Latest News

Saturday, November 26, 2011

Mazmur Tanggapan

Bacaan-bacaan Alkitab dan Mazmur tanggapan merupakan unsur pokok dalam liturgi sabda (PUMR 55). Sesuai dengan namanya, Mazmur tanggapan dimaksudkan untuk memperdalam renungan atas sabda Allah dan sekaligus menanggapi sabda Allah yang baru saja kita dengarkan dalam bacaan pertama. Mazmur tanggapan memiliki makna liturgis serta pastoral yang penting karena menopang permenungan atas sabda Allah. Karena itu, Mazmur tanggapan tidak boleh diganti dengan teks lain atau nyanyian lain yang bukan dari Alkitab (PUMR 57).

Tradisi menyanyikan Mazmur atau Kidung setelah mendengarkan bacaan dari Kitab Suci, sebenarnya sudah dilakukan sejak jaman dahulu oleh orang-orang Yahudi. Tradisi ini kemudian diikuti oleh Gereja di mana mana dalam tradisi Gereja Latin. Biasanya, setelah pembacaan Kitab Suci, seseorang akan menyanyikan Mazmur atau Kidung dengan berdiri di anak tangga (dekat panti Imam) yang dalam bahasa latin dinamakan Gradus.

Sejalan dengan perkembangannya, Mazmur dan Kidung ini kemudian dihimpun dalam dua buah buku yang diterbitkan oleh Gereja dengan nama Graduale Romanum dan Graduale Simplex di mana nama buku (Graduale) diambil dari kata Gradus tersebut di atas. Sejak abad XX Mazmur tanggapan wajib dinyanyikan dalam Ekaristi. Nyanyian Mazmur tanggapan dapat dinyanyikan di mimbar sabda atau di tempat lain yang dianggap layak (PUMR 61).

Makna utama yang terkandung dalam Mazmur tanggapan adalah :
� Sebagai jawaban atau tanggapan jemaat atas sabda Allah yang baru saja diwartakan atau dibacakan.
� Mazmur tanggapan bermakna menjawab dengan pujian atas karya-karya Illahi dari Allah yang terus berlangsung sejak dunia ini diciptakan-Nya hingga sekarang ini
� Mazmur tanggapan merupakan pewartaan kabar gembira tentang karya keselamatan Allah, di mana karya keselamatan ini memuncak pada diri Yesus Kristus Putra Nya yang tunggal.

PEDOMAN MEMBAWAKAN MAZMUR TANGGAPAN
Sejak dikeluarkannya Pedoman Umum Missale Romawi (PUMR) 2002 dan diterbitkannya Tata Perayaan Ekaristi (TPE) di Indonesia pada tahun 2005, hal tentang membawakan Mazmur Tanggapan ini dijelaskan secara lebih rinci lagi.
� Sesuai dengan PUMR no 61, Mazmur tanggapan sebaiknya dibawakan dengan cara dinyanyikan, sekurang-kurangnya pada bagian ulangan (antifon) sesuai dengan hakikat dari Mazmur sendiri yang merupakan sebuah nyanyian
� Mazmur tanggapan dinyanyikan dengan tenang dan mengalir, selaras dengan sifat lagunya yang lebih bersifat kontemplatif dan meditatif
� Mazmur Tanggapan dibawakan secara khusus oleh pemazmur dan sebaiknya dibedakan dengan solis yang lebih berfungsi sebagai petugas dalam kelompok paduan suara.
� Seandainya petugas pemazmur tidak ada, maka Solis dari kelompok paduan suara dapat mengambil alih tugas ini; dan seandainya pemazmur dan solis dari paduan suara tidak ada, maka Lektor dapat mengambil alihnya.

Makna dan Maksud
Mazmur Tanggapan merupakan unsur pokok dalam liturgi sabda, dan mempunyai makna liturgis serta pastoral yang penting karena menopang permenungan atas sabda Allah. Maksud mazmur tanggapan adalah menanggapi sabda Tuhan! Dan tanggapan ini bukan dengan sembarang kata, tetapi dengan kata-kata Alkitab, yang telah dipilih secara saksama oleh para ahli liturgi.

Struktur
Mazmur Tanggapan terdiri dari ulangan dan ayat atau bait Mazmur.

1. Ulangan dimaksudkan sebagai kunci penafsiran atau sebagai amanat inti dari bacaan yang baru saja didengar.
2. Ulangan memungkinkan umat ambil bagian secara aktif dalam permohonan, pujian, renungan, dll. sebagai tanggapan terhadap sabda Allah.
3. Ayat/bait-bait bermaksud memperdalam amanat pewartaan.
4. Dialog antara ayat - ulangan, antara pemazmur - umat, antara pewarta dan penerima sabda, menggambarkan dialog antara Allah dan umat-Nya.

Tata Pelaksanaan
Mazmur tanggapan muncul dari suasana hening, tanpa keributan atau pun pengumuman. Itulah sebabnya ulangan sebaiknya dihafal, sehingga umat tidak harus membaca. Cara membawakan mazmur tanggapan adalah sbb:

1. Pemazmur melagukan [ayat-ayat] mazmur dari mimbar atau tempat lain yang cocok.
2. Sesudah intro dari organis, pemazmur melagukan ulangan, kemudian umat menirukan pemazmur: melagukan ulangan.
3. Kemudian pemazmur melagukan ayat-ayat, dan sesudah setiap ayat, umat melagukan ulangan.
4. Hendaklah dihindari kebiasaan buruk: umat ikut bersenandung pada saat pemazmur melagukan ayat-ayat mazmur. Tugas umat waktu pemazmur melagukan ayat adalah meresapkan syair ayat mazmur sehingga dapat menanggapi secara mantap waktu melagukan ulangan.

Peran Pemazmur
Pemazmur memainkan peranan kunci dalam membawakan mazmur tanggapan. Maka ia harus sungguh memahami fungsi mazmur tanggapan dan menguasai teknik-teknik membawakannya, a.l:

1. Ulangan: Pemazmur harus mampu mengangkat ulangan dengan mantap dan meyakinkan, sesuai dengan jiwa teks, sehingga umat pun dapat serempak mengulanginya.
2. Ayat-ayat: Ayat-ayat mazmur mengungkapkan inti tanggapan kita terhadap sabda Allah. Maka harus dibawakan dengan tepat.

Suasana dan penjiwaan
Jiwa dan suasana Mazmur tanggapan sangat bervariasi: gembira, pujian, syukur, gagah, agung / megah, susah, merana merintih, tenang (doa, renungan), dll. Semua ini harus mendapat perhatian dari pemazmur, agar ia dapat membawakan ayat-ayat mazmur tanggapan dengan suasana dan penjiwaan yang tepat.

Tempat
Tempat pemazmur membawakan ayat-ayat mazmur ialah mimbar atau tempat lain yang cocok. Umat mendengarkan sambil duduk. Sedapat mungkin umat berpartisipasi dengan menyanyikan ulangan, kecuali kalau yang dinyanyikan itu hanya mazmur saja tanpa ulangan.

Marilah kita siapkan hati dan pikiran kita untuk merenungkan Sabda Tuhan dengan menanggapi dan menyanyikan Mazmur tanggapan dengan sepenuh hati.
Semoga Tuhan memberkati kita semua.
Oleh : Ign. Djoko Irianto
*) Penulis, Prodiakon Paroki St. Herkulanus.

Monday, November 21, 2011

Bacaan Alkitab dalam Liturgi Sabda

Setelah Ritus Pembuka, Perayaan Ekaristi masuk ke dalam Liturgi Sabda. Pada bagian Liturgi Sabda ini umat diajak untuk mendengarkan Sabda Tuhan dan menanggapinya. Bagian ini merupakan dialog perjumpaan antara Allah yang bersabda dan umat yang menanggapinya. Karena apabila Alkitab dibacakan dalam gereja, Allah sendiri bersabda kepada umat-Nya, dan Kristus sendiri mewartakan kabar gembira, sebab Ia hadir dalam sabda itu (PUMR 29).

Pada masa Gereja Perdana, pemilihan dan jumlah bacaan dari Kitab Suci (Alkitab) bervariasi untuk setiap liturgi. Kemudian berkembang pola di mana satu bacaan dari salah satu epistula atau surat para rasul akan dibacakan sebelum bacaan Injil. Kitab para nabi dari Perjanjian Lama juga diberi prioritas untuk disampaikan kepada umat. Lebih lanjut, Gereja menetapkan bahwa hanya kitab-kitab para Nabi atau para Rasul yang dibacakan kepada umat beriman dalam Perayaan Ekaristi (Misa).

Sejak tahun 1969 ditetapkan bahwa dalam Misa Hari Minggu digunakan struktur bacaan sbb.: Bacaan Pertama - Mazmur Tanggapan - Bacaan Kedua - Bacaan Injil. Bacaan Injil dibagi ke dalam siklus 3 tahunan menurut kalender liturgi pada tahun tersebut (tahun A � Injil Matius, tahun B � Injil Markus, tahun C � Injil Lukas, sementara Injil Yohanes disebar dalam tiga tahun tersebut). Sementara, untuk Hari Raya walaupun berstruktur sama namun hanya ada satu rangkaian bacaan yang digunakan setiap tahunnya.

Untuk Pesta, Peringatan dan Hari Biasa tanpa pesta digunakan struktur bacaan sbb.: Bacaan Pertama - Mazmur Tanggapan - Bacaan Injil. Dalam Pesta digunakan bacaan-bacaan khusus sementara untuk Peringatan dan hari biasa bacaan mengikuti siklus dua tahunan. Dalam siklus dua tahunan ini bacaan Injilnya sama dan yang berbeda ialah bacaan pertama dan pilihan mazmurnya.

Setiap pembacaan Kitab Suci harus selalu diakhiri dengan kata-kata �Demikianlah Sabda Tuhan�. Kata-kata ini merupakan pernyataan resmi bahwa yang dibacakan tadi adalah sabda Allah sendiri sebab Allah hadir ketika Kitab Suci dibacakan. Dan umat menjawab �Syukur kepada Allah�.

Aklamasi �Syukur kepada Allah� (Deo gratias) dipergunakan oleh umat sejak abad keempat sebagai jawaban atas pernyatan �demikianlah sabda Tuhan�. Umat menjawab: �syukur kepada Allah�, untuk menyatakan kepercayaannya bahwa apa yang baru disampaikan benar-benar sabda Tuhan. Umat tidak berhenti pada jawaban singkat itu, bahkan menanggapi sabda itu dengan mazmur tanggapan yang tidak lain adalah suatu madah untuk memuji Tuhan dengan kata-kata yang diilhami oleh Roh Kudus. Jika kita memahaminya dan mengulang refreinnya benar-benar, maka kita akan memberikan tanggapan / jawaban secara tepat atas sabda Tuhan (bdk. DV 25).

Bacaan Pertama diambil dari Perjanjian Lama, kecuali pada masa Paskah dimana seluruhnya diambil dari Kisah Para Rasul. Dalam bacaan pertama kita diajak untuk mengingat kembali sejarah perjanjian kita. Sementara Bacaan Kedua selalu diambil dari Perjanjian Baru non-Injil. Bacaan Pertama umumnya selalu memiliki kaitan tematis yang langsung dengan Bacaan Injil, tujuannya memberi latar belakang sehingga menambah pengertian / pemahaman sejarah keselamatan Allah dari perjanjian lama dan berpuncak pada Yesus yang diwartakan dalam Injil. Sementara Bacaan Kedua umumnya bersifat kontinuitas dan tidak selalu memiliki kaitan tematis yang langsung baik dengan Bacaan Pertama maupun Injil.

Pada saat membaca, lektor hanya memaklumkan: Bacaan dari kitab ......... tanpa menyebutkan bab, ayat, tanpa membacakan kalimat dengan huruf miring, dan tanpa menyebutkan Bacaan I atau II. Alasan teologisnya adalah demi spontanitas kehadiran pribadi Allah yang mau berbicara.

Dalam perayaan, doa-doa dan nyanyian-nyanyian harus bersifat spontan, yang keluar dari hati. Karena itu, nyanyian-nyanyian hendaknya bersifat sederhana namun sublim, yang mudah diingat oleh umat. "Sebab, hanya kalau dapat dihayati secara pribadi, liturgi adalah doa umat beriman. Kalau doa liturgis tidak dapat masuk ke dalam hati, maka dengan sendirinya akan menjadi upacara. Hanya kalau hati orang terlibat, liturgi dapat menjadi perayaan." (Tom Jacobs, Teologi Doa, 2004 : 81).

Seluruh bagian Liturgi Sabda hendaknya dilangsungkan di mimbar (PUMR 58). Mimbar adalah �pusat perhatian umat selama Liturgi Sabda�. Bacaan Pertama, Mazmur Tanggapan, Bacaan Kedua, Injil, Homili, Syahadat, Doa Umat, disampaikan dari mimbar.

Sabda Allah (bacaan pertama dan kedua) sebaiknya dimaklumkan dari Lectionarium. Karena dalam Lectionarium itu, perikop yang dimaklumkan, sudah ditempatkan konteksnya dan jika ada ayat yang dilewati, juga sudah didrop; sehingga memudahkan pemakluman.

Menurut tradisi, pembacaan itu bukanlah tugas pemimpin perayaan, melainkan tugas pelayan yang terkait. Oleh karena itu, bacaan-bacaan hendaknya dibawakan oleh lektor, sedangkan Injil dimaklumkan oleh diakon atau imam lain yang tidak memimpin perayaan. Akan tetapi, kalau tidak ada diakon atau imam lain, maka Injil dimaklumkan oleh imam selebran sendiri. (PUMR 59). Hal tersebut dimaksudkan bahwa pemimpin perayaan/pastor yang biasanya memberi homili bukan hanya seorang pewarta Sabda Allah; tapi juga seorang pendengar sabda pula. Sebagai pendengar sabda, pemimpin perayaan ikut mendengarkan pewartaan bacaan pertama dan kedua, serta Injil apabila dibacakan oleh diakon tertahbis.

Dengan mendengarkan bacaan Kitab Suci dalam Perayaan Ekaristi, umat mengaktualisasikan teks Alkitab secara paling sempurna. Perayaan Ekaristi menempatkan pewartaan di tengah-tengah komunitas umat beriman, yang berkumpul di sekitar Yesus untuk mendekatkan diri pada Allah. Oleh karena itu kita perlu membedakan pembacaan Kitab Suci dalam liturgi dengan membaca Kitab Suci untuk Studi Ilmiah atau renungan.

Bagaimanapun "Mendengarkan bukan sekedar tindakan reseptif, yang hanya menerima saja, melainkan juga tindakan aktif. Sebab bila kita mendengarkan, kita sebenarnya sedang membuka diri, untuk menerima dengan sadar, sapaan dari luar diri kita. Dengan sadar pula mau mengambil bagian dalam peristiwa yang didengarkan itu. Demikianlah dalam liturgi, tindakan mendengarkan ini begitu dominan. Kita mendengarkan Sabda Tuhan, homili, doa, nyanyian, musik, dan sebagainya" (E. Martasudjita, Memahami Simbol-simbol Dalam Liturgi, 1998:15).
Semoga Tuhan memberkati kita semua.

Oleh : Ign. Djoko Irianto
Penulis, Prodiakon Paroki St. Herkulanus

Sunday, November 6, 2011

Liturgi Sabda dalam Perayaan Ekaristi

Secara umum perayaan ekaristi dibagi menjadi 4 bagian, yaitu ritus pembuka, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi dan ritus penutup. Ritus pembuka bertujuan untuk mempersatukan umat dan mempersiapkan umat untuk menyadari kehadiran Allah, agar dapat mendengarkan sabda Allah dan dapat merayakan Ekaristi dengan pantas. Pewartaan dan pembacaan Sabda Allah merupakan unsur yang sangat penting dalam Liturgi Sabda. Umat wajib mendengarkan dengan penuh hormat. Bila Alkitab (Kitab Suci) dibacakan dalam gereja, Allah sendirilah yang bersabda kepada umat-Nya, dan Kristus mewartakan kabar baik, sebab Ia hadir dalam sabda itu. (PUMR 29).

Liturgi sangat erat hubungannya dengan Kitab Suci. Bahkan hampir tidak ada liturgi tanpa Kitab suci. Dalam perjalanan Gereja baik sejarah Gereja maupun sejarah liturgi, sekurang-kurangnya tak biasa ada liturgi tanpa Kitab Suci. Dikatakan sekurang-kurangnya, karena ada perayaan liturgi dulu tanpa Kitab Suci seperti perayaan tobat. Secara konkrit, liturgi menimba spiritualitas dari Kitab Suci, sebaliknya liturgi merupakan muara Kitab Suci karena liturgi dibentuk oleh sabda Allah.

Santo Hieronimus (347-420), seorang rahib dan pujangga Gereja menegaskan, �Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus.� Penegasan ini dikutip lagi oleh Konsili Vatikan II, dalam Konstitusi Dei Verbum No 25. Selanjutnya, Hieronimus mengingatkan bahwa tempat yang paling tepat untuk membaca dan mendengarkan Sabda Allah adalah liturgi. Maka, belum cukup hanya merenungkan sendiri Kitab Suci. Tafsiran ilmiah terhadap Kitab Suci pun hanya bersifat membantu. Karena bagi Hieronimus, penafsiran Kitab Suci yang otentik selalu harus sesuai dengan iman Gereja Katolik.

Kita harus membaca Kitab Suci dalam komunio dengan Gereja yang hidup. Kalau Kitab Suci dibacakan dalam Gereja, terutama dalam Perayaan Ekaristi, maka Allah sendiri berbicara kepada umat-Nya dan Kristus hadir dalam Sabda-Nya (PUMR 29 dan SC 7).

Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi merupakan dua bagian pokok dalam perayaan ekaristi (PUMR 28), keduanya berhubungan erat. Dalam Liturgi Sabda dipaparkan karya keselamatan Allah yang disyukuri dalam Liturgi Ekaristi. Mengenai hubungan antara Sabda dan Ekaristi, PUMR 28 menulis: �Perayaan Ekaristi boleh dikatakan terdiri atas dua bagian: Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Keduanya berhubungan begitu erat satu sama lain, sehingga merupakan satu tindak ibadat.� Sebab dalam Perayaan Ekaristi itu sabda Allah dihidangkan untuk menjadi pengajaran bagi orang-orang beriman dan Tubuh Kristus dihidangkan untuk menjadi santapan bagi mereka.

Dalam liturgi sabda, Gereja merayakan misteri kehadiran Tuhan melalui sabda, dalam sikap dan semangat doa. Umat beriman berdoa dengan seluruh kemanusiaannya. Umat mengambil sikap duduk untuk mendengar dengan penuh hikmat. Duduk di sini tentunya tetap dalam sikap doa.

Pelaksanaan Liturgi Sabda dalam Perayaan Ekaristi
Kerangka � Kerangka dasar Liturgi Sabda selengkapnya adalah: Bacaan 1 � Mazmur Tanggapan � Bacaan 2 � Bait Pengantar Injil � Aklamasi Sebelum Injil � Injil � Aklamasi Sesudah Injil � Homili � Syahadat � Doa Umat.

Bacaan-bacaan Alkitab dan mazmur tanggapannya merupakan bagian pokok dari Liturgi Sabda. Dalam bacaan-bacaan ini, Allah sendiri bersabda kepada umat-Nya (PUMR 29). Di situ Allah menyingkapkan misteri penebusan dan keselamatan serta memberikan makanan rohani. Lewat sabda-Nya, Kristus sendiri hadir di tengah-tengah umat beriman.

Dalam Perayaan Ekaristi, bacaan-bacaan Alkitab tidak boleh dihilangkan atau dikurangi, apalagi diganti dengan bacaan lain yang bukan dari Alkitab; begitu juga nyanyian (mazmur) yang diambil dari Alkitab. PUMR 57 menegaskan : �Tidak diizinkan mengganti bacaan dan mazmur tanggapan, yang berisi sabda Allah, dengan teks-teks lain yang bukan dari Alkitab.� Sebab lewat Sabda Allah yang diwariskan secara tertulis itulah "Allah masih terus berbicara kepada umat-Nya."

Cara Pelaksanaan � Liturgi Sabda haruslah dilaksanakan sedemikian rupa sehingga mendorong umat untuk merenung. Oleh karena itu, setiap bentuk ketergesa-gesaan yang dapat mengganggu permenungan harus sungguh dihindari.

Pembacaan Alkitab dalam perayaan Ekaristi bukanlah sekedar penyampaian kisah informatif tentang Allah dan cara-cara Dia berurusan dengan manusia di masa lalu. Pembacaan Alkitab dalam perayaan Ekaristi adalah suatu peristiwa yang sedang terjadi, sebuah campur tangan Allah secara nyata dalam masalah dan keprihatinan jemaat yang tengah berkumpul. Jadi, pada saat Alkitab dibacakan Allah sungguh hadir dan berkarya nyata, sama seperti dulu, semasa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Pada saat Alkitab dibacakan, Allah menyelamatkan umat yang sedang berhimpun, menyembuhkan, membangun, menasihati, menegur ... dll sesuai dengan firman yang diwartakan.

Dalam liturgi sabda kita tidak hanya mendengar bahwa Allah dulu menebus umat Israel, tetapi mengalami bahwa Ia kini menebus kita pada saat dan tempat kita sedang beribadat. Oleh karena itu pembacaan sabda Tuhan merupakan unsur yang sangat penting dalam liturgi. Umat wajib mendengarkannya dengan penuh perhatian supaya mereka sungguh terlibat dalam peristiwa yang sedang terjadi.

Unsur Dasar � Unsur dasar Liturgi Sabda adalah pewartaan dan pendengaran, mewartakan dan mendengarkan, pewarta dan pendengar. Maka, Gereja menekankan pentingnya membacakan dan mendengarkan sebagai ritual dasar Liturgi Sabda. Pembacaan adalah tugas lektor, diakon, dan imam. Mendengarkan adalah tugas jemaat. PUMR 29 menegaskan, �Umat wajib mendengarkan dengan penuh hormat.� Berhubung dengan ini, perlu kita tinjau kembali penggunaan lembaran misa. Membaca bersama-sama dengan lektor bukanlah mendengarkan. Fungsi dan peran mendengar agak tergeser. Kiranya kita akan memetik jauh lebih banyak buah, kalau kita berkonsentrasi pada mendengarkan sambil menyimak kata demi kata.

Tata Gerak � Tata gerak yang lazim waktu mendengarkan adalah duduk (tegak); tangan dengan telapak tengadah tertumpang pada paha, sikap ini merupakan simbol penerimaan sabda Tuhan. Cara kita duduk menunjukkan sikap kita terhadap sabda Allah.
Semoga Tuhan memberkati kita semua.

*) Penulis, Prodiakon Paroki St. Herkulanus
Catatan:
PUMR = Pedoman Umum Misale Romawi
SC = Sacrosanctum Concilium
DV = Dei Verbum

Sunday, September 25, 2011

Doa Pembuka

Seluruh rangkaian ritus pembuka dalam Perayaan Ekaristi akan ditutup dengan doa pembuka. Doa pembuka ini biasa disebut oratio collecta atau doa kolekta dan bersifat presidensial. Dengan sebutan doa kolekta, dimaksudkan bahwa doa ini bersifat mengumpulkan dan meringkaskan ujud-ujud doa dari umat beriman. Yang mengumpulkan dan meringkaskan doa-doa umat beriman adalah imam yang memimpin Ekaristi. Kata oratio dalam bahasa latin berasal dari kata orare yang bukan hanya berarti berdoa tetapi juga berbicara, mengajar, dan mewartakan. Dengan demikian, doa yang termasuk oratio ini juga merupakan bentuk pewartaan yang harus disampaikan oleh seorang pemimpin perayaan atau pemimpin ibadat. Disebut doa presidensial karena doa pembuka ini adalah doa resmi yang dibawakan oleh pemimpin ibadat atas nama seluruh umat. Dalam doa pembuka ini, umat tidak diikutsertakan untuk mengucapkannya. Umat hanya menjawab �amin� setelah imam mengakhiri doanya.

PUMR 54 menyatakan: �Imam mengajak umat untuk berdoa. Lalu semua yang hadir bersama dengan imam hening sejenak untuk menyadari kehadiran Tuhan, dan dalam hati mengungkapkan doanya masing-masing. Kemudian, imam membawakan doa pembuka yang lazim disebut collecta, yang mengungkapkan inti Perayaan liturgi hari yang bersangkutan.� Dalam PUMR 54 tersebut jelas bahwa ada waktu hening yang cukup yang diberikan kepada umat beriman. Waktu hening tersebut, selain untuk menyadari kehadiran Tuhan, juga untuk mengungkapkan doa pribadi yang menjadi ujud mereka masing-masing dalam hati. Pada saat hening itulah umat ambil bagian dalam doa pembuka ini. Selanjutnya, imam merumuskan doa yang berisi misteri iman yang dirayakan dalam perayaan Ekaristi dalam bentuk doa permohonan.

Menurut tradisi tua Gereja, doa-doa selalu diarahkan kepada Allah Bapa. Demikian pula doa pembuka ini diarahkan kepada Allah Bapa atau Allah Tritunggal. PUMR 54 juga menyatakan : �Selaras dengan tradisi tua Gereja, doa pembuka diarahkan kepada Allah Bapa, dengan pengantaraan Putra, dalam Roh Kudus�. Dengan demikian, doa-doa Gereja termasuk doa pembuka ini sejak dulu berciri trinitaris karena selalu ditutup dengan rumusan panjang yang trinitaris. Oleh sebab itu, setiap doa pembuka memiliki rumusan penutup yang menyebut kepengantaraan Yesus Kristus yang hidup dan berkuasa bersama Bapa dan Roh Kudus.

Sebagai doa presidensial, peran dan partisipasi umat dalam doa pembuka selain memadukan hati dalam doa ini, seperti pada saat hening dan saat imam menyampaikan doanya dengan suara lantang, mereka perlu menjadikan doa pembuka ini sebagai doa mereka sendiri dengan aklamasi: �Amin� (PUMR 54). Dengan jawaban �Amin� itu, umat menyetujui dan menjadikan doa yang disampaikan imam atau pemimpin ibadat itu sebagai doa mereka sendiri. Dalam perayaan Ekaristi, ada beberapa doa presidensial yaitu: Doa Syukur Agung (DSA), doa pembuka, doa persiapan persembahan dan doa sesudah komuni. Selain doa pembuka, doa persiapan persembahan dan doa sesudah komuni juga disebut sebagai oratio yaitu suatu pewartaan yang harus disampaikan oleh seorang pemimpin ibadat.

Doa pembuka dalam perayaan Ekaristi
Doa pembuka merupakan akhir dan sekaligus puncak bagian pembukaan Perayaan Ekaristi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam doa pembuka:
Struktur - Doa Pembuka mempunyai struktur baku: ajakan - hening - permohonan - penutup yang terdiri dari doksologi dan - aklamasi. Doa pembuka ditujukan kepada Bapa dengan perantaraan Putra dalam persekutuan Roh Kudus, dan diakhiri dengan penutup trinitaris atau penutup panjang: �Dengan pengantaraan Yesus Kristus, Putra-Mu, Tuhan kami, yang bersama dengan Dikau dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa. Amin.�

Pelaksanaan - Imam mengajak umat �Marilah kita berdoa.� Lalu semua hening sejenak untuk menyadari kehadiran Tuhan dan mengungkapkan doa pribadi. Lalu imam mengucapkan inti doa yang menyatakan isi perayaan pada hari yang bersangkutan. Permohonan selalu ditutup dengan doksologi, dan akhirnya jemaat menyetujui doa itu dengan aklamasi �Amin.�

Doa Pembuka adalah doa presidensial, artinya doa pemimpin. Maka, hanya pemimpin seorang diri yang membawakan doa ini atas nama seluruh umat dan semua yang hadir, dan melalui dia Kristus sendiri memimpin himpunan umat.

Ada beberapa alternatif rumusan penutup yang trinitaris dalam doa pembuka. (PUMR 54)
� Kalau doa diarahkan kepada Bapa:
Dengan pengantaraan Yesus Kristus Putra-Mu, Tuhan kami, yang bersama dengan Dikau, dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa.
� Kalau doa diarahkan kepada Bapa, tetapi pada akhir doa disebut juga Putra:
Sebab Dialah Tuhan, pengantara kami, yang bersama dengan Dikau, dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa.
� Kalau doa diarahkan kepada Putra:
Sebab Engkaulah Tuhan, pengantara kami, yang bersama dengan Bapa, dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa.

Tata gerak - Umat berdiri dengan �sikap doa�, khidmat. Sangat kurang pas kalau selama doa pembuka ini umat berdiri santai, tangan dilipat di dada atau di belakang, atau tangan bertumpu pada bangku / kursi.

Semoga Tuhan memberkati kita semua.

*) Penulis, Prodiakon Paroki St. Herkulanus

Monday, September 19, 2011

Madah Kemuliaan

Rangkaian pernyataan tobat dan seruan Tuhan kasihanilah kami akan diakhiri dengan absolusi, yaitu doa permohonan pengampunan. Rumusan absolusi dalam TPE 2005, yaitu: �Semoga Allah yang mahakuasa mengasihani kita, mengampuni dosa kita, dan mengantar kita ke hidup yang kekal�. Sesudah absolusi, seturut petunjuk penanggalan liturgi, dilanjutkan dengan menyanyikan atau melafalkan �Madah Kemuliaan�.

Madah Kemuliaan atau madah Gloria merupakan �madah yang sangat dihormati dari zaman Kristen kuno� (PUMR 53). Di Gereja Timur, madah Gloria ini lazim digunakan dalam Ibadat Harian, terutama dalam Ibadat Pagi pada abad IV-V. Di Gereja Katolik Roma, madah Gloria semula dimasukkan dalam Misa pertama Hari Raya Natal pada abad V. Paus Symmachus (498-514) memperluas penggunaan madah Gloria itu juga pada Misa hari Minggu dan pesta para martir, tetapi hanya untuk Misa yang dipimpin oleh Uskup. Namun, sejak abad VIII, Gloria boleh dinyanyikan pada setiap Misa yang dipimpin oleh imam. Teks Gloria sebagaimana kita kenal sekarang berasal dari zaman sesudah Paus Gregorius Agung (590-604), yakni sejak pembaruan liturgi oleh Karolus Agung.

Madah Gloria atau madah Kemuliaan berisi madah yang memuji dan memuliakan Allah Bapa dan Yesus Kristus Putra-Nya bersama Roh Kudus. Bagian pertama madah ini berisi seruan pujian dan pemuliaan yang ditujukan kepada Allah Bapa di surga. Rumusan yang digunakan mengutip nyanyian pujian para Malaikat di surga: �Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya� (Luk 2:14). Terhadap teks nyanyian para malaikat tersebut, Gereja menambah 5 buah seruan pujian dan pemuliaan Allah Bapa, yakni: �kami memuji Dikau, kami meluhurkan Dikau, kami menyembah Dikau, kami memuliakan Dikau, dan kami bersyukur kepada-Mu�. Pujian yang diulang-ulang dan ditekankan ini bermaksud untuk sungguh-sungguh mengagungkan Allah Bapa.

Seruan pujian kedua ditujukan kepada Tuhan Yesus Kristus, Putra yang tunggal. Bagi umat kristiani, yang menjadi Raja itu hanyalah Kristus dan yang harus disembah itu hanyalah Tuhan Yesus. Kristus dipuji dan dimuliakan sebab karya penebusan-Nya. Itulah sebabnya Dia disebut Anak Domba Allah (Yoh 1:19,36). Tentang peran Kristus yang telah menebus umat manusia itu, disampaikan tiga seruan dalam bentuk anak kalimat: �Engkau yang menghapus dosa dunia, kasihanilah kami; Engkau yang menghapus dosan dunia, kabulkanlah doa kami; Engkau yang duduk di sisi Bapa, kasihanilah kami�. Dari pengakuan iman dan pujian kepada Kristus Penebus itu, disampaikan tiga pujian kepada pribadi Yesus Kristus: �Engkaulah kudus, Engkaulah Tuhan, Engkaulah mahatinggi�. Akhirnya, madah Kemuliaan ditutup dengan menyebut �bersama Roh Kudus�, sehingga Trinitaris dari madah Kemuliaan menjadi tampak dan jelas. Pujian kepada Bapa dan Putra bagaimanapun juga selalu bersama dan bersatu dengan Roh Kudus.

Madah Kemuliaan (Gloria) dalam Perayaan Ekaristi

Inti Madah Kemuliaan adalah memuji Allah Bapa dan Anakdomba Allah, serta memohon belaskasihan Tuhan. Madah ini dilagukan oleh jemaat (Gereja) yang berhimpun atas dorongan Roh Kudus. Menurut PUMR 53, teks madah Kemuliaan ini tidak boleh diganti dengan teks lain. Maka teks-teks saduran hendaknya tidak dipakai.

Madah Kemuliaan pada dasarnya adalah madah seluruh umat beriman. Dalam PUMR 53 dinyatakan: �Kemuliaan dibuka oleh imam atau, lebih cocok, oleh solis atau oleh koor, kemudian dilanjutkan oleh seluruh umat bersama-sama atau oleh umat dan paduan suara bersahut-sahutan, atau hanya oleh koor. Kalau tidak dilagukan, madah kemuliaan oleh seluruh umat bersama-sama atau oleh dua kelompok umat secara bersahut-sahutan.� Dari ketentuan dalam PUMR 53 tersebut, madah kemuliaan tidak harus dibuka oleh imam. Alasannya, karena madah Kemuliaan ini bagian umat.

Teks lengkap Madah Kemuliaan adalah sebagai berikut:
Kemuliaan kepada Allah di surga, - dan damai di bumi kepada orang - yang berkenan pada-Nya. - Kami memuji Dikau. - Kami meluhurkan Dikau. - Kami menyembah Dikau. - Kami memuliakan Dikau. - Kami bersyukur kepada-Mu, - karena kemuliaan-Mu yang besar. - Ya Tuhan Allah, raja surgawi, - Allah Bapa yang mahakuasa. - Ya Tuhan Yesus Kristus, Putra yang tunggal. - Ya Tuhan Allah, Anak Domba Allah, Putra Bapa. - Engkau yang menghapus dosa dunia, kasihanilah kami. - Engkau yang menghapus dosa dunia, kabulkanlah doa kami. - Engkau yang duduk di sisi Bapa, kasihanilah kami. - Karena hanya Engkaulah kudus. - Hanya Engkaulah Tuhan. - Hanya Engkaulah mahatinggi, ya Yesus Kristus, - bersama dengan Roh Kudus, dalam kemuliaan Allah Bapa. - Amin.

Madah Kemuliaan diucapkan atau dilagukan untuk memberi warna pesta kepada perayaan ibadat yang dilaksanakan. Karena itu, madah Kemuliaan biasanya diucapkan atau dilagukan pada hari-hari pesta: Minggu (kecuali Adven dan Prapaskah), hari raya dan pesta serta pada perayaan-perayaan yang setingkat. Pada pesta-pesta ini, madah Kemuliaan dibawakan langsung sesudah seruan Tuhan Kasihanilah Kami atau sesudah pernyataan tobat cara 3. Melagukan madah Kemuliaan hendaknya umat berdiri, sikap berdiri menunjukkan penghormatan kepada Allah yang datang dan hadir di tengah-tengah umat. Marilah kita siapkan hati kita untuk memuji dan memuliakan Allah.
Semoga Tuhan memberkati kita semua.

*) Penulis, Prodiakon Paroki St. Herkulanus

Monday, August 15, 2011

Kyrie Eleison

Dalam TPE 2005, terdapat 4 alternatif cara menyatakan tobat, dua di antaranya dilanjutkan dengan seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami. Istilah Kyrie diambil dari kata-kata Yunani Kyrie eleison, yang diterjemahkan: Tuhan kasihanilah. Seruan Tuhan (Kyrie) pertama-tama adalah seruan untuk menyampaikan penghormatan kepada Yesus Kristus yang kita sebut Tuhan. Seruan kasihanilah (eleison) merupakan seruan untuk memohon belas kasih ilahi. Seruan itu pula yang disampaikan oleh dua orang buta dalam Injil Mateus (Mat 9:27 dan Mat 20:30), atau seruan Bartimeus (Mrk 10:47) atau seruan perempuan Kanaan (Mat 15:22).

Dari segi bentuk, seruan Kyrie eleison ini merupakan suatu litani. Bentuk litani selalu terdiri atas suatu pernyataan atau permohonan yang disampaikan oleh seorang pemimpin umat, dan dijawab oleh umat dengan seruan yang selalu sama secara berulang. Sebenarnya, seruan Kyrie eleison sudah dikenal sejak jaman dahulu ketika orang-orang pada waktu itu menghormati dewa atau raja/kaisar mereka. Litani Kyrie eleison ini mula-mula digunakan di Timur dan biasanya digunakan untuk menjawab berbagai doa permohonan.

Paus Gelasius I (492-496), telah memasukkan litani Kyrie eleison ini ke dalam liturgi Katolik Romawi untuk menggantikan doa-doa permohonan pada akhir liturgi sabda. Pada masa pembaruan liturgi oleh Paus Gregorius Agung (590-604), litani Kyrie eleison ini dipersingkat menjadi tiga kali tiga pengulangan dengan memberi variasi Christe eleison pada bagian tengahnya. Dalam Missale Romanum 1970, Kyrie eleison ditempatkan pada permulaan Misa dan dipersingkat menjadi dua kali tiga seperti yang kita praktekkan dalam TPE sekarang ini. Meskipun begitu, seruan Kyrie eleison ini boleh diulang-ulang lebih banyak (PUMR 52).

Seruan Kyrie elesion dalam perayaan Ekaristi

Dalam TPE 2005, seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami selalu digunakan menyusul pernyataan tobat cara 1 dan 2. Jika memakai pernyataan tobat cara 3 dan 4, seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami tidak usah digunakan. Seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami biasanya dilagukan/dinyanyikan oleh seluruh umat, yakni �silih-berganti antara umat dan paduan suara atau solis� (PUMR 52). Seruan Tuhan Kasihanilah kami pada pernyataan tobat cara 3 merupakan jawaban umat atas pernyataan iman dan penghormatan kepada Kristus yang disampaikan oleh imam. Jika pernyataan tobat diganti atau diisi dengan percikan air suci, seperti pada pernyataan tobat cara 4, maka seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami juga tidak usah digunakan.

Ada beberapa alternatif nyanyian untuk seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami yang disesuaikan dengan keperluan atau intensi misa. Dalam buku doa dan nyanyian gerejawi �Puji Syukur� tersedia beberapa pilihan nyanyian Kyrie eleison mulai dari nomor 339 sampai dengan 363. Pemimpin koor atau pemimpin ibadat dapat memilih yang sesuai.

Ada dua unsur dalam seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami yaitu unsur pujian dan penghormatan kepada Tuhan Yesus Kristus dan unsur permohonan belas kasih Allah. Meski ada unsur permohonan, tidak mengubah struktur pujian dalam seruan Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami ini. Nyanyian Kyrie eleison atau Tuhan kasihanilah kami hendaknya dinyanyikan dalam suasana syukur dan penuh hormat karena kita memuji Tuhan. Kita patut bergembira dan bersyukur karena kita telah diundang ke perjamuan-Nya. �Berbahagialah kita yang diundang ke perjamuan-Nya!�

Semoga Tuhan memberkati kita semua.

Oleh : Ign. Djoko Irianto
Prodiakon Paroki St. Herkulanus