Latest News

Showing posts with label Inkulturasi Liturgi. Show all posts
Showing posts with label Inkulturasi Liturgi. Show all posts

Wednesday, January 26, 2011

Memahami dan Menjalankan Inkulturasi secara Benar

PENGANTAR
Pasca Konsili Vatikan II (1962-1965) �inkulturasi� menjadi salah satu istilah yang populer dalam lingkungan Gereja Katolik. Dan, lebih dari itu, inkulturasi diajukan sebagai suatu tugas bagi Gereja. Di banyak tempat orang berbicara dan mengupayakan inkulturasi. Pada Munas IX UNIO Indonesia yang berlangsung di Makassar dan Tana Toraja, 4-10 Agustus 2008 yang lalu, menjadi pendorong bangkitnya semangat menggumuli upaya inkulturasi secara lebih serius. Sebagaimana mungkin kita masih ingat, Munas tersebut mengambil tema �Menemukan Benih-Benih Sabda di Toraja�. Agar upaya tersebut tidak melenceng, sungguh dibutuhkan pemahaman yang tepat mengenai apa itu �inkulturasi�. Pemahaman yang tepat mengenai inkulturasi akan membantu kita menjalankan upaya tersebut secara benar.

I. APA ITU �INKULTURASI�

Asal-Usul dan Arti Istilah Inkulturasi

Walaupun kata �inculturatio� tidak terdapat dalam bahasa Latin klasik, jelaslah istilah tersebut berasal dari bahasa Latin. Kata Inkulturasi dibentuk dari kata depan in (menunjukkan di mana sesuatu ada/berlangsung: di(dalam), di(atas) atau menunjukkan ke mana sesuatu bergerak: ke, ke arah, ke dalam, ke atas); dan kata kerja colo, colere, colui, cultum (= menanami, mengolah, mengerjakan, mendiami, memelihara, menghormati, menyembah, beribadat). Kata kerja ini berasal kata benda cultura (=pengusahaan, penanaman, tanah pertanian; pendidikan, penggemblengan; pemujaan, penyembahan); tampaknya dari gabungan semua arti tersebutlah kata cultura mendapatkan arti kebudayaan. Maka �inculturatio� secara harafiah berarti �penyisipan ke dalam suatu kebudayaan�.

Dalam antropologi kebudayaan terdapat dua istilah tehnis yang berakar kata sama, yaitu �akulturasi� dan �enkulturasi�. �Akulturasi� sinonim dengan �kontak-budaya�, yaitu pertemuan antara dua budaya berbeda dan perubahan yang ditimbulkannya. Sedangkan �enkulturasi� menunjuk pada proses inisiasi seorang individu ke dalam budayanya.

�Inkulturasi� sebagai proses pengintegrasian pengalaman iman Gereja ke dalam suatu budaya tertentu, tentu saja berbeda dari �akulturasi�. Perbedaan itu pertama-tama terletak di sini, bahwa hubungan antara Gereja dan sebuah budaya tertentu tidak sama dengan kontak antar-budaya. Sebab Gereja �berkaitan dengan misi dan hakekatnya, tidak terikat pada suatu bentuk budaya tertentu� (GS, 42). Kecuali itu, proses inkulturasi itu bukan sekedar suatu jenis �kontak�, melainkan sebuah penyisipan mendalam, yang dengannya Gereja menjadi bagian dari sebuah masyarakat tertentu (bdk. AG, 10). Demikian juga �inkulturasi� berbeda dari �enkulturasi�. Sebab yang dimaksud dengan �inkulturasi� ialah proses yang dengannya Gereja menjadi bagian dari budaya tertentu, dan bukan sekedar inisiasi seorang individu ke dalam budayanya.

Definisi �Inkulturasi�
�Inkulturasi� ialah: pengintegrasian pengalaman Kristiani sebuah Gereja lokal ke dalam kebudayaan setempat sedemikian rupa sehingga pengalaman tersebut tidak hanya mengungkapkan diri di dalam unsur-unsur kebudayaan bersangkutan, melainkan juga menjadi kekuatan yang menjiwai, mengarahkan, dan memperbaharui kebudayaan bersangkutan, dan dengan demikian menciptakan suatu kesatuan dan �communio� baru, tidak hanya di dalam kebudayaan tersebut, melainkan juga sebagai unsur yang memperkaya Gereja sejagat.

II. DASAR KITAB SUCI DAN AJARAN GEREJA

Landasan Biblis Inkulturasi

Kekristenan lahir dalam lingkungan budaya Yahudi. Peristiwa Pentakosta (Kis. 2:1-41) dipandang sebagai hari kelahiran Gereja. Para penganut pertama Kekristenan adalah orang-orang Yahudi. Tetapi selanjutnya Kekristenan mulai berkembang di kalangan bangsa-bangsa lain, khususnya berkat kegiatan dua rasul besar, Paulus dan Barnabas. Segera saja Gereja yang baru lahir itu digoncang oleh sebuah persoalan besar. Persoalannya, apakah orang bukan-Yahudi yang menjadi Kristen harus mengikuti adat-istiadat yang diwariskan oleh Musa (budaya Yahudi) atau tidak? Di sini terjadi pro-kontra yang tajam. Untuk membicarakan persoalan ini diadakanlah Konsili para Rasul di Yerusalem (sekitar tahun 50 AD). Konsili ini memutuskan, bahwa peraturan Yahudi tentang kenajisan, sunat dan larangan makanan tertentu bagi orang Kristen keturunan bukan-Yahudi tidaklah diwajibkan (lih. Kis. 15:1-34).

Keputusan Konsili Yerusalem ini sangat penting bagi kehidupan dan perkembangan Gereja selanjutnya. Keputusan ini menegaskan, bahwa Gereja tidak terikat pada suatu budaya tertentu. Gereja dapat ber-inkarnasi dalam semua budaya yang baik. Karena itu, seseorang dari budaya manapun, ketika menjadi Kristen, tidak perlu meninggalkan budayanya, sejauh unsur budaya tersebut tidak bertentangan dengan iman Kristiani.

Dapat dipahami bahwa permenungan teologis sekitar hal ini belum sangat berkembang dalam Perjanjian Baru. Tetapi Kis. 17:16-34 memberikan landasan teologis yang cukup jelas. Ketika berada di Atena, �Paulus pergi berdiri di atas Areopagus dan berkata: �Hai orang-orang Atena, aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa. Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepadamu� (Kis. 17:22-23). Paulus menemukan tanda kehadiran Allah secara tersembunyi dalam budaya-religius Yunani.

Ajaran Gereja
Penemuan Paulus di atas menjadi salah satu pusat permenungan teologis pada masa selanjutnya, di jaman para Bapa Gereja (abad ke-2 s/d ke-8). Yustinus (meninggal sebagai martir antara 163-167 AD) dan Clemens dari Alexandria (meninggal 215 atau 216 AD), misalnya, menemukan hadirnya �benih-benih Sabda� dalam filsafat Yunani. Dan ini semua, menurut Eusebius dari Kaisarea, benar-benar dapat melandaskan suatu �persiapan untuk Injil� (praeparatio evangelica).

Posisi para Bapa Gereja ini diambil alih dan dikembangkan secara matang dengan mengetrapkannya pada semua budaya dan agama bukan-Kristiani oleh Konsili Vatikan II (lih. LG,16 dan khususnya Deklarasi �Nostra Aetate� tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan-Kristiani, disingkat NA). Penegasan Konsili Vatikan II sangat jelas, bahwa �rencana keselamatan (Allah) juga merangkum mereka, yang mengakui Sang Pencipta; di antara mereka terdapat terutama kaum Muslimin�Pun dari umat lain, yang mencari Allah yang tak mereka kenal dalam bayangan dan gambaran, tidak jauhlah Allah, karena Ia memberi semua kehidupan dan nafas dan segalanya (lih. Kis. 17:25-28), dan sebagai Penyelamat menghendaki keselamatan semua orang (lih. 1 Tim. 2:4)� Penyelenggaraan ilahi tidak menolak memberi bantuan yang diperlukan untuk keselamatan kepada mereka, yang tanpa bersalah belum sampai kepada pengetahuan yang jelas tentang Allah, namun berkat rahmat ilahi berusaha menempuh hidup yang benar. Sebab apa pun yang baik dan benar, yang terdapat pada mereka, oleh Gereja dipandang sebagai �persiapan Injil� (LG, 16).

Atas dasar itu, Konsili Vatikan II mengetengahkan tema inkulturasi sebagai suatu tugas bagi Gereja, khususnya Gereja-Gereja muda. �Gereja-Gereja itu meminjam dari adat-istiadat dan tradisi-tradisi para bangsanya, dari kebijaksanaan dan ajaran mereka, dari kesenian dan ilmu pengetahuan mereka, segala sesuatu, yang dapat merupakan sumbangan untuk mengakui kemuliaan Sang Pencipta, untuk memperjelas rahmat Sang Penebus, dan untuk mengatur hidup kristiani dengan saksama� (AG, 22). Dengan demikian, �apa pun yang baik, yang terdapat tertaburkan dalam hati dan budi orang-orang, atau dalam adat-kebiasaan serta kebudayaan-kebudayaan yang khas para bangsa, bukan hanya tidak hilang, melainkan disembuhkan, diangkat dan disempurnakan demi kemuliaan Allah, untuk mempermalukan setan dan demi kebahagiaan manusia� (AG, 9; lih. juga LG, 17; Agustinus, De Civitate Dei, 19,17: PL 41,646).

Dalam Ajakan Apostolik Evangelii Nuntiandi (8 Des. 1975), Paus Paulus VI kembali secara tegas menekankan lagi mandat inkulturasi ini dalam tugas pewartaan. Namun, di lain pihak, dengan tidak kurang tegas mengingatkan agar tetap dijaga kesetiaan kepada Injil. �Evangelisasi menghadapi risiko kehilangan kekuatannya dan sekaligus lenyap apabila seseorang mengosongkan atau memalsukan isinya dengan dalih menerjemahkannya� (EN, 63). Konsili Vatikan II sesungguhnya telah memberi peringatan yang sama dalam kata-kata yang berbeda, yaitu agar dicegah �semua bentuk sinkretisme (pencampuradukkan) dan partikularisme yang keliru� (AG, 22).

III. TAHAP-TAHAP INKULTURASI

Kembali pada definisi �inkulturasi� yang sudah diberikan di atas, kita melihat bahwa keseluruhan proses inkulturasi itu merupakan suatu pengintegrasian, yang terjadi pada dua sisi, yaitu: (1) pengintegrasian iman dan hidup Kristiani ke dalam budaya yang bersangkutan, dan (2) pengintegrasian sebuah ungkapan baru pengalaman Kristiani ke dalam kehidupan Gereja semesta. Dalam proses menuju integrasi bersisi-dua tersebut dapatlah dibedakan tiga tahap utama, sebagai berikut:

1. Tahap Terjemahan
Ini tahap awal, di mana Gereja, melalui para misionaris asing, berkontak dengan sebuah kebudayaan baru, sambil memperkenalkan pesan dan hidup Kristiani dalam wujud budaya lain. Walau diupayakan penyesuaian-penyesuaian kecil, terjemahan dipersiapkan, Gereja toh mempunyai pandangan asing, dan menjadi seorang Kristiani seringkali berarti meninggalkan budayanya sendiri. Pada tahap pertama ini berlangsung proses akulturasi (perjumpaan dua budaya berbeda). Para misionaris dan umat Kristiani setempat mengassimilasikan unsur-unsur budaya satu sama lain. Sejumlah cerita kecil aneh rada lucu, karena salah paham akibat perbedaan budaya, muncul dari tahap awal ini. Misalnya, seorang anak pembantu pastoran suatu malam bukan kepalang terperanjat ketika dihaw�ik marah oleh Pastor, saat beliau tiba kembali di pastoran dari mengunjungi orang sakit. Dengan ramah anak pastoran itu menyambutnya dengan kata-kata, �Dari mana, Pastor?� Pastor merasa tersinggung, karena sebagai orang Barat beliau menganggap anak itu mau mencampuri urusannya. Padahal di daerah itu, sapaan tersebut sama dengan ucapan �Selamat malam, Pastor�. Cerita lain, sementara mengajar di kelas sebuah SD, seorang Pastor misionaris meneriaki seorang anak sebagai tolol. Beliau meminta anak itu menunjukkan mana sisi kanan mana sisi kiri dari sebuah lukisan yang tergantung di dinding. Anak itu menunjukkan sisi kanan dan sisi kiri persis terbalik dari yang dipikirkan Pastor. Memang, orang Barat menentukan sisi kanan dan kiri berdasarkan subyek yang memandang, sedang orang Timur berdasarkan obyek yang dipandang. Tidakkah di sini terungkap perbedaan pandangan yang lebih mendalam menyangkut hubungan manusia dan kosmos? Sementara orang Barat cenderung menganut paham antroposentrisme (manusia merupakan pusat dari alam), pandangan asli Timur tidak melihat manusia sebagai pusat melainkan bagian dari alam. Dan ini tentu mempunyai dampak luas dalam kehidupan sosio-religius masyarakat Timur, yang berbeda dari masyarakat Barat.

2. Tahap Asimilasi
Ketika semakin banyak penduduk setempat menjadi anggota Gereja, dan khususnya ketika para klerus atau imam pribumi makin berkembang, Gereja dengan sendirinya semakin berasimilasi pada budaya masyarakat sekeliling. Pada tahap ini proses inkulturasi yang sesungguhnya mulai, di mana para pelaku utama adalah mereka yang berasal dari budaya setempat. Gereja semakin mengasimilasikan diri pada kebudayaan setempat. Banyak unsur dari kebudayaan setempat (ritus, upacara atau pesta, kesenian, simbol-simbol, dll) diambil alih ke dalam kehidupan Gereja. Inilah tahap yang kritis. Di sini dibutuhkan kecermatan memadai demi mencegah �setiap bentuk sinkretisme dan partikularisme yang keliru�, sebagaimana sudah dikemukakan di atas. Karena itu dibutuhkan pedoman umum praksis berikut:

a. Metode Tiga Langkah
Dalam mengambil alih manifestasi-manifestasi budaya dan keagamaan setempat (ritus, upacara atau pesta, simbol-simbol, dll) ke dalam penggunaan gerejawi, perlulah: (1) pertama-tama diusahakan memurnikan manifestasi-manifestasi tersebut dari unsur-unsur takhyul dan magis; lalu (2) menerima yang baik atau yang sudah dimurnikan; dan dengan demikian (3) memberi makna baru kepadanya, dengan mengangkatnya ke dalam kepenuhan Kristiani.

Sebuah contoh klasik demi lebih menjelaskan metode tiga langkah ini, ialah perayaan Natal, hari kelahiran Yesus Kristus pada 25 Desember. Secara historis tanggal kelahiran Yesus Kristus tidak diketahui. Kitab Suci sendiri tidak mencatat hal itu. Diketahui bahwa pada tanggal 25 Desember itu aslinya dalam kekaisaran Romawi dirayakan sebagai hari besar Mahadewa Terang, yaitu Matahari. Ketika agama Kristen mulai berkembang di wilayah kekaisaran Romawi, orang Kristen tidak mau menerima Matahari sebagai Mahadewa Terang. Mereka tahu matahari itu ciptaan Tuhan. Bagi orang Kristen Maha Terang yang sesungguhnya adalah Yesus Kristus. Maka melalui metode 3 langkah di atas hari besar 25 Desember diambil alih ke dalam penggunaan Gereja: merayakan peristiwa inkarnasi Sang Sabda, Terang Dunia, kini disebut Natal. Pada langkah pertama, hari besar 25 Desember dibersihkan dari unsur takhyul (matahari ditolak sebagai Dewa Terang); lalu 25 Desember diterima (langkah kedua); dan diberi makna baru: peristiwa inkarnasi Terang dunia (langkah ketiga).

b. Dibutuhkan Telaah Sosiologis-Antropologis dan Teologis
Jelaslah metode 3 langkah di atas harus didukung oleh refleksi teologis yang andal. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa untuk mewujudkan inkulturasi secara benar perlulah, �bahwa di setiap kawasan sosio-budaya yang luas, seperti dikatakan, didoronglah refleksi teologis, untuk � dalam terang Tradisi Gereja semesta � meneliti secara baru peristiwa-peristiwa maupun amanat sabda yang telah diwahyukan oleh Allah, dicantumkan dalam Kitab Suci, dan diuraikan oleh para Bapa serta Wewenang Mengajar Gereja. Demikianlah akan dimengerti lebih jelas, bagaimana iman �dengan mengindahkan filsafah serta kebijaksanaan para bangsa � dapat mencari pengertian, dan bagaimana adat-kebiasaan, cita-rasa kehidupan dan tertib sosial dapat diserasikan dengan tata-susila yang kita terima berkat perwahyuan ilahi. Begitulah akan terbuka jalan menuju penyesuaian lebih mendalam di seluruh lingkup hidup kristiani. Dengan cara bertindak demikian segala kesan sinkretisme (pencampuradukkan) dan partikularisme yang keliru akan dielakkan, hidup kristiani akan makin sesuai dengan watak perangai serta sifat-sifat setiap kebudayaan, dan tradisi-tradisi khusus beserta bakat-bawaan setiap keluarga bangsa-bangsa, berkat cahaya Injil, akan ditampung dalam kesatuan Katolik. Akhirnya Gereja-Gereja khusus baru, disemarakkan dengan tradisi-tradisi mereka, akan mendapat tempat mereka dalam persekutuan gerejawi, sementara tetap utuhlah tempat utama Takhta Petrus, yang mengetuai segenap paguyuban cinta kasih� (AG, 22).

Sebagaimana nyata dari kutipan di atas, refleksi teologis membutuhkan data antropologis dan sosiologis setempat. Data itu terutama menyangkut apa makna asli dari manifestasi-manifestasi budaya dan keagamaan yang ingin diambil alih ke dalam kehidupan Gereja. Oleh karena itulah dibutuhkan penelaahan antropologis dan sosiologis setempat, dalam kerjasama khususnya dengan tokoh-tokoh dan para ahli adat setempat. Perlu jelas pula seberapa jauh nilai-nilai asli itu masih menjiwai hidup masyarakat setempat sekarang ini, bagaimana melestarikannya dan membuatnya tetap relevan di tengah arus perubahan dan perkembangan teknologis yang semakin cepat.

Dalam refleksi teologis, manifestasi-manifestasi budaya dan keagamaan, khususnya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, harus ditafsirkan dalam terang Kitab Suci dan tradisi Gereja.

Tahap Transformasi
Apabila proses asimilasi itu berjalan baik, maka lama-kelamaan iman Kristiani akan tertanam dan mulai berfungsi normatif dalam memberi orientasi baru pada kebudayaan bersangkutan. Inilah tahap ke-3 dalam proses inkulturasi, tahap transformasi. Pada tahap ini kita akan menemukan terbentuknya sebuah komunitas Kristiani baru; sebuah �communio� yang memiliki kekhasan dinamis, terus-menerus berkembang, tidak hanya pada bidang pengungkapan eksternal (seperti bentuk-bentuk liturgi dan ibadat), melainkan juga pada bidang refeleksi iman (teologi) serta pada bidang sikap dasar dan praksis iman (spiritualitas). Ekspresi khas pengalaman Kristiani ini pada gilirannya memperkaya, baik eksistensi budaya yang bersangkutan sendiri, maupun Gereja Katolik semesta.

PENUTUP

Sebagian besar yang dikemukakan dalam tulisan ini bukanlah hal baru. Kebanyakan telah diberikan dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya, termasuk di KOINONIA. Hanya di sini dicoba disajikan secara lebih runtut, langkah demi langkah, dengan harapan lebih mudah diikuti dan dipahami. Perlu disadari bahwa tugas inkulturasi bukanlah pekerjaan yang sederhana dan mudah. Kita dituntut untuk terus-menerus memperdalam dan memperluas pemahaman kita, antara lain dengan banyak membaca.

Semoga lewat upaya inkulturasi, Sang Sabda yang telah menjelma lebih 2000 tahun lalu ke dalam budaya Yahudi, semakin berinkarnasi pula ke dalam budaya kita, �demi kemuliaan Allah, untuk mempermalukan setan dan demi kebahagiaan manusia� (LG, 17; Agustinus, De Civitate Dei, 19,17, PL 41, 646; AG, 9).

Wednesday, September 8, 2010

Penyesuaian dan inkulturasi liturgi

Pelbagai Istilah

Ada banyak istilah yang dipakai untuk penyesuaian liturgi antara lain akomodasi, adaptasi, akulturasi, inkulturasi, interkulturasi, kontekstualisasi, pemribumian atau indigenisasi (Indonesianisasi).
[1] Dalam hubungan dengan ini kita mendengar juga istilah liturgi kreatif,
[2] liturgi inovatif, liturgi kontemporer kalau liturgi itu hendak disesuaikan dengan daya kreasi dan inovasi kelompok tertentu terutama orang-orang muda yang hidup pada zaman ini. Kebanyakan istilah ini sebenarnya dipakai oleh para peneliti di bidang antropologi, sosiologi dengan arti khusus. Namun kemudian istilah-istilah ini dipakai juga dalam bidang teologi, missiologi serta liturgi.
[3] Dalam bidang liturgi, pelbagai istilah ini dipakai untuk mengungkapkan kenyataan yang kurang lebih sama tetapi dengan aspek penekanan yang khas baik menyangkut isi atau bentuk serta titik tolak dan tujuan dari proses penyesuaian liturgi itu sendiri.

Akomodasi

Yang dimaksudkan dengan akomodasi dalam bidang liturgi ialah penyesuaian dalam tahap yang sederhana dan belum berkaitan langsung dengan budaya peraya setempat.
[4] Berdasarkan akomodasi itu dapat dipilih kemungkinan yang telah disiapkan dalam buku-buku liturgi (seperti doa-doa atau bacaan-bacaan) agar sesuai dengan kelompok umat dan tingkat perayaan liturgis. Bila disiapkan berbagai kemungkinan rumusan doa dan bacaan untuk kelompok umat yang berbeda-beda, maka boleh dipilih yang sesuai dengan kelompok orang yang merayakan dan orang yang didoakan. Misalnya memilih salam liturgis untuk kelompok umat yang sedang bersukacita atau yang berduka. Atau memilih bacaan yang cocok untuk orang kudus yang dirayakan, memilih rumus doa untuk anak, orang muda atau untuk orang tua. Juga memilih rumus prefasi dan nyanyian yang cocok dengan tema perayaan, memilih rumus berkat yang sesuai dengan masa tahun liturgi. Pemilihan teks yang telah disiapkan dalam buku-buku liturgi dapat dilakukan oleh imam sebagai pemimpin[5] atau petugas lain yang diberi tanggungjawab dan kepercayaan untuk itu dalam kerja sama dengan pemimpin perayaan.

Sering tahap penyesuaian akomodasi ini dipandang kurang berarti bahkan dicap �hanya lahiriah� atau �hanya di permukaan saja�. Padahal sebagai salah satu tahap dari keseluruhan proses penyesuaian, akomodasi liturgi sebenarnya mempunyai arti penting. Tanpa tahap itu akan terjadi lompatan yang tinggi, seperti halnya menaiki sebuah tangga yang tinggi tanpa melewati anak tangga yang kecil. Bisa dibayangkan kesulitan yang dihadapi ketika tidak ada anak tangga yang kecil yang menghantar menuju tangga yang lebih tinggi itu. Kesediaan menerima dan memanfaatkan serta mengapresiasi tahap akomodasi juga mempunyai arti seperti halnya menghargai dan memanfaatkan baju yang dipakai, meskipun nampak hanya di luar tetapi berfungsi melindungi dan memberi arti pada bagian yang lebih dalam yaitu hati, jantung dan paru-paru dalam tubuh manusia sekaligus secara simbolis mengungkapkan apa yang ada di dalam hati dan budi manusia yang menggunakannya. Kalau terus menerus seseorang tidak memakai baju dan berusaha menyesuaikannya dengan kebutuhan menurut situasi atau cuaca di sekitarnya maka bagian dalam dari tubuh akan terancam juga. Memang masalahnya akan muncul bila penyesuaian itu berhenti pada tahap akomodasi saja dan tidak dilanjutkan atau diarahkan ke tahap yang lebih mendalam. Bila demikian akomodasi tidak berfungsi sebagai tahap penting menuju tangga penyesuaian yang lebih tinggi dan mendalam.

Adaptasi-akulturasi

Penyesuaian yang lebih mendalam terjadi bila penyesuaian itu berkaitan dengan budaya orang setempat yang mengambil bagian dalam perayaan. Dalam tahap ini penyesuaian dapat digolongkan dalam adaptasi-akulturasi dan inkulturasi. Adaptasi-akulturasi terjadi kalau ritus romawi dengan unsur-unsur budaya romawi disesuaikan dengan unsur-unsur budaya orang-orang setempat.[6] Titik tolak proses penyesuaian ini (terminus a quo) adalah ritus romawi dan yang mau dicapai atau dihasilkan dalam proses ini adalah ritus romawi dengan unsur budaya setempat (terminus ad quem). Tata perayaan ritus romawi tidak mengalami perubahan besar namun unsur-unsur yang didukung oleh budaya romawi dapat mengalami perubahan karena disesuaikan dengan budaya setempat. Misalnya tata perayaan Ekaristi romawi tidak berubah tetapi bahasanya, gaya pengungkapan atau simbol-simbolnya dapat berubah karena disesuaikan dengan budaya orang setempat seperti budaya Jawa.

Dalam proses adaptasi-akulturasi[7] ini kekhasan bentuk budaya romawi yang terdapat dalam unsur-unsur perayaan liturgi dapat dilucuti dan diganti, dapat pula dipertahankan dan di diperjelas.

Kemungkinan pertama: unsur dengan ciri khas budaya romawi dilucuti dan diganti. Bentuk ekspresi dari unsur-unsur tata perayaan romawi itu dihilangkan karena kurang menyentuh atau bahkan bertentangan dengan bentuk ekspresi budaya setempat. Dengan kata lain kekhasan ekspresi budaya romawi dalam unsur-unsur itu dihilangkan (tanpa menghilangkan maknanya) lalu diganti dengan kekhasan ekspresi budaya setempat sehingga arti dari unsur itu tidak hilang tetapi dapat dengan lebih mudah dipahami dan dihayati oleh orang-orang setempat. Misalnya perecikan air suci yang dicampur dengan garam diganti dengan perecikan air kelapa muda yang dicampur dengan daun tumbuhan hijau dan sejuk atau perecikan dengan air yang ditaburi bunga menurut adat kebiasaan setempat. Dalam hal ini makna dari perecikan tidak dihilangkan tetapi bentuk ekspresi budaya romawi diganti dengan kekhasan ekspresi budaya setempat.

Kemungkinan lain: unsur dengan ciri khas budaya romawi dipertahankan dan diperjelas. Unsur budaya romawi itu dipertahankan tetapi maknanya diperjelas dengan tambahan unsur budaya khas setempat. Misalnya rumusan doksologi Doa Syukur Agung yang diakhiri Amin tidak dihilangkan tetapi diperjelas dengan tambahan unsur budaya yang khas sebagai tanda setuju dari suku tertentu seperti seruan hooo hooo heee heee.

Adaptasi-akulturasi dapat menimbulkan dinamika hubungan antara dua budaya serentak membuat unsur-unsur budaya yang berbeda-beda itu saling tumpang-tindih tanpa ada asimilasi satu sama lain.[8] Chupungco menggambarkan proses akulturasi ini sebagai perpaduan unsur budaya A+B = AB. Keduanya disatukan tetapi masing-masing mempertahankan identitasnya. Tidak terjadi perubahan berarti pada masing-masing unsur budaya. Menghilangkan atau mempertahankan salah satu unsur budaya yang berbeda itu (entah unsur budaya romawi atau budaya setempat) tidak akan menimbulkan kerugian besar.[9] Inilah tantangan yang harus dihadapi dalam proses penyesuaian pada tahap ini. Ada pertemuan dari unsur-unsur dua budaya (romawi dan non romawi) tetapi masing-masing mempertahankan kekhasannya dan tidak melebur untuk membentuk satu budaya baru. Akan tetapi akulturasi merupakan syarat yang penting menuju inkulturasi liturgi.[10]

Inkulturasi

Inkulturasi sebagai istilah baru pada mulanya dipakai pada tahun1973 oleh G.L.Barney dalam bidang missiologi dan bukan pertama-tama dalam bidang liturgi. Barney mengatakan bahwa di tanah misi nilai-nilai Injil yang adi budya (mengatasi kultur) dan mau diwartakan kepada orang-orang setempat, haruslah diinkulturasikan dalam budaya orang setempat itu sehingga dapat terbentuk satu budaya baru yang bersifat kristen.[11] Secara khusus istilah inkulturasi ini dipakai dalam bidang katekese ketika pada tahun 1975 para anggota sidang umum Serikat Yesus berdiskusi mengenai metode pewartaan.[12] P. Arrupe, pemimpin umum Serikat Yesus, menggunakan istilah itu dalam bidang katekese ketika beliau berbicara tentang katekese dan inkulturasi di depan para uskup yang membuat sinode tentang katekese pada tahun 1977 di kota Roma. Maka sinode itu memakai istilah inkulturasi dalam dokumen resminya yang berjudul �Pesan kepada umat Allah�. Ditegaskan bahwa warta kristiani harus berakar dalam kebudayaan setempat. Para pewarta tidak hanya memberi kepada melainkan juga menerima dari kebudayaan setempat yang mendengarkan Injil. Inkulturasi terjadi kalau hidup orang beriman digerakkan oleh Roh Kudus untuk menjadi pelayan Injil dengan mewartakan serta menyaksikan Kristus sebagai penyelamat semua orang bersama kebudayaan mereka. Inkulturasi memampukan orang beriman untuk berdialog dengan kebudayaan setempat, tidak hanya berbicara kepada tetapi juga berbicara dengan orang-orang setempat mengenai hidup dan kebudayaannya.[13]

Almarhum Paus Yohanes Paulus II menggunakan istilah inkulturasi secara resmi dalam dokumen-dokumen Gereja, mulanya dalam konteks inkarnasi dan katekse. Ia mengakui istilah inkulturasi dan enkulturasi sebagai istilah baru, namun dapat mengungkapkan dengan tepat keagungan misteri inkarnasi.[14] Dalam surat apostolik Catechesi tradendae Paus Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa katekese mempunyai dimensi inkarnasi. Katekis yang baik mengetahui kalau katekese mendapat bentuk nyata (menjadi daging) dalam berbagai budaya dan situasi. Seperti lewat inkarnasi Sabda Allah menjadi manusia (menjadi daging) demikian pula lewat inkulturasi katekese sebagai satu bentuk pewartaan Injil, mendapat ekspresi budaya.[15] Katekese mesti membudaya karena menggunakan metode, sarana dan nilai-nilai dari adat kebiasaan atau cara hidup setempat untuk menjelaskan, memahami dan menghayati misteri keselamatan yang diwujudkan oleh Yesus Kristus. Jadi menurut Paus Yohanes Paulus II, inkulturasi adalah inkarnasi Injil dalam pelbagai kebudayaan yang otonom dan sekaligus memasukkan kebudayaan-kebudayaan tersebut ke dalam kehidupan Gereja. Dengan kata lain Beliau mendefinisikan inkulturasi sebagai transformasi mendalam dari nilai-nilai budaya yang asli yang diintegrasikan ke dalam kristianitas dan penanaman kristianitas ke dalam aneka budaya manusia yang berbeda-beda. Maka ada gerak ganda dalam inkulturasi yaitu �lewat inkulturasi Gereja membuat Injil menjelma dalam aneka kebudayaan, dan sekaligus memasukkan para bangsa, bersama dengan kebudayaan mereka, ke dalam persekutuan Gereja sendiri.�[16] Nampak jelas bahwa Paus Yohanes Paulus II menggarisbawahi transformasi mendalam dari nilai-nilai budaya asli dan integrasinya ke dalam kristianitas yang memungkinkan penjelmaan Injil dalam budaya setempat sehingga kekristenan sungguh berakar di dalam budaya asli para penganut iman kristiani.

Para uskup juga menggunakan istilah ini ketika mereka mengadakan sinode di Roma pada tahun 1985.[17] Dalam deklarasi akhir dari Sinode (no. D.4) mereka menyatakan bahwa inkulturasi bukanlah sekedar penyesuaian lahiriah melainkan suatu transformasi internal dari nilai-nilai budaya yang khas. Hal ini terjadi melalui proses penyatuan ke dalam kekristenan dan berakarnya kekristenan dalam pelbagai budaya manusia. Betapa pentingnya proses asimilasi satu sama lain dan transformasi internal dari satu budaya serta berakarnya iman kristiani dalam budaya setempat.

Lebih kemudian Shorter mendefinisikan inkulturasi sebagai hubungan yang kreatif dan dinamis antara iman kristen dengan satu atau lebih budaya. Selain itu ia menegaskan tiga hal berkaitan dengan inkulturasi. Pertama, inkulturasi adalah suatu proses yang berlangsung terus menerus dan selalu relevan untuk setiap bangsa atau wilayah di mana iman kristiani mulai bertumbuh. Kedua, iman kristiani hanya akan ada bila telah memperoleh bentuk ekspresi budaya. Ketiga, antara iman kristiani dan kebudayaan haruslah ada interaksi dan asimilasi satu sama lain.[18] Jadi Shorter menekankan hubungan yang kreatif dan dinamis dalam proses inkulturasi antara iman kristiani dan kebudayaan.

Patut dicatat pendapat seorang teolog dari Vietnam, Peter C. Phan, mengenai inkulturasi. Menurut Phan ada lima keyakinan tentang inkulturasi.Pertama, inkulturasi merupakan suatu persoalan paling mendesak dan kontroversial dalam beberapa dasawarsa mendatang. Kedua, paham dan praktik inkulturasi tengah ditantang karena perbedaan paham tentang inkulturasi dan karena kebudayaan sedang alami pembaruan dalam teologi, misiologi dan antropologi. Ketiga, inkulturasi sangat diuntungkan oleh penghargaan terhadap religiositas kerakyatan. Keempat, pemahaman historis tentang misi menyajikan pelajaran berharga mengenai proses inkulturasi dan peran agama populer. Kelima, keberhasilan atau kegagalan inkulturasi amat menentukan masa depan Gereja.[19] Sebenarnya tidak berlebihan ungkapan Phan yang terakhir itu, karena proses inkulturasi yang tidak jauh berbeda dari proses inkarnasi, merupakan cara Allah hadir dan mewujudkan karya-karyaNya yang menyelamatkan manusia. Maka Gereja yang meneruskan karya agung Allah ini perlu mencontohi Yesus sendiri yang rela berinkarnasi dan berinkulturasi.[20] Inkulturasi sebagai satu pokok penting yang menentukan keberadaan Gereja, patut ditelaah dalam hubungan dengan liturgi yang merupakan puncak dan sumber kegiatan Gereja.

Inkulturasi liturgi

Pemakaian istilah inkulturasi dalam bidang liturgi mulai disebarkan oleh C. Valenziano ketika ia menulis satu artikel pada tahun 1979 untuk menguraikan hubungan antara liturgi dan religiositas populer. Ia mengatakan bahwa inkulturasi merupakan satu cara yang dapat memungkinkan interaksi timbal balik antara liturgi dan pelbagai bentuk religiositas populer.[21]

Menurut Anscar J. Chupungco,[22] berbeda dengan adaptasi-akulturasi yang digambarkan sebagai proses perpaduan dua budaya: A+B=AB (masing-masing budaya mempertahankan identitasnya) maka inkulturasi sebaliknya merupakan perpaduan dua budaya berbeda sedemikian rupa sehingga menghasilkan satu budaya baru yang kristiani (A+B=C). Dalam proses inkulturasi ini terjalinlah kontak antara budaya A dan B sehingga keduanya saling memperkaya. Maka budaya A tidak tetap seperti A semula tetapi mengalami perubahan menjadi budaya C. Demikian pula budaya B berubah menjadi C. Selain itu budaya A tidak menjadi B, demikian juga budaya B tidak menjadi A. Khususnya dalam konteks liturgi, ditinjau dari ttik tolak proses penyesuaian, Chupungco mendefinisikan inkulturasi sebagai proses di mana upacara keagamaan pra-kristiani diberi arti kristiani. Itu berarti struktur atau susunan asli dari upacara pra-kristiani itu tidak diubah secara radikal tetapi artinya diubah untuk mengungkapkan misteri iman kristiani. Kalau adaptasi-akulturasi bertitik tolak dari ritus romawi dan berupaya mengubah sifat-sifat khas budaya romawi dengan menerima unsur budaya baru yang dihayati oleh para peraya, maka inkulturasi sebaliknya bertitik tolak dari sifat khas budaya setempat berusaha membuat perubahan-pembaruan di dalam kebudayaan itu dengan memasukkan pewartaan kristiani.[23] Dengan kata lain unsur-unsur perayaan pra-kristiani itu tetap dipertahankan sejauh tidak bertentangan dengan iman yang benar dan lebih dari itu unsur-unsur itu ditafsirkan atau diberi makna menurut iman kristiani. Kalau titik tolak (terminus a quo) dalam proses inkulturasi ini adalah upacara pra-kristiani, maka yang mau dicapai sebagai hasil (terminus ad quem) adalah perayaan liturgi jawa-kristiani (sungguh berciri khas budaya Jawa dengan makna baru yaitu kristiani) dan bukan romawi-jawa (sungguh-sungguh berciri khas Romawi tetapi diberi polesan unsur-unsur budaya Jawa).

Inkulturasi dan akulturasi

Setelah melihat pengertian adaptasi-akulturasi dan inkulturasi, baiklah kita membuat perbandingan antara keduanya ditinjau dari titik tolak, apa yang diubah, apa yang dipertahankan serta apa yang menjadi hasil dari proses masing-masingnya.

Pertama, dari segi titik tolak (terminus a quo), adaptasi-akulturasi bertitik tolak dari ritus romawi. Pola dan unsur-unsur liturgi romawi didalami, diteliti dan disadari ciri-ciri khas budaya romawinya. Sedangkan inkulturasi bertitik tolak dari upacara-upacara pra-kristiani. Misalnya upacara asli orang Jawa, Dayak, Marapu atau Papua dipelajari dan dinilai baik pola dan unsur maupun simbol dan isi doa. Tetapi kalau sama sekali tidak bertentangan maka dapat diterima dan diberi makna sesuai dengan iman kristiani.

Kedua, yang diubah dalam proses adaptasi-akulturasi adalah ciri-ciri khas budaya romawi yang memberi bentuk pada unsur-unsur ritus romawi. Kalau unsur-unsur yang didukung ciri khas budaya romawi itu kurang cocok atau bertentangan dengan cita rasa serta cara pikir atau ciri khas budaya orang-orang setempat maka dapat diubah dengan menggantinya. Sedangkan yang diubah dalam proses inkulturasi adalah upacara pra-kristiani itu. Jika ada unsur yang bertentangan dengan iman yang benar karena berkaitan dengan takhyul atau bersifat magis maka hal-hal itu diabaikan.

Ketiga, yang dipertahankan dalam proses adaptasi-akulturasi adalah nilai-nilai kristiani atau nilai-nilai Injili seperti iman yang diungkapkan oleh unsur-unsur budaya romawi. Lalu yang dipertahankan dalam proses inkulturasi adalah nilai-nilai universal yang terkandung dalam unsur-unsur upacara pra-kristiani. Biasanya nilai universal tidak bertentangan dengan nilai kristiani. Nilai-nilai universal yang langeng ini dapat diberi makna kristiani.

Keempat, yang menjadi hasil (terminus ad quem) dari keseluruhan proses adaptasi-akulturasi adalah ritus romawi yang mendapat unsur-unsur pengungkapan dengan ciri khas budaya setempat seperti budaya Jawa. Dengan kata lain hasil akulturasinya adalah ritus romawi-jawa. Sedangkan hasil dari proses inkulturasi liturgi adalah ritus asli pra-kristiani (ritus jawa) menjadi perayaan kristiani dan bisa disebut perayaan jawa-kristiani (misalnya perayaan perkawinan jawa-kristiani).

Perbandingan di atas dapat menjadi lebih jelas bila kita mencermati kemungkinan-kemungkinan inkulturasi dan adaptasi-akulturasi dalam liturgi menurut instruksi tentang inkulturasi liturgi yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat dan Tatatertib Sakramen pada tanggal 25 Januari 1994 dengan judul De Liturgia Romana et Inculturatione. Dalam instruksi ini diuraikan pengertian, proses, tuntutan dan syarat awal untuk inkulturasi liturgi, asas dan kaidah praktis inkulturasi ritus romawi, dan bidang-bidang penyesuaian di dalam ritus romawi.

Kemungkinan inkulturasi liturgi

Manakah kemungkinan inkulturasi dalam liturgi Gereja? Apakah semua liturgi sakramen dan perayaan lain dalam Gereja dapat diinkulturasikan? Mungkinkah kita membuat proses inkulturasi untuk liturgi Ekaristi sehingga kita mempunyai liturgi Ekaristi inkulturatif seperti Ekaristi Jawa Katolik? Menurut instruksi tentang inkulturasi liturgi, kemungkinan inkulturasi liturgi dapat dibuat untuk tata cara inisiasi, tata cara perkawinan, tata cara pemakaman dan tata cara pemberkatan (sakramentali). Berarti perlu dipelajari seluruh tatacara pra-kristiani asli dan bila ada unsur yang bertentangan dengan iman kristiani, baiklah dihilangkan. Lalu semua unsur lain termasuk tatacaranya yang mengandung nilai-nilai universal digunakan dan diberi arti kristiani.

Inisiasi Kristiani. Khususnya di daerah misi, Konferensi Waligereja harus memutuskan apakah tata cara inisiasi yang berlaku di kalangan bangsa yang bersangkutan dapat disesuaikan untuk Tatacara Inisiasi Kristiani. Konferensi juga memutuskan apakah tatacara itu sebaiknya dipakai.[24] Dengan memakai kata �tatacara� dari perayaan, menjadi jelas bahwa pola atau tata perayaan inisiasi yang asli menjadi acuan dan titik tolak proses penyesuaian inkulturatif.

Sakramen Perkawinan. Dari semua liturgi sakramen, tatacara perkawinan menuntut penyesuaian paling banyak agar tidak asing untuk masyarakat setempat. Setiap Konferensi mempunyai kesempatan mempersiapkan tatacara perkawinan untuk wilayahnya sendiri, yang harus serasi dengan hukum yang menuntut agar pelayan tertahbis atau awam, seturut keadaan, minta dan mendapat persetujuan timbal balik dari kedua mempelai yang akan mengikat janji nikah dan memberi mereka berkat mempelai. Tatacara khas ini harus secara jelas mengungkapkan arti perkawinan kristiani, menekankan rahmat sakramen dan menggarisbawahi tugas-tugas suami istri.[25] Tentang hal ini Chupungco menulis: �Praenotanda upacara perkawinan tidak hanya berbicara tentang akulturasi melainkan juga inkulturasi. Hal ini memberikan kemungkinan untuk menyusun upacara perkawinan yang cocok dengan adat istiadat masyarakat setempat.�[26] Orang Batak mempunyai tatacara perkawinan yang berbeda dari orang Papua. Kekhasan masing-masing diterima dan dihargai oleh Gereja, termasuk urutan perayaan, doa-doa dan simbol-simbol, peralatan dan pakaian, waktu dan lamanya perayaan serta tempat seluruh kegiatan itu dilaksanakan. Semuanya mendapat arti kristiani.

Tatacara Pemakaman. Ritus Romawi menyediakan beberapa bentuk tatacara pemakaman. Konferensi Waligereja memilih yang sesuai dengan kebiasaan setempat. Semua unsur yang baik dipertahankan. Hendaknya tatacara pemakaman itu mengungkapkan iman kristiani akan kebangkitan dan memberi kesaksian tentang nilai-nilai benar dari Injil.[27] Suku-suku di Indonesia mempunyai adat kebiasaan khas untuk melepaskan jenasah lalu menghantar dan menyemayamkannya di tempat peritirahatan abadi. Misalnya orang Sumba dan suku Toraja.

Upacara Pemberkatan (Sakramentali). Ada pula kemungkinan untuk membuat inkulturasi upacara pemberkatan. Instruksi Ritus Romawi dan Inkulturasi (LRI) menyatakan bahwa Konferensi Waligereja dapat memanfaatkan kelonggaran yang telah digariskan untuk penyesuaian upcara pemberkatan.[28] Ada banyak perayaan orang asli yang menggunakan sarana perecikan disertai doa-doa untuk memberkati benda, tempat atau orang tertentu. Bertolak dari adat kebiasaan setempat ini Gereja lokal dapat menyusun tataperayaan pemberkatan yang sesuai dengan kebiasaan dan kebutuhan umat pendukung budaya tersebut.

Semua kemungkinan inkulturasi liturgi yang disebut oleh LRI di atas (inisiasi, perkawinan, pemakaman dan sakramentali, secara khususperkawinan) meliputi keseluruhan pola atau tatacara pelaksanaan perayaan. Dengan kata lain seluruh tata perayaan asli menurut adat kebiasaan para peraya setempat menjadi titik tolak proses penyesuaian. Apakah sakramen-sakramen yang lain termasuk Ekaristi dapat diinkulturasikan? Dalam LRI tidak ditulis tentang penyesuaian seluruh tata perayaan (tatacara) sakramen-sakramen lain. Itu berarti tata perayaan pra-kristiani yang mirip pengakuan dosa, tahbisan imam, pengurapan orang sakit dan perjamuan kudus atau Ekaristi tidak dapat jadi acuan atau titik tolak untuk memulai proses inkulturasi sakramen-sakramen itu. Misalnya seluruh tatacara perjamuan (= tata perayaan) dengan nasi tumpeng dan minuman arak menurut budaya Jawa tidak dapat dijadikan perayaan kristiani yaitu Ekaristi Jawa. Maka kita tidak dapat mengatakan bahwa ada perayaan Ekaristi inkulturatif Jawa. Yang sering terjadi dalam proses penyesuaian perayaan Ekaristi adalah sebenarnya adaptasi akulturasi atau akomodasi. Dalam hal ini unsur-unsur tertentu dalam Ekaristi ritus romawi disesuaikan dengan unsur-unsur budaya setempat dan seluruh tata perayaan Ekaristi ritus romawi tetap dipertahankan. Jadi urutan perayaan Ekaristi ritus romawi tidak berubah secara radikal tetapi bahasanya, peralatannya, pakaiannya, nyanyiannya, alat musiknya dan hiasannya disesuaikan dengan ciri khas budaya setempat.[29] Ekaristi seperti ini bukanlah Ekaristi inkulturatif (karena bukan perayaan perjamuan syukur setempat yang jadi titik tolak proses penyesuaian) tetapi lebih baik disebut Ekaristi dengan unsur-unsur inkulturatif (sebab unsur-unsur tertentu itu sungguh mengalami proses inkulturasi namun digunakan dalam kerangka tata perayaan Ekaristi ritus romawi).

Interkulturasi Liturgi

Dapat terjadi bahwa dalam perayaan liturgis yang sama terdapat perpaduan ciri khas budaya dari beberapa kelompok pendukung yang berbeda. Ada komunikasi iman di antara bermacam-macam kelompok peraya dengan cara pengungkapan berbeda berdasarkan kekhasan budayanya.[30] Tidak hanya ada perpaduan antara dua budaya (romawi dan satu budaya setempat). Hal ini sering dialami di dalam perayaan liturgi yang diselenggarakan di kota-kota metropolitan yang para perayanya terdiri dari berbagai macam latar belakang budaya. Interakasi ini lebih permanen dibandingkan dengan kemungkinan perayaan liturgi yang diselenggarakan dalam pertemuan-pertemuan nasional atau internasional yang dihadiri oleh umat beriman dari berbagai suku atau bangsa. Masing-masing pendukung budaya mengungkapkan imannya di dalam perayaan itu dengan menggunakan unsur-unsur budayanya yang khas (Batak, Sunda, Jawa, Bali, Sumba, Dayak, Sikka-Flores, Papua). Misalnya di kota Roma dirayakan Ekaristi dengan nyanyian Gregorian dalam bahasa Latin, bacaan dalam bahasa Italia, Perancis, Inggris, cara perarakan bahan persembahan menurut budaya India, tarian gaya Indonesia, lagu khas Jepang dan Korea. Meskipun pengalaman ini berlangsung mungkin sekitar 2 jam saja, namun dapat menjadi sebuah pengalaman Pentakosta yang mengagumkan dan membawa dampak positip yang kuat dan bertahan lama bagi setiap orang yang mengambil bagian dalam perayaan tersebut sebagaimana dialami oleh para rasul sesudah peristiwa Pentakosta.

Dalam hal ini dibutuhkan kesediaan untuk menerima ungkapan budaya lain apa adanya sebagai tanda penghargaan terhadap kebhinekaan cara untuk mengungkapkan satu iman yang sama. Hal ini hendaknya meyakinkan kita untuk mengutamakan penghayatan iman yang sama dengan cara pengungkapan yang berbeda berdasarkan latarbelakang budaya yang khas. Keterbukaan seperti itu kita butuhkan pada masa sekarang dan lebih lagi di masa depan ketika kemungkinan pertemuan berbagai budaya yang berbeda tidak dapat dielakkan. Globalisasi dapat membawa dampak negatip karena bisa menghancurkan kekhasan budaya setempat dengan pendukung dalam jumlah kecil. Namun keyakinan akan manfaat dari interkulturasi dapat membantu kita menghadapi dampak negatip dari globalisasi itu. Liturgi yang interkulturatif dapat sangat menguatkan dan mempersatukan karena di dalam perayaan itu kita menghargai satu sama lain dan dengn budaya yang berbeda-beda kita bersatu dalam iman untuk memuliakan Tuhan yang sama.

Penyesuaian menurut kaidah-kaidah liturgis

Apapun istilah yang dipakai, seluruh proses penyesuaian yang dilaksanakan dalam liturgi perlu memperhatikan kaidah-kaidah liturgis selain dasar teologis-biblis dan kultural serta pastoral.[31] Liturgi sebagai perayaan pada dasarnya adalah kegiatan yang selalu mengalami proses penyesuaian dengan para peraya dan situasi atau lingkungan sekitar. Maka para perancang dan pelaksana liturgi hendaknya mengetahui tuntutan-tuntutan liturgis dalam hal penyesuaian. Berdasarkan hakekat dan tradisi liturgi dapatlah disebut beberapa asas liturgis demi penyesuaian.

1. Penyesuaian dalam liturgi pertama-tama adalah karya Tuhan. Liturgi yang sesuai dengan kebutuhan umat, adalah pertama-tama hasil karya Allah. Tuhanlah yang berusaha menyesuaikan diri-Nya dalam liturgi dengan cara sedemikian sehingga manusia bisa melihat, mendengar, mencium, meraba atau menyentuh-Nya dalam liturgi. Allah sekian rela dan rendah hati menyesuaikan diri-Nya dengan manusia. Untuk memperdengarkan sabda-Nya, Allah rela menggunakan mulut dan suara lektor atau diakon dan imam. Untuk menjadi makanan dan minuman surgawi bagi manusia yang kelaparan dan kehausan, Allah rela memberi diri-Nya dalam rupa roti dan anggur. Oleh karena itu kalau para peraya membuat penyesuaian dalam liturgi, itu berarti mereka mengambil bagian dalam karya Allah. Para peraya (termasuk perancang, petugas khusus dan pemimpin) tidak dapat mengandalkan kegiatan penyesuaian liturgi sebagai karyanya sendiri. Penyesuaian liturgi sebagai upaya para peraya akan sungguh berarti kalau dilaksanakan sebagai partisipasi dalam karya Allah untuk menyelamatkan manusia. Jadi penyesuaian liturgi terjadi sebagai karya Allah dan diteruskan oleh para petugas khusus yang berusaha meneruskan tindakn penyesuaian Allah dengan merancang dan melaksanakan liturgi sedemikian rupa sehingga sungguh menggugah dan membarui para peraya.

2. Sering penyesuaian liturgi dipandang sebagai kegiatan satu arah saja yaitu upaya dari pihak Allah dan para petugas khusus untuk membuat liturgi itu menjadi relevan dan sesuai dengan para peraya. Padahal liturgi merupakan pertemuan antara Allah dan manusia dalamnya terjadi dialog bukan monolog. Liturgi sebagai karya Allah ditanggapi oleh para peraya. Maka penyesuaian dari pihak Allah dan para petugas khusus dalam liturgi perlu ditanggapi oleh semua peraya. Dalam liturgi manusia harus berusaha menyesuaikan diri dengan Allah serta rencana-rencana-Nya, dan menyesuaikan diri dengan pedoman-pedoman liturgi terutama pedoman umum mengenai hal-hal pokok dan penting yang dipandang sebagai unsur pembentuk liturgi.[32] Arah penyesuaian terakhir sering kurang mendapat perhatian dalam pembicaraan mengenai pokok ini, sebab yang lebih diutamakan dalam diskusi dan proses penyesuaian liturgi adalah segala upaya membuat liturgi itu sesuai atau cocok untuk para peraya. Kalau demikian penyesuaian liturgi menjadi pincang.

3. Arah penyesuaian liturgi dari pihak para peraya sekaligus mengingatkan kita akan tujuan dari penyesuaian liturgi yaitu agar para peraya dapat dengan mudah dan jelas serta aktif mengambil bagian dalam perayaan. Dengan demikian kita lebih mampu memahami tindakan Tuhan dan bersyukur kepada-Nya. Sebab liturgi adalah penghormatan dan kemuliaan bagi Allah yang agung dalam karya penyelamatan.[33] Bila penyesuaian itu mengurangkan atau menghilangkan kemungkinan untuk menyampaikan pujian dan syukur kepada Allah dan lebih menomorsatukan keinginan yang kuat untuk meminta atau mendesak Tuhan lewat permohonan-permohonan saja, maka penyesuaian itu tidak mengindahkan sikap dasar liturgis yang utama.

4. Litugi adalah perayaan pertemuan antara Allah dengan manusia dan antara anggota persekutuan satu sama lain yang disatukan dalam Allah.Kehadiran Allah dalam liturgi ini merupakan hal pokok yang tidak dapat digantikan oleh yang lain. Inilah yang membuat keseluruhan suasana perayaan menjadi kudus dan berbeda dengan suasana profan. Maka perayaan liturgi bukanlah suatu upacara sipil biasa meskipun unsur-unsur tertentu dari suatu upacara sipil dapat dialami dalam liturgi. Bila penyesuaian itu mengarahkan para peraya kepada suatu suasana resepsi yang penuh acara entertainment, maka perlu ditinjau kembali karena perayaan seperti itu kehilangan suasana khas liturgis yang sakral.

5. Inti semua perayaan liturgi adalah misteri Paskah yang mencapai puncak dalam hidup dan karya Yesus khususnya penderitan-kematian dan kebangkitan.[34] Kedua aspek ini perlu dialami: kematian dan kebangkitan, kurban dan keselamatan, derita dan sukacita, keheningan dan keaktipan, gelap dan terang. Pada kesempatan tertentu salah satu aspek dari misteri yang utuh itu lebih digarisbawahi, namun tidak berarti aspek yang lain dihilangkan. Maka penyesuaian yang hanya mau mengenangkan satu aspek dan melupakan yang lain akan menimbulkan kepincangan dalam penghayatan misteri keselamatan dalam liturgi. Jadi menggaribawahi salah satu aspek bukan berarti menghilangkan atau melupakan aspek lain dari misteri keselamatan dalam liturgi.

6. Sabda Allah yang tertulis atau Kitab Suci mendapat tempat penting dalam Liturgi. Allah sendiri hadir dan langsung menyapa para peraya ketika Kitab Suci dimaklumkan. Keunggulan Kitab Suci dalam setiap perayaan liturgi tidak dapat digantikan oleh bacaan lain. Mengganti pemakluman Kitab Suci dengan bacaan lain yang diambil dari sumber-sumber non biblis (seperti konstitusi salah satu Tarekat Religius atau manifestasi salah satu kelompok yang disebarluaskan lewat surat kabar atau majalah) bukanlah cara penyesuaian yang terpuji. Ada petugas khusus yang memakluman secara agung dan para peraya lain mendengarkan dengan penuh rasa hormat. Setiap upaya penyesuaian yang mengaburkan dimensi �pemakluman yang agung� dari pihak Allah dan �mendengarkan dengan penuh hormat� dari pihak manusia peraya, sebenarnya tidak mengindahkan �arah menurun� dan �arah mengatas� dari karya penyelamatan yang sedang terjadi dalam liturgi khususnya pada saat liturgi sabda. Sering dimensi ini diabaikan dengn alasan partisipasi aktif dari umat sebanyak mungkin. Tetapi benarkah demikian?

7. Penyesuaian perlu memperhatikan partisipasi aktif dan penuh sesuai dengan fungsi liturgis masing-masing dalam perayaan. Umat, anggota koor, dirigen, pemazmur, lektor, diakon, imam bisa aktif bersama-sama tetapi pada saatnya yang tepat karena alasan liturgis masing-masing aktif melaksanakan tugasnya yang khas. Kalau ada lektor yang memaklumkan sabda, mengapa semua umat mau membaca seperti lektor. Bila lektor memaklumkan sabda Tuhan, para peraya lain mendengarkan dengan sungguh. Mungkin masalah muncul karena lektor memaklumkan dengan suara dan artikulasi kurang jelas, atau pra peraya lain tidak mendengar dengan penuh perhatian. Maka jalan keluarnya adalah latihan lektor untuk memaklumkan dengan baik dan latihan para peraya untuk mendengar dengan penuh perhatian dn hormat.

8. Hal-hal yang pokok dan tidak pokok perlu diperhatikan. Untuk yang pokok Gereja selalu berusaha untuk mempertahankannya sedapat mungkin.[35] Sedangkan untuk hal-hal yang tidak pokok terdapat kemungkinan-kemungkinan penyesuaian yang lebih besar. Yang disebut pokok adalah hal-hal penting dan sekaligus inti dalam setiap perayaan liturgis. Hal-hal itu tidak dapat dihilangkan karena merupakan �materia dan forma sacramenti� yang menjamin sahnya perayaan liturgis dan juga menjamin keutuhan iman yang diakui oleh Gereja universal.[36] Hal-hal pokok yang dimaksudkan oleh dokumen-dokumen Gereja adalah:

a. Dalam hal isi perayaan: Misteri Paskah.

b. Dalam hal siapa yang bertindak: Allah Tritunggal (Bapa, Putera, Roh Kudus) dan Gereja: Imam dan umat.

c. Dalam hal tindakan: yang menjadi tindakan Allah paling pokok adalah menguduskan, menyelamatkan (forma sacramenti). Sedangkan tindakan umat paling pokok adalah bersyukur.

d. Dalam hal peralatan atau bahan atau benda (materia sacramenti): yang paling penting untuk dapat melaksanakan tindakan pokok (teks Kitab Suci, teks Doa Syukur Agung, roti dan anggur, atau air untuk pembaptisan).

e. Dalam hal bagian-bagian perayaan (khususnya Ekaristi): Liturgi Sabda dan Liturgi Ekristi. Liturgi Sabda sebagai �bagian� pokok tidak dapat dihilangkan atau diganti (misalnya dengan kegiatan devosional: doa rosario, jalan salib). Demikian pula Liturgi Ekaristi tidak dapat dihilangkan atau diganti dengan kegiatan lain karena merupakan bagian pokok.

f. Dalam hal unsur: misalnya pemakluman Sabda Tuhan dari Kitab Suci tidak dapat diganti dengan bacaan non biblis. Unsur Doa Syukur Agung juga tidak dapat dihilangkan karena merupakan unsur pokok.

Di samping hal-hal pokok terdapat hal-hal yang tidak pokok yaitu:

a. Dalam hubungan dengan isi perayaan: aspek-aspek tambahan dari kehidupan orang kudus/mati maupun orang yang masih hidup (misalnya hari ulang tahun kelahiran).

b. Dalam hubungan dengan siapa yang bertindak dalam perayaan: petugas-petugas khusus yang lain, misalnya penyanyi solo, pembawa bahan persembahan.

c. Dalam hubungan dengan tindakan: ada kegiatan yang bersifat fakultatip misalnya perarakan dengan pedupaan atau pernyataan damai. Tergantung pada tingkat perayaan.

d. Dalam hal peralatan atau bahan: misalnya dalam perayaan Ekaristi ada bahan-bahan tambahan seperti buah-buahan yang dibawa waktu perarakan persembahan.

e. Dalam hal bagian-bagian perayaan Ekaristi: Ritus Pembuka dan Ritus Penutup. Pada kesempatan tertentu Ritus Pembuka dapat diganti dengan kegiatan liturgis lain seperti pada Hari Minggu Palma atau pada Hari Jumad Agung. Demikian pula Ritus Penutup seperti pada Hari Kamis Putih ketika merayakan kenangan akan Perjamuan Tuhan. Dalam perayaan Ekaristi Pemakaman, setelah komuni, Ritus Penutup dihilangkan dan diganti dengan pemberkatan jenasah dan perarakan menuju tempat pemakaman.

f. Dalam hubungan dengan unsur perayaan. Perlu dibedakan �bagian� dan �unsur� perayaan. Sebagai bagian, Liturgi Sabda tidak dapat diganti. Tetapi unsur tertentu dari Liturgi Sabda dapat dihilangkan misalnya �Syahadat� atau �Doa Umat� pada hari biasa.

Wasana Kata

Penyesuaian liturgi (akomodasi, adaptasi-akulturasi, inkulturasi dan interkulturasi) merupakan suatu hal penting. Penyesuain liturgi dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan lain dari Gereja seperti katekese, persekutuan persaudaraan dan semangat pelayanan. Lingkungan masyarakat, budaya, situasi konkrit, pergulatan hidup serta alam sekitar mempunyai dampak terhadap perencanaan dan penyelenggaraan perayaan liturgis yang turut membentuk sikap dari para peraya. Orang beriman yang kreatif akan selalu menemukan cara terbaik untuk menyesuaikan diri dengan kehendak dan rencana Tuhan yang agung yang dirayakan dalam liturgi. Belajar dari Tuhan sendiri yang rela menyesuaikan Diri dengan situasi dan kebiasaan manusia, para peraya dapat berusaha menyesuaikan diri tidak hanya di dalam perayaan tetapi juga di dalam kehidupan sehari-hari. Terbuka terhadap bimbingan Allah Roh Kudus yang telah memungkinkan proses inkarnasi-inkulturasi dan sangat aktif dalam peristiwa Pentakosta, manusia beriman dapat dengan mudah menyesuaikan diri dalam setiap situasi dan kebudayaan untuk menyaksikan dan menghayati dengan teguh anugerah iman dalam Yesus Kristus yang menyelamatkan. Bersama Yesus Kristus kita mengupayakan penyesuaian liturgi bukan untuk mencerai-beraikan kita tetapi untuk semakin mempersatukan kita dengan Allah dan sesama.

CATATAN KAKI:

1. Lihat tulisan atau buku-buku mengenai hal ini antara lain R.Francis, �Adaptation, Liturgical,� dalam The New Dictionary of Sacramental Worship, (ed. Peter E. Fink, The Liturgical Press, Collegeville, Minnesota, 1990), 14-25; Mario Saturnino Dias (ed), Evangelisation and Inculturation, (Pauline Publications, Mumbai, 2001); Mario Saturnino Dias (ed), Rooting Faith in Asia: Sourcebook for Inculturation (Claretian Press, Bangalore, India and Quezon City, Philippines, 2005); Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis (The Liturgical Press Collegeville, Minessota, 1992); Edmund S. Glenn with Christine Glenn, Man & Mankind, Conflict & Communication Between Cultures (Ablex Publishing Corporation, Norwood, New Jersey, 1981); Huub J.W.M. Boelaars, Indonesianisasi, Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia (Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2005). [?]

2. Bdk Bernard Boli Ujan, �Siapa Yang Kreatif Dalam Misa Kreatif,� dalam Liturgi: Sumber Dan Puncak Kehidupan Vol. 16, No. 01, Januari-Pebruari 2005, 24-25. [?]

3. Onscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation, Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 13. [?]

4. Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya (terjemahan Komisi Liturgi KWI, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1987) 100. [?]

5. �Akomodasi yang menjadi wewenang penuh pelayan ibadat, dalam pelaksanaan perayaan-perayaan hendaknya jangan diremehkan, karena sesungguhnya sesuai dengan jiwa SC 38-39. Justru itulah satu-satunya bidang penyesuaian di mana pelayan ibadat masing-masing dapat menggunakan wewenang dalam liturgi. Akomodasi bukanlah suatu bentuk hiburan bagi orang-orang tolol yang terpaksa diterima dengan enggan. Pilihan bacaan dan doa-doa yang tepat sangat menentukan untuk membuat seltiap perayaan liturgis menjadi penuh makna, entah itu ibadat Romawi, Bizantium entah India. Di sinilah liturgi dapat menyentuh kelompok umat Kristen. Dan hanya seorang pastorlah yang dapat merasakan perasaan umatnya dan menanggapi kebutuhan-kebutuhan mereka. Bahkan hal yang begitu kecil seperti rubrik �Dia menyapa mereka dengan kata ini atau dengan kata-kata senada� adalah penting, karena hal-hal kecil semacam itu memberi kemungkinan adanya suasana yang lebih hangat dan lebih pribadi.� Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 66. [?]

6. G. Arbuckle, �Inculturation, Not Adaptation: Time to Change Terminolgy,� Worship 60/6 (1986) 512-520. Sebenarnya adaptasi bukanlah suatu istilah antropologis. Tetapi istilah ini dipakai dalam Konstitusi Liturgi SC 37-40 untuk memberi pedoman tentang penyesuaian liturgi dengan budaya setempat. Maka dipakai istilah �adaptasi budaya�. Arbuckle tidak setuju dengan penggunaan istilah adaptasi dalam bidang liturgi karena berpendapat bahwa istilah itu di masa lampau dipakai untuk menyatakan manipulasi budaya sebagai metode para penjajah dalam melangengkan kekuasaan di daerah jajahan. Maka Arbuckle mengusulkan agar istilah itu tidak lagi dipakai dalam bidang teologi dan liturgi, dan sebaiknya adaptasi diganti dengan istilah inkulturasi untuk menggambarkan proses implikasi injili menurut teologi Gereja setempat. Namun buku-buku liturgi resmi masih juga menggunakan istilah adaptasi budaya. Meskipun ada yang mencampuradukan atau menyamakan istilah adaptasi dan inkulturasi namun lebih baik kalau adaptasi dimaknai sebagai penyesuaian pada umumnya termasuk dalam bidang budaya, sedangkan inkulturasi dan akulturasi adalah cara-cara penyesuain khusus dalam bidang budaya. Lihat juga Mark R.Francis, �Adaptation, Liturgical,� dalam The New Dictionary of Sacramental Worship,(ed. Peter E. Fink, The Liturgical Press, Collegeville, Minnesota, 1990), 14-15; Bdk Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 24. [?]

7. Menurut Shorter (Towards a Theology of Inculturation, London, 1988, 6-8, 12), akulturasi berarti pertemuan antara satu budaya dengan yang lain, atau pertemuan antara dua budaya yang berbeda. Dalam pertemuan itu muncullah rasa saling menghargai dan toleransi. Shorter juga mengatakan bahwa pertemuan itu terjadi pada hal-hal lahiriah. [?]

8. Shorter, Towards a Theology of Inculturation, 11. [?]

9. Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 27. [?]

10. Shorter, Towards a Theology of Inculturation, (London, 1988) 6-8, 12 [?]

11. G. Barney, �The Supracultural and the Cultural: Implications for Frontier Missions,� The Gospel and Frontier Peoples (Pasadena, 1973); G.D. Napoli, �Inculturation as Communication,� Inculturation 9 (1987) 71-98; Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 25. [?]

12. A. Crollius, �What is So New About Inculturation?� Gregorianum 59 (1978) 721-738. [?]

13. J.B. Banawiratma, �Menjernihkan Inkulturasi,� dalam Inkulturasi, Bina Liturgia I (Yogyakarta, 1985) 19. Istilah inkulturasi barangkali dimaksudkan sebagai padanan dari kata enculturation. Sebenarnya dalam bahasa Latin tidak ada kata enculturatio dan inculturatio. Hanya adaincultus (tidak beradab, tidak berbudaya, kasar), cultus (adat kebiasaan, cara hidup, budaya) dan cultura (pembudayaan, pengabdian, penghormatan, upacara liturgis). Lihat P.Th L. Verhoeven & Marcus Carvallo, Kamus Latin Indonesia (Penerbit Nusa Indah-Percetakan Arnoldus, Ende 1969) 513 dan 162; Charlton T. Lewis, Latin DictionaryFounded on Andrews� Edition of Freund�s Latin Dictionary (The Clarendon Press, Oxford, 1996) 930 dan 488-489. Dalam bahasa Latin biasanya tidak ada awalan en tetapi ada awalan in. Maka jauh lebih memungkinkan menggunakan istilah inculturatio sebagai suatu istilah teknis baru (neologisme) dengan arti yang berbeda dari incultus. Menurut Shorter,enculturation sebagai istilah dalam bidang antropologi sebenarnya sama artinya dengan socialization yaitu proses belajar dengannya seseorang masuk ke dalam kebudayannya karena berusaha mengenal dan menghayati adat istiadat serta nilai-nilai budayanya. A. Shorter, Towards a Theology of Inculturation, 5-6; A. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 26. [?]

14. Johanes Paulus II, �Address to the Pontifical Biblical Commission,� Fede e cultura alla luce della Bibbia (Turin, 1981) 5. [?]

15. Johanes Paulus II, Catechesi tradendae, no 53. [?]

16. Johanes Paulus II, Slavorum Apostoli (2 Juni 1985) dan Redemptoris Missio, 7 Desember 1990, no 52. Lihat juga instruksi mengenai inkulturasi liturgi yang dikeluarkan pada tahun 1994 oleh Kongregasi Ibadat dan Tatatertib Sakramen, De Liturgia Romana et Inculturazione (Liturgi Romawi dan inkulturasi), no. 4, terjemahan Komisi Liturgi KWI, Jakarta 2004, 13-14. Seterusnya disingkat LRI. [?]

17. Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 29 [?]

18. A. Shorter, Towards a Theology of Inculturation, 11; A. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 28-29. [?]

19. Peter C. Phan, In Our Own Tongues: Asian Perspectives on Mission and Inculturation (Maryknoll, N.Y., Orbis Books, 2003), xii, seperti dicatat oleh Stephen B. Bevans & Roger P. Schroeder, Terus Berubah � Tetap Seti:, Dasa, Pola, Konteks Misi (terjemahan Yosef Maria Florisan, Penerbit Ledalero, 2006), 663. [?]

20. Hubungan yang erat antara evangelisasi dan inkulturasi dapat dibaca dalam Evangelisation and Inculturation, ed. Fr. Mario Saturnino Dias (Pauline Publications, Mumbai, 2001); Rooting Faith in Asia: Sourcebook for Inculturation, ed. Mario Saturnino Dias (Claretian Press, Bangalore, India and Quezon City, Philippines, 2005); Evangelisation in the Light of Ecclesia in Asia, ed. Fr. Mario Saturnino Dias (Clarletian Publications,Bangalore, 2003), khususnya artikel Sr. Ko Ha Fong Maria, �Evangelisation as Inculturation as seen in Ecclesia in Asia,� dan jawaban-jawaban dari Fr. C.Joy Parera dan Sis. Techie Rodriguez, halaman 188-225. [?]

21. C. Valenziano, �La religiosita popolare in prospettiva antropologica,� Ricerche sulla religiosita popolare (Bologna, 1979) 83-110; A. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 26. [?]

22. Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 29-30. [?]

23. Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 104. [?]

24. LRI, no 56. �Untuk Tatacara Inisiasi Kristen, Konferensi Waligereja �harus menguji dengan saksama dan bijaksana, unsur-unsur mana yang layak diambil dari tradisi dan ciri khas masing-masing bangsa.� Di daerah-daerah misi Konferensi Waligereja harus memutuskan apakah tatacara inisiasi yang berlaku di kalangan bangsa yang bersangkutan dapat disesuaikan untuk Tatacara Inisiasi Kristen. Konferensi Waligereja juga harus memutuskan apakah tatacara itu sebaiknya dipakai. Tetapi perlu diingat, bahwa istilah �inisisi� tidak selalu mempunyai arti yang sama atau menyatakan hal yang sama bila istilah itu digunakan dalam upacara inisiasi di kalangan bangsa tertentu, atau bila, sebaliknya, digunakan untuk proses inisiasi Kristen, yang melalui upacara-upacara katekumenat mengantar katekumen ke persatuan dengan Kristus dalam Gereja lewat Sakramen Baptis, Krisma, dan Ekaristi.� [?]

25. LRI, no 57. �Di banyak tempat tatacara perkawinanlah yang menuntut penyesuaian paling banyak agar tidak asing untuk kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat. Untuk menyesuaikannya dengan kebiasaan berbagai daerah dan bangsa, setiap Konferensi Waligereja mempunyai �kesempatan mempersiapkan tatacara perkawinan untuk wilayahnya sendiri, yang harus serasi dengan hukum yang menuntut agar pelayan tertahbis atau awam, seturut keadaan, minta dan mendapat persetujuan timbal balik dari kedua mempelai yang akan mengikat janji nikah dan memberi mereka berkat mempelai. Tatacara khas setempat ini, tentu saja, harus secara jelas mengungkapkan arti perkawinan kristen, menekankan rahmat sakramen, dan menggarisbawahi tugas-tugas suami-istri.� Lihat juga KHK, kanon 1108 dan 1112, kanon 77; Upacara Perkawinan, Pedoman Umum, no 42. [?]

26. Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 105 [?]

27. LRI, no 58. �Pada segala bangsa, pemakaman selalu diliputi upacara-upacara khusus, yang kerapkali mempunyai nilai yang sangat mengesankan. Untuk menjawab kebutuhan yang beraneka-ragam Ritus Romawi menyediakan beberapa bentuk tatacara pemkaman. Konferensi Waligereja harus memilih yang sesuai dengan kebiasaan setempat. Mereka akan mempertahankan semua yang baik dalam tradisi keluarga dan kebiasaan setempat, dan memastikan bahwa tatacara pemakaman mengungkapkan iman kristen akan kebangkitan dan memberikan kesaksian tentang nilai-nilai yang benar dari Injil. Dalam cakrawala inilah tatacara pemakaman dapat menampung kebiasaan-kebiasaan dari berbagai kebudayan dan menaggapi kebutuhan-kebutuhan setiap daerah sebaik mungkin.� Lihat juga Upacara Pemakaman, Pedoman Umum, no. 4 dan no 9 serta 21:1-3, juga no 2; SC, no. 81. [?]

28. LRI, no 59. [?]

29. LRI no. 54. �Untuk perayaan Ekaristi, Buku Misale Romawi (Missale Romanum), �meskipun mengizinkan (�) adanaya perbedaan-perbedaan yang sah dan penyesuaian-penyesuaian menurut ketentuan Konsili Vatikan II�, harus tetap menjadi �tanda dan alat persatuan� Ritus Romawi dalam bahasa-bahasa yang berbeda. Pedoman Umum Misale Romawi menggarisbawahi bahwa �sesuai dengan Konstitusi Liturgi, setiap Konferensi Waligereja memiliki kuasa menentukan kaidah-kaidah untuk wilayahnya sendiri, yna g cocok dengan tradisi dan ciri khas bangsa, daerah dan kelompok yang berbeda-beda.� Hal yang sama berlaku dalam hal tatagerak dan sikap badan umat beriman, cara-cara menghormati altar dan buku Injil, sayair nyanyian pembuka, nyanyian persiapan persembahan, dan nyanyian komuni, cara salam damai, sayarat-syarat mengatur komuni dengan piala, bahan-bahan altar dan perabot liturgi, bahan dan bentuk bejana suci, busana liturgi. Konferensi Waligereja juga dapat menentukan cara menerimakan komuni.� Jadi dalam hubungan dengan penyesuaian Ekaristi, LRI tidak menyebut kemungkinan perubahan radikal dalam tata perayaan (susunan) Ekaristi tetapi hanya menunjukkan penyesuaian unsur-unsur tertentu dalam kerangkan tata perayaan Ekaristi ritus romawi. Dalam TPE 2005 terdapat sejumlah penyesuaian (akomodasi dan adaptasi-akulturasi) yang telah disahkan oleh Konferensi Waligereja Indonesia dan disetujui oleh Kongregasi Ibadat di Roma. Lihat juga Bernardus Boli Ujan, �TPE 2005 Miskin Penyesuaian?� dalam majalah LITURGI: Puncak dan Sumber Kehidupan, VOL 16, NO 06 � 2006, 24-25. [?]

30. Mengenai komunikasi antar budaya lihat Edmund S. Glenn with Christine Glenn, Man & Mankind, Conflict & Communication Between Cultures, 1-4, khususnya bab 1: �The Analysis of Intercultural Communication�. [?]

31. Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 58-71. [?]

32. Penyesuaian tidak hanya dituntut dari pihak liturgi, Gereja, atau Tuhan tetapi juga dituntut dari para peraya terus menerus untuk menyesuaikan seluruh dirinya dengan misteri keselamatan, karya dan kehendak Tuhan serta pandangan Gereja dan tuntutan liturgi. Dengan demikian para peraya dapat mencapai tujuan atau inti dari setiap upaya penyesuaian: semakin peka dan mampu menjadi seperasaan, sepikiran, sehati, serupa dengan Yesus Kristus untuk memuliakan Allah dan mengambil bagian dalam hidup ilahi. Lihat Bernardus Boli Ujan, �TPE 2005 Miskin Penyesuaian?� dalam
majalah Liturgi:Sumber dan Puncak Kehidupan, Vol. 16, No. 06 � 2006, 24-25. [?]

33. �Salah satu asas yang sangat penting adalah bahwa �liturgi pertama-tama adalah penghormatan atas keagungan ilahi� (SC 33)�.Liturgi adalah doa Kristus yang utuh, kepala dan seluruh anggota. Aspek ibadat ini sedemikian hakiki bagi liturgi; tanpa aspek ini perayaan merosot menjadi upacara yang hampa. Liturgi yang tidak memberi kemungkinan adanya pertemuan pribadi dengan Allah kehilangan sifatnya yang sangat mendasar. � Masalah ini sering timbul dari interpretasi yang terlalu horisontal tentang kata perayaan. Misalnya: perayaan yang terlalu menonjolkan dimensi antarpribadi sehingga merusak unsur doa; sharing gagasan yang bertele-tele; keterlaluan menekankan relevansi menusiawi dan kemasyarakatan dari perayaan, sikap masa bodoh yang sering kali berakhir pada kelalaian dan kebosanan. Semuanya ini membuat liturgi menjadi tidak lebih dari sekedar pertemuan antarindividu yang mungkin menyenangkan atau mungkin juga tidak menyenangkan. Memang harua ada interaksi, dan perayaan harus mempertimbangkan situasi manusiawi; tetapi jangan sampai mengurbankan ibadat kepada Allah, perjumpaan pribadi manusia dengan Allah, atau partisipasi dalam misteri Kristen yang diungkapkan dan dihadirkan oleh perayaan itu..� Lihat Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 81-82. [?]

34. Sebagai pola dasar dalam proses inkulturasi, misteri paskah perlu dihayati oleh Gereja. Maka dalam Pedoman Inkulturasi Liturgi yang dirumuskan oleh Komisi Liturgi KWI dikatakan, �Di satu pihak Gereja harus berani mati terhadap warna kultural yang disandangnya sewaktu datang ke suatu tempat. Ia harus berani menanggalkan busana kultural yang lama itu, lalu mengenakan busana kultural yang baru, yang selarlas dengan adat budaya setempat. Di situlah ia akan bangkit dan tampil dengn wajah baru yang serba tampan dan serasi dalam konteks sosio-budaya setempat. Di lain pihak, kebudayaan setempat pun harus berani mati intuk dibangkitkan. Unsur-unsur yang tidak selaras dengan iman harus ditanggalkan. Maka tinggallah unsur-unsur yang baik, yang bila dipadukan dengan iman kristen akan menampilkan kekayaan baru di tengah tradisi bangsa yang sudah ada.� Komisi Liturgi KWI, Pedoman Inkulturasi Liturgi, 1996, hlm. 3 [?]

35. LRI no. 36: �Penyesuaian liturgi itu haruslah �mempertahankan kesatuan hakiki ritus romawi.� Kesatuan hakiki ini biasa diungkapkan dalam buku-buku editio typica, yang diterbitkan dengan kewibawaan Bapa Suci, dan dalam buku-buku liturgi yang disahkan oleh Konferensi Waligereja untuk wilayah yang bersangkutan dan dikukuhkan oleh Takhta Suci. Karya inkulturasi tidak berarti menuntut diciptakannya rumpun liturgi baru; inkulturasi menanggapi kebutuhan-kebutuhan budaya setempat dan mengarah ke penyesuaian-penyesuaian yang masih tetap berada dalam kesatuan dengan Ritus Romawi.� Lihat juga amanat yang diberikan oleh Yohanes Paulus II kepada para peserta Sidang Pleno Kongregasi Ibadat dan Tatatertib Sakramen, 26 Januari 1991, no. 3. [?]

36. Presidium KWI dalam rapatnya tgl 14-16 Januari 2003 merumuskan sikapnya mengenai Ekaristi sebagai berikut: �Dalam hal-hal pokok kita perlu mengikuti ketentuan Gereja universal, tetapi dalam hal-hal yang tidak pokok kita tidak usah bersikap kaku mengingat adanya aneka perbedaan budaya dan bangsa. Bahkan di Indonesia sendiri ada kebhinekaan yang amat besar�. Ketika mendiskusikan pengertian dari �hal pokok� dan �tidak pokok�, para anggota Dewan Inti Komisi Liturgi KWI akhirnya menyepakati beberapa unsur yang menjadi ciri dari hal yang pokok dan tidak pokok.

Arti �Yang Pokok�

a) Unsur yang harus ada dan tidak dapat dihilangkan atau digantikan.

b) Unsur yang mampu menjaga persatuan gereja. Mempertahankan atau memelihara unsur itu akan menjamin atau menjadi suatu tanda persatuan Gereja, sebaliknya mengabaikan unsur itu akan merongrong kesatuan iman.

c) Unsur yang menjamin kontak hidup dengan Kristus Tuhan dan Pengantara, berarti unsur tersebut menjamin relasi dan komunikasi dengan Allah Tritunggal dan para kudus.

d) Sakralitas yaitu keseluruhan suasana perayaan yang memungkinkan para peraya mengalami kehadiran Allah yang kudus dan karya-karya-Nya yang menguduskan.

e) Partisipasi atau keterlibatan dalam perayaan.

f) Forma dan materia sakramen yang menjamin syahnya suatu perayaan liturgi.

g) Unsur yang langsung berkaitan dengan ajaran resmi Gereja (magisterium) universal. [?]

Sumber: http://katolisitas.org/2010/08/06/penyesuaian-dan-inkulturasi-liturgi/