertamu � Dan sertamu juga, dan Tuhan bersamamu � Dan bersama rohmu. Kedua terjemahan tersebut telah mendapat pengesahan dari para Uskup KWI dan pengakuan Tahta Suci. Bahkan TPE 2005 memberikan tujuh alternatif salam sesuai dengan keperluan. Alternatif salam nomor 6 digunakan khusus untuk Misa Arwah, sedangkan alternatif salam nomor 7 khusus diperuntukkan bagi Uskup.
Dalam Misa Kudus, ada empat kali imam menyampaikan salam ini kepada umat untuk membangun kesadaran umat bahwa Tuhan sungguh hadir di tengah-tengah kita. Salam yang pertama disampaikan imam dalam ritus pembuka sesudah membuat �Tanda Salib�, kedua sebelum pembacaan Injil, ketiga sebelum Doa Syukur Agung, dan keempat sebelum berkat penutup.
Makna Salam dalam Perayan Ekaristi
Dengan kata-kata salam ini, imam menyatakan bahwa Tuhan sungguh hadir di tengah umat yang siap beribadat. Dan dengan jawabannya, umat menyatakan bahwa Tuhan yang sama sungguh hadir dalam diri imam. Jadi pada saat melaksanakan dialog salam ini imam dan umat sedang menyadari bahwa Tuhan benar-benar hadir di tengah kita. Selain itu, salam dari imam dan jawaban dari pihak umat memperlihatkan misteri Gereja yang sedang berkumpul (PUMR 50).
Salam dalam Perayaan Ekaristi yang bersumber dari Alkitab atau salam alkitabiah ini tidak sama dengan �salam sekular� seperti ; selamat pagi, selamat sore, bapak-bapak dan ibu-ibu, dll. �Salam sekular� semata ungkapan relasi yang hangat antara dua pihak. Salam alkitabiah dalam Perayaan Ekaristi ini merupakan puncak kesadaran dan pernyataan iman umat akan kehadiran Allah. Kesadaran ini dibangun melalui suasana dan alur ibadat mulai dari perarakan, nyanyian pembukaan, tanda salib, yang pada tahap ini menanjak pada kesadaran dan pernyataan iman akan kehadiran Allah.
Cara imam memberikan salam dan cara umat menanggapi salam menjadi hal yang sangat penting. Salam pada hakikatnya harus komunikatif: harus benar-benar ada komunikasi antara pemberi salam (imam) dan penerima salam (umat). Dari pihak imam, komunikasi diungkapkan lewat: pandangan mata, mimik, dan tata gerak tangan. Semua ini benar-benar menopang kata-kata salam yang diungkapkan secara mantap. Umat harus menjawab salam dari imam ini dengan mantap pula, karena dengan jawaban itu umat sedang menyatakan imannya akan kehadiran Tuhan. Komunikasi dan kemantapan salam harus terungkap baik ketika salam itu dilagukan maupun dilafalkan. Maka umat mesti menghafal lagu untuk salam.
Kata salam oleh imam kepada umat bukanlah sekadar bersifat manusiawi � sosial seperti budaya sapa-menyapa, dan bukan basa-basi, melainkan suatu pewartaan karya keselamatan Allah melalui Kristus. Umat menjawab salam dari imam dengan jawaban Dan bersama rohmu atau Dan sertamu juga (dalam bahasa Inggris: And also with you). Sebagaimana salam dari imam bukan suatu salam basa-basi, demikian pula jawaban umat bukan pula basa-basi sekadar menanggapi sapaan imam. Jawaban umat merupakan tanggapan kepada pelayan Perayaan Ekaristi yang adalah �hamba Kristus yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah� (1 Kor 4:1). Dengan demikian, salam dalam Perayaan Ekaristi bukan sekadar salam yang bersifat sosial manusiawi, melainkan bersifat teologis, yaitu merayakan misteri kehadiran Tuhan yang menyelamatkan di tengah umat-Nya.
Setelah imam menyampaikan salam kepada umat, imam, atau diakon, atau pelayan lain dapat memberikan pengantar sangat singkat kepada umat tentang Misa yang akan dirayakan (PUMR 50). Pada bagian pengantar ini, disampaikan penjelasan singkat mengenai tema atau isi misteri iman yang dirayakan dalam Perayaan Ekaristi saat itu. Adapun yang boleh menyampaikan kata pengantar ialah imam yang memimpin Misa, atau imam lain atau diakon atau pelayan yang lain.
Marilah kita siapkan pikiran dan hati kita untuk menyambut salam dari imam dengan mantap, karena Tuhan sungguh hadir di tengah-tengah kita dalam Perayaan Ekaristi. Semoga Tuhan memberkati kita semua.
Oleh : Ign. Djoko Irianto
*) Penulis, Prodiakon Paroki St. Herkulanus
Sunday, July 10, 2011
Tanda Salib Sebagai Ungkapan Iman Kepada Tritunggal Mahakudus
Tanda Salib merupakan tata gerak yang mengingatkan umat beriman pada salib keselamatan dengan menyerukan nama Tritunggal Mahakudus. Tanda Salib merupakan sakramentali, suatu lambang sakral yang ditetapkan Gereja guna mempersiapkan orang untuk menerima rahmat. Tanda Salib menjadi tata gerak orang katolik setiap mengawali doa atau ibadat; juga ketika mengawali Perayaan Ekaristi. Gerakan Tanda Salib juga telah dilakukan sejak masa Gereja Perdana untuk memulai dan mengakhiri doa.
Para Bapa Gereja telah menegaskan penggunaan Tanda Salib dalam setiap gerak kehidupan. Tertulianus (wafat th.250) menggambarkan kebiasaan membuat Tanda salib: �Dalam segala kegiatan dan gerakan, setiap kali kami datang maupun pergi, saat makan, saat menyalakan lilin, saat berbaring, dalam segala apapun yang kami lakukan, kami menandai dahi kami dengan Tanda Salib�.
St. Sirilus dari Yerusalem (wafat th.386) dalam Pengajaran Katekesenya menyatakan, �Jadi, marilah kita tanpa malu-malu mengakui Yang Tersalib. Jadikan Salib sebagai meterai kita, yang dibuat dengan mantap menggunakan jari-jari di dahi kita dan dalam segala kesempatan; atas roti yang kita makan dan cawan yang kita minum, saat kita datang dan pergi; sebelum kita tidur, saat kita berbaring dan saat kita terjaga; saat kita bepergian, dan saat kita beristirahat� .
Tanda Salib, harus dilakukan dengan khidmat. Dengan Tanda Salib, kita menyadari kehadiran Tritunggal Mahakudus. Kita juga harus ingat bahwa Salib adalah tanda keselamatan kita. Yesus Kristus, sungguh Allah yang menjadi sungguh manusia, yang mempersembahkan kurban sempurna bagi penebusan dosa-dosa kita di atas altar salib.
Tata Cara Membawakan Tanda Salib
Paus Inosensius III (1198 - 1216) memberikan instruksi sebagai berikut : �Tanda Salib dibuat dengan tiga jari, sebagai tanda perlindungan Tritunggal Mahakudus. Beginilah cara melakukannya: dari atas ke bawah sebab Kristus turun dari surga ke bumi, dan dari kiri ke kanan, sebab dari sengsara (kiri) kita harus beralih menuju kemuliaan (kanan), sama seperti Kristus beralih dari mati menuju hidup�.
Tanda salib merupakan perpaduan antara kata-kata dan perbuatan (tata gerak). Tanda Salib juga merupakan ringkasan iman kita akan Bapa - Putra - Roh Kudus. Tanda Salib juga mengungkapkan bahwa keselamatan kita datang lewat salib.
Gerakan ritual Tanda Salib pada umumnya disertai dengan ucapan Trinitarian : di dahi (in nomine Patris / dalam nama Bapa), di perut / dada (et Filii / dan Putera), di bahu sebelah kiri (et Spiritus / dan Roh) dan menyilang di dada kanan (Sancti / Kudus). Kemudian kedua tangan terkatup sambil berseru : Amen / Amin.
Tata gerak tanda salib harus dilaksanakan dengan khidmat dan cermat, tidak serampangan atau sambil lalu saja. Kita memulai tanda salib dengan menyentuhkan tangan pada dahi, lalu pada dada, lalu pada bahu kiri, dan akhirnya pada bahu kanan.
Tanda Salib dalam Perayaan Ekaristi
Dalam Liturgi Ekaristi, Tanda Salib yang dianjurkan adalah dua kali, yaitu saat pembukaan dalam ritus pembuka dan saat akhir dalam ritus penutup. Ditambah dengan tiga tanda salib kecil dalam dialog yang mengawali bacaan Injil, serta jika pemercikan air suci diadakan. Di luar itu tidak perlu ada tanda salib. Dalam satu kali Misa Kudus diawali dan diakhiri dengan "tanda salib". Artinya di tengah itu sebenarnya masih dalam suasana Misa Kudus, dan dengan demikian sebenarnya tidak diperlukan tanda salib baru.
Tanda Salib dalam perayaan Ekaristi dibawakan sbb: Pemimpin mengucapkan �Dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus� (sementara itu semua membuat tata gerak salib mulai pada dahi, dada, bahu kiri, bahu kanan), dan umat menanggapi dengan �Amin�. Jadi, pada dasarnya tanda salib dalam perayaan Ekaristi bersifat dialogal. Pemimpin mengucapkan �Dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus� dan umat mengamini dengan aklamasi �Amin�. Baik dilafalkan maupun dilagukan, jawaban �Amin� ini harus mantap.
Sesudah menerima Hosti, dan selama berdoa pribadi di Misa tidak perlu membuat Tanda Salib, karena seluruh Misa dari awal sampai akhir itu adalah satu rangkaian doa yang panjang. Doa dimulai saat Tanda Salib di awal dan diakhiri dengan berkat. Mungkin perlu diberi keterangan bahwa tidak perlu tidak sama artinya dengan tidak boleh.
Kita juga menandakan salib dengan ibu jari pada dahi, mulut, dan dada saat awal pembacaan Injil. Makna tiga tanda salib ini adalah sebagai berikut: Pertama kita membuat tanda salib di dahi. Tanda ini memiliki arti, "Dalam pikiranku, saya percaya". Kita mohon bantuan Roh Kudus agar kita bisa percaya pada sabda Tuhan, dalam pikiran kita. Kedua kita membuat tanda salib di mulut. Tanda ini memiliki arti, "Melalui mulutku saya mewartakan". Kita setuju untuk mewartakan sabda Tuhan yang kita percayai dalam pikiran kita ke semua orang. Ketiga kita membuat tanda salib di dada. Tanda yang ini memiliki arti, "Dalam hatiku, saya simpan sabda Tuhan". Kita sudah percaya pada sabda Tuhan, dan kita juga sudah setuju untuk mewartakannya ke semua orang. Namun kita harus juga menyimpan sabda Tuhan itu dalam hati kita, agar kitapun beroleh berkat-Nya
Dengan tanda salib, tubuh kita telah dimeterai dan disucikan oleh Allah. Dalam segala kegiatan kita: dari kita bangun tidur, sebelum tidur, kita belajar, kita bekerja, kita melakukan pelayanan, kita makan, kita susah, kita senang, kita tertawa, kita menangis. Jika kita membuat tanda salib itu berarti kita mengundang Allah Tritunggal Mahakudus untuk menjaga, melindungi kita sehingga kita tidak melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak Bapa. Semoga Tuhan memberkati kita semua.
Oleh : Ign. Djoko Irianto
Prodiakon Paroki St. Herkulanus
Para Bapa Gereja telah menegaskan penggunaan Tanda Salib dalam setiap gerak kehidupan. Tertulianus (wafat th.250) menggambarkan kebiasaan membuat Tanda salib: �Dalam segala kegiatan dan gerakan, setiap kali kami datang maupun pergi, saat makan, saat menyalakan lilin, saat berbaring, dalam segala apapun yang kami lakukan, kami menandai dahi kami dengan Tanda Salib�.
St. Sirilus dari Yerusalem (wafat th.386) dalam Pengajaran Katekesenya menyatakan, �Jadi, marilah kita tanpa malu-malu mengakui Yang Tersalib. Jadikan Salib sebagai meterai kita, yang dibuat dengan mantap menggunakan jari-jari di dahi kita dan dalam segala kesempatan; atas roti yang kita makan dan cawan yang kita minum, saat kita datang dan pergi; sebelum kita tidur, saat kita berbaring dan saat kita terjaga; saat kita bepergian, dan saat kita beristirahat� .
Tanda Salib, harus dilakukan dengan khidmat. Dengan Tanda Salib, kita menyadari kehadiran Tritunggal Mahakudus. Kita juga harus ingat bahwa Salib adalah tanda keselamatan kita. Yesus Kristus, sungguh Allah yang menjadi sungguh manusia, yang mempersembahkan kurban sempurna bagi penebusan dosa-dosa kita di atas altar salib.
Tata Cara Membawakan Tanda Salib
Paus Inosensius III (1198 - 1216) memberikan instruksi sebagai berikut : �Tanda Salib dibuat dengan tiga jari, sebagai tanda perlindungan Tritunggal Mahakudus. Beginilah cara melakukannya: dari atas ke bawah sebab Kristus turun dari surga ke bumi, dan dari kiri ke kanan, sebab dari sengsara (kiri) kita harus beralih menuju kemuliaan (kanan), sama seperti Kristus beralih dari mati menuju hidup�.
Tanda salib merupakan perpaduan antara kata-kata dan perbuatan (tata gerak). Tanda Salib juga merupakan ringkasan iman kita akan Bapa - Putra - Roh Kudus. Tanda Salib juga mengungkapkan bahwa keselamatan kita datang lewat salib.
Gerakan ritual Tanda Salib pada umumnya disertai dengan ucapan Trinitarian : di dahi (in nomine Patris / dalam nama Bapa), di perut / dada (et Filii / dan Putera), di bahu sebelah kiri (et Spiritus / dan Roh) dan menyilang di dada kanan (Sancti / Kudus). Kemudian kedua tangan terkatup sambil berseru : Amen / Amin.
Tata gerak tanda salib harus dilaksanakan dengan khidmat dan cermat, tidak serampangan atau sambil lalu saja. Kita memulai tanda salib dengan menyentuhkan tangan pada dahi, lalu pada dada, lalu pada bahu kiri, dan akhirnya pada bahu kanan.
Tanda Salib dalam Perayaan Ekaristi
Dalam Liturgi Ekaristi, Tanda Salib yang dianjurkan adalah dua kali, yaitu saat pembukaan dalam ritus pembuka dan saat akhir dalam ritus penutup. Ditambah dengan tiga tanda salib kecil dalam dialog yang mengawali bacaan Injil, serta jika pemercikan air suci diadakan. Di luar itu tidak perlu ada tanda salib. Dalam satu kali Misa Kudus diawali dan diakhiri dengan "tanda salib". Artinya di tengah itu sebenarnya masih dalam suasana Misa Kudus, dan dengan demikian sebenarnya tidak diperlukan tanda salib baru.
Tanda Salib dalam perayaan Ekaristi dibawakan sbb: Pemimpin mengucapkan �Dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus� (sementara itu semua membuat tata gerak salib mulai pada dahi, dada, bahu kiri, bahu kanan), dan umat menanggapi dengan �Amin�. Jadi, pada dasarnya tanda salib dalam perayaan Ekaristi bersifat dialogal. Pemimpin mengucapkan �Dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus� dan umat mengamini dengan aklamasi �Amin�. Baik dilafalkan maupun dilagukan, jawaban �Amin� ini harus mantap.
Sesudah menerima Hosti, dan selama berdoa pribadi di Misa tidak perlu membuat Tanda Salib, karena seluruh Misa dari awal sampai akhir itu adalah satu rangkaian doa yang panjang. Doa dimulai saat Tanda Salib di awal dan diakhiri dengan berkat. Mungkin perlu diberi keterangan bahwa tidak perlu tidak sama artinya dengan tidak boleh.
Kita juga menandakan salib dengan ibu jari pada dahi, mulut, dan dada saat awal pembacaan Injil. Makna tiga tanda salib ini adalah sebagai berikut: Pertama kita membuat tanda salib di dahi. Tanda ini memiliki arti, "Dalam pikiranku, saya percaya". Kita mohon bantuan Roh Kudus agar kita bisa percaya pada sabda Tuhan, dalam pikiran kita. Kedua kita membuat tanda salib di mulut. Tanda ini memiliki arti, "Melalui mulutku saya mewartakan". Kita setuju untuk mewartakan sabda Tuhan yang kita percayai dalam pikiran kita ke semua orang. Ketiga kita membuat tanda salib di dada. Tanda yang ini memiliki arti, "Dalam hatiku, saya simpan sabda Tuhan". Kita sudah percaya pada sabda Tuhan, dan kita juga sudah setuju untuk mewartakannya ke semua orang. Namun kita harus juga menyimpan sabda Tuhan itu dalam hati kita, agar kitapun beroleh berkat-Nya
Dengan tanda salib, tubuh kita telah dimeterai dan disucikan oleh Allah. Dalam segala kegiatan kita: dari kita bangun tidur, sebelum tidur, kita belajar, kita bekerja, kita melakukan pelayanan, kita makan, kita susah, kita senang, kita tertawa, kita menangis. Jika kita membuat tanda salib itu berarti kita mengundang Allah Tritunggal Mahakudus untuk menjaga, melindungi kita sehingga kita tidak melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak Bapa. Semoga Tuhan memberkati kita semua.
Oleh : Ign. Djoko Irianto
Prodiakon Paroki St. Herkulanus
Wednesday, June 29, 2011
Nyanyian Pembuka, Nyanyian Yang Menyatukan
Dalam Perjanjian Lama ada tradisi yang menetapkan suku Lewi sebagai petugas di rumah TUHAN (Bait suci). Kedudukan ini menyebabkan orang-orang Lewi mengatur pembagian tugas, supaya ibadat dapat berjalan lancar dan menyentuh. Salah satu kelompok yang terlibat dalam ibadat itu adalah kelompok musik/nyanyian (I Tawarikh 6:31- 32; I Tawarikh 23: 5; 25: 1- 8). Agaknya kelompok nyanyian ini bukan kelompok ala kadarnya, tetapi kelompok yang memang amat serius dalam menjalankan tugasnya (I Tawarikh 25: 7).
Puji-pujian yang disampaikan oleh kelompok nyanyian ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ibadat. Bahkan mereka menempati kedudukan khusus dalam ibadat [I Tawarikh 6: 31; II Tawarikh 5: 11- 13]. Sekalipun tidak secara eksplisit menyebut nyanyian, tetapi tersirat pemahaman bahwa puji-pujian dalam ibadat harus dipersiapkan dengan baik, bukan hanya masalah teknik vokal maupun penampilan, tetapi juga suasana hati para pemujinya. Sehingga puji-pujian yang disampaikan itu benar-benar adalah ekspresi iman, bukan sekedar keindahan suara (Amos 5: 23).
Fungsi Nyanyian di dalam Ibadat
Jelaslah bahwa sejak zaman dahulu musik/nyanyian memainkan peranan yang amat penting bagi pembangunan iman jemaat. Musik dalam ibadat dikelola secara serius [lihat di kitab I dan II Tawarikh]. Musik dipandang amat penting, karena:
1. Musik menjadi salah satu mata rantai liturgi. Artinya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan rangkaian ibadat.
2. Memberi bobot/mempertajam pengungkapan makna iman dan perasaan yang tak cukup bila hanya diungkapkan dengan kata-kata. Sehingga kegiatan ibadat tidak terbatas pada ruang akal-perasaan semata, tetapi memasuki kedalaman spiritual.
3. Dalam penghayatan tertentu nyanyian dapat memancarkan daya kuasa yang dapat menyegarkan, memperbaharui dan bahkan mengubah sikap hidup seseorang (I Samuel 16: 16, 23)
4. Memberi kesempurnaan penghayatan ibadat melalui keutuhan, kekhidmatan dan kesucian ibadat. Nyanyian-nyanyian bisa membantu tersentuhnya batin jemaat.
Dengan demikian nyanyian dalam ibadat menyatu bukan hanya dengan bagian-bagian lain liturgi, melainkan juga dengan hati / batin jemaat yang beribadat. Dalam ibadat tidak ada pihak yang menjadi penonton, dan lainnya sebagai tontonan. Sebab pada hakekatnya musik dalam ibadat berfungsi melayani! Pengiring musik dan warga jemaat lainnya sama-sama tunduk dan bersimpuh di depan Tuhan. Kesatuan hati antara pengiring musik dan warga jemaat lainnya amat penting. Pengiring musik / pemandu pujian (koor) bukan tontonan dan warga jemaat bukan penonton! Suasana ibadat bisa rusak kalau pengiring / koor memerankan diri sebagai �artis pertunjukkan� yang merasa akan ditonton oleh orang lain, sehingga menonjolkan kemerduan suaranya atau ketrampilan bermain musiknya semata.
Oleh karena itu musik/nyanyian tidak hanya berurusan dengan penguasaan teknik alat musik/ vokal dan penampilan, tetapi juga berurusan dengan soal integritas moral, kebersihan hati pelaku (Amos 5: 23). Warga jemaat datang ke Perayaan Ekaristi bukan untuk menyaksikan pertunjukkan nyanyian, tetapi ingin memenuhi undangan Tuhan untuk datang ke perjamuan-Nya. Dalam Sacrosanctom Concilium (SC) art. 112 dikatakan: �Musik Liturgi semakin suci, bila semakin erat berhubungan dengan upacara ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak.�
Musik / nyanyian liturgi juga mengabdi pada partisipasi umat dalam ibadat, seperti yang diuraikan dalam SC art. 114: �Khazanah musik liturgi hendaknya dilestarikan dan dikembangkan secermat mungkin. Para uskup dan para gembala jiwa lainnya hendaknya berusaha dengan tekun, supaya pada setiap upacara liturgi yang dinyanyikan segenap jemaat beriman dapat ikut serta secara aktif dengan membawakan bagian yang diperuntukkan bagi mereka.�
Nyanyian Pembuka memiliki beberapa fungsi: (PUMR no. 47-48).
1. mengiringi perarakan para petugas liturgi (imam dan para pelayan lain) memasuki ruang ibadat; maka nyanyian pembuka harus dilagukan selama perarakan berlangsung;
2. membina persekutuan umat; maka seluruh jemaat harus berpartisipasi dalam nyanyian pembuka: bernyanyi dengan segenap hati, dengan suara lantang; oleh karena itu baik dipilih nyanyian yang mampu mempersatukan umat.
3. mengantar umat memasuki misteri yang dirayakan; maka tema nyanyian pembuka harus cocok dengan Perayaan Ekaristi hari yang bersangkutan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menunjang terciptanya persekutuan jemaat, a.l.:
1. tata gerak: selama melagukan nyanyian pembuka kita semua berdiri tegap, tidak loyo, tidak ada yang duduk; kesamaan sikap ini menunjukkan kekompakan, persekutuan. �Sikap tubuh yang seragam menandakan kesatuan seluruh jemaat yang berhimpun untuk merayakan Liturgi kudus. Sebab sikap tubuh yang sama mencerminkan dan membangun sikap batin yang sama pula.�
2. terlibat: seluruh umat melagukan nyanyian pembuka, entah silih berganti dengan koor, entah bersama-sama dengan para anggota koor;
3. berbagi buku: kalau teman di sebelah kita tidak membawa buku, kita ajak ia menyanyi dengan buku kita; dengan menawarkan buku untuk dipakai bersama, kita membangun persekutuan;
4. latihan: kalau nyanyian pembuka belum dikuasai umat, dirigen harus melatihnya beberapa menit sebelum Perayaan Ekaristi.
Marilah kita kita siapkan diri kita untuk mengikuti Misa Kudus dengan penuh hormat dan dengan hati yang dipenuhi oleh ungkapan syukur. Kita satukan diri kita bersama jemaat lainnya untuk menyanyikan pujian dengan hati yang dilandasi oleh iman dan kasih. Semoga Tuhan memberkati kita semua.
Oleh : Ign. Djoko Irianto
Prodiakon Paroki St. Herkulanus
Puji-pujian yang disampaikan oleh kelompok nyanyian ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ibadat. Bahkan mereka menempati kedudukan khusus dalam ibadat [I Tawarikh 6: 31; II Tawarikh 5: 11- 13]. Sekalipun tidak secara eksplisit menyebut nyanyian, tetapi tersirat pemahaman bahwa puji-pujian dalam ibadat harus dipersiapkan dengan baik, bukan hanya masalah teknik vokal maupun penampilan, tetapi juga suasana hati para pemujinya. Sehingga puji-pujian yang disampaikan itu benar-benar adalah ekspresi iman, bukan sekedar keindahan suara (Amos 5: 23).
Fungsi Nyanyian di dalam Ibadat
Jelaslah bahwa sejak zaman dahulu musik/nyanyian memainkan peranan yang amat penting bagi pembangunan iman jemaat. Musik dalam ibadat dikelola secara serius [lihat di kitab I dan II Tawarikh]. Musik dipandang amat penting, karena:
1. Musik menjadi salah satu mata rantai liturgi. Artinya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan rangkaian ibadat.
2. Memberi bobot/mempertajam pengungkapan makna iman dan perasaan yang tak cukup bila hanya diungkapkan dengan kata-kata. Sehingga kegiatan ibadat tidak terbatas pada ruang akal-perasaan semata, tetapi memasuki kedalaman spiritual.
3. Dalam penghayatan tertentu nyanyian dapat memancarkan daya kuasa yang dapat menyegarkan, memperbaharui dan bahkan mengubah sikap hidup seseorang (I Samuel 16: 16, 23)
4. Memberi kesempurnaan penghayatan ibadat melalui keutuhan, kekhidmatan dan kesucian ibadat. Nyanyian-nyanyian bisa membantu tersentuhnya batin jemaat.
Dengan demikian nyanyian dalam ibadat menyatu bukan hanya dengan bagian-bagian lain liturgi, melainkan juga dengan hati / batin jemaat yang beribadat. Dalam ibadat tidak ada pihak yang menjadi penonton, dan lainnya sebagai tontonan. Sebab pada hakekatnya musik dalam ibadat berfungsi melayani! Pengiring musik dan warga jemaat lainnya sama-sama tunduk dan bersimpuh di depan Tuhan. Kesatuan hati antara pengiring musik dan warga jemaat lainnya amat penting. Pengiring musik / pemandu pujian (koor) bukan tontonan dan warga jemaat bukan penonton! Suasana ibadat bisa rusak kalau pengiring / koor memerankan diri sebagai �artis pertunjukkan� yang merasa akan ditonton oleh orang lain, sehingga menonjolkan kemerduan suaranya atau ketrampilan bermain musiknya semata.
Oleh karena itu musik/nyanyian tidak hanya berurusan dengan penguasaan teknik alat musik/ vokal dan penampilan, tetapi juga berurusan dengan soal integritas moral, kebersihan hati pelaku (Amos 5: 23). Warga jemaat datang ke Perayaan Ekaristi bukan untuk menyaksikan pertunjukkan nyanyian, tetapi ingin memenuhi undangan Tuhan untuk datang ke perjamuan-Nya. Dalam Sacrosanctom Concilium (SC) art. 112 dikatakan: �Musik Liturgi semakin suci, bila semakin erat berhubungan dengan upacara ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak.�
Musik / nyanyian liturgi juga mengabdi pada partisipasi umat dalam ibadat, seperti yang diuraikan dalam SC art. 114: �Khazanah musik liturgi hendaknya dilestarikan dan dikembangkan secermat mungkin. Para uskup dan para gembala jiwa lainnya hendaknya berusaha dengan tekun, supaya pada setiap upacara liturgi yang dinyanyikan segenap jemaat beriman dapat ikut serta secara aktif dengan membawakan bagian yang diperuntukkan bagi mereka.�
Nyanyian Pembuka memiliki beberapa fungsi: (PUMR no. 47-48).
1. mengiringi perarakan para petugas liturgi (imam dan para pelayan lain) memasuki ruang ibadat; maka nyanyian pembuka harus dilagukan selama perarakan berlangsung;
2. membina persekutuan umat; maka seluruh jemaat harus berpartisipasi dalam nyanyian pembuka: bernyanyi dengan segenap hati, dengan suara lantang; oleh karena itu baik dipilih nyanyian yang mampu mempersatukan umat.
3. mengantar umat memasuki misteri yang dirayakan; maka tema nyanyian pembuka harus cocok dengan Perayaan Ekaristi hari yang bersangkutan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menunjang terciptanya persekutuan jemaat, a.l.:
1. tata gerak: selama melagukan nyanyian pembuka kita semua berdiri tegap, tidak loyo, tidak ada yang duduk; kesamaan sikap ini menunjukkan kekompakan, persekutuan. �Sikap tubuh yang seragam menandakan kesatuan seluruh jemaat yang berhimpun untuk merayakan Liturgi kudus. Sebab sikap tubuh yang sama mencerminkan dan membangun sikap batin yang sama pula.�
2. terlibat: seluruh umat melagukan nyanyian pembuka, entah silih berganti dengan koor, entah bersama-sama dengan para anggota koor;
3. berbagi buku: kalau teman di sebelah kita tidak membawa buku, kita ajak ia menyanyi dengan buku kita; dengan menawarkan buku untuk dipakai bersama, kita membangun persekutuan;
4. latihan: kalau nyanyian pembuka belum dikuasai umat, dirigen harus melatihnya beberapa menit sebelum Perayaan Ekaristi.
Marilah kita kita siapkan diri kita untuk mengikuti Misa Kudus dengan penuh hormat dan dengan hati yang dipenuhi oleh ungkapan syukur. Kita satukan diri kita bersama jemaat lainnya untuk menyanyikan pujian dengan hati yang dilandasi oleh iman dan kasih. Semoga Tuhan memberkati kita semua.
Oleh : Ign. Djoko Irianto
Prodiakon Paroki St. Herkulanus
Tuesday, June 21, 2011
Memahami Makna �Perarakan Masuk�
Suatu ketika seorang teman bertanya : �Adakah makna perarakan masuknya rombongan Imam beserta para petugas liturgi dalam Perayaan Ekaristi?�
Perarakan (prosesi) adalah satu elemen yang ada dalam seluruh perayaan yang kita temukan hampir dalam setiap bentuk ibadah keagamaan. Menurut para ahli, prosesi adalah sebuah praktek liturgi kuno yang diadopsi dari perarakan kerajaan duniawi. Dalam tradisi kuno Babilonia, Hindu, Yunani dan Romawi juga terdapat praktek prosesi yang dilakukan dengan berjalan dan berdoa. Tradisi yang sama juga terdapat di Amerika yaitu berjalan ke tempat yang suci dengan ritual khusus. Prosesi yang lebih erat dihubungkan dengan kekristenan diadaptasi dari tradisi Romawi.
Gambaran biblis tentang perarakan diambil dari Kitab Keluaran, yaitu perarakan bangsa Israel yang keluar dari Mesir melewati Laut Merah menuju tanah terjanji. Dari tempat perhambaan ke tempat kebebasan, terlepas dari penindasan dan penderitaan masuk ke �tanah terjanji�. Dalam Perjanjian Lama, bangsa Israel menjadi umat Allah, dan status itu sungguh-sungguh suatu rahmat Allah.
Hubungan antara Misteri Israel dengan Misteri Gereja hanya dapat digambarkan dalam perspektif sejarah keselamatan. Peristiwa keluaran menjelaskan kepada kita pemahaman atas pembaptisan sebagai sebuah pencucian dengan air yang membersihkan kita dari dosa dan maut (tempat perhambaan) dan membawa kita masuk pada hidup kebangkitan (tanah terjanji). Perarakan liturgis Katolik melambangkan perjalanan kehidupan kita dari mati menuju hidup yang kekal, dari dosa kepada pengampunan dan hidup baru. Ekaristi digambarkan sebagai �manna dari surga� sebagai makanan selama perjalanan bangsa Israel di padang gurun ke tanah terjanji.
Dalam liturgi Katolik ada banyak perarakan (prosesi) yang dilaksanakan. Dalam Perayaan Ekaristi dikenal empat prosesi utama, yaitu : perarakan masuk, perarakan Injil, perarakan persembahan, dan perarakan Komuni Suci. Dan dalam liturgi khusus sering ada perarakan yang dilakukan secara meriah, seperti perarakan pada waktu pekan suci yaitu perarakan palma pada Minggu Palma, perarakan Sakramen Mahakudus sesudah Ekaristi pada Kamis Putih, perarakan Lilin Paskah pada malam Paskah.
Perarakan berarti gerak beberapa atau banyak orang dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Gerak yang dimaksud bukanlah gerak sembarangan, tetapi bergerak dengan teratur dari satu tempat ke tempat lain dalam liturgi, yang biasanya diiringi dengan nyanyian. Berjalan dilakukan dengan badan dan kepala yang tegak, tenang dan agung. Berjalan juga bisa dipahami sebagai ungkapan kesiapsediaan kita menanggapi tawaran kasih karunia Allah yang selalu ada di hadapan kita.
Perarakan Masuk adalah perarakan memasuki ruang ibadat (gereja) yang melibatkan rombongan pemimpin ibadat dan para pembantunya. Perarakan ini dilaksanakan dari sakristi atau tempat lain ke ruang ibadat. Perarakan Masuk menjadi bagian paling awal dari seluruh rangkaian Ritus Pembuka. Menurut PUMR 46, �Ritus Pembuka meliputi bagian-bagian yang mendahului Liturgi Sabda, yaitu perarakan masuk, salam, kata pengantar, pernyataan tobat, Tuhan Kasihanilah, Kemuliaan, dan doa pembuka; semua bagian ini memiliki ciri khas sebagai pembuka, pengantar, dan persiapan.� Tujuan semua bagian itu ialah mempersatukan umat yang berhimpun dan mempersiapkan mereka, supaya dapat mendengarkan sabda Allah dengan penuh perhatian dan merayakan Ekaristi dengan layak. Dengan demikian, perarakan masuk menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam Perayaan Ekaristi.
Selama Perarakan Masuk, umat berdiri dan dalam suasana hening. PUMR 43a: �Umat hendaknya berdiri dari awal nyanyian pembuka, atau selama perarakan masuk menuju altar sampai dengan doa pembuka selesai�. Berdiri merupakan simbol gerakan badan yang penting dalam liturgi. Berdiri merupakan tindakan liturgis yang mengungkapkan perhatian, kepedulian, penghormatan, dan kesiapsediaan terhadap kehadiran Tuhan, baik melalui diri pemimpin ibadat maupun dalam Sabda dan Doa. PUMR 45 : �Bahkan sebelum perayaan Ekaristi, dianjurkan agar keheningan dilaksanakan dalam gereja, di sakristi, dan di area sekitar gereja, sehingga seluruh umat dapat menyiapkan diri untuk melaksanakan ibadat dengan cara yang khidmat dan tepat.
Seluruh unsur dalam Ritus Pembuka bersifat mengantar dan mempersiapkan jemaat untuk dapat mendengarkan Sabda Allah (dalam Liturgi Sabda), yang kemudian memuncak dalam persatuan dengan Tubuh Kristus (dalam Liturgi Ekaristi). Tujuan utama dan paling mendasar dari Ritus Pembuka adalah agar kesatuan jemaat dapat sungguh terwujud. Umat dipersatukan satu sama lain, dipersatukan dengan Gereja sedunia, bahkan dengan Allah. Maka, umat yang berkumpul harus menjadi jemaat (congregatus) yang bersekutu di bawah pimpinan Kristus.
Marilah kita mengikuti Misa secara utuh mulai dari ritus pembuka hingga ritus penutup, mulai perarakan masuk hingga perarakan Imam keluar gedung gereja. Semoga Tuhan memberkati kita semua.
Oleh : Ign. Djoko Irianto
*) Penulis, Prodiakon Paroki St. Herkulanus
Sunday, June 19, 2011
Berlutut, sikap hormat dan mengakui kelemahan di hadapan Allah
Saat kita masuk ke gedung gereja, setelah membuat tanda salib dengan air suci, sebelum duduk, biasanya kita berlutut sejenak. Mengapa?
Kita berlutut pada saat akan duduk dan beberapa kali berlutut selama Misa Kudus. Untuk memahami hal ini, sesungguhnya kita harus menghayati dulu Siapa yang hadir di hadapan kita dalam Misa Kudus. Jika kita mengimani bahwa Tuhan Yesus Kristus sungguh-sungguh hadir di dalam Ekaristi itu dan di dalam diri imam-Nya yang memimpin Misa Kudus, maka kita akan dengan lapang hati berlutut, dan sungguh tidak ada halangan bagi kita untuk berlutut. Sebab Alkitab mengatakan, �dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi� (Flp 2:10).
Kebiasaan berlutut berasal dari Eropa pada abad pertengahan. Pada waktu itu ada suatu kebiasaan di Eropa untuk menekukkan satu lutut (genuflect) di hadapan seorang raja atau seseorang yang berkedudukan tinggi. Berlutut bisa menandakan bahwa kita �kalah� dan kita �pasrah�. Dalam tradisi Katolik, berlutut menjadi tanda kepasrahan dan pengakuan atas kelemahan kita dihadapan Allah. Di dalam gedung gereja, berlutut juga menjadi ungkapan rasa hormat kita akan adanya Altar dan tabernakel di hadapan kita. Altar menjadi tempat dimana Yesus Kristus hadir secara riil dalam Ekaristi, dan tabernakel menjadi tempat Sakramen Mahakudus yang merupakan Tubuh Kristus sendiri.
Kapan saja kita �berlutut�?
Ada beberapa kali kita berlutut di dalam gereja atau selama Misa Kudus. Pertama kali kita berlutut ketika kita masuk ke gedung gereja, setelah membuat tanda salib dengan air suci, sebelum duduk, kita berlutut sejenak dengan menekuk satu lutut (�kaki kanan menyentuh lantai�) dan membuat tanda salib. Sikap ini merupakan ungkapan rasa hormat kepada Altar dan tabernakel yang merupakan tempat kudus yang ada di hadapan kita. Sikap hormat yang sama ini juga dilaksanakan oleh para petugas liturgi (prodiakon, lektor dan misdinar) ketika hendak naik ke panti imam atau setelah melaksanakan tugas di panti imam. Bagi para petugas liturgi, �berlutut� dapat diganti dengan �menundukkan kepala� pada saat dalam perarakan, atau ketika sedang membawa salib, lilin, dupa atau Kitab Suci. Menurut PUMR 275a, �menundukkan kepala� dilakukan juga ketika mengucapkari nama Tritunggal Mahakudus, nama Yesus, nama Santa Perawan Maria, dan nama para orang kudus yang diperingati dalam Misa yang bersangkutan.
Kita juga berlutut pada saat �Doa Syukur Agung�, pada saat persiapan Komuni:�inilah Anak Domba Allah �.�, dan pada saat doa pribadi sesudah komuni. PUMR 43 mengatakan : �Umat berlutut pada saat konsekrasi, kecuali kalau ada masalah kesehatan atau tempat ibadat tidak mengijinkan, entah karena banyaknya umat yang hadir, entah karena sebab-sebab lain. Mereka yang tidak berlutut pada saat konsekrasi hendaknya membungkuk khidmat pada saat imam berlutut sesudah konsekrasi�.
Berlutut bisa juga menandakan sikap pasrah dan mengakui kelemahan kita di hadapan Allah. Sikap tubuh dengan berlutut ini menunjukkan semangat kerendahan diri yang menguasai hati dan jiwa kita. Di hadapan Allah, Sang Sumber Hidup, kita ini tidak ada apa-apanya. Saat itu pula, dengan sikap tubuh itu, kita mengungkapkan isi batin kita dan menyembah Allah. Kita juga ingin menyelaraskan diri dengan Kristus, Putra-Nya. Berlutut semacam ini juga mengungkapkan keyakinan kita bahwa Allah yang telah memulai itu akan juga menggenapi semua karyaNya di dalam diri kita. Kita menyerahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan.
Mari kita mengikuti Misa dengan penuh hormat dan dengan hati yang dipenuhi oleh ucapan syukur, karena Yesus mengundang kita untuk datang ke perjamuanNya: �Berbahagialah kita yang diundang ke-perjamuanNya!�
Oleh : Ign. Djoko Irianto
Prodiakon Paroki St.Herkulanus, Depok.
Kita berlutut pada saat akan duduk dan beberapa kali berlutut selama Misa Kudus. Untuk memahami hal ini, sesungguhnya kita harus menghayati dulu Siapa yang hadir di hadapan kita dalam Misa Kudus. Jika kita mengimani bahwa Tuhan Yesus Kristus sungguh-sungguh hadir di dalam Ekaristi itu dan di dalam diri imam-Nya yang memimpin Misa Kudus, maka kita akan dengan lapang hati berlutut, dan sungguh tidak ada halangan bagi kita untuk berlutut. Sebab Alkitab mengatakan, �dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi� (Flp 2:10).
Kebiasaan berlutut berasal dari Eropa pada abad pertengahan. Pada waktu itu ada suatu kebiasaan di Eropa untuk menekukkan satu lutut (genuflect) di hadapan seorang raja atau seseorang yang berkedudukan tinggi. Berlutut bisa menandakan bahwa kita �kalah� dan kita �pasrah�. Dalam tradisi Katolik, berlutut menjadi tanda kepasrahan dan pengakuan atas kelemahan kita dihadapan Allah. Di dalam gedung gereja, berlutut juga menjadi ungkapan rasa hormat kita akan adanya Altar dan tabernakel di hadapan kita. Altar menjadi tempat dimana Yesus Kristus hadir secara riil dalam Ekaristi, dan tabernakel menjadi tempat Sakramen Mahakudus yang merupakan Tubuh Kristus sendiri.
Kapan saja kita �berlutut�?
Ada beberapa kali kita berlutut di dalam gereja atau selama Misa Kudus. Pertama kali kita berlutut ketika kita masuk ke gedung gereja, setelah membuat tanda salib dengan air suci, sebelum duduk, kita berlutut sejenak dengan menekuk satu lutut (�kaki kanan menyentuh lantai�) dan membuat tanda salib. Sikap ini merupakan ungkapan rasa hormat kepada Altar dan tabernakel yang merupakan tempat kudus yang ada di hadapan kita. Sikap hormat yang sama ini juga dilaksanakan oleh para petugas liturgi (prodiakon, lektor dan misdinar) ketika hendak naik ke panti imam atau setelah melaksanakan tugas di panti imam. Bagi para petugas liturgi, �berlutut� dapat diganti dengan �menundukkan kepala� pada saat dalam perarakan, atau ketika sedang membawa salib, lilin, dupa atau Kitab Suci. Menurut PUMR 275a, �menundukkan kepala� dilakukan juga ketika mengucapkari nama Tritunggal Mahakudus, nama Yesus, nama Santa Perawan Maria, dan nama para orang kudus yang diperingati dalam Misa yang bersangkutan.
Kita juga berlutut pada saat �Doa Syukur Agung�, pada saat persiapan Komuni:�inilah Anak Domba Allah �.�, dan pada saat doa pribadi sesudah komuni. PUMR 43 mengatakan : �Umat berlutut pada saat konsekrasi, kecuali kalau ada masalah kesehatan atau tempat ibadat tidak mengijinkan, entah karena banyaknya umat yang hadir, entah karena sebab-sebab lain. Mereka yang tidak berlutut pada saat konsekrasi hendaknya membungkuk khidmat pada saat imam berlutut sesudah konsekrasi�.
Berlutut bisa juga menandakan sikap pasrah dan mengakui kelemahan kita di hadapan Allah. Sikap tubuh dengan berlutut ini menunjukkan semangat kerendahan diri yang menguasai hati dan jiwa kita. Di hadapan Allah, Sang Sumber Hidup, kita ini tidak ada apa-apanya. Saat itu pula, dengan sikap tubuh itu, kita mengungkapkan isi batin kita dan menyembah Allah. Kita juga ingin menyelaraskan diri dengan Kristus, Putra-Nya. Berlutut semacam ini juga mengungkapkan keyakinan kita bahwa Allah yang telah memulai itu akan juga menggenapi semua karyaNya di dalam diri kita. Kita menyerahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan.
Mari kita mengikuti Misa dengan penuh hormat dan dengan hati yang dipenuhi oleh ucapan syukur, karena Yesus mengundang kita untuk datang ke perjamuanNya: �Berbahagialah kita yang diundang ke-perjamuanNya!�
Oleh : Ign. Djoko Irianto
Prodiakon Paroki St.Herkulanus, Depok.
Wednesday, June 15, 2011
Makna Tanda Salib dengan Air Suci
Oleh : Ign. Djoko Irianto
Seorang teman bertanya, apa makna membuat tanda salib dengan air suci ketika masuk gereja?
Seturut tradisi Gereja Katolik, kita menempatkan bejana-bejana air suci dekat pintu masuk gereja. Penempatan dan penggunaan air suci sesungguhnya berhubungan dengan praktek pentahiran (pembersihan diri) bangsa Yahudi dalam Perjanjian Lama. Kitab Imamat menjelaskan berbagai macam ritual pentahiran mempergunakan air untuk menghapus �kenajisan� tertentu, misalnya akibat menyentuh jenazah, haid, melahirkan atau terjangkit kusta (bdk. Imamat 12-15). Dalam tradisi bangsa Yahudi, orang juga membersihkan diri dengan air sebelum memasuki pelataran Bait Allah, memanjatkan doa dan mempersembahkan kurban, juga sebelum makan. Karena alasan inilah, dalam Balai Imam (area sebelum bangungan Bait Allah) ditempatkan bejana perunggu yang sangat besar berisi air. Di sini para imam membersihkan tangan serta kaki mereka sebelum mempersembahkan kurban di altar di dekatnya. Imam menyucikan diri sebelum memasuki Bait Allah, dan dari sana juga diambil air untuk keperluan pentahiran lainnya seperti ditetapkan dalam ritual-ritual bangsa Yahudi.
Kita membuat tanda salib dengan air suci ketika memasuki gereja karena tiga alasan, yaitu : sebagai tanda sesal atas dosa, sebagai perlindungan dari yang jahat dan sebagai tanda peringatan akan pembaptisan kita.
Pertama, air suci sebagai tanda sesal atas dosa. Sesal atas dosa digambarkan dengan membersihkan diri dengan air seperti dinyatakan dalam Mazmur 51: �Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku! Bersihkanlah aku dari pada dosaku dengan hisop, maka aku menjadi tahir, basuhlah aku, maka aku menjadi lebih putih dari salju!� (3-4, 9). (Hisop adalah tumbuh-tumbuhan yang kecil, yang batang dan daunnya dipergunakan untuk memercikkan barang cair). Ingat juga bagaimana St. Yohanes Pembaptis memanggil semua orang untuk bertobat dengan menggunakan ritual membersihkan diri dengan air sebagai tanda sesal atas dosa dan penyucian diri.
Tindakan-tindakan ini dimasukkan dalam Misa kita. Dalam Ritus Tobat, salah satu cara menyatakan tobat adalah Asperges, yang terdiri dari Ritus Berkat dan Memerciki dengan Air Suci. Sementara imam berjalan melewati umat sambil memerciki mereka dengan air suci, umat biasanya memadahkan Asperges Me (= Percikilah Aku), yang disusun berdasarkan Mazmur 51. Bersama - sama, setiap jemaat menyatakan sesal dan tobat atas dosa.
Kedua, air suci melindungi kita dari yang jahat. Dalam doa pemberkatan air dalam ibadat, kita berdoa: �Tuhan, Allah yang Mahakuasa, pencipta segala yang hidup, baik tubuh maupun jiwa, kami mohon sudilah memberkati air ini, yang kami gunakan dalam iman untuk mengampuni dosa-dosa kami dan melindungi kami dari segala kelemahan dan kuasa jahat. Tuhan, karena belas kasihan-Mu berilah kami air hidup, yang senantiasa memancar sebagai mata air keselamatan; bebaskan kami, jiwa dan raga, dari segala mara bahaya, dan ijinkan kami menghadap hadirat-Mu dengan hati yang murni.�
Yang ketiga, air suci mengingatkan kita akan pembaptisan kita. Karena seruan kepada Tritunggal Mahakudus dan penuangan air suci, kita dibebaskan dari dosa asal dan dari segala dosa, dicurahi rahmat pengudusan, dipersatukan dalam Gereja, dan diberi gelar putera-puteri Allah. Dengan membuat Tanda Salib dengan air suci, kita disadarkan bahwa kita dipanggil untuk memperbaharui janji-janji baptis kita, yakni menolak setan, menolak segala karya-karyanya, serta mengaku syahadat iman kita. Sekali lagi, kita menyesali dosa - dosa kita, agar kita dapat memanjatkan doa-doa kita dan beribadat kepada Tuhan dengan hati murni dan penuh sesal. Seperti air dan darah yang mengalir dari Hati Yesus yang Mahakudus sementara Ia tergantung di atas kayu salib - yang melambangkan Sakramen Baptis dan Sakramen Ekaristi Kudus yang sungguh luar biasa. Tindakan mengambil air suci dan membuat Tanda Salib sebelum memasuki gereja mengingatkan kita akan Sakramen Baptis kita dan menyiapkan diri kita untuk menyambut Ekaristi Kudus.
Sumber : http://www.indocell.net/yesaya/id501.htm
Seorang teman bertanya, apa makna membuat tanda salib dengan air suci ketika masuk gereja?
Seturut tradisi Gereja Katolik, kita menempatkan bejana-bejana air suci dekat pintu masuk gereja. Penempatan dan penggunaan air suci sesungguhnya berhubungan dengan praktek pentahiran (pembersihan diri) bangsa Yahudi dalam Perjanjian Lama. Kitab Imamat menjelaskan berbagai macam ritual pentahiran mempergunakan air untuk menghapus �kenajisan� tertentu, misalnya akibat menyentuh jenazah, haid, melahirkan atau terjangkit kusta (bdk. Imamat 12-15). Dalam tradisi bangsa Yahudi, orang juga membersihkan diri dengan air sebelum memasuki pelataran Bait Allah, memanjatkan doa dan mempersembahkan kurban, juga sebelum makan. Karena alasan inilah, dalam Balai Imam (area sebelum bangungan Bait Allah) ditempatkan bejana perunggu yang sangat besar berisi air. Di sini para imam membersihkan tangan serta kaki mereka sebelum mempersembahkan kurban di altar di dekatnya. Imam menyucikan diri sebelum memasuki Bait Allah, dan dari sana juga diambil air untuk keperluan pentahiran lainnya seperti ditetapkan dalam ritual-ritual bangsa Yahudi.
Kita membuat tanda salib dengan air suci ketika memasuki gereja karena tiga alasan, yaitu : sebagai tanda sesal atas dosa, sebagai perlindungan dari yang jahat dan sebagai tanda peringatan akan pembaptisan kita.
Pertama, air suci sebagai tanda sesal atas dosa. Sesal atas dosa digambarkan dengan membersihkan diri dengan air seperti dinyatakan dalam Mazmur 51: �Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku! Bersihkanlah aku dari pada dosaku dengan hisop, maka aku menjadi tahir, basuhlah aku, maka aku menjadi lebih putih dari salju!� (3-4, 9). (Hisop adalah tumbuh-tumbuhan yang kecil, yang batang dan daunnya dipergunakan untuk memercikkan barang cair). Ingat juga bagaimana St. Yohanes Pembaptis memanggil semua orang untuk bertobat dengan menggunakan ritual membersihkan diri dengan air sebagai tanda sesal atas dosa dan penyucian diri.
Tindakan-tindakan ini dimasukkan dalam Misa kita. Dalam Ritus Tobat, salah satu cara menyatakan tobat adalah Asperges, yang terdiri dari Ritus Berkat dan Memerciki dengan Air Suci. Sementara imam berjalan melewati umat sambil memerciki mereka dengan air suci, umat biasanya memadahkan Asperges Me (= Percikilah Aku), yang disusun berdasarkan Mazmur 51. Bersama - sama, setiap jemaat menyatakan sesal dan tobat atas dosa.
Kedua, air suci melindungi kita dari yang jahat. Dalam doa pemberkatan air dalam ibadat, kita berdoa: �Tuhan, Allah yang Mahakuasa, pencipta segala yang hidup, baik tubuh maupun jiwa, kami mohon sudilah memberkati air ini, yang kami gunakan dalam iman untuk mengampuni dosa-dosa kami dan melindungi kami dari segala kelemahan dan kuasa jahat. Tuhan, karena belas kasihan-Mu berilah kami air hidup, yang senantiasa memancar sebagai mata air keselamatan; bebaskan kami, jiwa dan raga, dari segala mara bahaya, dan ijinkan kami menghadap hadirat-Mu dengan hati yang murni.�
Yang ketiga, air suci mengingatkan kita akan pembaptisan kita. Karena seruan kepada Tritunggal Mahakudus dan penuangan air suci, kita dibebaskan dari dosa asal dan dari segala dosa, dicurahi rahmat pengudusan, dipersatukan dalam Gereja, dan diberi gelar putera-puteri Allah. Dengan membuat Tanda Salib dengan air suci, kita disadarkan bahwa kita dipanggil untuk memperbaharui janji-janji baptis kita, yakni menolak setan, menolak segala karya-karyanya, serta mengaku syahadat iman kita. Sekali lagi, kita menyesali dosa - dosa kita, agar kita dapat memanjatkan doa-doa kita dan beribadat kepada Tuhan dengan hati murni dan penuh sesal. Seperti air dan darah yang mengalir dari Hati Yesus yang Mahakudus sementara Ia tergantung di atas kayu salib - yang melambangkan Sakramen Baptis dan Sakramen Ekaristi Kudus yang sungguh luar biasa. Tindakan mengambil air suci dan membuat Tanda Salib sebelum memasuki gereja mengingatkan kita akan Sakramen Baptis kita dan menyiapkan diri kita untuk menyambut Ekaristi Kudus.
Sumber : http://www.indocell.net/yesaya/id501.htm