Latest News

Showing posts with label Perayaan Ekaristi. Show all posts
Showing posts with label Perayaan Ekaristi. Show all posts

Monday, April 22, 2013

Merayakan Ekaristi dengan Baik dan Benar

Dalam beberapa kali kesempatan ada katekumen atau umat Katolik baru mempertanyakan tentang adanya beberapa perbedaan dalam merayakan Ekaristi di beberapa Paroki. Saya pribadi biasanya kemudian mempersilahkan mereka untuk melihat sendiri bagaimana tatacara merayakan Ekaristi sesuai TPE (untuk Katekumen akan diberi pengarahan khusus ketika membahas Tema Sakramen Ekaristi). Tetapi sehubungan akhir-akhir ini sudah menjadi "salah kaprah" di beberapa kalangan umat akan tatacara merayakan Ekaristi yang baik dan benar, ada baiknya saya posting penjelasan tentang bagaimana merayakan Ekaristi dengan baik dan benar serta tidak menyalahi tata aturan sesuai TPE kita, sebagai berikut :

1. Masuk ke Gereja membuat tanda salib. Jangan buru-buru, tetapi hayatilah dan syukurilah bahwa karena rahmat Baptis anda bisa bergabung ke dalam persekutuan Gereja. Jangan membiasakan memberi air suci pada orang lain dengan mengulurkan jari anda. Ketika anda dibaptis anda dipanggil dengan nama pribadi anda, berarti sangat personal, maka tanda salib jangan dibuat dengan asal-asalan.

2. Perayaan Ekaristi / Misa Kudus adalah rangkaian doa. Maka tanda salib hanya dilakukan pada AWAL dan AKHIR MISA KUDUS saja yaitu ketika imam memulai dan mengakhiri misa. Jangan buat tanda salib banyak-banyak.

3. Ketika doa pembukaan (dan pada kesempatan lain yang disediakan), sampaikanlah ujud pribadi anda dalam hati. Pada zaman dahulu, kesempatan ini diisi dengan doa spontan oleh umat yang hadir, yang akhirnya ditutup oleh imam.

4. Tanda salib yang dibuat sebaiknya tanda salib besar, yaitu dengan menyentuh pusar (sebagai lambang inkarnasi Kristus). Tidak membuat tanda salib ketika imam memberi absolusi umum ("...semoga Alah mengasihani kita...dst.."), karena yang kita ikuti adalah Misa Kudus bukan Sakramen Tobat. Tidak salah membuat tanda salib dengan menyentuh dada ketika berkata "Putra".

5. Berlutut sebelum duduk, jangan asal-asalan, jangan hanya membungkuk, kecuali terpaksa atau karena ketidakmampuan fisik. Yang ada di depan anda adalah Kristus sebenar-benarnya dalam rupa Hosti di Tabernakel. Ingatlah sejenak juga akan inkarnasi Kristus. Hosti dalam Tabernakel, bisa diasosiasikan dengan Kristus dalam rahim Maria.

6. BERPAKAIANLAH YANG PANTAS untuk menghadap Pencipta anda sendiri yang ada secara fisik di hadapan anda, anda pasti bisa memilihnya bukan? SEBERAPA SOPAN ANDA BERPAKAIAN MENCERMINKAN SEBERAPA TINGGI PENGHORMATAN ANDA AKAN KRISTUS DALAM TABERNAKEL.

7. Nyanyikanlah Tuhan Kasihanilah kami dan Kemuliaan dengan penuh hormat. Harap diingat bahwa Kemuliaan adalah kidung malaikat di padang Efrata ketika kelahiran Kristus. Jadi, mohon dinyanyikan dengan penuh sukacita dan hormat.

8. Ketika bacaan kitab suci dibacakan dari ambo (mimbar), saat itulah Allah berbicara, maka selayaknya kita mendengarkan, yaitu menyimak dengan penuh perhatian. Jika paroki anda menyediakan teks misa, anda lebih baik membaca kutipan bacaan sebelum misa dimulai. TATAP lektor/imamnya karena Allah sedang berbicara pada anda. Komunikasi yang baik dalam percakapan adalah SALING MENATAP bukan? PEMBACAAN INJIL - dan bukannya homili - adalah PUNCAK LITURGI SABDA. Harap diingat, suara yang anda dengar adalah Suara Kristus sendiri karena imam bertindak IN PERSONA CHRISTI (mewakili Kristus sepenuh-penuhnya).

9. Mohon menyanyikan KUDUS dengan sepenuh hati, dengan keagungan, jangan asal-asalan. Dikarenakan bahwa ketika menyanyikan / mengucapkan KUDUS kita bergabung dengan seluruh penghuni surga yang memuji Allah tak henti.

10. Ketika konsekrasi (Hosti diangkat dan Piala diangkat) anda boleh mengangkat kedua tangan yang terkatup seperti ritus ibadat di pura Hindu, NAMUN SEBENARNYA berlutut sudah merupakan ungkapan PENYEMBAHAN. Harap diingat, Suara yang anda dengar (Inilah TubuhKU, Inilah darahKU, adalah Suara Kristus sendiri. Lagi, hal ini dikarenakan Imam bertindak IN PERSONA CHRISTI. Jadi? Tataplah Hosti dan Piala itu dengan penuh hormat, yakinkan pada diri anda kalau itu adalah Kristus sendiri, bukannya sibuk dengan permohonan dalam hati.

11. Ketika imam mengucapkan / menyanyikan : "Dengan perantaraan Kristus, bersama dia, dan dalam Dia...dst..." IKUTILAH DALAM HATI. TATAPLAH HOSTI DAN PIALA YG DIANGKAT. Ketika "AMIN" dinyanyikan (dlm bahasa inggris disebut THE GREAT AMEN"). Mohon dinyanyikan dengan sepenuh hati, dengan suara terindah yang anda miliki. Dikarenakan bahwa THE GREAT AMEN ini adalah PUNCAK LITURGI EKARISTI.

12. Jangan MENADAHKAN TANGAN seperti imam, pada waktu berdoa atau menyanyikan Bapa Kami. Dikarenakan imam sedang berdoa atas nama Gereja atau IN PERSONA ECCLESIA. Sikap yang benar adalah mengatupkan tangan, tanda berdoa. Hayatilah doa Bapa Kami. Sadarilah bahwa "rezeki" yang anda minta itu terutama adalah "Roti Hidup" dalam Ekaristi. (dalam bahasa aslinya (Aram), doa Bapa Kami menggunakan kata "roti" bukan rezeki. Pun, dalam bahasa latin digunakan kata "PANEM" yg berarti roti.)

13. TIDAK MENGUCAPKAN DOA PRESIDENSIAL (yang boleh diucapkan oleh imam saja) doa: "..jangan perhitungkan dosa kami tetapi perhatikanlah iman GerejaMu" Jika Imam mengucapkan "marilah kita mohon damai Tuhan" dsb sebelum doa ini, bukan berarti kita harus ikut mengucapkan doa ini. Ucapkan dalam hati saja KEMUDIAN DIAMINKAN DENGAN IMAN.

14. Ketika menerima komuni, TATAPLAH terlebih dahulu hosti yang diangkat sebelum ditaruh di tangan anda. AMIN HARUS DIUCAPKAN DENGAN PENUH IMAN.

15. Tidak perlu ikut menghormat ketika imam menghormati Tabernakel dan altar (juga pada waktu awal misa). Tidak masalah jika anda tetap melakukannya karena merupakan kebiasaaan yang saleh. Namun kalau anda menghadiri misa di luar negeri, jangan kaget kalau di negara tertentu praktik ini tidak dilakukan.

16. Tanda salib pada saat keluar Gereja, sebenarnya tidak perlu dilakukan. Tanda salib sebelum anda masuk sebenarnya kurang lebih berfungsi seperti wudhu, yaitu untuk menyucikan (dan mengingatkan akan Baptis). Ketika anda selesai misa, Kristus yang Maha Suci sudah masuk dalam tubuh anda, tidak diperlukan lagi sarana penyucian lain. Namun demikian, tidak ada salahnya kalau dilakukan, asal jangan karena latah, namun harus disertai kesadaran iman, bahwa anda kini diutus untuk mewartakan karya salib Kristus lewat perkataan dan perbuatan.

Yang disebutkan di atas BUKAN TPE BARU. TPE yg berlaku tetap TPE 2005. Yang ditulis di atas lebih ke arah praktikal, terutama bagaimana sebenarnya menghayati apa yang kita lakukan atau katakan atau nyanyikan setiap kali kita menghadiri Misa. Jangan takut untuk mensosialisasikan hal-hal di atas pada siapa saja yang menghadiri misa bersama anda.

Sampaikan dengan sopan pada saudara dari persekutuan gerejawi lain (Protestan) agar mereka tidak ikut mengambil komuni, namun boleh menerima berkat seperti katekumen yaitu dengan menyilangkan tangan di depan dada, sehingga yang memberikan komuni tahu bahwa dia bukanlah seorang katolik. Walaupun mereka tergabung dalam semacam persekutuan dengan Gereja Katolik berkat Sakramen Baptis, namun komuni hanya diperuntukkan bagi mereka yang berada dalam persekutuan penuh dengan Uskup Roma (Paus sebagai penerus Petrus), dengan kata lain komuni hanya eksklusif untuk umat Katolik.

Tambahan bagi perempuan katolik: Jangan merasa terhalang menerima komuni jika anda sedang mengalami datang bulan. Tuhan Yesus tidak mempermasalahkan sesuatu yang manusiawi. Konsep terhalang karena datang bulan hanya ada di tetangga seberang.

Salam damai selalu

Sumber: Facebook Gereja Katolik

Sunday, January 16, 2011

Pedoman Pelaksanaan Perayaan Ekaristi

A. Ritus Pembuka

1. Unsur
Perarakan masuk: para petugas liturgi masuk diiringi nyanyian pembuka. Tujuan nyanyian adalah untuk membuka misa, membina kesatuan umat, mengantar masuk ke misteri masa liturgi dan mengiringi perarakan.
Penghormatan altar dan salam oleh imam. Salam di satu sisi mengungkapkan kehadiran Tuhan di tengah-tengah umat dan di sisi lain memperlihatkan tanggapan umat yang berkumpul.
Ordinarium: Tuhan kasihanilah kami, didaraskan atau dinyanyikan untuk mengungkapkan seruan kepada Tuhan dan memohon belas kasihanNya.
* Kemuliaan: menjadi madah umat untuk memuji Allah Bapa dan Anak Domba Allah serta memohon belas kasihanNya. Kemuliaan dilagukan/diucapkan pada hari raya, perayaan meriah dan hari minggu (kecuali adven dan prapaskah).
Doa pembuka: Sebelum doa diucapkan ada saat hening untuk menyadari kehadiran Tuhan, dan dalam hati mengungkapkan doanya masing-masing. Lalu imam membuka doa yang mengandung inti perayaan liturgi yang dirayakan dan menutup dengan rumusan trinitaris. Doa pembuka disebut doa collecta dan presidensial. Doa collecta berarti kumpulan dari doa-doa yang diungkapkan oleh umat pada saat hening yang kemudian diteruskan oleh imam. Karena hanya imam yang mendoakan doa pembuka itu, maka doa pembuka juga disebut doa presidensial, yaitu doa resmi dan publik yang dibawakan oleh pemimpin atas nama seluruh umat. Dalam doa ini, umat tidak diikutsertakan untuk mengucapkannya. Umat hanya menjawab �amin� setelah imam mengakhiri doanya dengan doa trinitaris, yaitu doa yang diarahkan kepada Allah Bapa, dengan pengantaraan Putra dalam Roh Kudus.

2. Tujuan:
� Menjadi pembuka, pengantar dan persiapan.
� Mempersatukan umat yang berhimpun dan mempersiapkan mereka supaya mendengarkan sabda Allah dengan penuh perhatian dan merayakan Ekaristi dengan layak .

3. Tata Gerak
� Berdiri: saat arak-arakan sampai salam; kemuliaan sampai doa pembuka.
� Duduk/berlutut: saat pengantar sampai Tuhan kasihanilah kami.

B. Liturgi Sabda

1. Unsur:
� Bacaan I: Dari Kitab suci dan dibacakan oleh seorang lektor dengan suara lantang, dengan ucapan jelas, pembawaan pantas dan penghayatan yang mendalam. Lektor tidak perlu membaca �BACAAN PERTAMA�!
� Masmur tanggapan: dipilih sesuai dengan bacaan yang bersangkutan. dianjurkan untuk dilagukan, terutama bagian refren. Fungsi mazmur untuk menopang permenungan atas sabda Allah
� Bacaan II: Dari Kitab suci dan dibacaan oleh seorang lektor seperti bacaan I. Kalau ada alasan yang berat, bacaan II bisa ditiadakan.
� Bait Pengantar Injil: Bait Pengantar Injil wajib dinyanyikan, bila tidak dinyanyikan, lebih baik dihilangkan. Tujuan Bait Pengantar Injil adalah untuk menyambut dan menyapa Tuhan yang siap bersabda dalam Injil dan sekaligus menyatakan iman umat.
� Bacaan Injil.
� Homili: Yang memberikan adalah imam, pemimpin perayaan (tidak pernah oleh awam). Hari minggu dan pesta, wajib ada homili. Tujuan dari homili adalah untuk memupuk semangat hidup kristen dengan menjelaskan bacaan-bacaan atau teks lain yang berhubungan dengan misteri yang dirayakan.
� Pernyataan Iman: Mendoakan atau melagukan syahadat. Tujuannya agar seluruh umat yang berhimpun dapat menanggapi sabda Allah yang dimaklumkan dan dijelaskan dalam homili.
� Doa Umat: Doa Umat oleh lektor/petugas untuk menyatakan permohonan atas keselamatan dan permohonan untuk mengamalkan tugas imamat yang mereka terima melalui baptis. Umumnya doa itu berisi doa untuk keperluan Gereja, penguasa negara dan keselamatan seluruh dunia, untuk orang yang menderita dan untuk umat setempat atau kepentingannya sesuai dengan misteri yang dirayakan. Imam membuka dan menutup. Tujuan doa umat adalah sebagai tanggapan umat atas sabda Allah yang mereka terima dengan penuh iman.

2. Tujuan:
� Tujuan: Untuk menyingkapkan misteri penebusan dan keselamatan serta memberikan makanan rohani melalui sabda yang diwartakan.
� Lewat liturgi ini, umat merasakan kehadiran Tuhan, meresapkan dalam keheningan dan nyanyian dan mengimani dalam syahadat serta mengungkapkan pengharapannya dalam doa umat.

3. Tata Gerak:
� Duduk: saat mendengarkan bacaan I, II, menanggapi sabda melalui nyanyian masmur dan mendengarkan homili.
� Berdiri: Umat berdiri saat Menyanyikan Bait Pengantar Injil, mendengarkan Injil dan mendoakan syahadat dan doa umat.

C. Liturgi Ekaristi

1. Unsur
� Persiapan Persembahan: kolekte dan bahan persembahan yaitu roti dan anggur dibawa ke altar. Perarakan persembahan diiringi dengan nyanyian persiapan persembahan sampai semua bahan tertata di atas altar. Dilanjutkan pendupaan terhadap roti dan anggur, salib dan altar. Pendupaan melambangkan persembahan dan doa Gereja yang naik kehadirat Tuhan. Imam dan umat juga didupai untuk menegaskan martabat luhur mereka.
� Doa Persiapan Persembahan: Imam mengundang umat untuk berdoa dan diakhiri dengan doa persiapan persembahan yang bersifat presidensial.
� Doa Syukur Agung:
Makna: DSA merupakan pusat dan puncak seluruh perayaan Ekaristi, yang berisi doa syukur dan pengudusan. Dalam doa ini seluruh umat menggabungkan diri dengan kristus dalam memuji karya Allah yang agung dan dalam mempersembahkan korban.
� Ucapan syukur: dalam Prefasi, atas nama seluruh umat, imam memuji Allah bapa dan bersyukur kepadaNya atas seluruh karya penyelamatan atau atas semua alasan tertentu.
� Aklamasi: Umat bersama imam melagukan kudus.
� Epiklesis: Gereja memohon kuasa Roh Kudus dan berdoa supaya bahan persembahan menjadi tubuh dan darah Kristus; juga supaya korban itu menjadi sumber keselamatan yang menyambutnya.
� Kisah Insitusi dan konsekrasi: Mengulangi kata-kata dan tindakan yesus dalam perjamuan terakhir, dimana Ia mempersembahkan tubuh dan darahNya untuk dimakan dan diminum.
� Anamnesis: Gereja mengenangkan Kristus, terutama sengsaraNya yang menyelematkan, kebangkitanNya yang mulia dan kenaikanNya ke sorga.
� Persembahan: Gereja mempersembahkan korban yang murni kepada Allah Bapa dalam Roh Kudus sebagai tanda nyata persembahan diri sendiri.
� Permohonan: Ekaristi dirayakan dalam persekutuan Gereja (surga dan bumi) untuk kesejahteraan seluruh Gereja dan anggota-anggotanya (hidup maupun meninggal).
� Doksologi Penutup: diungkapkan pujian kepada Allah dan dikukuhkan dengan aklamasi meriah Amin.
� Bapa kami: imam bersama umat berdoa Bapa Kami mohon rejeki, pengampunan dosa dan dibebaskan dari segala kejahatan.
� Doa dan salam Damai: memohon damai dan kesatuan Gereja dan seluruh umat manusia, sebelum akhirnya kesatuan itu disempurnakan dengan Tubuh Kristus. Diungkapkan dengan saling memberi salaman dengan orang terdekat
� Pemecahan roti: imam memecahkan roti sebagai simbol umat yang banyak menjadi satu karena menyambut satu roti yaitu Kristus sendiri. Pemecahan roti ini diiringi dengan nyanyian/darasan anak domba.
� Komuni: umat ambil bagian dalam komuni sebagai tanda keikutsertaan umat dalam korban Kristus yang dirayakan. Sementara itu dinyanyikan nyanyian komuni agar umat secara batin bersatu dalam komuni, secara lahir bersatu dalam nyanyian; untuk menunjukkan kegembiraan hati dan menggaris bawahi perarakan komuni.
� Doa Sesudah Komuni: Imam berdoa presidensial untuk menyempurnakan permohonan umat sekaligus untuk menutup seluruh ritus komuni sambil mohon agar misteri yang telah dirayakan menghasilkan buah.

2. Tujuan
� Menghadirkan korban salib dalam Gereja untuk menyatakan karya penyelamatan dan penebusan

3. Tata Gerak:
� Berdiri: saat prefasi sampai kudus; Bapa kami, salam damai.
� Duduk: pemecahan roti, sesudah komuni, doa sesudah komuni.
� Duduk/berlutut/berdiri: Doa Syukur Agung, pemecahan roti

D. Ritus Penutup

1. Unsur
� Pengumuman: mengumumkan hal yang berhubungan dengan kepentingan jemaat seluruhnya, terutama pengumuman perkawinan.
� Salam dan Berkat Imam: Imam memberkati dengan berkat biasa atau meriah.
� Pengutusan: Umat diutus untuk menjadi pewarta kabar gembira.
� Penghormatan altar: mencium altar dan meninggalkan altar.
� Perarakan ke sakristi: bersama seluruh petugas liturgi, imam kembali ke sakristi, dengan diiringi lagu penutup.

2. Tujuan:
� Bagian ini menutup seluruh rangkaian perayaan ekaristi dan sekaligus membuka tugas perutusan untuk mewartakan kabar gembira.

3. Tata Gerak
� Duduk: mendengarkan pengumuman.
� Berdiri/berlutut: menerima berkat, pengutusan dan berdiri saat prosesi perarakan petugas liturgi ke sakristi.

Tuesday, June 22, 2010

Bahan Pendampingan Liturgi

I. PENGANTAR UMUM LITURGI
1. MENGHAYATI LITURGI
Setiap orang beriman dituntut mengungkapkan dan mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari. Pengungkapan iman menunjukkan identitas lahiriah seseorang dan menyatakan secara nyata relasinya dengan yang ilahi. Liturgi merupakan ungkapan resmi iman seseorang. Secara resmi menekankan aspek kewajiban dan aspek formalitas (bentuk, pelayan dan doa-doanya). Iman kelihatan dari cara hidup.

Perwujudan iman menunjukkan kwalitas iman yang dinyatakan dalam menjalani hidup baik secara personal maupun relasional. Personal menunjuk pada aspek tanggung jawab dan relasional menunjuk pada aspek tingkat kwalitas relasi dengan sesama. Iman mempengaruhi dan mendasari perbuatan.

Pengungkapan dan perwujudan sama pentingnya dan tidak boleh menekankan salah satu aspek saja. Pengungkapan mendapat dasarnya dalam perwujudan. Perwujudan mendapat inspirasinya dari pengungkapan.

Berliturgi bukan soal wajib dan tidak, boleh dan tidak, melainkan soal konsekuensi dari jati dirinya sebagai orang beriman. Liturgi menyatakan jati diri sebagai orang beriman. Maka tidak mungkin beriman tanpa berliturgi.

Liturgi bagaikan charger untuk iman. Karena liturgi, iman terus diteguhkan, dikuatkan, dibaharui dan akhirnya terus hidup dan mempengaruhi seluruh kehidupan. Keprihatinan besar saat ini adalah umat kurang menempatkan ekaristi sebagai bagian penting dari hidupnya, terutama dari imannya. Liturgi lebih dilihat sebagai bagian dari aktivitas umat beriman, yang dijalankan menurut situasi dan kondisi dirinya. Juga liturgi lebih dilihat sebagai kewajiban, yang cenderung sudah puas kalau sudah mengikutinya. Lebih parah lagi ada gejala pelunturan praktek sembah sujud terhadap keluhuran liturgi.
Paus Yohanes Paulus II melalui ensiklik Ecclesia de Eucharistia mengajak untuk menyalakan kembali pesona Ekaristi sehingga ekaristi dengan seluruh misterinya bersinar dalam setiap insan.

2. MEMAHAMI LITURGI
Bunda Gereja sangat menginginkan, supaya semua orang beriman dibimbing kearah keikut-sertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan Liturgi. Keikut-sertaan seperti itu dituntut oleh Liturgi sendiri, dan berdasarkan Babtis merupakan hak serta kewajiban umat kristiani sebagai �bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, Umat kepunyaan Allah sendiri� (1Ptr 2:9; Lih. 2:4-5). Sacrosanctum Concilium 14.
2.1. Pengertian Liturgi
Berliturgi secara sadar dan aktif menegaskan aspek PEMAHAMAN (akal budi) dan KETERLIBATAN (hati) semua umat beriman. Pemahaman menegaskan sisi pengetahuan, dimana semua umat beriman bisa memahami liturgi yang mereka rayakan. Sedangkan keterlibatan menunjuk soal hati, yaitu hati yang terlibat secara penuh dalam liturgi. Berdasarkan SC 2, 7, 10, Liturgi disebut sebagai perayaan misteri keselamatan Allah (penebusan dan pengudusan oleh Allah dan pemuliaan oleh manusia) yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Sang Imam Agung bersama Gereja-Nya di dalam ikatan Roh Kudus.
Dilihat dari sisi pelaksananya, liturgi dapat disebut sebagai perayaan Tuhan dan perayaan iman. Disebut perayaan Tuhan karena dalam liturgi, Allah yang berinisiatif menjumpai manusia. Allah yang mencari dan mengundang; bukan manusia yang mencari Allah. Maksud Allah mengundang manusia untuk berpartisipasi dan berperan serta dalam hidupNya. Dan disebut perayaan iman, karena dalam liturgi manusia terlibat dengan menanggapi undangan Tuhan untuk terlibat dalam perjamuanNya.
Karena itu, dari peristiwanya, liturgi menjadi medan sebuah perjumpaan, yaitu perjumpaan antara Allah dan manusia. Perjumpaan itu membawa anugerah keselamatan bagi manusia. Anugerah ini mengalir pada setiap orang yang merayakan dan yang didoakannya, lepas dari disposisi batin orang yang bersangkutan, sebab sakramen bekerja dengan ex opere operato. Disposisi batin lebih menunjuk pada sisi kepantasan dan kelayakan orang saat mengambil bagian dalam perayaan.

2.2. Pembentuk Liturgi
a. Dialogis

Liturgi adalah peristiwa perjumpaan dan komunikasi antara penyelenggara dan undangan, antara Allah dan manusia. Perjumpaan/komunikasi itu terjadi secara dialogis dan berlangsung melalui Yesus dalam Roh Kudus. Allah dalam Yesus Kristus memanggil, mengumpulkan untuk memuliakan Allah (katabatis). Tindakan ini mendatangkan pengudusan dan penyelamatan bagi manusia. Manusia menanggapi dan menjawab (anabatis). Tindakan ini menyatakan bentuk pemuliaan, penyembahan, sembah bakti dan pujian untuk Allah.
b. Simbolis
Perjumpaan Allah dan manusia bukanlah ilusi, atau omong kosong tetapi terjadi dalam bentuk simbolis. Simbol selalu menandakan realitas di baliknya, yaitu realitas kehadiran Yesus yang menyelamatkan. Struktur simbolis liturgi terwujud dalam aneka unsur liturgi (alat, pakaian, warna, pelayan).
c. Anamnesis
Perayaan Liturgi mempunyai ciri anamnesis (kenangan, bukan sekedar ingatan/peringatan). Kenangan lebih menyatakan tindakan menghadirkan, yaitu menghadirkan karya penyelamatan Allah di masa lampau. Penghadiran ini obyektif, real dan nyata karena: tindakan Allah yang selalu berlaku, iman jemaat dan Roh Kudus yang menghubungkan peristiwa lama dan yang baru.
d. Epiklesis
Epiklesis dalam liturgi berarti seruan dan permohonan agar Allah berkenan mengutus Roh Kudus guna menguduskan sesuatu (air, roti, anggur) atau pribadi tertentu. Dimensi epiklesis membuat liturgi bukan suatu upacara magis tapi sungguh pengudusan dari Allah sendiri. Pengudusan itu dilaksanakan oleh Roh Kudus.

2.3. Ungkapan liturgi
a. Tindakan manusiawi

Kegiatan indrawi: mendengarkan, melihat, menyentuh, merasakan dan membau.
Gerakan dan Bahasa Badan: berjalan, berdiri, duduk, berlutut, membungkuk, meniarap, tangan (terkatup, terangkat, terentang), penumpangan, tanda salib, berkat, menepuk dada, jabatan tangan, membasuh tangan.
b. Musik
Musik Liturgi menjadi salah satu bentuk ungkapan liturgi.
Mengungkapkan peran serta umat yang aktif, untuk membangkitkan suasana bagi tumbuhnya daya tangkap dan daya tanggap jiwa terhadap sabda dan karunia Allah dalam liturgi. Memperjelas misteri Kristus, membantu kesadaran kebersamaan dan memberikan kemeriahan dan keagungan bagi liturgi.
c. Alat-alat Liturgi
� Unsur-unsur alam: roti, anggur, air, minyak, api, dupa-ratus dan bahan wangian, garam dan abu
� Alat-alat liturgi buatan:
Alat sengaja dibuat untuk melayani perayaan misteri Tuhan.
d. Pakaian dan warna Liturgi
� Fungsi Pakaian: untuk menampilkan dan mengungkapkan aneka fungsi dan tugas pelayanan; menonjolkan sifat meriah liturgi; melambangkan kehadiran Kristus.
� Warna Liturgi: untuk mengungkapkan sifat dasar misteri iman yang dirayakan; menegaskan perjalanan hidup kristiani sepanjang tahun

2.4. Buah Liturgi
a. Suka Cita Sejati:
Karena mendapat pengampunan, peneguhan, pengharapan, penebusan, kesembuhan, kekuatan, penghiburan, pembebasan, kedamaian, dan karunia lainnya.
b. Communio
� Tercipta communio manusia dengan Allah
� Tercipta communio manusia dengan sesamanya
� Tercipta communio manusia dengan lingkungan hidupnya.
c. Mencicipi kehidupan sorgawi
Manusia boleh memandang dan mencicipi kehidupan sorgawi yang dipuaskan dengan roti surgawi

2.5. Perutusan
a. Hidup Baru sesuai dengan buah yang dinikmati dalam perayaan (sukacita, communio, hayati hidup sorgawi)
b. Menghadirkan Kristus, dengan menghayati dan melaksanakan sabda Allah
c. Menjadi penyalur berkat Tuhan

3. MELIBATKAN DALAM LITURGI
Liturgi adalah perayaan seluruh umat. Sebagai konsekuensinya umat dituntut partisipasinya dalam seluruh perayaan liturgi. Umat bukan penonton yang hanya datang, duduk dan menikmati tetapi pelaksana. Pius XII dalam ensiklik Mediator Dei (1947) merinci partisipasi dalam tiga hal:
a) partisipasi batin atau penghayatan pribadi,
b) partisipasi lahir, yaitu turut bernyanyi, berdoa, atau bersikap tertentu
c) partisipasi sakramental (komuni).
Guna memudahkan partisipasi seluruh umat, perlu diperhatikan:
a) Liturgi hendaknya dijiwai semangat sederhana, tidak aneh-aneh atau berbelit-belit. Konsili Vatikan II menandaskan agar upacara-upacara bersifat sederhana, namun luhur, singkat, tanpa pengulangan-pengulangan yang tidak ada gunanya. Liturgi disesuaikan dengan daya tangkap umat beriman.
b) Liturgi hendaknya memiliki semangat adaptif, memberi peluang untuk penyesuaikan, bahkan harus disesuaikan. Dalam hal menyangkut iman atau kesejahteraan segenap jemaat, Gereja tidak ingin mengharuskan keseragaman yang kaku. Intinya liturgi tetap memiliki semangat dasar yaitu liturgi terlaksana secara baik dan benar, membawa buah nyata bagi kehidupan umat dan membantu umat untuk memuliakan Allah dan menguduskan diri.

II. PEDOMAN PELAKSANAAN PERAYAAN EKARISTI
A. RITUS PEMBUKA
1. Unsur

� Perarakan masuk: para petugas liturgi masuk diiringi nyanyian pembuka. Tujuan nyanyian adalah untuk membuka misa, membina kesatuan umat, mengantar masuk ke misteri masa liturgi dan mengiringi perarakan.
� Penghormatan altar dan salam oleh imam. Salam di satu sisi mengungkapkan kehadiran Tuhan di tengah-tengah umat dan di sisi lain memperlihatkan tanggapan umat yang berkumpul.
� Ordinarium: Tuhan kasihanilah kami, didaraskan atau dinyanyikan untuk mengungkapkan seruan kepada Tuhan dan memohon belas kasihanNya. kemuliaan: menjadi madah umat untuk memuji Allah Bapa dan Anak Domba Allah serta memohon belas kasihanNya. Kemuliaan dilagukan/diucapkan pada hari raya, perayaan meriah dan hari minggu (kecuali adven dan prapaskah).
� Doa pembuka: Sebelum doa diucapkan ada saat hening untuk menyadari kehadiran Tuhan, dan dalam hati mengungkapkan doanya masing-masing. Lalu imam membuka doa yang mengandung inti perayaan liturgi yang dirayakan dan menutup dengan rumusan trinitaris. Doa pembuka disebut doa collecta dan presidensial. Doa collecta berarti kumpulan dari doa-doa yang diungkapkan oleh umat pada saat hening yang kemudian diteruskan oleh imam. Karena hanya imam yang mendoakan doa pembuka itu, maka doa pembuka juga disebut doa presidensial, yaitu doa resmi dan publik yang dibawakan oleh pemimpin atas nama seluruh umat. Dalam doa ini, umat tidak diikutsertakan untuk mengucapkannya. Umat hanya menjawab �amin� setelah imam mengakhiri doanya dengan doa trinitaris, yaitu doa yang diarahkan kepada Allah Bapa, dengan pengantaraan Putra dalam Roh Kudus.
2. Tujuan:
� Menjadi pembuka, pengantar dan persiapan.
� Mempersatukan umat yang berhimpun dan mempersiapkan mereka supaya mendengarkan sabda Allah dengan penuh perhatian dan merayakan Ekaristi dengan layak .
3. Tata Gerak
� Berdiri: saat arak-arakan sampai salam; kemuliaan sampai doa pembuka.
� Duduk/berlutut: saat pengantar sampai Tuhan kasihanilah kami.

B. LITURGI SABDA
1. Unsur:

� Bacaan I: Dari Kitab suci dan dibacakan oleh seorang lektor dengan suara lantang, dengan ucapan jelas, pembawaan pantas dan penghayatan yang mendalam. Lektor tidak perlu membaca �BACAAN PERTAMA�!
� Masmur tanggapan: dipilih sesuai dengan bacaan yang bersangkutan. dianjurkan untuk dilagukan, terutama bagian refren. Fungsi mazmur untuk menopang permenungan atas sabda Allah
� Bacaan II: Dari Kitab suci dan dibacaan oleh seorang lektor seperti bacaan I. Kalau ada alasan yang berat, bacaan II bisa ditiadakan.
� Bait Pengantar Injil: Bait Pengantar Injil wajib dinyanyikan, bila tidak dinyanyikan, lebih baik dihilangkan. Tujuan Bait Pengantar Injil adalah untuk menyambut dan menyapa Tuhan yang siap bersabda dalam Injil dan sekaligus menyatakan iman umat.
� Homili: Yang memberikan adalah imam, pemimpin perayaan (tidak pernah oleh awam). Hari minggu dan pesta, wajib ada homili. Tujuan dari homili adalah untuk memupuk semangat hidup kristen dengan menjelaskan bacaan-bacaan atau teks lain yang berhubungan dengan misteri yang dirayakan.
� Pernyataan Iman: Mendoakan atau melagukan syahadat. Tujuannya agar seluruh umat yang berhimpun dapat menanggapi sabda Allah yang dimaklumkan dan dijelaskan dalam homili.
� Doa Umat: Doa Umat oleh lektor/petugas untuk menyatakan permohonan atas keselamatan dan permohonan untuk mengamalkan tugas imamat yang mereka terima melalui baptis. Umumnya doa itu berisi doa untuk keperluan Gereja, penguasa negara dan keselamatan seluruh dunia, untuk orang yang menderita dan untuk umat setempat atau kepentingannya sesuai dengan misteri yang dirayakan. Imam membuka dan menutup. Tujuan doa umat adalah sebagai tanggapan umat atas sabda Allah yang mereka terima dengan penuh iman.
2. Tujuan:
� Tujuan: Untuk menyingkapkan misteri penebusan dan keselamatan serta memberikan makanan rohani melalui sabda yang diwartakan.
� Lewat liturgi ini, umat merasakan kehadiran Tuhan, meresapkan dalam keheningan dan nyanyian dan mengimani dalam syahadat serta mengungkapkan pengharapannya dalam doa umat.
3. Tata Gerak:
� Duduk: saat mendengarkan bacaan I, II, menanggapi sabda melalui nyanyian masmur dan mendengarkan homili.
� Berdiri: Umat berdiri saat Menyanyikan Bait Pengantar Injil, mendengarkan Injil dan mendoakan syahadat dan doa umat.

C. LITURGI EKARISTI
1. Unsur

� Persiapan Persembahan: kolekte dan bahan persembahan yaitu roti dan anggur dibawa ke altar. Perarakan persembahan diiringi dengan nyanyian persiapan persembahan sampai semua bahan tertata di atas altar. Dilanjutkan pendupaan terhadap roti dan anggur, salib dan altar. Pendupaan melambangkan persembahan dan doa Gereja yang naik kehadirat Tuhan. Imam dan umat juga didupai untuk menegaskan martabat luhur mereka.
� Doa Persiapan Persembahan: Imam mengundang umat untuk berdoa dan diakhiri dengan doa persiapan persembahan yang bersifat presidensial.
� Doa Syukur Agung:
� Makna: DSA merupakan pusat dan puncak seluruh perayaan Ekaristi, yang berisi doa syukur dan pengudusan. Dalam doa ini seluruh umat menggabungkan diri dengan kristus dalam memuji karya Allah yang agung dan dalam mempersembahkan korban.
� Ucapan syukur: dalam Prefasi, atas nama seluruh umat, imam memuji Allah bapa dan bersyukur kepadaNya atas seluruh karya penyelamatan atau atas semua alasan tertentu.
� Aklamasi: Umat bersama imam melagukan kudus.
� Epiklesis: Gereja memohon kuasa Roh Kudus dan berdoa supaya bahan persembahan menjadi tubuh dan darah Kristus; juga supaya korban itu menjadi sumber keselamatan yang menyambutnya.
� Kisah Insitusi dan konsekrasi: Mengulangi kata-kata dan tindakan yesus dalam perjamuan terakhir, dimana Ia mempersembahkan tubuh dan darahNya untuk dimakan dan diminum.
� Anamnesis: Gereja mengenangkan Kristus, terutama sengsaraNya yang menyelematkan, kebangkitanNya yang mulia dan kenaikanNya ke sorga.
� Persembahan: Gereja mempersembahkan korban yang murni kepada Allah Bapa dalam Roh Kudus sebagai tanda nyata persembahan diri sendiri.
� Permohonan: Ekaristi dirayakan dalam persekutuan Gereja (surga dan bumi) untuk kesejahteraan seluruh Gereja dan anggota-anggotanya (hidup maupun meninggal).
� Doksologi Penutup: diungkapkan pujian kepada Allah dan dikukuhkan dengan aklamasi meriah Amin.
� Bapa kami: imam bersama umat berdoa Bapa Kami mohon rejeki, pengampunan dosa dan dibebaskan dari segala kejahatan.
� Doa dan salam Damai: memohon damai dan kesatuan Gereja dan seluruh umat manusia, sebelum akhirnya kesatuan itu disempurnakan dengan Tubuh Kristus. Diungkapkan dengan saling memberi salaman dengan orang terdekat
� Pemecahan roti: imam memecahkan roti sebagai simbol umat yang banyak menjadi satu karena menyambut satu roti yaitu Kristus sendiri. Pemecahan roti ini diiringi dengan nyanyian/darasan anak domba.
� Komuni: umat ambil bagian dalam komuni sebagai tanda keikutsertaan umat dalam korban Kristus yang dirayakan. Sementara itu dinyanyikan nyanyian komuni agar umat secara batin bersatu dalam komuni, secara lahir bersatu dalam nyanyian; untuk menunjukkan kegembiraan hati dan menggaris bawahi perarakan komuni.
� Doa Sesudah Komuni: Imam berdoa presidensial untuk menyempurnakan permohonan umat sekaligus untuk menutup seluruh ritus komuni sambil mohon agar misteri yang telah dirayakan menghasilkan buah.
2. Tujuan
� Menghadirkan korban salib dalam Gereja untuk menyatakan karya penyelamatan dan penebusan
3. Tata Gerak:
� Berdiri: saat prefasi sampai kudus; Bapa kami, salam damai.
� Duduk: pemecahan roti, sesudah komuni, doa sesudah komuni.
� Duduk/berlutut/berdiri: Doa Syukur Agung, pemecahan roti

D. RITUS PENUTUP
1. Unsur

� Pengumuman: mengumumkan hal yang berhubungan dengan kepentingan jemaat seluruhnya, terutama pengumuman perkawinan.
� Salam dan Berkat Imam: Imam memberkati dengan berkat biasa atau meriah.
� Pengutusan: Umat diutus untuk menjadi pewarta kabar gembira.
� Penghormatan altar: mencium altar dan meninggalkan altar.
� Perarakan ke sakristi: bersama seluruh petugas liturgi, imam kembali ke sakristi, dengan diiringi lagu penutup.
2. Tujuan:
� Bagian ini menutup seluruh rangkaian perayaan ekaristi dan sekaligus membuka tugas perutusan untuk mewartakan kabar gembira.
3. Tata Gerak
� Duduk: mendengarkan pengumuman.
� Berdiri/berlutut: menerima berkat, pengutusan dan berdiri saat prosesi perarakan petugas liturgi ke sakristi.

III. TIM LITURGI PAROKI
A. Arti

Persekutuan orang-orang sebagai team work yang dipimpin dengan seorang koordinator yang bekerja bersama-sama mempersiapkan, menyelenggarakan dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan liturgi (paroki). Tim Liturgi ini bertanggung jawab atas kehidupan liturgi baik liturgi rutin (harian, mingguan, tahunan) maupun khusus (HUT, perayaan khusus lainnya).
B. Personalia
1. Tim updating liturgi. Pastor paroki, ketua bidang liturgi paroki dan stasi, beberapa koordinator tim liturgi (mis: koor/musik, teks misa) dan orang-orang tertunjuk. Tim updating jangan terlalu banyak (ex. 5 orang).
2. Tim Pelaksana. Koord. tim-tim liturgi (prodiakon, misdinar, lektor, koor, musik, pemasmur, dsb).
3. Tim Sarana Peribadatan. Tim paramenta, sound system Gereja dan koster.
C. Tugas dan tanggungjawab.
1. Bertanggung jawab mengurusi bidang liturgi paroki.
2. Bertanggung jawab mendampingi tim liturgi wilayah/lingkungan.
3. Bertanggung jawab atas pelaksanaan liturgi paroki (harian, mingguan, khusus).
4. Meningkatkan pemahaman, penghayatan dan partisipasi umat dalam liturgy.
5. Bertanggung jawab atas pemeliharaan dan pengadaan sarana peribadatan.
6. Meningkatkan dan mengembangkan mutu perayaan liturgi dengan memperhatikan unsur-unsur inovasi (yang menyegarkan kehidupan liturgi), kreativitas (tidak monoton dan membosankan), inkulturasi (memperhatikan kekayaan tradisi setempat) dan konteks (sesuai dengan jaman dan keadaan).
7. Membuat arsip dan inventaris segala hal berkaitan dengan liturgi.
D. Mekanisme Kerja
1. Melibatkan semua pihak dalam suasana dialogis dan memberi ruang untuk berinisiatif.
2. Tim Up Dating/Litbang rapat sekurang-kurangnya sebulan sekali: perencanaan, pengembangan dan evaluasi.
3. Bekerja atas dasar prinsip-prinsip teologis (atas dasar iman yang benar dan mengusahakan terciptanya communio umat Allah), liturgis (memperhatikan aturan-aturan liturgi yang berlaku universal) dan pastoral (memperhatikan situasi umat dan lingkungan).
4. Mengkomunikasikan segala rencana kegiatan liturgi kepada umat dan sekaligus mendengarkan sumbang saran dari umat.
5. Berkoordinasi dengan semua tim sesuai dengan kepentingannya.
6. Sekurang-kurangnya 3 bulan sekali rapat dengan para koordinator tim liturgi. Sebulan sekali rapat dalam satu tim kerja untuk mempersiapkan program kerja atau mengevaluasi program yang sudah terlaksana.
E. Mempersiapkan LITURGI EKARISTI
1. Tema
Merencanakan tema sesuai sesuai dengan bacaan, konteks dan intensi
2. Struktur
Menyusun liturgi dengan urutan yang tepat dan modifikasi yang sesuai dengan pedoman liturgi.
3. Menyusun doa:
� Doa selalu diarahkan kepada Bapa, melalui Yesus dan dalam Roh Kudus.
� Doa pembuka: presidensial (doa yang disampaikan oleh imam kepada Allah atas nama seluruh umat dan semua yang hadir dan melalui dia, Kristus hadir mempimpin himpunan umat), trinitaris (disampaikan kepada Bapa, melalui Putra dalam kesatuan Roh Kudus), collecta (saat hening untuk menyadari kehadiran Tuhan dan memberi kesempatan umat mengungkapkan permohonan pribadi).
� Doa Umat: menanggapi sabda, memohon keselamatan dan berbagai permohonan untuk kepentingan Gereja, pemerintah, yang menderita dan semua orang, atau kebutuhan sesuai dengan konteksnya.
� Doa persiapan persembahan: Presidensial, Doa ini selalu diakhiri dengan "Dengan pengantaraan Kristus, Tuhan kami" atau kalau disebut Putra, dengan "Yang hidup dan berkuasa , kini dan sepanjang masa."
� Doa sesudah komuni: presidensial, collecta. Intensi doa agar misteri yang sudah dirayakan menghasilkan buah.
4. Lagu
Menentukan lagu sesuai misteri yang dirayakan, melibatkan umat, meningkatkan kemeriahan liturgi dan sebagai iringan.
5. Petugas
Menentukan petugas, siapa saja yang bertugas, disiapkan, dikoordinasi agar pelaksanaan lancer.
6. Sarana dan prasarana
� Bahan dan alat:
Unsur alami: roti, air, minyak, api, dupa, ratus, garam, abu, bahan wangi-wangian
Alat buatan manusia: piala, sibori, patena, alat kepyur dsb
� Pakaian dan warna liturgi:
Pakaian untuk menampilkan dan mengungkapkan aneka fungsi dan tugas pelayanan; menonjolkan sifat meriah dan melambangkan kehadiran Kristus.
Warna: untuk mengungkapkan sifat dasar misteri iman yang dirayakan; menegaskan perjalanan hidup kristiani sepanjang tahun.
7. Membuat teks misa.
� Tema/masa perayaan Ekaristi
� Lagu (pembuka, ordinarium, mazmur tanggapan, bait pengantar injil, persiapan persembahan, komuni, penutup)
� Bacaan (I,II, Injil)
� Doa (pembuka, tobat, persiapan persembahan, DSA, sesudah komuni)
� Kalau perlu dimasukkan juga aklamasi umat, pengumuman paroki)

IV. TIM LITURGI LINGKUNGAN
A. SIAPA TIM LITURGI LINGKUNGAN

1. Sekelompok orang yang bersama-sama menjadi team work, bekerja sama menjalankan tugas-tugas berkaitan dengan liturgi untuk kepentingan lingkungan maupun paroki.
� Team work: kebersamaan/komunikasi dalam berpikir, berencana, melaksanakan tugas.
� Bekerjasama: jiwa dan semangat tim.
� Kepentingan lingkungan dan paroki: menegaskan sisi kepercayaan banyak orang, menuntut komitmen dan tanggungjawab
2. Memiliki VISI, STRATEGI DAN ETOS KERJA
� VISI: bekerja bukan asal bekerja, tetapi bekerja dengan suatu arah dan untuk suatu tujuan: (mis) Berkembang bersama dalam lingkungan.
� Strategi: cara mewujudkan visi : agenda, keterlibatan/dukungan, sarana prasarana, dsb.
� Etos kerja: bukan sekedar terima jabatan/tugas, tetapi menjalankan dengan ketekunan dan rasa tanggung jawab.
3. Menentukan ANGGOTA TIM LITURGI
� Mampu: tahu dalam bidangnya (mis: arti dan sarana), mampu bekerjasama,
� Mau: ada keterlibatan hati, kesiapan batin, ketidakterpaksaan; juga mau berkembang dan bertanggung jawab.
� Waktu: ada waktu untuk tim, bukan sisa waktu tetapi disediakan/diprioritaskan dalam agenda hidupnya.
� Laku: aktif, partisipatif, kreatif dan inovatif.

B. TUGAS TIM LITURGI LINGKUNGAN
1. Mempersiapkan peribadatan lingkungan
� Misa lingkungan/ujub keluarga: tahu alat-alat yang dibutuhkan, warna liturgi, menyusun peralatan misa.
� Ibadat lingkungan: tahu kebutuhan ibadat dengan segala ujudnya.
� Lingkungan kalau perlu dan mampu, memiliki inventaris alat-alat: misa, pemberkatan, buku liturgi, sound system.
2. Mengembangkan liturgi lingkungan
� Menemukan bentuk-bentuk liturgi/para liturgi yang lebih hidup dan mengena bagi umat.
� Memikirkan sarana-sarana (alat atau buku) liturgi lingkungan.
� Meningkatkan pemahaman seputar liturgi untuk umat lingkungan: pendalaman, sarasehan, week end, dsb.
� Meningkatkan pendukung liturgi: koor, organis, misdinar, lektor, pewarta dsb.
3. Mengkoordinir tugas lingkungan di paroki
� Mempersiapkan koor untuk tugas di paroki.
� Menunjuk orang-orang untuk menjadi kolektan, persembahan, doa umat.
� Membuat teks misa yang baik (mengena, kontekstual, sesuai dengan masanya) untuk misa mingguan paroki.
� Lingkungan bersama-sama memberikan yang terbaik untuk umat separoki.
4. Mendorong umat untuk semakin mencintai dan melibatkan dalam liturgi lingkungan atau paroki.
1. Menciptakan suasana agar umat senang untuk terlibat.
2. Memberi sapaan kasih.
3. Menumbuhkan sense of belonging dan sense of liturgi.
5. Memahami seluk-beluk liturgi.
� Memahami arti dan pentingnya liturgi untuk orang beriman.
� Memahami alat-alat dan simbolisasinya, buku, pakaian dan kegunaan serta saat pemakaiannya.
� Memahami tata gerak liturgy.
� On going formation (belajar terus).

V. PRODIAKON
A. Siapa Prodiakon

Prodiakon adalah petugas liturgi yang melaksanakan beberapa tugas diakon antara lain membantu imam dalam perayaan ekaristi (menyiapkan bahan persembahan dan melayani komuni). Disamping itu prodiakon dapat diberi tugas memimpin ibadat sabda, melayani komuni orang sakit, memimpin ibadat di sekitar kematian. Prodiakon dilantik oleh uskup atau orang lain yang diberi mandat oleh uskup untuk masa bakti tertentu, misalnya 3 tahun dengan lingkup tugasnya di paroki. Pengangkatan prodiakon secara formal dinyatakan lewat Surat Keputusan uskup setempat. Jabatan prodiakon ini bisa diperpanjang dan juga diperpendek. Apabila seseorang yang kebetulan adalah seorang prodiakon berpindah tempat atau berada di tempat lain di luar paroki, ia tidak otomatis jabatan prodiakon itu berlaku di tempat yang baru.
B. Tugas Prodiakon
Prodiakon dipilih oleh dari antara umat dan diangkat oleh Uskup untuk suatu tugas tertentu. Pada prinsipnya ada dua tugas utama dari prodiakon:
1. Membantu menerimakan komuni:
� Dalam perayaan ekaristi. Setiap perayaan Ekaristi, pada prinsipnya prodiakon dapat membantu imam dalam membagikan komuni. Bantuan itu sangat dibutuhkan terutama dalam Perayaan Ekaristi mingguan, di mana umat yang hadir cukup banyak. Demi menciptakan suasana liturgis, tentu akan sangat baik kalau prodiakon mengikuti prosesi sejak awal, sehingga sejak awal pula ia mengenakan pakaian liturgis dan menduduki tempat yang telah disediakan.
� Di luar Perayaan Ekaristi: dalam ibadat sabda dan pengiriman komuni untuk orang sakit atau orang dalam penjara. Tidak setiap ibadat sabda diadakan penerimaan komuni, hanya dalam ibadat sabda khusus seperti Hari Jumat Agung, atau ibadat sabda di mana imam tidak mungkin dihadirkan karena jarak dan kesempatan, ibadat sabda bisa menggunakan penerimaan komuni. Peran prodiakon dalam acara ibadat sabda dan pengiriman komuni untuk orang sakit dan orang dalam penjara akan sangat berarti untuk mewujudkan pelayanan Gereja bagi mereka. Dalam penerimaan komuni untuk orang sakit atau dalam penjara akan sangat baik kalau sebelum mereka menerima, mereka diajak berdoa atau ibadat singkat sebagai wujud persiapan diri menerima kehadiran Kristus. Lansia yang masih mungkin untuk pergi ke gereja hendaknya, tidak ikut menerima kiriman komuni yang dikhususkan untuk orang sakit dan orang dalam penjara.
2. Melaksanakan tugas peribadatan dan pewartaan
� Memimpin ibadat sabda. Prodiakan di lingkungan atau kelompok kategorial tertentu sering kali harus memimpin ibadat sabda. Hendaknya sebelum mempimpin, seorang prodiakon mempersiapkan diri dengan baik agar pada saat pelaksanaan dapat lancar. Diusahakan setiap kali bertugas prodiakon mengenakan pakaian liturgis (alba/singel/jubah dan samir).
� Memberikan homili/renungan. Prodiakon memiliki tugas memberikan homili/renungan dalam suatu ibadat atau sarasehan. Tugas ini akan lebih baik kalau disiapkan sebelumnya, tidak spontan. Homili yang disiapkan akan jauh lebih baik dan lebih berbobot. Hendaknya saat memberikan homili, prodiakon mengenakan pakaian liturgis dan menyampaikannya secara jelas, runtut dan komunikatif.
� Memimpin liturgi pemakaman. Dalam ibadat pemakaman, sering kali prodiakon mendapat tugas untuk mempimpin ibadat pemberkatan pemakaman. Biasanya kalau ada imam, imam memimpin ibadat pemberkatan di tempat duka, sedangkan prodiakon meneruskannya di makam atau tempat peristirahatan terakhir. Tetapi seandainya tidak ada imam, prodiakon pun siap untuk melaksanakan tugas pemberkatan di rumah duka.
� Memimpin berbagai ibadat berkat/ujub doa di lingkungan/wilayah/paroki. Dalam ibadat berkat atau ujub prodiakon seringkali diminta untuk memimpin. Hendaknya diusakahan agar semua disiapkan sebelumnya, baik doa, bacaan, renungan maupun tata ibadatnya. Bacaan dan renungan hendaknya disesuaikan dengan ujubnya.
C. Landasan Pelayanan Prodiakon
1. Ambil bagian dalam karya imamat Kristus
2. Tuntutan hakekat liturgi sebagai perayaan Gereja
3. Tanggung jawab membangun kehidupan Gereja
D. Keistimewaan Prodiakon
1. Orang pilihan dalam Gereja. Diusulkan umat, dipilih rama paroki dan diangkat oleh uskup
2. Menghadirkan Kristus, melalui komuni, melalui pewartaan dan melalui kesaksian hidup
3. �Barisan depan dalam perayaan liturgi�. Dalam liturgi, berada di dekat altar Tuhan. Menuntut kepantasan dalam sikap dan penampilan liturgis
4. Tokoh Umat. Menjadi sorotan masyarakat. Perlu menjaga diri, jangan sampai menjadi batu sandungan, diharapkan justru menjadi teladan dan panutan
E. Tuntutan Prodiakon
1. Mempersiapkan diri: jarak jauh (pengetahuan) dan jarak dekat (persiapan fisik, psikis, rohani)
2. Membekali diri: menambah pengetahuan dan ketrampilan untuk mendukung tugas pelayanan
3. Melayani dengan murah hati: kesiapsediaan setiap saat, kepekaan, kasih, menyediakan waktu
4. Melayani dengan rendah hati: tidak main kuasa, bisa didekati oleh siapa saja, tidak birokratis
5. Melayani dengan setia: memberi prioritas pada tugas yang dipercayakan, pelaksanaan tugas bukan untuk diri tetapi untuk pelayanan kepada umat, memegang komitmen.
6. Meningkatkan mutu hidup: secara rohani, psikologis dan secara social.
7. Memahami aturan-aturan dan pedoman liturgi yang benar.
Diunduh dari Website Gereja Katolik St Ignatius Magelang

Sunday, June 6, 2010

Menuju Perayaan Ekaristi yang Benar

oleh: P. Alex I. Suwandi, Pr

Tahun 2005 dicanangkan sebagai Tahun Ekaristi. Pada hari Kamis Putih 17 April 2003, Paus Yohanes Paulus II menerbitkan sebuah ensiklik khusus tentang Ekaristi, �Ecclesia de Eucharistia� [Ensiklik no 52]. Paus memberikan mandat kepada Kongregasi untuk Ibadat dan Disiplin Sakramen-sakramen bekerja sama dengan Kongregasi Ajaran Iman untuk mempersiapkan instruksi yang berisikan disiplin tentang Sakramen Ekaristi. Instruksi itu telah selesai 19 Maret 2004 dan diterbitkan pada tanggal 25 Maret 2004 dengan judul �Redemptionis Sacramentum� berisi 8 bab dan memuat 186 artikel. Instruksi tersebut ditandatangani oleh Prefek Kongregasi untuk Ibadat dan Disiplin Sakramen-sakramen, Kardinal Francis Arinze dan Sekretaris Uskup Agung Domenico Sorrentino.

PENYIMPANGAN

Instruksi ini mengungkapkan bahwa selama ini terjadi banyak penyimpangan dalam pelaksanaan Perayaan Ekaristi, yaitu adanya ungkapan-ungkapan dan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan tradisi dan ajaran Gereja Katolik Roma, sehingga terjadi ketimpangan antara lex orandi dan superficial. Padahal tidak seorang pun, bahkan tidak seorang imam pun, diperbolehkan mengubah, menambah atau mengganti liturgi gereja, kecuali Tahta Suci dan Uskup Diosesan dalam batas-batas wewenang menurut hukum.

Pada tahun 1970, Vatikan telah mengumumkan agar segala bentuk eksperimen yang berhubungan dengan Misa dihentikan. Permintaan ini diulangi lagi pada tahun 1988. Namun yang terjadi adalah improvisiasi dan eksperimen yang masih terus berlangsung di banyak tempat dan oleh banyak imam maupun awam. Tahta Suci merasa prihatin akan hal ini dan karenanya merasa perlu mengeluarkan instruksi tentang Misa Kudus, agar kesucian dan sifat kesatuan universal ritus Roma tidak dilukai dan menjadi kabur.

PERKEMBANGAN YANG TERJADI DALAM GEREJA KATOLIK DI INDONESIA MASA KINI :

Banyak umat awam terlibat dalam Misa, tidak hanya sebagai lektor, akolit, misdinar, tetapi juga sebagai pembagi komuni [prodiakon]. Ini suatu hal yang baik dan dihargai, namun semuanya itu harus sesuai dengan perannya yang tepat.

Banyak orang menyangka bahwa Roma hanya memperbolehkan misdinar laki-laki, karena dari sini banyak muncul panggilan imamat. Tahta Suci tidak melarang perempuan menjadi misdinar [no 47].

Mengenai prodiakon, dikatakan bahwa mereka bertugas bukanlah demi partisipasi penuh awam dalam Perayaan Ekaristi, tetapi lebih-lebih dari kodratnya, bersifat pelengkap dan sementara, karena terbatasnya jumlah imam [no 151].

Karena hanya imamlah pelayan sesungguhnya dari Sakramen Ekaristi, nama yang tepat bagi petugas awam ini adalah �pelayan luar biasa Komuni Suci� dan bukan �pelayan khusus Komuni Suci� dan juga bukan �pelayan luar biasa dari Ekaristi� ataupun �pelayan khusus Ekaristi�, karena nama-nama ini tidak cocok dan terlalu luas fungsinya [no 156].

Dalam menjalankan tugasnya, prodiakon tidak boleh mendelegasikan pelayanannya kepada orang lain [no 159].

Diingatkan bahwa prodiakon tidak boleh membawa Hosti Kudus ke rumahnya [no 132].

Prodiakon harus langsung membawa Hosti Kudus kepada orang sakit, tanpa singgah terlebih dahulu di tempat lain untuk suatu urusan profan tertentu [no 133].

Peralatan Misa untuk Tubuh dan Darah Kristus haruslah terbuat dari barang berharga. Ketentuan ini mengandung arti bahwa dengan menggunakan barang-barang tersebut, kita memberikan kehormatan dan kemuliaan bagi Allah. Maka janganlah dipakai benda-benda umum / yang berkualitas jelek / benda-benda antik / artistik yang terbuat dari gelas, tanah liat atau materi yang mudah pecah [no 117].

Busana imam saat merayakan Misa adalah Alba, Stola dan Kasula. Imam tidak boleh tidak memakai stola [no 123].

Bertentangan dengan ketentuan dalam buku-buku liturgi, apabila imam merayakan Misa atau ritus lainnya harus mengenakan busana suci. Tidak diperkenankan merayakannya hanya dengan stola di atas busana religius [jubah biara] / di atas pakaian awam biasa [no 126].

Imam tidak diperkenankan merayakan Misa di kuil / tempat suci agama non-Kristen lainnya [no 109].

POIN-POIN DI MANA PENYIMPANGAN SERING TERJADI :

Awam, bahkan seorang bruder / suster, tidak diperkenankan membacakan Injil dalam Misa, hanya imam [no 63].

Bacaan Kitab Suci tidak boleh dihilangkan atau diganti atas inisiatif sendiri atau diganti dengan bacaan-bacaan non-Biblis [no 62].

Awam termasuk seminaris, mahasiswa teologi dan petugas pastoral tidak diperkenankan menyampaikan khotbah dalam Misa Kudus [no 64,66].

Hanya imam yang menyampaikan khotbah. Khotbah harus berdasarkan Kitab Suci dan berujung pangkal pada Kristus, bukan hanya berceritera tentang politik atau hal-hal profan [no 67].

Di luar Misa, awam dapat berkhotbah, namun kuasa untuk memberi izin berkhotbah ini berada di tangan Uskup, bukan imam atau diakon [no 161].

Jika awam ingin menyampaikan kesaksian tentang hidup Kristianinya, kesaksian tersebut sebaiknya dilakukan di luar Misa. Hanya dengan alasan khusus dan berat, kesaksian iman dapat diizinkan dalam Misa, namun hal itu dilakukan sesudah Doa Penutup [no 74].

Kecenderungan awam berperan sebagai klerus ( klerikalisasi) harus dihindari.

Untuk menyambut Hosti Kudus, seseorang harus bersih dari dosa berat. Karena itu, setiap orang yang memiliki dosa berat harus menerima Sakramen Tobat sebelum menyambut Komuni Kudus. Imam yang berdosa berat, tidak boleh merayakan Misa sebelum menerima Sakramen Tobat [no 81].

Umat boleh menyambut Hosti Suci dengan berlutut / berdiri, menerimanya dengan lidah / di tangan. Namun bila ada bahaya profanisasi, Hosti tidak diberikan di tangan penyambut. Hosti harus segera dikonsumsi di hadapan imam / prodiakon, tidak boleh dibawa pergi. Umat tidak boleh mengambil sendiri Hosti dengan tangannya, juga tidak boleh saling memberikan Hosti Suci satu sama lain, seperti yang terjadi misalnya pada Misa Pernikahan, di mana kedua mempelai saling memberikan Hosti Suci [no 94]. Hanya imam atau prodiakon yang boleh memberikan Hosti Kudus.

Umumnya umat menyambut komuni dalam satu rupa, yaitu Tubuh Kristus. Umat boleh menyambut dalam dua rupa, yaitu Tubuh dan Darah Kristus. Namun, penyambutan Darah Kristus hanya dapat diberikan dalam keadaan tertentu di mana tidak ada resiko profanisasi / umat tidak terlalu banyak / tidak akan ada banyak sisa sesudah semua menyambut. Melihat syarat ini, tidak mungkinlah umat menyambut dalam dua rupa dalam Misa hari Minggu.

Jika Darah Kristus akan disambut, umat menyambutnya dengan meminumnya langsung dari piala atau dengan mencelupkan / menggunakan sendok / pipet. Di Indonesia yang paling sering dilakukan jika umat menyambut dalam dua rupa adalah umat mencelupkan Hosti ke dalam piala. Akan tetapi, Roma menyatakan bahwa umat tidak boleh mencelupkan Hosti ke dalam piala [no 104].

Umat menerima Hosti yang tercelup langsung dari imam dan diterima di mulut, bukan di tangan [no 103].

Salam Damai dilakukan sesaat sebelum komuni, bukan pada saat sebelum persembahan. Salam damai hanya dilakukan kepada orang-orang yang berdekatan, tidak boleh berjalan ke mana-mana dan membuat gaduh, sehingga mengganggu kesakralan Misa. Imam memberikan salam damai kepada para petugas Misa, namun tetap berada di panti imam. Dengan alasan tertentu, imam dapat memperluasnya pada beberapa umat. Salam damai ini hanya menandakan perdamaian, kesatuan dan cinta kasih sebelum menerima Hosti dan tidak merupakan suatu tindakan rekonsiliasi / penghapusan dosa [no 71,72].

Doa Syukur Agung (DSA) adalah doa presedensial, sehingga doa ini hanya boleh diucapkan imam, tidak boleh diucapkan diakon, prodiakon / umat, baik secara perorangan maupun bersama-sama [no 52].

Imam tidak boleh menggubah / mengubah DSA menurut seleranya sendiri [no 51].
Saat ini, Indonesia memiliki DSA yang dialogis dan partisipatif. Sangatlah mendesak liturgi ini dimintakan persetujuan dari Tahta Suci. DSA yang diakui Roma hanya DSA 1 sampai dengan 4, sisanya dari 5 sampai dengan 10 belum mendapat persetujuan Tahta Suci [no 54].

Imam tidak boleh memecahkan Hosti pada waktu konsekrasi [no 55].

Pemecahan Hosti hanya boleh dilakukan pada saat pengucapan Anak Domba Allah, yang menandakan bahwa walaupun umat Allah terdiri dari banyak orang, sesungguhnya adalah satu kesatuan karena berasal dari satu Tubuh yaitu Kristus [no 73].

Nama paus dan uskup setempat harus diucapkan dalam DSA. Hal ini berasal dari tradisi yang sangat kuno dan merupakan manifestasi dari kesatuan seluruh gereja [no 56].

Instruksi Redemptionis Sacramentum ini ditujukan tidak hanya kepada para uskup, imam dan diakon, tetapi juga kepada seluruh umat beriman [no 2].

Karena itu, setiap umat beriman Katolik, apakah imam, diakon atau awam, diperkenankan mengajukan keluhan kepada uskup setempat jika ia menemukan penyimpangan dalam liturgi Ekaristi. Bahkan ia boleh mengajukan keluhan kepada Tahta Suci. Namun demikian, segala keluhan itu harus dilakukan dalam kebenaran dan cinta kasih [no 184].

Naskah ini dikutip dari YESAYA: www.indocell.net/yesaya

Friday, June 4, 2010

Sejarah Singkat Ekaristi

oleh: P. Thomas Richstatter, O.F.M., S.T.D. *

Pernahkah kalian ikut ambil bagian dalam permainan di mana semua peserta duduk melingkar dan orang pertama membisikkan suatu kalimat ke telinga orang di sebelahnya, dan orang di sebelahnya itu membisikkan kalimat ke orang di sebelahnya lagi, dan terus demikian hingga kalimat itu telah diteruskan ke semua orang dalam kelompok? Kemudian orang terakhir menyerukan kalimat dengan lantang, dan suatu kalimat yang semula adalah, misalnya, �My horse is afraid to go upstairs!� menjadi �My house has learned to say its prayers!�

Permainan ini sungguh menyenangkan, tetapi juga menggambarkan betapa sulitnya meneruskan informasi secara akurat dari satu orang ke orang lainnya. Dan jika sulit meneruskan satu kalimat, coba pikirkan betapa sulitnya meneruskan dari satu generasi ke generasi berikut sesuatu yang kompleks, mengagumkan dan misterius seperti Ekaristi Kudus!

Kesulitan dalam hal meneruskan ini kita temui diungkapkan dalam kisah tertulis paling awal mengenai Ekaristi. Kepada jemaat di Korintus, St Paulus menulis: �Apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti�� (1 Korintus 11:23). Paulus selanjutnya mengatakan bahwa jemaat Korintus tidak secara akurat menerima apa yang diteruskan. Dengan tajam ia mengkritik cara mereka merayakan Ekaristi: �Pertemuan-pertemuanmu tidak mendatangkan kebaikan, tetapi mendatangkan keburukan� (1 Korintus 11:17). Adakah yang hilang dan tidak diteruskan? Apakah yang tidak mereka terima dengan benar?

Misteri Inkarnasi

Ekaristi merupakan suatu misteri yang kompleks. Tak seorang pun dari kita - tak peduli betapa terpelajarnya, tak peduli betapa kudusnya - dapat memahami sepenuhnya. Roh Kudus membantu kita untuk meneruskan ke generasi berikut apa yang telah kita terima dari generasi sebelum kita agar �Gereja tiada hentinya menuju kepenuhan kebenaran ilahi� (Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, #8).

Tetapi tiada hentinya menuju kepenuhan ini terjadi dalam suatu cara manusia: terjadi pada suatu kurun waktu, selama berabad-abad, dengan periode-periode perkembangan pesat dan peride-periode yang ragu-ragu dan kemunduran. Allah bekerja �secara inkarnasi�. Allah telah menempatkan misteri-misteri ilahi, bahkan misteri agung Ekaristi, dalam tangan manusia. �PutraMu yang telah mewariskan kepada kami jaminan cinta kasih-Nya ini� (Doa Syukur Agung untuk Tobat II).

Inkarnasi Yesus dapat membantu kita memahami misteri Ekaristi. Kita percaya bahwa Sabda Bapa yang kekal mengenakan daging dan menjadi sungguh manusia. Dalam kodrat ilahi-Nya, Yesus telah ada sebelum segala masa bersama dengan Bapa dan Roh. Dalam kodrat manusia-Nya Yesus dari Nazaret adalah manusia dari jaman-Nya: Ia berpakaian seperti orang-orang Yahudi abad pertama lainnya, berbicara dalam bahasa mereka, menyantap makanan mereka dan hidup dalam budaya mereka.

Demikia pula, Ekaristi memiliki baik unsur-unsur ilahi maupun manusiawi. Sementara Ekaristi dulu, sekarang dan selamanya akan menjadi perayaan misteri Paskah wafat dan kebangkitan Kristus, misteri ilahi ini di�inkarnasi�kan ke dalam budaya manusia. Perayaan Ekaristi menggunakan bahasa, busana, sikap tubuh dan irama yang sesuai dengan budaya di mana Ekaristi dirayakan. Dan, sebagaimana budaya berbeda dari satu tempat dengan tempat lainnya dan dari abad ke abad, kita dapat menerima perbedaan-perbedaan yang demikian dalam perayaan Ekaristi.

Awal yang Beragam

Salah satu hal terpenting yang saya pelajari mengenai sejarah Ekaristi adalah bahwa tidak ada cara yang satu, seragam dan orisinil dalam merayakan Misa. Ada banyak cara merayakan Ekaristi sebagaimana ada banyak komunitas Kristiani. Hanya secara perlahan upacara-upacara ibadat ini menjadi lebih teratur dan seragam.

Sekitar abad keempat berbagai ritual dan kebiasaan ini mulai melebur ke dalam tradisi-tradisi setempat seputar kota-kota besar; tradisi-tradisi ini berkembang menjadi apa yang sekarang kita sebut ritus-ritus liturgi. Sebagai contoh, dari Alexandria ke Mesir kita mempunyai Ritus Koptik; dari Antiokhia, Ritus Syrian; dari Konstantinopel, Ritus Byzantine dan dari Roma, ritus Roma (ritus liturgi yang kita bicarakan dalam serial ini).

Ekaristi ber�inkarnasi� atau �menjadi daging� dalam kerangka budaya yang beragam ini. Bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat setempat menjadi bahasa liturgis yang dipergunakan dalam Ekaristi: Koptik, Syrian, Yunani dan Latin. Busana, gerakan, makanan, bejana-bejana, musik, dll, dari daerah dimasukkan ke dalam liturgi. Inilah aspek-aspek manusia atau budaya dari Perayaan Ekaristi.

Tetapi tak satupun dari hal-hal ini yang membangkitkan amarah St Paulus ketika ia menulis kepada jemaat di Korintus. Ia tidak memusatkan perhatian pada busana yang mereka kenakan, bahasa yang mereka pergunakan ataupun bentuk bejana-bejana ataupun bentuk roti yang dipergunakan dalam Ekaristi. Ia memusatkan perhatian pada �unsur ilahi� - cara dengan mana Ekaristi mewujudkan misteri ilahi.

Misteri Iman

Satu cara untuk memasuki misteri Ekaristi adalah melalui ketiga peristiwa inti Misteri Paskah: Kamis Putih, Jumat Agung dan Minggu Paskah.

1. Kamis Putih: Misa adalah suatu perjamuan kudus di mana kita makan dan minum Tubuh dan Darah Tuhan kita, dan dengan kuasa Roh Kudus kita menjadi Tubuh Tuhan. Ekaristi mewujudkan misteri pengilahian kita, keikutsertaan kita dalam hidup ilahi Tritunggal Mahakudus.

2. Jumat Agung: Melalui pemahaman biblis akan anamnese (= kenangan), Ekaristi memungkinkan kita untuk hadir dalam kurban penebusan Kristus di Kalvari yang satu-kali-untuk selamanya. Ekaristi mewujudkan misteri keselamatan dan penebusan kita dalam Kristus.

3. Minggu Paskah: Dalam Ekaristi kita mengalami kehadiran Kristus yang Bangkit. Tuhan yang Bangkit begitu diidentifikasikan dengan para pengikut-Nya hingga apa yang kita lakukan satu sama lain, kita lakukan terhadap Kristus Sendiri. �Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku� (Matius 25:40). Kehadiran Tubuh Kristus ini merupakan inti dari pengalaman awal St Paulus akan Yesus yang mengubahnya: �Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?� (Kisah Para Rasul 9:4). Ekaristi mewujudkan kehadiran secara real dan substansial dari Kristus yang Bangkit.

Kesulitan utama dalam meneruskan misteri iman dari generasi ke generasi seringkali terletak pada memelihara keseimbangan dan integritas dari ketiga makna inti ini.

Ketika Paulus menulis kepada jemaat di Korintus, keluhannya tampaknya adalah mereka makan dan minum perjamuan kudus mereka dalam kenangan akan Tuhan yang Bangkit akan
tetapi mengidentifikasikan kehadiran Ekaristik dengan Kepala Tubuh tanpa mempedulikan anggota-anggota Tubuh Kristus di sini di dunia, teristimewa mereka yang miskin dan terpinggirkan.

Paulus mengkritik mereka sebab apabila mereka berkumpul bersama �bukanlah berkumpul untuk makan perjamuan Tuhan. Sebab pada perjamuan itu tiap-tiap orang memakan dahulu makanannya sendiri, sehingga yang seorang lapar dan yang lain mabuk.� Ia bertanya, �Apakah kamu tidak mempunyai rumah sendiri untuk makan dan minum? Atau maukah kamu menghinakan Jemaat Allah dan memalukan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa?� (lih 1 Korintus 11:17-22). Yang menjadi persoalan adalah cara dengan mana kehadiran Tuhan yang Bangkit dimanifestasikan dan dialami dalam perjamuan kudus dan implikasi moral dari kehadiran itu.

Perlunya Keseimbangan

Sementara Gereja meneruskan misteri Ekaristi dari generasi ke generasi, terdapat suatu pergulatan terus-menerus untuk meneruskan tradisi secara akurat. Menengok ke abad-abad lampau, kita mendapati periode-periode sejarah ketika dimensi Kamis Putih (perjamuan) dari Ekaristi tampaknya kurang dipentingkan dan umat pergi ke Misa tanpa ikut ambil bagian dalam perjamuan kudus, tanpa menyambut Komuni Kudus.

Ada masa-masa ketika kita melupakan dimensi komunitas dari Perjamuan Tuhan dan para imam mempersembahkan Misa secara pribadi dengan hanya seorang pelayan yang melayani. Ada masa-masa ketika dimensi Jumat Agung (Kurban) dari Ekaristi tampaknya terlalu ditekankan hingga mengaburkan hakekat sekali-dan-untuk-selamanya dari Kurban Yesus di Kalvari. Ini mengakibatkan reaksi dari pihak mereka yang meminimalkan dimensi Kurban Ekaristi dan menekankan Perjamuan Tuhan.

Gerakan Liturgis

Di awal abad keduapuluh, Roh Kudus mengilhami para ahli dari berbagai negara dengan pembaharuan perhatian dalam sejarah, ritual dan makna Ekaristi. Naskah-naskah dan catatan-catatan yang telah diabaikan atau hilang selama berabad-abad ditemukan kembali dan dipelajari. Banyak fakta-fakta baru ditemukan. Informasi baru ini membuka pintu bagi pembaharuan liturgis sebagaimana diwujudkan dalam Konstitusi tentang Liturgi Suci, dokumen pertama dari Konsili Vatican Kedua.

Sejak itu, kita melihat banyak perubahan dalam cara kita merayakan Ekaristi. Sebagian dari kita senang dengan perubahan-perubahan ini; sebagian lainnya tidak. Tetapi, bagaimanapun juga, banyak umat Katolik bertanya-tanya mengapa Ekaristi - tanda dan sumber persatuan kita - telah menjadi sumber dari begitu banyak perpecahan dan perdebatan.

Dinamika Perubahan

Bertahun-tahun yang lalu saya melihat suatu grafik yang memetakan dinamika perubahan. Garis-garis vertikal dan horizontalnya adalah �berapa lama� dan �tingkat kesulitan�. Sepanjang garis diagonal adalah: 1) fakta-fakta; 2) sikap; 3) perilaku dan 4) perilaku kelompok. Grafik menggambarkan bahwa adalah jauh lebih mudah dan cepat menerima fakta-fakta baru daripada mengubah sikap atau perilaku. Dan untuk mengubah perilaku kelompok bahkan terlebih sulit dan membutuhkan banyak waktu.

Sebagai contoh, bertahun-tahun yang lalu saya biasa merokok. Ketika pemerintah mulai mewajibkan label-label peringatan pada bungkus rokok dan program bahaya merokok muncul di televisi, saya mulai mempelajari fakta-fakta baru mengenai rokok. Sedikit demi sedikit saya menjadi yakin akan kebenaran fakta-fakta ini, tetapi saya terus merokok.

Bahkan setelah sikap saya berubah dan saya tidak suka merokok lagi, saya pun masih merokok. Hanya setelah upaya keras dan banyak kegagalan saya berhasil mengubah perilaku saya dan berhenti demi kebaikan saya. Dan sekarang, empatpuluh tahun kemudian, saya dapat melihat bagaimana perilaku kelompok telah berubah di restoran-restoran, bandara-bandara dan tempat-tempat umum.

Tetapi sebagian orang masih terus merokok. Mungkin mereka tidak mengetahui fakta-faktanya? Mungkin mereka mengetahui fakta-faktanya tetapi menafsirkannya secara berbeda? Mungkin mereka memang suka merokok? Mungkin mereka selalu merokok dan tak dapat atau tak hendak mengubah perilaku yang telah mereka nikamti selama bertahun-tahun?

Bagaimana hal ini berhubungan dengan Ekaristi? Selama empatpuluh tahun belakangan, saya telah mendaptkan banyak fakta-fakta baru mengenai Ekaristi. Saya mendengarkan Doa Syukur Agung dalam bahasa saya sendiri. Saya telah belajar bagaimana perjamuan merupakan tanda sakramental dari kurban. Saya memahami pentingnya makan dan minum. Saya melihat bahwa point Ekaristi bukan hanya perubahan roti dan anggur, melainkan juga perubahan umat, Gereja, menjadi Tubuh dan Darah Kristus.

Fakta-fakta baru ini telah mulai mempengaruhi sikap dan kesalehan saya. Sedikit demi sedikit mempengaruhi perilaku dan devosi saya - ke arah yang lebih baik, saya percaya. Dan saya yakin dalam duapuluh atau limapuluh tahun mendatang, kita akan mulai melihat perubahan-perubahan dalam perilaku kelompok kita. Pada saat itulah Ekaristi akan menjadi sumber yang begitu penuh daya kuasa dari kekuatan dan rahmat dalam hidup kita hingga orang akan berbicara mengenai kita sebagaimana mereka berbicara mengenai umat Kristen perdana, �Lihatlah betapa mereka saling mengasihi satu sama lain! Tak ada seorang pun yang miskin di antara mereka!�

Kita telah meninjau Misa dari berbagai sudut pandang - sakramen, kurban, perjamuan, kehadiran nyata. Akan tetapi umat Katolik juga menghormati Ekaristi di luar Misa, dan itulah yang akan menjadi topik artikel kita selanjutnya, artikel terakhir dalam serial ini

* Fr. Thomas Richstatter, O.F.M., has a doctorate in liturgy and sacramental theology from the Institute Catholique de Paris. A popular writer and lecturer, Father Richstatter teaches courses on the sacraments at St. Meinrad (Indiana) School of Theology.

sumber : �A Short Histtory of the Eucharist,� Eucharist: Jesus With Us by Thomas Richstatter, O.F.M.; Copyright St. Anthony Messenger Press; www.americancatholic.org; diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net

Thursday, June 3, 2010

Butir-butir Penting Pembaruan Liturgi

Sambutan Kardinal Arinze
pada Pertemuan Nasional Federasi Komisi Liturgi Keuskupan
se-Amerika Serikat, Chicago, 7-11 Oktober 2003

1. 40 Tahun Penuh Rahmat Lewat Liturgi
Perayaan misteri penebusan kita, khususnya Misteri Paskah sengsara, wafat, dan kebangkitan Tuhan dan Juruselamat kita Yesus Kristus dalam liturgi kudus, merupakan pusat kehidupan Gereja. Partisipasi dalam perayaan liturgi dilihat Vatikan II sebagai �sumber utama dan tak tergantikan darimana kaum beriman menimba semangat kristen sejati.�

Oleh karena itu, sangatlah tepat bahwa dokumen pertama dari 16 dokumen yang harus dikeluarkan oleh Konsili Vatikan II adalah tentang liturgi kudus. Begitu Konstitusi Liturgi dimaklumkan pada tanggal 4 Desember 1963, �buah pertama Konsili� dipersembahkan kepada seluruh Gereja.

Lewat ajaran yang kaya dan arah-arahan yang bijaksana, yang dipersembahkan oleh Konstitusi ini, jalan menuju pembaruan liturgi dibuka bagi Gereja �selaras dengan asas-asas kesetiaan kepada tradisi dan keterbukaan kepada perkembangan yang sah.�

Peran penting Konstitusi Liturgi menjadi jelas kalau kita melihat kaitan erat dan organik antara pembaruan liturgi yang sehat dan pembaruan seluruh kehidupan Gereja. Karena �liturgi merupakan puncak yang dituju oleh seluruh kegiatan Gereja dan, sekaligus, sumber darimana mengalirlah seluruh kekuatannya.� �Dalam liturgi, Gereja tidak hanya bertindak tetapi juga menyatakan diri, dan dari liturgi ia menimba kekuatan untuk hidupnya.� Teristimewa, �Gereja menimba kehidupnya dari Ekaristi,� sumber dan puncak seluruh kehidupan kristen.�

Oleh karena itu, baik dan tepat kita memanfaatkan kesempatan ulangtahun ke-40 Konstitusi Liturgi ini untuk menoleh ke belakang, mengadakan refleksi, memandang ke depan, dan merenungkan sejumlah pertanyaan. Saya sangat berterima kasih kepada Komisi Liturgi Konferensi Uskup Amerika Serikat dan Federasi Komisi Liturgi Keuskupan se-Amerika Serikat karena Anda telah mengundang saya menghadiri pertemuan ini dan meminta saya membagikan kepada Saudara beberapa renungan tentang Konstitusi Liturgi kemarin, hari ini, dan esok. Marilah kita mulai dengan menyebut sejumlah hasil positif yang dicapai Gereja sejak Konstitusi Liturgi. Kemudian kita akan menyimak tantangan-tantangan yang terkait dengan hasil-hasil itu: Alkitab dan liturgi, terjemahan, penyesuaian dan inkulturasi, partisipasi aktif, peran kaum awam, revitalisasi kehidupan Gereja lewat liturgi, dan menatap ke masa depan.

2. Hasil-hasil Positif Sejak Sacrosanctum Concilium
Dalam kehidupan liturgis Gereja, sejumlah perkembangan yang amat baik telah terjadi sejak Sacrosanctum Concilium dimaklumkan. Mari kita mulai dengan mendaftar beberapa di antaranya. Dengan cara ini, kita bersyukur kepada Allah yang membimbing Gereja-Nya melintasi segala abad. Kita juga berterima kasih kepada semua yang memberikan andil dalam pemajuan liturgi, mulai dari mereka yang menggarap teks-teks liturgi, sampai ke para uskup, imam, dan anggota komisi liturgi seperti Saudara sekalian.

Untuk mengenang 25 tahun Sacrosanctum Concilium, Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan Surat Apostolik Vicesimus quintus annus, 4 Desember 1988. Dalam surat ini, Paus mencatat lima hasil positif Konstitusi Liturgi.

Pertama, tempat Alkitab dalam liturgi. Sacrosanctum Concilium mendesak agar dalam liturgi Sabda Allah dihidangkan secara lebih melimpah kepada umat Allah. Kalau kita menengok ke belakang, 40 tahun yang lalu, kita melihat bagaimana ritus liturgi baru telah sangat diperkaya dengan teks-teks Alkitab. Dalam misa, leksionarium ditata sedemikian rupa sehingga menghidangkan hampir seluruh Alkitab dalam siklus bacaan tiga tahun untuk hari Minggu, dan dua tahun untuk hari biasa. Mazmur Tanggapan membantu menerangi bacaan- bacaan. Perayaan sakramen dan sakramentali dibuat lebih serasi dengan menyajikan banyak teks Alkitab. Demikian pula Ibadat Waktu ( = Ibadat Harian). Dengan cara ini sebagian besar isi Kitab Suci dibuka, sebagaimana mestinya, tidak hanya kepada masing-masing orang beriman, tetapi juga kepada setiap kelompok jemaat. Dengan demikian, kaum beriman menjadi lebih akrab dengan Kitab Suci, dan setiap kelompok jemaat memiliki kesempatan, dalam kerangka khusus perayaan liturgis, untuk makin menyelami misteri agung kasih Allah yang mengubah hidup manusia sebagaimana dimaklumkan oleh Kitab Suci; dan ini terjadi pada semua tahap kehidupan manusia. Di setiap negara, telah dilaksanakan usaha yang luar biasa untuk menyediakan terjemahan-terjemahan Alkitab bagi umat Kristen.

Kedua, perkembangan yang membahagiakan adalah usaha terus-menerus untuk menerjemahkan aneka teks liturgis ke dalam bahasa umat dan juga untuk menyesuaikan perayaan liturgis dengan kebudayaan setiap bangsa, meskipun penuh tantangan.

Alasaan syukur yang ketiga adalah �meningkatnya partisipasi umat dalam doa, nyanyian, tata-gerak dan keheningan dalam Perayaan Ekaristi dan sakramen-sakramen lain.� Hal ini mudah kita lihat kalau kita membandingkan cara umat paroki ambil bagian dalam Misa hari Minggu saat ini dan lima puluh tahun yang lalu.

Kita juga bangga karena �pelayanan-pelayanan yang dilaksanakan oleh kaum awam dan tanggung-jawab yang mereka tunjukkan atas dasar imamat umum yang mereka terima lewat pembaptisan dan krisma.� Amat banyak perkembangan yang membahagiakan telah terjadi dalam bidang ini.

Akhirnya, sebagai rangkuman atas keempat bidang di atas, kita harus bersyukur kepada Allah �atas gairah luar biasa di kalangan begitu banyak komunitas kristen, suatu gairah yang ditimba dari mata air liturgi.�

3. Alkitab dan Liturgi
�Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus,� kata St. Hieronimus kepada kita. Tidak mengenal Alkitab merupakan kendala besar untuk memahami liturgi dan untuk memperoleh buah-buah yang diharapkan dari partisipasi dalam perayaan liturgi. Bagian terbesar liturgi diambil dari Kitab Suci, bukan hanya bacaan, tetapi juga ilham untuk doa-doa, simbol, dan gambaran-gambaran yang sering muncul dalam ibadat umum Gereja. Tanpa pemahaman biblis mengenai keluaran, perjanjian, bangsa terpilih, Ishak, domba paskah, paskah, manna, tanah terjanji, bagaimana liturgi dapat dipahami? Mazmur khususnya merupakan sumber yang tak tergantikan untuk bahasa, tanda-tanda, dan doa-doa liturgis.

�Gereja hidup dari Sabda Allah yang diwariskan secara tertulis dalam kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kalau Gereja memaklumkan Sabda di dalam liturgi, ia menyambutnya sebagai sarana kehadiran Kristus.� �Kristus sendirilah yang berbicara kalau Kitab Suci dibacakan dalam gereja.�

Setiap orang dalam Gereja (klerus, biarawan-biarawati, dan kaum awam lainnya) harus semakin akrab dengan Alkitab. Dambaan yang makin besar dari banyak kaum awam untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan lebih mendalam di bidang Alkitab hendaknya ditanggapi dengan program-program yang memadai. Langkah pertama dan mutlak adalah penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa umat. Umat juga memerlukan bimbingan pribadi dan kelompok bagaimana membaca dan memahami Alkitab, serta bagaimana memanfaatkan Alkitab untuk berdoa. Ini merupakan langkah esensial dari pendekatan Katolik terhadap Alkitab. Lewat cara ini akan dipahami dengan jelas bahwa Gerejalah yang menghidangkan Alkitab kepada kaum beriman, sambil menjelaskannya dalam terang Tradisi dan pemahaman para rasul Tuhan. Para pakar liturgi dan para gembala umat hendaknya membantu umat memahami bagaimana ayat-ayat Alkitab yang telah dipilih itu sungguh serasi untuk
perayaan-perayaan liturgis yang bersangkutan. Homili pun hendaknya sungguh didasarkan pada Alkitab.

4. Terjemahan, Penyesuaian, dan Inkulturasi
Konsili Vatikan II memasukkan bahasa setempat ke dalam liturgi dan mengizinkan penyesuaian serta inkulturasi yang dipertimbangkan secara matang ke dalam ritus-ritus liturgis. Ini memberikan tantangan yang berat dan menuntut pertimbangan yang cermat.

Sementara tetap mempertahankan bahasa Latin sebagai bahasa resmi ritus Latin, Konsili menghargai manfaat penggunaan bahasa ibu di kalangan berbagai suku di dunia ini.

Sejak Konsili Vatikan II, penggunaan bahasa ibu semakin meluas dan umum, sehingga banyak imam sekarang mengalami kesulitan merayakan misa dalam bahasa Latin. Tetapi, Vatikan II tidak menghapus bahasa Latin. Kiranya baik kalau suatu paroki kadang- kadang melagukan dalam bahasa Latin bagian-bagian Misa yang cukup mengumat. Hal ini dapat dilihat sebagai sarana untuk melestarikan dan menjunjung tinggi warisan kita, menunjukkan Gereja sebagai komunitas yang memiliki suatu kenangan, dan memudahkan perayaan-perayaan Ekaristi antar-bangsa.

Terjemahan-terjemahan teks liturgi ke dalam bahasa ibu menghadapi tantangan berat untuk menghasilkan terjemahan yang setia pada naskah asli Latin, yang merupakan hasil sastra yang unggul, yang dengan mudah dapat dilagukan, yang tahan zaman, dan mampu memupuk kesalehan serta kebutuhan rohani umat. Hendaknya dihindari bahaya dan penyimpangan-penyimpangan yang muncul dari terjemahan sementara, karya tergesa-gesa, dan terjemahan tidak sah yang tidak mendapat aprobasi dari Konferensi Uskup dan pengesahan dari Takhta Suci.

Memasuki bidang penyesuaian dan inkulturasi ritus-ritus liturgi, kita dihadapkan pada tantangan-tantangan yang lebih besar lagi.

Sacrosanctum Concilium menyajikan asas dan arahan-arahan yang sangat jelas. �Dalam liturgi pun,� katanya, �Gereja tidak ingin memaksakan keseragaman kaku dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan seluruh umat. Sebaliknya, ia menghormati dan memajukan kekayaan rohani serta kekhasan berbagai suku dan bangsa. Apa saja dari cara hidup mereka yang tidak terikat mati pada takhyul dan ajaran sesat dikaji dengan penuh simpati dan, kalau mungkin, dilestarikan secara utuh. Kadang-kadang Gereja memasukkannya ke dalam liturgi sendiri, asal serasi dengan semangat liturgi yang benar dan otentik.�

Dalam mengamalkan pedoman-pedoman ini, Gereja akan membutuhkan beberapa generasi, khususnya di negara-negara yang belum lama mengalami penginjilan. Untuk membantu pelaksanaan tugas ini, Takhta Suci mengeluarkan pedoman-pedoman rinci yang menjabarkan maksud Konsili dan menggariskan langkah-Iangkah rinci untuk diikuti. Asal saja kesatuan hakiki ritus Roma dihormati, buku- buku liturgi mengizinkan penyesuaian sah dengan aneka daerah dan bangsa. Konferensi Uskup Nasional atau lembaga yang setaralah yang harus menelaah masalah ini, mengambil keputusan, dan menyampaikannya ke Roma untuk mendapatkan recognitio yang diperlukan.

Kalau inkulturasi yang lebih mendalam dianggap perlu, maka tuntutan-tuntutan pun menjadi lebih banyak: telaah lintas ilmu yang melibatkan teolog, pakar liturgi, sastra, antropologi, dan musik, diskusi serta voting oleh para uskup, dan pengesahan oleh Takhta Roma.

Baik dalam penyesuaian maupun dalam inkulturasi, harus diperhatikan dengan sungguh saksama misteri-misteri Kristus yang dirayakan dalam liturgi. Dalam tulisannya mengenai Ekaristi Kudus, Paus Yohanes Paulus II menulis, �Khazanah ini begitu penting dan berharga, sehingga kita harus waspada terhadap bahaya pemiskinan atau kompromi lewat bentuk-bentuk eksperimen dan praktik-praktik tanpa pengawasan saksama dari pimpinan gerejawi yang berwenang, [...] sebab Liturgi Kudus mengungkapkan dan merayakan iman seluruh umat, dan, karena merupakan warisan dari seluruh Gereja, liturgi tidak dapat ditentukan oleh Gereja-gereja lokal lepas dari Gereja universal.�

Oleh karena itu, masuk akal dan memang sangat penting bahwa harus ada peraturan dan kaidah-kaidah liturgis. Dalam kaitan dengan Ekaristi Kudus, misalnya, Paus Yohanes Paulus II berkata bahwa �kaidah-kaidah ini merupakan ungkapan konkret dari hakikat-eklesial Ekaristi; inilah makna terdalam dari kaidah-kaidah itu. Liturgi tak pernah merupakan urusan pribadi dari siapapun, entah pemimpin entah jemaat.� Karena itu, Sacrosanctum Concilium sudah menyatakan bahwa wewenang untuk mengatur liturgi kudus hanya ada pada pimpinan Gereja yang berwenang, yakni Takhta Apostolik dan, sebagaimana ditentukan oleh hukum, para uskup serta Konferensi Uskup. �Oleh karena.jtu, tidak seorang pun, bahkan juga imam, boleh menambah, menghapus, atau mengubah sesuatu dalam liturgi atas prakarsa sendiri.�

Adalah berbahaya kalau sejumlah orang berpikir bahwa inkulturasi liturgi mendorong kreativitas yang serba bebas dan tak terkendali. Mereka membayangkan bahwa menurut Vatikan II tindakan progresif, modern, dan cemerlang yang harus dilakukan dalam perayaan liturgi adalah menjadi kreatif, original, serba baru, berani bertindak sendiri. Paus Yohanes Paulus II menulis, �Harus diratapi bahwa, khususnya pada tahun-tahun yang menyusul pembaruan liturgi pasca konsili, sebagai akibat dari cita kreativitas dan penyesuaian yang salah arah, telah terjadi sejumlah penyimpangan yang menyebabkan derita bagi banyak orang.�

Inkulturasi sejati tidak ada hubungannya dengan hasil imaginasi kelewat-subur dari imam yang terlalu bersemangat, yang mereka-reka sesuatu pada Sabtu malam lalu mengusik jemaat tak berdosa yang berhimpun pada Minggu pagi, yang dia jadikan kelinci percobaan. Inkulturasi sejati dan lestari menuntut studi yang panjang, diskusi di kalangan pakar lintas ilmu, telaah dan keputusan para uskup, recognitio dari Takhta Apostolik dan penyajian yang bijaksana kepada umat Allah. Lebih dari itu, hendaknya dicatat bahwa dalam hal-hal religius, kepekaan dan kesalehan umat mudah sekali terluka oleh perubahan yang kurang dipertimbangkan dan tergesa-gesa. Dalam praktik keagamaan, kebanyakan umat adalah konservatif dalam arti yang baik - dan hal ini dapat dipahami - dan tidak rela menerima perubahan-perubahan yang sering terjadi.

Bahkan kalau pun kita berprasangka baik kepada para pembaru yang tergesa-gesa, bahwa ia memiliki motivasi tulus untuk membuat umat betah dalam liturgi, tetaplah benar bahwa hasilnya pada umumnya mendatangkan bencana. Perubahan yang tidak disahkan akan mengacau dan mengganggu umat. Perubahan-perubahan itu seringkali menarik perhatian umat bukan kepada Allah, tetapi kepada diri si imam. Perubahan seperti itu umumnya tidak tahan lama, seringkali terkesan dibuat-buat, dan menimbulkan batu sandungan karena bertentangan dengan kaidah dan peraturan-peraturan Gereja. Banyak umat, kalau ditanya apa yang mereka kehendaki, mereka akan minta agar para imam merayakan Misa, atau ritus lain, menurut buku-buku yang telah disahkan. Banyak kaum beriman awam mengeluh bahwa jarang mereka menemukan dua imam merayakan kurban Ekaristi secara sama. Liturgi Romawi bukanlah ajang eksperimen bebas bagi siapa saja, dimana setiap pemimpin merasa punya hak untuk menambahkan hal-hal yang ia gemari. Tindakan yang tetap dan diulang-ulang merupakan bagian dari setiap ritus. Umat tidak akan bosan olehnya, asal saja pemimpin melakukannya dengan penuh iman dan kesalehan, dan memiliki ars celebrandi (seni merayakan) yang jitu.

Paus Yohanes Paulus II meratap bahwa �sejumlah orang, bertolak dari kaidah-kaidah yang dikeluarkan oleh wewenang Takhta Apostolik atau oleh para uskup, telah mengembangkan perubahan yang aneh-aneh, dan dengan demikian memporak-porandakan kesatuan Gereja serta kesalehan kaum beriman, bahkan kadang-kadang menimbulkan pertikaian dalam masalah-masalah iman.� �Tidak boleh dibiarkan,� lanjutnya, �bahwa imam-imam tertentu merasa diri punya hak untuk menggubah Doa Syukur Agung atau mengganti teks-teks dari Kitab Suci dengan bacaan-bacaan profan. Prakarsa seperti ini sungguh menyimpang dari pembaruan liturgi sendiri atau dari buku-buku yang telah diterbitkan sebagai hasil pembaruan, bertentangan 180 derajat dengan pembaruan liturgi, mengaburkan liturgi, dan melucuti umat Kristen dari khazanah asli liturgi Gereja.�

Oleh karena itu, jelas bahwa inkulturasi tidak mendorong perusakan atau penghancuran liturgi kudus. Spontanitas liar dapat menyusup dalam banyak cara.

Pada awal misa ada imam yang merusak suasana liturgi dengan mengalihkan perhatian umat pada cuaca dengan berkata, �Selamat pagi, Saudara-saudara� sebagai ganti �Tuhan sertamu� atau �Rahmat Tuhan...�, yang merupakan salam pembuka liturgis yang tepat. Dapat juga ia ... dengan menuturkan otobiografi yang berkepanjangan dan melontarkan lelucon-lelucon dalam upaya salah arah untuk mengantar umat kepada ibadat! Ia tidak sadar bahwa dengan itu ia menarik perhatian umat kepada dirinya sendiri, bukan kepada Allah dan perayaan liturgi hari yang bersangkutan.

Distraksi lain, bahkan desakralisasi, dapat menyusup lewat tarian yang bertentangan dengan cita rasa liturgi dan tidak membantu umat mengangkat hati kepada Allah; juga lewat komentar-komentar yang berkepanjangan dan tidak perlu, nyanyian berlebihan yang dimonopoli oleh koor, yang tidak memberi kesempatan untuk doa pribadi, serta busana dan perlengkapan yang tidak cocok untuk liturgi.

Kami mengulas inkulturasi agak panjang lebar karena dari pengalaman banyak orang inkulturasi sering disalah-artikan dan ditolak. Tetapi inkulturasi sejati benar-benar dikehendaki oleh Bunda Gereja. Kita ditantang untuk mengembangkannya, dan tidak membiarkan ilalang tumbuh di tengah gandum.

5. Partisipasi Aktif
Para Bapa Konsili Vatikan II menekankan pentingnya partisipasi aktif seluruh kaum beriman dalam perayaan-perayaan liturgi. Dengan tulus, Bunda Gereja mendambakan agar semua umat beriman dibimbing ke arah partisipasi sadar, aktif, dan penuh dalam perayaan-perayaan liturgi; hal ini dituntut oleh hakikat liturgi sendiri. Partisipasi umat Kristen seperti itu, sebagai �bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri,� ( 1 Ptr 2:9; bdk. 2:4) merupakan hak dan kewajiban mereka atas dasar pembaptisan.�

Hal ini hanya mungkin terjadi kalau para imam sendiri memperoleh pendidikan yang tepat dalam liturgi. Demikian pula hendaknya para pelayan liturgi, katekis, dan petugas pastoral lain. Tidak seorang pun dapat memberikan apa yang tidak ia miliki.

Penting disadari bahwa partisipasi batiniah adalah mutlak sebagai landasan, prasyarat, dan tujuan untuk partisipasi lahiriah. Oleh karena itu, doa pribadi, renungan Kitab Suci, dan saat-saat hening sangatlah penting. �Liturgi kudus tidak mencakup seluruh kegiatan Gereja. Sebelum datang ke liturgi, umat harus dipanggil kepada iman dan pertobatan.� Sangat dianjurkan memajukan saat-saat hening untuk renungan dan doa pribadi dalam Perayaan Ekaristi, misalnya sesudah bacaan, sesudah homili, dan sesudah komuni. Koor hendaknya tidak menuruti godaan untuk mengisi setiap saat teduh dengan nyanyian.

Sikap hormat dan devosi sangat kondusif untuk membatinkan partisipasi aktif. Yang paling besar pengaruhnya terhadap umat dalam hal ini adalah imam yang memimpin perayaan. Tetapi putra altar, lektor, koor, dan pelayan komuni tak lazim kalau sungguh diperlukan, juga membawa pengaruh kepada umat lewat setiap gerak-gerik mereka. Sikap hormat adalah ungkapan lahiriah dari iman. Sikap hormat harus menunjukkan sujud kepada Allah yang mahatinggi dan mahakudus. Dan iman akan kehadiran nyata Yesus Kristus dalam Sakramen Ekaristi hendaknya terungkap dalam cara para pelayan melayani Sakramen Mahakudus, dalam cara mereka berlutut, dan dalam cara mereka mendaras doa-doa yang ditentukan.

Musik liturgi bisa mengembangkan ibadat. Musik Gregorian memiliki tempat terhormat dalam sejarah ritus Latin. Perlu dicatat bahwa bahkan kaum muda dewasa ini pun menghargai musik ini. Sebagian besar nyanyian liturgi akan dibawakan dalam bahasa ibu, dan ini bisa dipahami. Komisi Musik Keuskupan atau Komisi Liturgi Nasional hendaknya memeriksa apakah teks-teks semacam itu cocok dari segi teologi dan musik sebelum disahkan untuk digunakan dalam Gereja.

Misale Romawi dengan bijaksana menegaskan pentingnya tata gerak yang seragam untuk jemaat yang beribadat. Misalnya, kadang-kadang jemaat harus berdiri, berlutut atau duduk. Konferensi Uskup dapat dan memang sudah mengadakan penjabaran- penjabaran. Hendaknya diperhatikan jangan sampai mengatur jemaat seolah-olah mereka adalah suatu pasukan. Hendaknya tetap dimungkinkan adanya keleluasaan, lebih-lebih karena hal ini mudah melukai sikap hormat umat terhadap Ekaristi, misalnya dalam kaitan dengan berlutut atau berdiri.

Tata bangun gereja juga mempengaruhi partisipasi aktif umat. Kalau suatu gereja baru dibangun, dan tempat duduk ditata seperti dalam gedung kesenian atau ruang perjamuan, suasana yang ditonjolkan barangkali hanya perhatian horisontal umat yang satu terhadap yang lain, bukan perhatian vertikal umat kepada Allah. Dalam hal ini Perayaan Ekaristi menghadap umat menuntut dari imam dan pelayan altar tingkat disiplin yang tinggi, sehingga mulai dari persiapan persembahan dapat dilihat dengan jelas bahwa baik imam maupun umat sama-sama mengarahkan perhatian kepada Allah, bukan kepada satu sama lain. Kita datang ke Misa pertama-tama untuk menyembah Allah, bukan untuk meneguhkan satu sama lain, meski segi ini pun tidak diabaikan.

Sebagian orang berpikir bahwa pembaruan liturgi berarti membuang tempat berlutut dari bangku-bangku gereja, membongkar hiasan altar atau menempatkan altar di tengah-tengah ruang duduk umat. Tidak pernah Gereja mengatakan hal seperti itu. Juga tidak pernah mengatakan bahwa pemugaran liturgi berarti ikonoklasme atau membuang semua patung dan gambar kudus. Semua ini hendaknya tetap dipajang, tentu saja dengan pertimbangan yang matang. Altar Sakramen Mahakudus hendaknya sungguh indah dan terhormat; kalau tidak, di beberapa gereja yang katanya dipugar, dengan tepat umat mengeluh, �Tuhanku telah diambil orang dan aku tidak tahu di mana la diletakkan� (Yoh 20: 13).

Liturgi hendaknya dirayakan sedemikian rupa sehingga setiap orang dapat berpartisipasi secara tepat. Kalau demikian, maka umat diberi kesempatan nomor satu untuk menimba dari sumber Kristen utama kekuatan untuk pertumbuhan rohani mereka.

6. Peran Liturgis Kaum Awam
Untuk perayaan liturgi kudus yang tepat dan partisipasi penuh buah oleh seluruh umat beriman, penting dipahami peran-peran khas imam atau pelayan tertahbis dan peran-peran khas kaum beriman awam.

Kristus adalah Imam Agung. Ia telah memberikan kepada semua orang yang sudah dibaptis bagian dalam peran-Nya mengantar persembahan kepada Allah. Imamat umum semua orang yang sudah dibaptis memberikan kemampuan kepada umat untuk melaksanakan ibadat Kristen, untuk mempersembahkan Kristus kepada Bapa yang kekal lewat tangan imam tertahbis dalam Perayaan Ekaristi, untuk menerima sakramen-sakramen, untuk menjalani hidup kudus, dan untuk membuat seluruh hidup mereka menjadi kurban bagi Tuhan lewat penyangkalan diri dan amal kasih.

Di lain pihak, imam adalah orang yang dipilih dari tengah orang-orang yang dibaptis dan ditahbiskan oleh uskup. Hanya dia dapat mengkonsekrasi roti menjadi Tubuh Kristus dan anggur menjadi Darah Kristus serta mempersembahkannya kepada Bapa yang kekal atas nama Kristus dan seluruh umat kristen. Jelas, meski berbeda satu sama lain dalam hakikat dan bukan hanya dalam tingkat, imamat umum semua orang yang dibaptis dan imamat jabatan atau imamat hirarkis berhubungan sangat erat.

Tantangan besar yang kita hadapi adalah bagaimana membantu kaum beriman awam menghargai martabat mereka sebagai orang yang sudah dibaptis. Inilah yang menjadi dasar peran mereka dalam kurban Ekaristi dan kegiatan-kegiatan liturgis lainnya. Mereka adalah umat Allah. Mereka adalah anggota Gereja. Pelayanan mereka sebagai lektor, sebagai pemimpin nyanyian, sebagai umat yang mempersembahkan kurban bersama dan lewat imam didasarkan pada baptisan. Puncaknya adalah saat mereka menyambut komuni dari meja Ekaristi. Ini memahkotai partisipasi mereka dalam kurban Ekaristi.

Hendaknya dihindari kecenderungan klerikalisasi kaum awam. Ini bisa terjadi, misalnya kalau umat awam dipilih menjadi pelayan komuni tak lazim tanpa memperhatikan bahwa tugas ini merupakan panggilan untuk membantu karena jumlah pelayan komuni yang lazim
(uskup, imam, dan diakon) tidak mencukupi untuk melayani penyambut yang jumlahnya terlalu besar; kalau pelayan komuni tak lazim melihat perannya sebagai pembagian kuasa untuk menunjukkan bahwa awam pun bisa melakukan apa yang dilakukan oleh imam; kalau ini terjadi, kita sudah menghadapi masalah. Dan lagi, bagaimana kita dapat menjelaskan kesalahan menyedihkan bahwa kaum beriman awam berebut di sekitar altar untuk membuka tabernakel atau merenggut bejana kudus? - Semua ini bertentangan dengan kaidah liturgi yang sehat dan citarasa kesalehan yang tulus.

Kita juga mengalami kesalahan yang sebaliknya, yakni laikalisasi klerus. Kalau imam tidak lagi mau memberkati umat dengan rumus �Semoga Saudara diberkati oleh Allah� tetapi lebih senang memilih rumus yang tampaknya demokratis �Semoga kita diberkati oleh Allah,� kita sudah mengacaukan peran-peran. Hal yang sama terjadi kalau sejumlah imam berpikir bahwa mereka tidak harus berkonselebrasi tetapi berpartisipasi saja sebagai umat awam dengan dalih menunjukkan solidaritas yang lebih besar dengan kaum beriman awam. �Dalam perayaan-perayaan liturgi,� tulis Sacrosanctum Concilium, �entah sebagai pelayan entah sebagai salah seorang dari umat beriman, setiap orang hendaknya melaksanakan seluruh peran yang dituntut dari dia oleh hakikat dan kaidah-kaidah liturgi, tidak lebih dan tidak kurang.�

Suatu tugas yang selalu harus diusahakan adalah pendidikan teologis, liturgis, dan spiritual kepada pelayan komuni tak lazim, katekis, pelayan pastoral lain, dan kaum awam pada umumnya. Sering kali kesalahan terjadi bukan karena maksud buruk, tetapi karena kurang pengetahuan. Dari sinilah pola-pola politis pembagian kekuasaan dan perebutan kekuatan menyusup ke ruang pemimpin. Kita harus berterima kasih dan memberikan dorongan kepada para anggota Komisi Liturgi Keuskupan dan Komisi Liturgi Nasional atas semua yang telah mereka kerjakan untuk membuat segala sesuatu lebih jelas dan karenanya lebih harmonis.

7. Revitalisasi Kehidupan Gereja Melalui Liturgi
Dalam Vicesimus quintus annus, Paus Yohanes Paulus II bersyukur kepada Allah �atas gairah luar biasa di kalangan begitu banyak komunitas Kristen, suatu gairah yang ditimba dari mata air liturgy.� Tidak diragukan bahwa Sacrosanctum Concilium terus memberikan dukungan kepada Gereja di sepanjang lorong kekudusan untuk memajukan kehidupan liturgi yang tulen. Ini menegaskan kembali mengapa selalu penting untuk melihat bahwa pedoman-pedoman tulus dari Konsili harus dipatuhi.

Adalah kenyataan bahwa Paus berkata, �sejumlah orang telah menyambut buku-buku baru dengan sikap acuh tak acuh, tanpa usaha memahami alasan-alasan perubahan yang ada; sejumlah yang lain, sungguh sayang, telah berpaling secara sepihak dan eksklusif ke bentuk-bentuk liturgi terdahulu yang oleh sebagian dari mereka dipandang sebagai satu-satunya jaminan kepastian dalam iman.� Tidak boleh diandaikan bahwa, selama tiga puluh tahun ini, kebanyakan imam, biarawan-biarawati, atau kaum beriman awam mendapat pembinaan yang baik mengenai buku-buku liturgi baru. Bina lanjut tetap diperlukan.

Lebih dari itu, harus kita catat bahwa liturgi Gereja melampaui pembaruan liturgi. Banyak imam muda, biarawan-biarawati dan kaum beriman awam lainnya tidak mengenal buku-buku liturgi dari lima puluh tahun yang lalu, entah karena mereka lahir sesudah Vatikan II, atau karena mereka masih bayi tatkala liturgi seperti itu dirayakan.

Yang paling penting di atas semuanya adalah �pemahaman yang semakin mendalam terhadap liturgi Gereja, yang dirayakan seturut buku-buku liturgi baru dan lebih-lebih yang dihayati sebagai realita dalam tata hidup rohani.� Di bawah bimbingan para uskup, Komisi Liturgi Keuskupan dan Komisi Liturgi Nasional harus didorong untuk melanjutkan karya mereka selaras dengan arah di atas. Di samping itu, universitas-universitas Katolik dan lembaga pendidikan tinggi, seminari, rumah pembinaan biarawan-biarawati, dan pusat-pusat pastoral-kateketik juga memiliki peran penting. Hendaknya ada tujuan yang jelas dalam memajukan pendidikan kaum beriman awam dalam teologi dan spiritualitas liturgi.

Devosi dan penghormatan Sakramen Ekaristi di luar Misa juga mempunyai perannya. Para pendorong perkembangan liturgi tidak boleh memberi kesan bahwa perhatian terhadap Ekaristi Kudus cukup dengan Misa. Selama berabad-abad, umat Katolik ritus Latin mempunyai kebiasaan bagus mengunjungi Sakramen Mahakudus, menerima berkat dengan Sakramen Mahakudus, mengadakan perarakan dan Konggres Ekaristi, Sembah-sujud Sakramen Mahakudus yang dilaksanakan selama satu jam, satu hari penuh, atau selama 40 jam.

Ulah kesalehan umat Kristen pun sangat dianjurkan, asal selaras dengan hukum dan kaidah-kaidah Gereja. Direktorium yang diterbitkan Kongregasi Ibadat dan Tertib Sakramen pada 2002 akan sangat membantu untuk memahami dan mengarahkan devosi-devosi umat sehingga sungguh serasi dengan iman Katolik, mengantar kepada dan mengalir dari ibadat liturgis, dan tak henti membantu umat Allah mengupayakan hidup yang kudus.

8. Menatap Masa Depan
Sebelum menutup permenungan-permenungann ini, kiranya baik mengarahkan perhatian ke masa depan. Diusulkan beberapa butir permenungan.

Peran uskup diosesan tak tergantikan. �Uskup harus dipandang sebagai imam agung kawanannya. Dalam arti tertentu, dari dialah kaum beriman yang ada di bawah reksa pastoralnya menimba dan merawat hidupnya dalam Kristus. Oleh karena itu, seluruh umat hendaknya menjunjung tinggi kehidupan liturgi keuskupan yang berpusat di sekeliling uskup, khususnya di gereja katedralnya.� Kebenaran ini membebankan tanggungjawab berat di pundak uskup dan juga mengundang semua umat untuk menyadari peran uskup, dan untuk menghormati serta mengikuti kepemimpinan liturgisnya.

Adalah lazim bagi para uskup untuk membentuk Komisi Liturgi Keuskupan atau Komisi Liturgi Nasional untuk melaksanakan kerasulan liturgis. Anggota lembaga-lembaga ini harus berusaha menyerap iman dan semangat Katolik yang sejati, dan menghindari pemaksaan kehendak sendiri lewat komisi. Sangat penting dikembangkan hubungan yang tepat antara Komisi Liturgi dengan keuskupan, Konferensi Uskup, atau Kongregasi Ibadat dan Tertib Sakramen. Komisi Liturgi hendaknya berusaha tidak membuat terlalu banyak peraturan untuk umat, dan hendaknya tidak mengabaikan arahan-arahan dari wewenang yang lebih tinggi. Kalau di suatu negara, penyesuaian dan perubahan inkulturatif menjadi terlalu banyak sehingga mengaburkan Ritus Romawi, kesalahan tidak hanya ada pada para uskup, tetapi juga pada Komisi Liturgi mereka dan pakar liturgi lain yang menjadi penasihat para uskup.

Peran pastor paroki tetap amat penting. Ia adalah wakil resmi Gereja yang paling dekat dengan kebanyakan kaum beriman. Pendidikan liturginya, gagasan-gagasan dan cara dia merayakan Misa, sakramen, dan kegiatan liturgi lainnya, sangat berpengaruh kepada umatnya. Apa saja yang dapat membantu imam meningkatkan panggilannya harus didorong.

Tata bangun gereja, yang sudah disebut di awal makalah ini, sedemikian penting, sehingga saya ingin menyinggungnya kembali. Bentuk bangunan gereja sangatlah penting. Seperti dikatakan sejumlah orang, gedung olahraga yang mirip gereja tetaplah gedung olahraga.

Sejumlah pertanyaan dapat membantu. Adakah bangunan gereja mampu membantu umat mengangkat hati kepada Allah, kepada Yang Transenden? Di mana ditempatkan menara, lonceng, dan salib? Ruang-dalam gereja sendiri, apakah ruang pemimpin terpisah dari ruang gereja lainnya? Mengapa hiasan altar yang indah yang sudah satu atau dua abad terpajang di sana disingkirkan tanpa menghiraukan keinginan begitu banyak umat paroki?

Mengapa begitu sulit menemukan tempat yang cocok untuk tabernakel? Di mana harus dipasang patung atau lukisan Bunda kita? Apakah ikonoklasme terulang kembali?

Saya sadar bahwa pemugaran gedung-gedung gereja dapat menjadi masalah yang menegangkan. Para uskup dan anggota Komisi Liturgi memiliki tugas yang rumit untuk menimbang semua segi yang menyangkut masalah ini. Tetapi sebelum palu atau mesin gusur menerpa benda-benda yang berkaitan dengan kepekaan devosional umat selama berpuluh-puluh tahun atau bahkan berabad-abad, mereka yang harus mengambil keputusan wajib mawas diri apakah ada alasan-alasan yang cukup berat untuk mengganggu begitu banyak umat dan minta paroki atau keuskupan membayar pelaksanaannya.

Saudara dan Saudariku yang terlibat dalam pengembangan liturgi kudus lewat keuskupan-keuskupan di negeri yang besar dan luas ini, atas nama Bapa Suci serta Kongregasi Ibadat dan Tertib Sakramen, saya berterima kasih atas kerasulan penting Saudara. Saya ikut bergembira bersama Saudara atas segala rahmat yang telah melimpah atas komunitas Katolik lewat karya-karya Saudara. Semoga Santa Perawan Maria, Bunda Juruselamat kita, memohon bagi Saudara rahmat untuk melanjutkan pelayanan gerejawi Saudara dengan sukacita, damai, dan kasih karunia, dan dengan keyakinan besar bahwa Saudara mengamalkan peran vital dalam misi Gereja.

Kardinal Francis Arinze
8 Oktober, 2003

Alih bahasa: Ernest Mariyanto - Sanggar Bina Liturgi
Sumber : �Sumber dan Puncak Kehidupan, Buku Makalah�; Komisi Liturgi KWI
dikutip dari http://yesaya.indocell.net