Latest News

Showing posts with label Lamentasi. Show all posts
Showing posts with label Lamentasi. Show all posts

Thursday, April 12, 2012

Mengenal Ibadat Tenebrae

Adakah di antara Anda yang pernah mendengar kata Tenebrae? Di sebuah gereja di Surabaya, menurut sumber saya, sudah tiga tahun ibadat ini diadakan, dari 2005-2008. Dari internet, saya juga temukan Teks Tenebrae di Seminari Santo Paulus, yang diadakan pada hari Jumat Suci 2003. Apa sebenarnya Tenebrae ini? Siapa yang perlu melaksanakan ibadat ini dan bagaimana bentuknya yang benar? Tulisan ini saya sajikan untuk memberi gambaran awal tentang ibadat kuno yang cukup populer ini.

Tenebrae adalah kata dalam bahasa Latin yang artinya kegelapan. Dalam tradisi Katolik, Tenebrae adalah nama yang diberikan untuk gabungan dari Ibadat Bacaan (Officium Lectionis) dan Ibadat Pagi (Laudes) yang dilaksanakan pada Trihari Suci Paskah. Disebut gabungan, karena memang penyelenggaraan kedua ibadat ini digabungkan; Ibadat Pagi dilaksanakan segera setelah Ibadat Bacaan selesai.

Buat yang belum pernah dengar tentang Ibadat Bacaan dan Ibadat Pagi, keduanya adalah bagian dari Ibadat Harian, atau gampangnya sholatnya orang Katolik. Memang, orang Katolik pun harusnya sembahyang beberapa kali sehari; bukan cuman 5 waktu tapi malahan 7 waktu. Apa saja ketujuh waktu itu? Ada Ibadat Pagi (Laudes) yang dilaksanakan saat matahari terbit dan Ibadat Sore (Vesper) yang dilaksanakan saat matahari terbenam. Di antara keduanya, ada Tertia, Sexta dan Nona, yang sesuai namanya diselenggarakan pada jam ketiga, keenam dan kesembilan, dihitung dari sejak matahari terbit. Untuk mudahnya, kalau kita anggap matahari terbit pukul 6:00 pagi, maka Tertia diadakan pada pukul 9:00, Sexta 12:00 dan Nona 15:00. Nah, sampai di sini sudah ada lima ibadat. Berikut, ada yang namanya Ibadat Bacaan, yang sekarang bisa dilakukan kapan saja, meski dulunya ibadat ini dilakukan di tengah malam. Yang terakhir adalah Ibadat Penutup (Completorium) yang dilakukan sebelum tidur, pukul berapapun tidurnya.

Mari kita kembali ke Tenebrae. Dari penjelasan di atas, kita tahu bahwa Tenebrae adalah bagian dari Ibadat Harian. Dengan begitu, Tenebrae adalah liturgi, bukan devosi. Sebagai bagian dari Ibadat Harian dalam Trihari Suci Paskah, Tenebrae tentu tidak boleh menggantikan perayaan liturgi yang biasa kita hadiri pada Trihari Suci Paskah: Kamis Putih, Jumat Agung dan Sabtu Suci. Tata perayaan liturgi Trihari Suci Paskah itu sendiri, yang berawal dari tradisi kuno gereja, harus dilaksanakan dengan taat dan religius dan tidak boleh diubah oleh siapapun atas insiatif sendiri, demikian yang tertulis di Sirkuler Kongregasi Ibadat Ilahi tentang Persiapan dan Perayaan Pesta Paskah (Feb 1988). Sirkuler ini juga yang meminta agar Ibadat Bacaan dan Ibadat Pagi pada hari Jumat Agung dan Sabtu Suci (=Tenebrae) dilaksanakan dengan kehadiran umat, bukan cuma oleh para klerus. Untuk kepentingan itu, maka waktunya pun perlu disesuaikan. Tentu susah mengharapkan kehadiran umat manakala Tenebrae ini dimulai pada pukul 3:00 pagi seperti pada jaman dahulu kala di biara-biara. Lalu, kapan waktu yang tepat? Boleh saja dibikin di pagi hari Jumat Agung dan Sabtu Suci. Bagaimana kalau ada devosi jalan salib di pagi hari Jumat Agung? Pakar liturgi C.H. Suryanugraha OSC mengatakan bahwa kebiasaan jalan salib di pagi hari ini sebenarnya kurang tepat. Ia mengingatkan bahwa Paus sendiri melaksanakan jalan salib di malam hari Jumat Agung. Pakar liturgi yang lain, P. Boli Ujan SVD meyakinkan bahwa sesuai Pedoman Ibadat Harian (PIH), Ibadat Bacaan dapat didaraskan pada setiap waktu sepanjang hari (PIH 59). Lebih lanjut mengenai Ibadat Harian dalam Trihari Suci Paskah dapat dibaca di PIH 208-213.

Berikutnya, mari kita bahas tata upacara Tenebrae. Ibadat ini, seperti juga Ibadat Harian lainnya, aslinya adalah nyanyian Gregorian, dalam bahasa Latin. Lagunya sangat indah dan suasana ibadatnya sangat dramatis, dengan nuansa berkabung dan kesedihan yang mendalam. Ibadat ini dulunya dilaksanakan di biara-biara mulai pukul 3:00 pagi, diterangi cahaya 15 lilin di kandelar khusus seperti yang terlihat di foto sebelah, plus 6 lilin di altar. Lilin-lilin ini nantinya satu persatu dipadamkan hingga tercapai kegelapan yang sempurna. Itu sebabnya ibadat ini dinamakan Tenebrae, yang artinya kegelapan. Sekarang ini, Tenebrae memang tidak lagi dimulai pukul 3:00 pagi, namun 15 lilin (atau kadang dimodifikasi menjadi hanya 7 lilin) dengan kandelar khusus itu toh tetap digunakan. Dalam praktiknya, bahkan ada pemikiran bahwa upacara yang dibikin dengan lilin-lilin yang dipadamkan satu persatu lalu boleh disebut Tenebrae. Sebaiknya kita berhati-hati dengan Tenebrae yang digagas saudara-saudara kita Kristen non-Katolik. Umat Katolik sebaiknya berhati-hati menggunakan tata upacara atau partitur Tenebrae yang ada di internet atau yang dibeli dari luar negeri. Kurang pas rasanya kalau kita menggunakan liturgi Protestan di dalam gereja Katolik. Dalam tradisi Katolik, Tenebrae dilaksanakan dalam suasana berkabung yang amat mendalam. Organ tidak pernah dipakai dalam Tenebrae, juga tidak dimainkan sebelum dan sesudah ibadat ini (Ceremonies of the Liturgical Year 409, Elliott, 2002).

Tenebrae menurut tradisi Katolik sebelum Konsili Vatikan II memiliki unsur-unsur berikut. Yang pertama adalah Ibadat Bacaan. Ibadat Bacaannya terdiri dari 3 Nocturna, yang masing-masing terdiri dari 3 Mazmur dan 3 Bacaan plus Tanggapannya. Kalau ditotal, semuanya ada 9 Mazmur. Nah, berikutnya adalah Ibadat Pagi. Ibadat Paginya terdiri dari 5 Mazmur dan Kidung plus satu lagi Kidung Zakaria (Benedictus) sebagai puncaknya. Nah, lilin yang 15 buah tadi nantinya dimatikan satu persatu setiap kali selesai mendaraskan mazmur atau kidung yang jumlahnya 14 (tidak termasuk Kidung Zakaria). Berikutnya, satu persatu lilin di altar yang jumlahnya 6 buah juga dimatikan setiap kali selesai mendaraskan 6 ayat-ayat terakhir Kidung Zakaria. Sampai di sini tinggallah satu lilin di puncak kandelar khusus yang berisi 15 lilin tersebut. Satu lilin itu pun lalu diambil dan disembunyikan di bawah altar sehingga terjadi kegelapan yang sempurna. Pada saat yang sama, semua yang hadir menimbulkan kegaduhan, biasanya dengan memukul-mukulkan Buku Ibadat Harian (Brevir) ke bangku. Ini untuk mensimulasikan gempa yang terjadi saat Yesus wafat. Setelah itu, lilin yang disembunyikan di bawah altar dikeluarkan lagi dan ibadat berakhir dengan khidmat.

Supaya lebih jelas, berikut saya berikan contoh rumusan Tenebrae untuk Jumat Agung. Ini saya ambil dari Missale Romanum 1962 terbitan Baronius. Rumusan ini ada juga di Liber Usualis. Pertama, kita mulai dengan Ibadat Bacaan. Nocturna Pertama: Mazmur 2, 21 dan 26 plus 3 bacaan yang diambil dari Kitab Ratapan (Nabi Yeremia) 2. Nocturna Kedua: Mazmur 37, 39 dan 53 plus 3 bacaan yang diambil dari tulisan Santo Agustinus. Nocturna Ketiga: Mazmur 58, 87 dan 93 plus 3 bacaan yang diambil dari Surat Rasul Paulus kepada Orang Ibrani 4. Setelah selesai Ibadat Bacaan dengan tiga nocturna itu, kemudian dilanjutkan dengan Ibadat Pagi. Mazmur 50, 142, 84, Kidung Habakuk III, Mazmur 147 dan akhirnya Kidung Zakaria. Itu semua kalau didaraskan akan makan waktu setidaknya 2.5 jam.

Nah, di atas adalah format Tenebrae hasil reformasi terakhir sebelum Konsili Vatikan II. Setelah Konsili Vatikan II, formatnya jauh lebih sederhana, tapi tentu tetap adalah format Ibadat Bacaan dan Ibadat Pagi yang digabungkan. Kalau mau detailnya, untuk yang Jumat Agung bisa dibaca sendiri di Buku Ibadat Harian (Brevir), mulai halaman 168. Kalau juga pengin tahu aslinya dalam bahasa Latin, boleh coba klik di link Liturgia Horarum Online ini.

Rumit dan panjang yah? Memang, itu sebabnya ibadat ini biasanya dipandu oleh seorang Magister Caeremoniarum. Oh ya, uskup atau imam yang hadir dalam ibadat ini tidak memakai kasula atau pluviale. Mereka hanya memakai habitus choralis atau gampangnya busana panti imam. Untuk uskup, ini berarti jubah dan selendang sutera ungu dengan rochet putih dan mozetta ungu serta salib pektoral yang digantung dengan tali anyaman hijau emas, plus pileola (solideo) dan biretta ungu. Untuk imam, ini berarti jubah mereka (yang menurut tradisi Katolik berwarna hitam) plus superpli putih. Kalau jubah imam berwarna putih dan tidak terlihat indah dikombinasikan dengan superpli yang juga berwarna putih, boleh saja imam memakai alba putih dan singel. Stola tidak dikenakan baik oleh uskup maupun imam.

Sumber : http://tradisikatolik.blogspot.com/2009/02/apa-itu-tenebrae.html

Sunday, April 1, 2012

Rindu Lamentasi Kamis Putih

Setiap kali Kamis Putih datang, saya selalu merindukan Ibadat Lamentasi. Ibadat ini sangat biasa kami lakukan di Flores selama trihari suci. Biasanya ibadat itu dilakukan pagi hari hari. Pada masa Sekolah Dasar, hal itu sering kami lakukan di Paroki. Kebetulan tempat bapa saya mengajar adalah pusat Paroki. Pastor Parokinya adalah Pastor SVD dari Hungaria yang pandai menyanyi dan betul memberi perhatian pada kesemarakan liturgi lewat cara perayaan dan pembawaannya. Waktu di masa Sekolah Dasar itu, saya ingat dengan baik bahwa teks ibadat Lamentasi itu diambil dari Kitab Ratapan, dari mana nama ibadat itu berasal, Lamentatio (Latin), artinya ratapan.

Saya ingat baik bahwa seluruh teks itu dibawakan dengan dinyanyikan. Saat itu, teksnya tersedia dalam tiga bahasa: Latin, Indonesia, Manggarai. Pernah beberapa kali saya dengar para guru SD menyanyikan versi Latin itu ketika aku masih kecil. Aku terkesima dan terpesona mendengar syair lagu yang bunyinya indah walau asing, karena tidak dalam bahasa ibuku. Tetapi terasa indah. Entah mengapa? Para guru itu membawakannya dengan kelompok paduan suara yang dibentuk untuk itu. Mereka menyanyikan hal itu dengan penuh semangat dan penghayatan. Sebagai anak kecil saya merasakan hal itu ada pada mereka, terpancar dari wajah dan bahkan suara mereka.

Pernah juga ketika masih kecil saya mendengar lagu lamentasi itu dalam bahasa Indonesia. Tetapi yang paling aku ingat ialah teks lagu itu dalam bahasa Manggarai. Beginilah pengantarnya: Wangkan tilir di Yeremias propheta. Artinya: Inilah permulaan ratapan nabi Yeremia. Kemudian dalam perkembangannya kata propheta itu diterjemahkan menjadi nabi nggeluk, yang artinya,nabi kudus, sehingga seluruh teks pembuka itu ada dalam bahasa Manggarai. Sungguh luar biasa dan mengagumkan. Refrein tetapnya (ayat ulangan) setelah pembuka itu ialah berupa seruan kepada Yerusalem agar bertobat. Beginilah kira-kira bunyinya: Yerusalem, Yerusalem, kole one agu Mori Kraeng de hau. (Yerusalem, Yerusalem, kembalilah pada Tuhan Allahmu). Pengantar dan refrain ayat ulangan itu masih saya ingat dengan sangat baik sampai sekarang. Sayang saya lupa syair-syair solois-nya yang sangat indah dalam teks terjemahan Manggarainya. Saya berniat mencari lagi naskah yang sangat berharga ini.

Ketika sudah masuk di Seminari Pius XII Kisol, teks lagu lamentasi sudah agak lain. Fokus refleksi adalah dosa kita yang aktual saat ini: Dosaku, dosaku, betapa kejinya, jiwa, pulanglah, pulanglah, pulang kepada Tuhanmu. Atau versi lain: Jahatlah dosamu manusia, jahatlah dosamu manusia, pulanglah, pulanglah kau pada Tuhanmu. Jadi, fokusnya ialah dosa kita yang nyata saat ini dan di sini. Kita diajak untuk menyadari keji dan jahatnya dosa kita. Beberapa syair solo, diambil dari adengan Injil: Tercekik antara pedihnya luka-luka, pada tubuh dan jiwa. Dahagaku menjadi-jadi, Aku diberi minum empedu dan cuka. NyawaKu tiada disayangi, dengan pedih aku dibuang, dan dihitung, di antara penjahat. Itulah beberapa potong syair yang masih saya ingat.

Ya, aku rindu akan itu semua sekarang ini. Semoga suatu saat saya bersama teman-teman bisa memperkenalkan ibadat yang indah ini ke beberapa tempat di Bandung ini. Itu menjadi keinginan dan harapan saya.

Sumber : http://canticumsolis.blogspot.com/2010/04/rindu-lamentasi-kamis-putih.html

Friday, February 24, 2012

Lamentasi

Dalam tradisi gereja katolik Lamentasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perayaan pekan suci dan masa puasa. Lamentasi dari segi usia hampir setua usai gereja dan menajadi sebuah tradisi iman yang tidak dapat dihilangkan. Lamentasi merupakan tradisi tentang sejarah kejatuhan manusia dalam dosa, penyesalan dan tobat sekaligus tradisi keselamatan.

LAMENTASI adalah sebuah tradisi tua yang tumbuh dan berkembang dalam tradisi Yahudi dan Perjanjian Lama. Lamentasi dalam tradisi Yahudi mempunyai makna sangat mendalam: �satu ungkapan penyesalan atas keruntuhan TEMBOK Yerusalem oleh musuh-musuh Israel yang merupakan simbol pelindung yang kokoh dalam kehidupan mereka. (Bdk Luk. 21:20-24). Peristiwa ini melambangkan runtuhnya kekuasaan Yahwe pada Israel. Yahwe kecewa dengan sikap bangsa Israel yang tidak setia kepada-Nya. Lebih dari itu Israel meratapi kenyataan hidup mereka sekaligs penyesalan atas peristiwa runtuhnya Bait Allah yang menjadi pusat seluruh kehidupan doa dan iman mereka. Mereka kehilangan arah dan fokus kehidupan doa dan iman. Mereka harus menjadi orang-orang buangan dan menjadi anak-anak yatim piatu di daerah pengasingan. Mereka merasa bahwa Allah telah meninggalkan mereka dan tidak peduli dengan penderitaan mereka di tanah pembuangan.

Keagungan dan kebesaran Israel sebagai bangsa pilihan Allah hanya kenangan yang tersisa yang membawa mereka kepada suatu harapan baru bahwa Yahwe membebaskan mereka dan menjadi orang-orang merdeka dan kembali ke tanah kelahiran mereka. Sesungguhnya bangsa Israel sendiri pergi meninggalkan Allah dan menyembah dewa-dewa buatan mereka. Kedua sebagai ungkapan tobat sekaligus momen relektif Israel sebagai suatu bangsa pilihan telah menjadi tidak setia, hidup teidak sesuai dengan hkehdndak Yahwe dan penrgi meninggalkan Yahwe pemimpin utama mereka. Karena ketidaksetiaan ini menyebabkan putussnya hubungan mereka dengan Yahwe. Hidup mereka penuh dengan penderitaan. Hal ini menjadi suatu titik awal mereka untuk sadar dan bertobat serta menyesal terhadap segal ketidak setiaan dan dosa-dosa mereka.

Dalam penjaian baru lamentasi mempunyai hubungan sangat mendalam dengan kisah sengsara Tuhan Yesus Kristus yang dimulai dari Taman Geztmani hingga Golgata. Dalam kisah ini Yesus mengajak Kita untuk setia bersam-Nya dalam doa dan berjaga bersama-Nya dalam pergulatan maut yang dihadapi-Nya saat-saat terakhir hidup-Nya sebelum ditangkap para musuh-Nya dan disalibkan. Dalam situasi ini Yesus sebagai manusia merasa tidak mampu menghadapi kenyataan sangat tragis dalam hidup-Nya dan meminta paara murid-Nya untuk setia berjaga bersama-Nya. Tidak sanggupkah kamu jaga bersama aku satu jam saja ? Namun para murid yang adalah wakil dari kita semua adalah orang-orang yang tidak setia dan pergi meninggalkan Yesus seorang diri satu persatu dan bahkan menyangkal Yesus sebagaimana yan dilakukan Petrus di hadapan seorang wanita di istana Pilatus. (Bdk Luk. 22:54-62).

Marilah kita menjadi manusia yang setia dalam merenungkan dan mengambil bagian dalam kisah sengsara dan penderitaan Yesus dan Penderitaan kita masing-masing dalam kekuatan doa dan mati raga

Sumber : http://panpas09.blogspot.com/2009/03/lamentasi.html