Latest News

Showing posts with label Katekese Liturgi. Show all posts
Showing posts with label Katekese Liturgi. Show all posts

Sunday, July 10, 2011

Tanda Salib Sebagai Ungkapan Iman Kepada Tritunggal Mahakudus

Tanda Salib merupakan tata gerak yang mengingatkan umat beriman pada salib keselamatan dengan menyerukan nama Tritunggal Mahakudus. Tanda Salib merupakan sakramentali, suatu lambang sakral yang ditetapkan Gereja guna mempersiapkan orang untuk menerima rahmat. Tanda Salib menjadi tata gerak orang katolik setiap mengawali doa atau ibadat; juga ketika mengawali Perayaan Ekaristi. Gerakan Tanda Salib juga telah dilakukan sejak masa Gereja Perdana untuk memulai dan mengakhiri doa.

Para Bapa Gereja telah menegaskan penggunaan Tanda Salib dalam setiap gerak kehidupan. Tertulianus (wafat th.250) menggambarkan kebiasaan membuat Tanda salib: �Dalam segala kegiatan dan gerakan, setiap kali kami datang maupun pergi, saat makan, saat menyalakan lilin, saat berbaring, dalam segala apapun yang kami lakukan, kami menandai dahi kami dengan Tanda Salib�.

St. Sirilus dari Yerusalem (wafat th.386) dalam Pengajaran Katekesenya menyatakan, �Jadi, marilah kita tanpa malu-malu mengakui Yang Tersalib. Jadikan Salib sebagai meterai kita, yang dibuat dengan mantap menggunakan jari-jari di dahi kita dan dalam segala kesempatan; atas roti yang kita makan dan cawan yang kita minum, saat kita datang dan pergi; sebelum kita tidur, saat kita berbaring dan saat kita terjaga; saat kita bepergian, dan saat kita beristirahat� .

Tanda Salib, harus dilakukan dengan khidmat. Dengan Tanda Salib, kita menyadari kehadiran Tritunggal Mahakudus. Kita juga harus ingat bahwa Salib adalah tanda keselamatan kita. Yesus Kristus, sungguh Allah yang menjadi sungguh manusia, yang mempersembahkan kurban sempurna bagi penebusan dosa-dosa kita di atas altar salib.

Tata Cara Membawakan Tanda Salib
Paus Inosensius III (1198 - 1216) memberikan instruksi sebagai berikut : �Tanda Salib dibuat dengan tiga jari, sebagai tanda perlindungan Tritunggal Mahakudus. Beginilah cara melakukannya: dari atas ke bawah sebab Kristus turun dari surga ke bumi, dan dari kiri ke kanan, sebab dari sengsara (kiri) kita harus beralih menuju kemuliaan (kanan), sama seperti Kristus beralih dari mati menuju hidup�.

Tanda salib merupakan perpaduan antara kata-kata dan perbuatan (tata gerak). Tanda Salib juga merupakan ringkasan iman kita akan Bapa - Putra - Roh Kudus. Tanda Salib juga mengungkapkan bahwa keselamatan kita datang lewat salib.

Gerakan ritual Tanda Salib pada umumnya disertai dengan ucapan Trinitarian : di dahi (in nomine Patris / dalam nama Bapa), di perut / dada (et Filii / dan Putera), di bahu sebelah kiri (et Spiritus / dan Roh) dan menyilang di dada kanan (Sancti / Kudus). Kemudian kedua tangan terkatup sambil berseru : Amen / Amin.

Tata gerak tanda salib harus dilaksanakan dengan khidmat dan cermat, tidak serampangan atau sambil lalu saja. Kita memulai tanda salib dengan menyentuhkan tangan pada dahi, lalu pada dada, lalu pada bahu kiri, dan akhirnya pada bahu kanan.

Tanda Salib dalam Perayaan Ekaristi
Dalam Liturgi Ekaristi, Tanda Salib yang dianjurkan adalah dua kali, yaitu saat pembukaan dalam ritus pembuka dan saat akhir dalam ritus penutup. Ditambah dengan tiga tanda salib kecil dalam dialog yang mengawali bacaan Injil, serta jika pemercikan air suci diadakan. Di luar itu tidak perlu ada tanda salib. Dalam satu kali Misa Kudus diawali dan diakhiri dengan "tanda salib". Artinya di tengah itu sebenarnya masih dalam suasana Misa Kudus, dan dengan demikian sebenarnya tidak diperlukan tanda salib baru.

Tanda Salib dalam perayaan Ekaristi dibawakan sbb: Pemimpin mengucapkan �Dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus� (sementara itu semua membuat tata gerak salib mulai pada dahi, dada, bahu kiri, bahu kanan), dan umat menanggapi dengan �Amin�. Jadi, pada dasarnya tanda salib dalam perayaan Ekaristi bersifat dialogal. Pemimpin mengucapkan �Dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus� dan umat mengamini dengan aklamasi �Amin�. Baik dilafalkan maupun dilagukan, jawaban �Amin� ini harus mantap.

Sesudah menerima Hosti, dan selama berdoa pribadi di Misa tidak perlu membuat Tanda Salib, karena seluruh Misa dari awal sampai akhir itu adalah satu rangkaian doa yang panjang. Doa dimulai saat Tanda Salib di awal dan diakhiri dengan berkat. Mungkin perlu diberi keterangan bahwa tidak perlu tidak sama artinya dengan tidak boleh.

Kita juga menandakan salib dengan ibu jari pada dahi, mulut, dan dada saat awal pembacaan Injil. Makna tiga tanda salib ini adalah sebagai berikut: Pertama kita membuat tanda salib di dahi. Tanda ini memiliki arti, "Dalam pikiranku, saya percaya". Kita mohon bantuan Roh Kudus agar kita bisa percaya pada sabda Tuhan, dalam pikiran kita. Kedua kita membuat tanda salib di mulut. Tanda ini memiliki arti, "Melalui mulutku saya mewartakan". Kita setuju untuk mewartakan sabda Tuhan yang kita percayai dalam pikiran kita ke semua orang. Ketiga kita membuat tanda salib di dada. Tanda yang ini memiliki arti, "Dalam hatiku, saya simpan sabda Tuhan". Kita sudah percaya pada sabda Tuhan, dan kita juga sudah setuju untuk mewartakannya ke semua orang. Namun kita harus juga menyimpan sabda Tuhan itu dalam hati kita, agar kitapun beroleh berkat-Nya

Dengan tanda salib, tubuh kita telah dimeterai dan disucikan oleh Allah. Dalam segala kegiatan kita: dari kita bangun tidur, sebelum tidur, kita belajar, kita bekerja, kita melakukan pelayanan, kita makan, kita susah, kita senang, kita tertawa, kita menangis. Jika kita membuat tanda salib itu berarti kita mengundang Allah Tritunggal Mahakudus untuk menjaga, melindungi kita sehingga kita tidak melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak Bapa. Semoga Tuhan memberkati kita semua.

Oleh : Ign. Djoko Irianto
Prodiakon Paroki St. Herkulanus

Wednesday, June 29, 2011

Nyanyian Pembuka, Nyanyian Yang Menyatukan

Dalam Perjanjian Lama ada tradisi yang menetapkan suku Lewi sebagai petugas di rumah TUHAN (Bait suci). Kedudukan ini menyebabkan orang-orang Lewi mengatur pembagian tugas, supaya ibadat dapat berjalan lancar dan menyentuh. Salah satu kelompok yang terlibat dalam ibadat itu adalah kelompok musik/nyanyian (I Tawarikh 6:31- 32; I Tawarikh 23: 5; 25: 1- 8). Agaknya kelompok nyanyian ini bukan kelompok ala kadarnya, tetapi kelompok yang memang amat serius dalam menjalankan tugasnya (I Tawarikh 25: 7).

Puji-pujian yang disampaikan oleh kelompok nyanyian ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ibadat. Bahkan mereka menempati kedudukan khusus dalam ibadat [I Tawarikh 6: 31; II Tawarikh 5: 11- 13]. Sekalipun tidak secara eksplisit menyebut nyanyian, tetapi tersirat pemahaman bahwa puji-pujian dalam ibadat harus dipersiapkan dengan baik, bukan hanya masalah teknik vokal maupun penampilan, tetapi juga suasana hati para pemujinya. Sehingga puji-pujian yang disampaikan itu benar-benar adalah ekspresi iman, bukan sekedar keindahan suara (Amos 5: 23).

Fungsi Nyanyian di dalam Ibadat
Jelaslah bahwa sejak zaman dahulu musik/nyanyian memainkan peranan yang amat penting bagi pembangunan iman jemaat. Musik dalam ibadat dikelola secara serius [lihat di kitab I dan II Tawarikh]. Musik dipandang amat penting, karena:
1. Musik menjadi salah satu mata rantai liturgi. Artinya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan rangkaian ibadat.
2. Memberi bobot/mempertajam pengungkapan makna iman dan perasaan yang tak cukup bila hanya diungkapkan dengan kata-kata. Sehingga kegiatan ibadat tidak terbatas pada ruang akal-perasaan semata, tetapi memasuki kedalaman spiritual.
3. Dalam penghayatan tertentu nyanyian dapat memancarkan daya kuasa yang dapat menyegarkan, memperbaharui dan bahkan mengubah sikap hidup seseorang (I Samuel 16: 16, 23)
4. Memberi kesempurnaan penghayatan ibadat melalui keutuhan, kekhidmatan dan kesucian ibadat. Nyanyian-nyanyian bisa membantu tersentuhnya batin jemaat.

Dengan demikian nyanyian dalam ibadat menyatu bukan hanya dengan bagian-bagian lain liturgi, melainkan juga dengan hati / batin jemaat yang beribadat. Dalam ibadat tidak ada pihak yang menjadi penonton, dan lainnya sebagai tontonan. Sebab pada hakekatnya musik dalam ibadat berfungsi melayani! Pengiring musik dan warga jemaat lainnya sama-sama tunduk dan bersimpuh di depan Tuhan. Kesatuan hati antara pengiring musik dan warga jemaat lainnya amat penting. Pengiring musik / pemandu pujian (koor) bukan tontonan dan warga jemaat bukan penonton! Suasana ibadat bisa rusak kalau pengiring / koor memerankan diri sebagai �artis pertunjukkan� yang merasa akan ditonton oleh orang lain, sehingga menonjolkan kemerduan suaranya atau ketrampilan bermain musiknya semata.

Oleh karena itu musik/nyanyian tidak hanya berurusan dengan penguasaan teknik alat musik/ vokal dan penampilan, tetapi juga berurusan dengan soal integritas moral, kebersihan hati pelaku (Amos 5: 23). Warga jemaat datang ke Perayaan Ekaristi bukan untuk menyaksikan pertunjukkan nyanyian, tetapi ingin memenuhi undangan Tuhan untuk datang ke perjamuan-Nya. Dalam Sacrosanctom Concilium (SC) art. 112 dikatakan: �Musik Liturgi semakin suci, bila semakin erat berhubungan dengan upacara ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak.�

Musik / nyanyian liturgi juga mengabdi pada partisipasi umat dalam ibadat, seperti yang diuraikan dalam SC art. 114: �Khazanah musik liturgi hendaknya dilestarikan dan dikembangkan secermat mungkin. Para uskup dan para gembala jiwa lainnya hendaknya berusaha dengan tekun, supaya pada setiap upacara liturgi yang dinyanyikan segenap jemaat beriman dapat ikut serta secara aktif dengan membawakan bagian yang diperuntukkan bagi mereka.�

Nyanyian Pembuka memiliki beberapa fungsi: (PUMR no. 47-48).
1. mengiringi perarakan para petugas liturgi (imam dan para pelayan lain) memasuki ruang ibadat; maka nyanyian pembuka harus dilagukan selama perarakan berlangsung;
2. membina persekutuan umat; maka seluruh jemaat harus berpartisipasi dalam nyanyian pembuka: bernyanyi dengan segenap hati, dengan suara lantang; oleh karena itu baik dipilih nyanyian yang mampu mempersatukan umat.
3. mengantar umat memasuki misteri yang dirayakan; maka tema nyanyian pembuka harus cocok dengan Perayaan Ekaristi hari yang bersangkutan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menunjang terciptanya persekutuan jemaat, a.l.:
1. tata gerak: selama melagukan nyanyian pembuka kita semua berdiri tegap, tidak loyo, tidak ada yang duduk; kesamaan sikap ini menunjukkan kekompakan, persekutuan. �Sikap tubuh yang seragam menandakan kesatuan seluruh jemaat yang berhimpun untuk merayakan Liturgi kudus. Sebab sikap tubuh yang sama mencerminkan dan membangun sikap batin yang sama pula.�
2. terlibat: seluruh umat melagukan nyanyian pembuka, entah silih berganti dengan koor, entah bersama-sama dengan para anggota koor;
3. berbagi buku: kalau teman di sebelah kita tidak membawa buku, kita ajak ia menyanyi dengan buku kita; dengan menawarkan buku untuk dipakai bersama, kita membangun persekutuan;
4. latihan: kalau nyanyian pembuka belum dikuasai umat, dirigen harus melatihnya beberapa menit sebelum Perayaan Ekaristi.

Marilah kita kita siapkan diri kita untuk mengikuti Misa Kudus dengan penuh hormat dan dengan hati yang dipenuhi oleh ungkapan syukur. Kita satukan diri kita bersama jemaat lainnya untuk menyanyikan pujian dengan hati yang dilandasi oleh iman dan kasih. Semoga Tuhan memberkati kita semua.

Oleh : Ign. Djoko Irianto
Prodiakon Paroki St. Herkulanus

Tuesday, June 21, 2011

Memahami Makna �Perarakan Masuk�


Suatu ketika seorang teman bertanya : �Adakah makna perarakan masuknya rombongan Imam beserta para petugas liturgi dalam Perayaan Ekaristi?�

Perarakan (prosesi) adalah satu elemen yang ada dalam seluruh perayaan yang kita temukan hampir dalam setiap bentuk ibadah keagamaan. Menurut para ahli, prosesi adalah sebuah praktek liturgi kuno yang diadopsi dari perarakan kerajaan duniawi. Dalam tradisi kuno Babilonia, Hindu, Yunani dan Romawi juga terdapat praktek prosesi yang dilakukan dengan berjalan dan berdoa. Tradisi yang sama juga terdapat di Amerika yaitu berjalan ke tempat yang suci dengan ritual khusus. Prosesi yang lebih erat dihubungkan dengan kekristenan diadaptasi dari tradisi Romawi.

Gambaran biblis tentang perarakan diambil dari Kitab Keluaran, yaitu perarakan bangsa Israel yang keluar dari Mesir melewati Laut Merah menuju tanah terjanji. Dari tempat perhambaan ke tempat kebebasan, terlepas dari penindasan dan penderitaan masuk ke �tanah terjanji�. Dalam Perjanjian Lama, bangsa Israel menjadi umat Allah, dan status itu sungguh-sungguh suatu rahmat Allah.

Hubungan antara Misteri Israel dengan Misteri Gereja hanya dapat digambarkan dalam perspektif sejarah keselamatan. Peristiwa keluaran menjelaskan kepada kita pemahaman atas pembaptisan sebagai sebuah pencucian dengan air yang membersihkan kita dari dosa dan maut (tempat perhambaan) dan membawa kita masuk pada hidup kebangkitan (tanah terjanji). Perarakan liturgis Katolik melambangkan perjalanan kehidupan kita dari mati menuju hidup yang kekal, dari dosa kepada pengampunan dan hidup baru. Ekaristi digambarkan sebagai �manna dari surga� sebagai makanan selama perjalanan bangsa Israel di padang gurun ke tanah terjanji.

Dalam liturgi Katolik ada banyak perarakan (prosesi) yang dilaksanakan. Dalam Perayaan Ekaristi dikenal empat prosesi utama, yaitu : perarakan masuk, perarakan Injil, perarakan persembahan, dan perarakan Komuni Suci. Dan dalam liturgi khusus sering ada perarakan yang dilakukan secara meriah, seperti perarakan pada waktu pekan suci yaitu perarakan palma pada Minggu Palma, perarakan Sakramen Mahakudus sesudah Ekaristi pada Kamis Putih, perarakan Lilin Paskah pada malam Paskah.

Perarakan berarti gerak beberapa atau banyak orang dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Gerak yang dimaksud bukanlah gerak sembarangan, tetapi bergerak dengan teratur dari satu tempat ke tempat lain dalam liturgi, yang biasanya diiringi dengan nyanyian. Berjalan dilakukan dengan badan dan kepala yang tegak, tenang dan agung. Berjalan juga bisa dipahami sebagai ungkapan kesiapsediaan kita menanggapi tawaran kasih karunia Allah yang selalu ada di hadapan kita.

Perarakan Masuk adalah perarakan memasuki ruang ibadat (gereja) yang melibatkan rombongan pemimpin ibadat dan para pembantunya. Perarakan ini dilaksanakan dari sakristi atau tempat lain ke ruang ibadat. Perarakan Masuk menjadi bagian paling awal dari seluruh rangkaian Ritus Pembuka. Menurut PUMR 46, �Ritus Pembuka meliputi bagian-bagian yang mendahului Liturgi Sabda, yaitu perarakan masuk, salam, kata pengantar, pernyataan tobat, Tuhan Kasihanilah, Kemuliaan, dan doa pembuka; semua bagian ini memiliki ciri khas sebagai pembuka, pengantar, dan persiapan.� Tujuan semua bagian itu ialah mempersatukan umat yang berhimpun dan mempersiapkan mereka, supaya dapat mendengarkan sabda Allah dengan penuh perhatian dan merayakan Ekaristi dengan layak. Dengan demikian, perarakan masuk menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam Perayaan Ekaristi.

Selama Perarakan Masuk, umat berdiri dan dalam suasana hening. PUMR 43a: �Umat hendaknya berdiri dari awal nyanyian pembuka, atau selama perarakan masuk menuju altar sampai dengan doa pembuka selesai�. Berdiri merupakan simbol gerakan badan yang penting dalam liturgi. Berdiri merupakan tindakan liturgis yang mengungkapkan perhatian, kepedulian, penghormatan, dan kesiapsediaan terhadap kehadiran Tuhan, baik melalui diri pemimpin ibadat maupun dalam Sabda dan Doa. PUMR 45 : �Bahkan sebelum perayaan Ekaristi, dianjurkan agar keheningan dilaksanakan dalam gereja, di sakristi, dan di area sekitar gereja, sehingga seluruh umat dapat menyiapkan diri untuk melaksanakan ibadat dengan cara yang khidmat dan tepat.

Seluruh unsur dalam Ritus Pembuka bersifat mengantar dan mempersiapkan jemaat untuk dapat mendengarkan Sabda Allah (dalam Liturgi Sabda), yang kemudian memuncak dalam persatuan dengan Tubuh Kristus (dalam Liturgi Ekaristi). Tujuan utama dan paling mendasar dari Ritus Pembuka adalah agar kesatuan jemaat dapat sungguh terwujud. Umat dipersatukan satu sama lain, dipersatukan dengan Gereja sedunia, bahkan dengan Allah. Maka, umat yang berkumpul harus menjadi jemaat (congregatus) yang bersekutu di bawah pimpinan Kristus.

Marilah kita mengikuti Misa secara utuh mulai dari ritus pembuka hingga ritus penutup, mulai perarakan masuk hingga perarakan Imam keluar gedung gereja. Semoga Tuhan memberkati kita semua.

Oleh : Ign. Djoko Irianto
*) Penulis, Prodiakon Paroki St. Herkulanus

Sunday, June 19, 2011

Berlutut, sikap hormat dan mengakui kelemahan di hadapan Allah

Saat kita masuk ke gedung gereja, setelah membuat tanda salib dengan air suci, sebelum duduk, biasanya kita berlutut sejenak. Mengapa?

Kita berlutut pada saat akan duduk dan beberapa kali berlutut selama Misa Kudus. Untuk memahami hal ini, sesungguhnya kita harus menghayati dulu Siapa yang hadir di hadapan kita dalam Misa Kudus. Jika kita mengimani bahwa Tuhan Yesus Kristus sungguh-sungguh hadir di dalam Ekaristi itu dan di dalam diri imam-Nya yang memimpin Misa Kudus, maka kita akan dengan lapang hati berlutut, dan sungguh tidak ada halangan bagi kita untuk berlutut. Sebab Alkitab mengatakan, �dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi� (Flp 2:10).

Kebiasaan berlutut berasal dari Eropa pada abad pertengahan. Pada waktu itu ada suatu kebiasaan di Eropa untuk menekukkan satu lutut (genuflect) di hadapan seorang raja atau seseorang yang berkedudukan tinggi. Berlutut bisa menandakan bahwa kita �kalah� dan kita �pasrah�. Dalam tradisi Katolik, berlutut menjadi tanda kepasrahan dan pengakuan atas kelemahan kita dihadapan Allah. Di dalam gedung gereja, berlutut juga menjadi ungkapan rasa hormat kita akan adanya Altar dan tabernakel di hadapan kita. Altar menjadi tempat dimana Yesus Kristus hadir secara riil dalam Ekaristi, dan tabernakel menjadi tempat Sakramen Mahakudus yang merupakan Tubuh Kristus sendiri.

Kapan saja kita �berlutut�?
Ada beberapa kali kita berlutut di dalam gereja atau selama Misa Kudus. Pertama kali kita berlutut ketika kita masuk ke gedung gereja, setelah membuat tanda salib dengan air suci, sebelum duduk, kita berlutut sejenak dengan menekuk satu lutut (�kaki kanan menyentuh lantai�) dan membuat tanda salib. Sikap ini merupakan ungkapan rasa hormat kepada Altar dan tabernakel yang merupakan tempat kudus yang ada di hadapan kita. Sikap hormat yang sama ini juga dilaksanakan oleh para petugas liturgi (prodiakon, lektor dan misdinar) ketika hendak naik ke panti imam atau setelah melaksanakan tugas di panti imam. Bagi para petugas liturgi, �berlutut� dapat diganti dengan �menundukkan kepala� pada saat dalam perarakan, atau ketika sedang membawa salib, lilin, dupa atau Kitab Suci. Menurut PUMR 275a, �menundukkan kepala� dilakukan juga ketika mengucapkari nama Tritunggal Mahakudus, nama Yesus, nama Santa Perawan Maria, dan nama para orang kudus yang diperingati dalam Misa yang bersangkutan.

Kita juga berlutut pada saat �Doa Syukur Agung�, pada saat persiapan Komuni:�inilah Anak Domba Allah �.�, dan pada saat doa pribadi sesudah komuni. PUMR 43 mengatakan : �Umat berlutut pada saat konsekrasi, kecuali kalau ada masalah kesehatan atau tempat ibadat tidak mengijinkan, entah karena banyaknya umat yang hadir, entah karena sebab-sebab lain. Mereka yang tidak berlutut pada saat konsekrasi hendaknya membungkuk khidmat pada saat imam berlutut sesudah konsekrasi�.

Berlutut bisa juga menandakan sikap pasrah dan mengakui kelemahan kita di hadapan Allah. Sikap tubuh dengan berlutut ini menunjukkan semangat kerendahan diri yang menguasai hati dan jiwa kita. Di hadapan Allah, Sang Sumber Hidup, kita ini tidak ada apa-apanya. Saat itu pula, dengan sikap tubuh itu, kita mengungkapkan isi batin kita dan menyembah Allah. Kita juga ingin menyelaraskan diri dengan Kristus, Putra-Nya. Berlutut semacam ini juga mengungkapkan keyakinan kita bahwa Allah yang telah memulai itu akan juga menggenapi semua karyaNya di dalam diri kita. Kita menyerahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan.

Mari kita mengikuti Misa dengan penuh hormat dan dengan hati yang dipenuhi oleh ucapan syukur, karena Yesus mengundang kita untuk datang ke perjamuanNya: �Berbahagialah kita yang diundang ke-perjamuanNya!�

Oleh : Ign. Djoko Irianto
Prodiakon Paroki St.Herkulanus, Depok.

Wednesday, June 15, 2011

Makna Tanda Salib dengan Air Suci

Oleh : Ign. Djoko Irianto
Seorang teman bertanya, apa makna membuat tanda salib dengan air suci ketika masuk gereja?

Seturut tradisi Gereja Katolik, kita menempatkan bejana-bejana air suci dekat pintu masuk gereja. Penempatan dan penggunaan air suci sesungguhnya berhubungan dengan praktek pentahiran (pembersihan diri) bangsa Yahudi dalam Perjanjian Lama. Kitab Imamat menjelaskan berbagai macam ritual pentahiran mempergunakan air untuk menghapus �kenajisan� tertentu, misalnya akibat menyentuh jenazah, haid, melahirkan atau terjangkit kusta (bdk. Imamat 12-15). Dalam tradisi bangsa Yahudi, orang juga membersihkan diri dengan air sebelum memasuki pelataran Bait Allah, memanjatkan doa dan mempersembahkan kurban, juga sebelum makan. Karena alasan inilah, dalam Balai Imam (area sebelum bangungan Bait Allah) ditempatkan bejana perunggu yang sangat besar berisi air. Di sini para imam membersihkan tangan serta kaki mereka sebelum mempersembahkan kurban di altar di dekatnya. Imam menyucikan diri sebelum memasuki Bait Allah, dan dari sana juga diambil air untuk keperluan pentahiran lainnya seperti ditetapkan dalam ritual-ritual bangsa Yahudi.

Kita membuat tanda salib dengan air suci ketika memasuki gereja karena tiga alasan, yaitu : sebagai tanda sesal atas dosa, sebagai perlindungan dari yang jahat dan sebagai tanda peringatan akan pembaptisan kita.

Pertama, air suci sebagai tanda sesal atas dosa. Sesal atas dosa digambarkan dengan membersihkan diri dengan air seperti dinyatakan dalam Mazmur 51: �Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku! Bersihkanlah aku dari pada dosaku dengan hisop, maka aku menjadi tahir, basuhlah aku, maka aku menjadi lebih putih dari salju!� (3-4, 9). (Hisop adalah tumbuh-tumbuhan yang kecil, yang batang dan daunnya dipergunakan untuk memercikkan barang cair). Ingat juga bagaimana St. Yohanes Pembaptis memanggil semua orang untuk bertobat dengan menggunakan ritual membersihkan diri dengan air sebagai tanda sesal atas dosa dan penyucian diri.

Tindakan-tindakan ini dimasukkan dalam Misa kita. Dalam Ritus Tobat, salah satu cara menyatakan tobat adalah Asperges, yang terdiri dari Ritus Berkat dan Memerciki dengan Air Suci. Sementara imam berjalan melewati umat sambil memerciki mereka dengan air suci, umat biasanya memadahkan Asperges Me (= Percikilah Aku), yang disusun berdasarkan Mazmur 51. Bersama - sama, setiap jemaat menyatakan sesal dan tobat atas dosa.

Kedua, air suci melindungi kita dari yang jahat. Dalam doa pemberkatan air dalam ibadat, kita berdoa: �Tuhan, Allah yang Mahakuasa, pencipta segala yang hidup, baik tubuh maupun jiwa, kami mohon sudilah memberkati air ini, yang kami gunakan dalam iman untuk mengampuni dosa-dosa kami dan melindungi kami dari segala kelemahan dan kuasa jahat. Tuhan, karena belas kasihan-Mu berilah kami air hidup, yang senantiasa memancar sebagai mata air keselamatan; bebaskan kami, jiwa dan raga, dari segala mara bahaya, dan ijinkan kami menghadap hadirat-Mu dengan hati yang murni.�

Yang ketiga, air suci mengingatkan kita akan pembaptisan kita. Karena seruan kepada Tritunggal Mahakudus dan penuangan air suci, kita dibebaskan dari dosa asal dan dari segala dosa, dicurahi rahmat pengudusan, dipersatukan dalam Gereja, dan diberi gelar putera-puteri Allah. Dengan membuat Tanda Salib dengan air suci, kita disadarkan bahwa kita dipanggil untuk memperbaharui janji-janji baptis kita, yakni menolak setan, menolak segala karya-karyanya, serta mengaku syahadat iman kita. Sekali lagi, kita menyesali dosa - dosa kita, agar kita dapat memanjatkan doa-doa kita dan beribadat kepada Tuhan dengan hati murni dan penuh sesal. Seperti air dan darah yang mengalir dari Hati Yesus yang Mahakudus sementara Ia tergantung di atas kayu salib - yang melambangkan Sakramen Baptis dan Sakramen Ekaristi Kudus yang sungguh luar biasa. Tindakan mengambil air suci dan membuat Tanda Salib sebelum memasuki gereja mengingatkan kita akan Sakramen Baptis kita dan menyiapkan diri kita untuk menyambut Ekaristi Kudus.

Sumber : http://www.indocell.net/yesaya/id501.htm

Sunday, May 8, 2011

Katekese Liturgi

Katekese Liturgi
Suatu Keharusan
Rm Karnan Ardijanto, Pr

Bapa konsili melihat bahwa perayaan liturgi, terutama perayaan Ekaristi, merupakan puncak yang dituju oleh seluruh kegiatan dan karya kerasulanan Gereja, sekaligus merupakan sumber segala daya kekuatannya Sacrosanctum Concilium (SC 10] Sedangkan Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) menambahkan bahwa pekerjaan sehari-hari dalam kehidupan Kristen juga berkaitan erat dengan perayaan Ekaristi: bersumber dari padanya dan tertuju kepadanya (PUMR 16). Dengan kata lain, liturgi merupakan sumber utama yang tak tergantikan untuk menimba semangat kristiani yang sejati. Hal ini mengandaikan dan menuntut partisipasi sadar, aktif dan sepenuhnya dari kaum beriman yang mengambil bagian dalam perayaan liturgi (SC 19).

Dewasa ini haruslah diakui bahwa di mana-mana tingkat partisipasi umat beriman dalam perayaan Ekaristi sudah menunjukkan kemajuan dan sernakin meningkat, namun tidak sedikit juga umat yang terus saja pasif dan kurang bergairah dalam mengikuti perayaan Ekaristi, Rendahnya tingkat partisipasi umat dalam perayaan Ekaristi ini dapat disebabkan oleh motivasi yang keliru: motivasi "wajib" dan "hanya ikut" karena setiap orang yang sudah dibaptis harus ke gereja pada hari minggu (Mayor, 1999: 2). Alasan lain yang lebih mendasar kiranya adalah kurang atau rendahnya pengertian dan pemahaman sebagian besar umat beriman ten tang perayaan Ekaristi itu sendiri (Roguet, 1984: 5).

Kenyataan ini menyisakan suatu tantangan dan tugas besar bagi seluruh umat beriman untuk menjadikan liturgi, terutama perayaan Ekaristi, sungguh sebagai puncak yang dituju oleh seluruh hidup Gereja dan hidup sehari-hari umat beriman, dan sekaligus sebagai sumber rahmat bagi pengudusan manusia dan pemuliaan Allah. Bagaimana perayaan liturgi, terutama perayaan Ekaristi, dapat menjadi peristiwa yang menarik, mengesan, mengena, sekaligus menjadi sumber rahmat dan daya kekuatan bagi jemaat untuk menghayati iman dan melaksanakan perutusan di tengah kehidupan harian mereka. Berbagai usaha menjadikan perayaan Ekaristi menjadi menarik, mengesan, dan mengena telah dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya: perayaan Ekaristi yang disesuaikan dengan adat budaya tertentu, penggunaan bahasa dan budaya setempat, kehadiran para petugas liturgi yang trampil dan terlatih, tata ruang yang anggun dan berbagai usaha sejenisnya. Semua upaya ini patutlah kita sambut dengan penuh syukur, namun kiranya segala usaha tersebut lebih menekankan segi lahir dan kelihatan dari perayaan Ekaristi itu sendiri, serta belum begitu menyentuh alasan utama rendahnya tingkat partisipasi umat dalam perayaan Ekaristi, yakni motivasi yang tepat dan kurangnya pemahaman umat beriman akan hakekat perayaan Ekaristi.

Para bapa konsili melihat bahwa usaha yang harus dilakukan untuk meningkatkan partisipasi dan penghayatan umat beriman dalam perayaan Ekaristi adalah melalui pendidikan liturgi bagi kaum beriman. Oleh karena itu para bapa konsili berkata:

Bunda Gerda sangat menginginkan, supaya semua orang beriman dibimbing ke arah keikutsertaan yang sepenubnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan Liturgi ... Maka dari itu dalam seluruh kegiatan pastoral mereka, para gembala jiwa harus mengusahakannya dengan rrgin melalui pendidikan yang seperlunya (SC 14).

Hendaklah para gembala jiwa dengan tekun dan sabar mengusahakan pembinaan liturgi kaum beriman serta keikutsertaan mereka secara aktij, baik lahir maupun batin, sesuai dengan umur, situasi, corak hidup dan taraf perkembangan religius mereka (SC I9).

Perlulah disadari bahwa partisipasi sadar, aktif, dan sepenuhnya pertama-tama dan terutama berasal dari hakekat liturgi itu sendiri dan berdasarkan Imamat umum kaum beriman yang telah mereka terima melalui sakramen permandian (SC 14). Liturgi sebagai tindakan Kristus sekaligus tindakan Gereja rnenjadikan perayaan liturgi sebagai perayaan jemaat. Jemaatlah yang menjadi subyek dan partisipan aktif; mereka bukan penonton yang pasif. Berkat anugerah Imamat umum, umat beriman berhak dan wajib untuk mengungkapkan imamat umum mereka bersama dengan seluruh Gereja dalam perayaan liturgi.

Partisipasi secara sadar, aktif, dan sepenuhnya dari umat beriman juga memungkinkan mereka menghadiri perayaan liturgi dengan sikap-sikap yang serasi: kesesuaian isi hati dengan apa yang mereka ucapkan (SC 11), antara sikap batin dengan ungkapan lahir; antara apa yang mereka imani (lex credendi) dengan apa yang mereka nyatakan (lex orandi).

Bagi para bapa konsili, pendidikan liturgi bukanlah suatu penawaran atau anjuran, melainkan suatu keharusan bagi para gembala jiwa (SC 14), karena salah satu tugas utama mereka adalah pembagi rahmat dan misteri-misteri Allah (SC 19). Dalam melaksanakan pendidikan liturgi ini, para gembala dianjurkan untuk melakukannya dengan rajin, tekun, dan sabar SC 14 dan SC 19). Dengan rajin berarti bahwa para petugas pastoral dituntut untuk melaksanakannya dengan terus menerus tanpa henti. Usaha mereka yang rajin dan tanpa henti itupun masih perlu ditunjang dengan ketekunan dan kesabaran mengingat bahwa tidaklah selalu mudah melaksanakan pendidikan liturgi bagi kaum beriman. Tidak sedikitlah tantangan, kesulitan, hambatan, dan kemungkinan gagal. Menghadapi semua ini para pelayan tertahbis dan non tertahbis diharapkan memiliki kegigihan, ketekunan dan kesabaran dalam membina kaum beriman.

Selain melalui pendidikan liturgi, bapa-bapa konsili, dalam Deklarasi ten tang Pendidikan Kristen,juga menyatakan bahwa peningkatan partisipasi umat beriman dalam perayaan liturgi dapat dilakukan melalui kegiatan katekese. Kegiatan katekese yang sejati senantiasa mengarahkan peserta untuk merayakan iman mereka dalam perayaan-perayaan liturgi Gereja:

Di antaranya yang utama ialah pendidikan kateketis, yang menyinari dan meneguhkan iman, menyediaean santapan bagi hidup menurut seman gat Kristus, mengantar kepada partisipasi yang sadar dan aktif dalam misteri Liturgi, dan menggairahkan kegiatan merasul (GE 4).

Pernyataan para bapa konsili tersebut ditegaskan kembali oleh Petunjuk Umum Katekese (2000) ketika membicarakan tentang tugas katekese:

" ... katekese, bersama dengan memrgukan pengetahuan tentang arti liturgi dan sakramen-sakramen, harus juga mendidik para murid Kristus untuk doa, ucapan .ryukur, tobat, berdoa dengan penuh keper- ccryaan, untuk seman gat menjemaat, untuk mengerti dengan tepat arti Credo ... karena semua ini perlu bagi hidup liturgis (PUK 85).

" ... pembinaan liturgis ... harus menjelaskan apa itu liturgi Kristen, dan apa itu sakramen. Katekese harus juga memberikan pengalaman tentang macam-macam perayaa� yang berbeda, dan harus membuat simbol-simbol, gerak-gerak, dan sebagaitrya yang dikenal dan dicintai" (PUK 87).

Petunjuk Umum Katekese (PUK 85 dan 87) juga menyebutkan berbagai bahan pembinaan liturgi bagi cmat beriman, yakni: arti dan makna liturgi Kristen, sakramen-sakramen atau perayaan liturgi lainnya, simbol-simbol dan gerakan liturgi, dan sebagainya. Selain itu katekese juga diharapkan membentuk dalam diri umat beriman sikap-sikap yang dituntut dan diperlukan oleh setiap perayaan liturgi, misalnya doa, ucapan syukur dan pujian, tobat, berdoa dengan penuh kepercayaan, semangat menjemaat, dan sejenisnya, Dan yang tak kalah pentingnya adalah bahwa katekese secara khusus juga mempersiapkan umat beriman untuk memasuki sakramen-sakramen inisiasi secara bertahap.

Dewasa ini patutlah disyukuri dengan adanya berbagai usaha pendidikan liturgi bagi umat beriman yang sudah dilaksanakan oleh berbagai pihak. Pertama yang perlu disebut adalah pendirian Institute Liturgi (ILSKI = Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia) di Bandung, namun perlu ditanyakan sejauh mana lembaga ini juga mengusahakan pendidikan liturgi bagi umat beriman dan sejauh mana kerjasama dengan Kornisi Liturgi KWI dalam mengusaha-kan pendidikan sejenis. Usaha-usaha lain yang dilakukan melalui media cetak: buku-buku, majalah-majalah, bulletin atau leaflet, dan sejenisnya di berbagai tingkat baik parokial maupun keuskupan ataupun nasional.

Pembinaan liturgi bagi para petugas liturgi juga banyak dan kerap kali dilaksanakan di begitu banyak tempat, namun dalam pengamatan kami tak jarang pembinaan tersebut memiliki titik tekan pada pembinaan teknis untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab para petugas liturgi; sedangkan pembinaan liturgis atau biblis ataupun teologis kurang mendapatkan perhatian secukupnya. Upaya lain yang dilakukan Komisi Liturgi KWI adalah menetapkan bulan Mei sebagai Bulan Liturgi Nasional. Komisi Liturgi KWI juga menawarkan bahan dan kegiatan yang dapat diwujudkan selama bulan liturgi tersebut, namun dalam kenyataannya hanya sebagian kecil paroki saja yang menaruh perhatian terhadapnya.

Menurut hemat kami, kecilnya perhatian paroki-paroki pertama-tama tidak disebabkan oleh rendahnya minat para gembala atau umat beriman terhadap liturgi, namun penetapan waktunya yang dirasa kurang tepat. Bulan Mei biasanya paroki-paroki baru saja menyelesaikan kesibukan mereka dengan peristiwa Pekan Suci dan belum sempat "cooling down." Bulan tersebut mereka juga memfokuskan perhatian kepada kegiatan devosi kepada Santa Perawan Maria. Apakah tidak dimungkinkan perubahan penetapan Bulan Liturgi Nasional dari bulan Mei ke bulan lain sehingga ada cukup waktu untuk mempersiapkannya dengan perhatian yang tidak terbagi sehingga gema Bulan Liturgi Nasional juga terasa di paroki-paroki.

Tak kenal, maka tak sayang. Kiranya ungkapan ini tepat untuk dikenakan pada liturgi kita. Kurangnya pemahaman akan liturgi menjadikan orang kurang terlibat dan berpartisipasi dalam liturgi dan akhirnya kurang dapat memetik dan menikmati rahmat pengudusan yang diperlukan untuk menghayati hidup harian kita dalam Tuhan. Akhirnya pendidikan liturgi menjadi suatu keharusan yang tidak pernah boleh diabaikan oleh para gembala (maupun para petugas pastoral non tertahbis) baik sebagai jawaban atas seruan konsili maupun aktualisasi tugas mereka sebagai pembagi rahmat misteri penyelamatan Allah sekaligus juga sebagai aktualisasi imamat umum kaum beriman.

Rm Karnan Ardijanto, Pr
(Penulis adalah Ketua Komkat Keuskupan Surabaya)

Sumber : http://www.imankatolik.or.id/